Anda di halaman 1dari 18

“FATWA DSN-MUI TENTANG WADI’AH”

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Kajian Fatwa Ekonomi Syariah”

Dosen Pengampu:
H. Bagus Ahmadi, S.Pd.I.,M.Sy

Disusun Oleh:
Kelompok 11

1. YOGI PERMANA (12101173033)


2. NESLA GADIS FORTUNA (12101173035)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
2020

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Alloh SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga
penyusunan Makalah Kajian Fatwa ini dapat terselesaikan.

Shalawat serta salam terlimpahkan kepada sang pembawa risalah


kebenaran yang semakin teruji kebenarannya Nabi Muhammad SAW, keluarga
dan sahabat-sahabat, serta para pengikutnya. Semoga syafa’atnya selalu menyertai
kita dalam kehidupan ini.

Setitik harapan dari Penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat serta
bisa menjadi wacana yang berguna. Penulis menyadari keterbatasan yang penulis
miliki, untuk itu perlu kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaanya
makalah ini. Akhirnya hanya kepada Alloh SWT, jualah penulis memohon
Rahmat dan Ridho-Nya.

Tulungagung, 2 Mei 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Masalah............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3

1. Inventarisasi dan Identifikasi Fatwa DSN MUI tentang Wadi’ah...............3


2. Kajian Fatwa DSN-MUI tentang Wadi’ah meliputi:
a. Sisih Fiqh Muamalah............................................................................5
b. Komparasi dengan KHES...................................................................10
c. Implementasi di Lembaga Keuangan Syariah.....................................11

BAB III KESIMPULAN......................................................................................14

Daftar Pustaka......................................................................................................15

BAB 1

3
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sistem pemerintahan suatu Negara ditentukan dengan keadaan hidup warga


masyarakat disana. Keadaan kehidupan masing-masing warga masyarakat pada
masa sekarang tidak terlepas dari adanya proses perubahan, proses adaptasi, dan
proses penyerapan yang dilakukan oleh warga masyarakat terdahulu. Dengan kata
lain, segala hal yang ada pada saat ini, merupakan produk dari sejarah bangsa.
Sehingga sistem pemerintahan yang dianut oleh masing-masing Negara di dunia
tidak mungkin sepenuhnya sama.

Unsur agama Islam yang sedikit banyak di serap dalam hukum positif
Indonesia menyebabkan semua bidang hukum positif di Indonesia terkandung
unsur agama islam. Tidak terkecuali pada bidang hukum bisnis, khususnya dalam
dunia perbankan. Sehingga dunia perbankan Indonesia sebaiknya pengupayaan
fasilitas sarana dan prasarana dalam melaksanakan aktifitas beribadahnya orang-
orang beragama Islam. Tentu, termasuk di dalamnya terkait dengan muamalah.

Di antara muamalah yang cukup penting pada masa sekarang ini adalah
keamanan, kenyamanan, serta kepastian hukum dalam menitipkan uang
dan/ataupun mencari pinjaman dana, yang di dalam hal ini bank. Ini melihat,
bank-bank yang ada di Indonesia masih di dominasi bank-bank konvensional yang
terdapat kecenderungan riba.

Meskipun bank-bank Syariah sekarang semakin tumbuh di negeri ini, namun


dalam praktiknya pun terkesan memplagiasi prinsip riba bank konvensional, yang
hanya diubah kebahasaannya saja menggunakan bahasa Arab. Ironisnya lagi, di
lapangan juga seringkali terdengar adanya penipuan dari bank Syariah.

Bank syariah yang semestinya telah melewati verifikasi syariah, pada


praktiknya masih belum jelas atau rancuh. Terkait dengan produk-produk dari
perbankan syariah masih kabur, karena masih sarat akan kepentingan kapitalistik
dan sulit ditemukan dasar fikihnya, seperti terkait dengan produk giro dan

4
tabungan syariah. Padahal pada masa sekarang ini sudah banyak masyarakat yang
memakai produk perbankan tabungan dan giro itu sendiri.

Pada prinsipnya, giro dan tabungan syariah merupakan buah dari akad syariah
yang di sebut dengan wadiah. Wadi’ah sendiri memiliki sumber fiqih yang jelas.
Hanya saja implementasi wadiah yang ada dalam fiqih itu sendiri masih kurang
jelas jika dilihat dari pelaksanaan perbankan syariah di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Inventarisasi dan Identifikasi Fatwa DSN MUI tentang Wadi’ah
2. Kajian Fatwa DSN-MUI tentang Wadi’ah meliputi:
a. Sisih Fiqh Muamalah
b. Komparasi dengan KHES
c. Implementasi di Lembaga Keuangan Syariah

C. TUJUAN MASALAH

1. Untuk mengetahui dan memahami Inventarisasi dan Identifikasi Fatwa


DSN MUI tentang Wadi’ah.
2. Untuk mengetahui Kajian Fatwa DSN-MUI Wadi’ah yang meliputi :
a. Sisih Fiqh Muamalah
b. Komparasi dengan KHES
c. Implementasi di Lembaga Keuangan Syariah

5
BAB II

PEMBAHASAN

1. Inventarisasi dan Identifikasi Fatwa DSN MUI tentang Wadi’ah


a. Fatwa MUI Tentang Tabungan Wadi’ah
Fatwa MUI ini berdasarkan pada Fatwa DSN 02/DSNMUI/IV/2000
tentang Tabungan:
Pertama : Tabungan ada dua jenis:
1) Tabungan yang tidak dibenarkan secara syari‟ah, yaitu
tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga.
2) Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang
berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Kedua : Ketentuan Umum Tabungan berdasarkan Mudharabah:
1) Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul
mal atau pemilik dana, dan bank sebagai mudharib atau
pengelola dana.
2) Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat
melakukan berbagai macam usaha yang tidak
bertentangan dengan prinsip syari‟ah dan
mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah
dengan pihak lain.
3) Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam
bentuk tunai dan bukan piutang.
4) Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk
nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5) Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional
tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang
menjadi haknya.
6) Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah
keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang
bersangkutan.

6
Ketiga : Ketentuan Umum Tabungan berdasarkan Wadi‟ah:
1) Bersifat simpanan.
2) Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau
berdasarkan kesepakatan.
3) Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam
bentuk pemberian („athaya) yang bersifat sukarela dari
pihak bank.
b. Fatwa DSN-MUI Tentang Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia
Fatwa DSN-MUI No. 36/ DSN-MUI/X/ 2002 tentang Sertifikat
Wadi‟ah Bank Indonesia (SWBI) menentukan sebagai berikut:
Pertama:
1) Bank Indonesia selaku bank sentral boleh menerbitkan
instrumen moneter berdasarkan Prinsip Syari‟ah yang
dinamakan Sertifikat Wadi‟ah Bank Indonesia (SWBI),
yang dapat dimanfaatkan oleh bank syari‟ah untuk
mengatasi kelebihan likuiditasnya.
2) Akad yang digunakan untuk instrumen SWBI adalah
akad wadi‟ah sebagaimana diatur dalam Fatwa DSN No.
02/DSN-MUI/IV/ 2000 tentang Tabungan.
3) Dalam SWBI tidak boleh ada imbalan yang disyaratkan,
kecuali dalam bentuk pemberian yang bersifat sukarela
dari pihak Bank Indonesia.
4) SWBI tidak boleh diperjualbelikan. Kedua: Fatwa ini
berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah
dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Fatwa DSN-
MUI No. 36/DSN-MUI/ XII/2007 tentang Sertifikat
Bank Indonesia Syari‟ah (SBIS).1

1
https://tafsirq.com/fatwa/dsn-mui/sertifikat-wadiah-bank-indonesia (diunduh pada tanggal
2 Mei 2020 pukul 15.30 WIB

7
2. Kajian Fatwa DSN-MUI tentang Wadi’ah
a. Sisih Fiqh Muamalah
1) Pengertian Wadi’ah
 Secara Etimologi
Wadi’ah berasal dari kata Al-Wadi’ah yang berarti titipan murni
(amanah) dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum,
yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.2

Wadi’ah bermakna amanah. Wadiah dikatakan bermakna amanah karena


Allah menyebut wadiah dengan kata amanah dibeberapa ayat Al-Qur’an.

 Pengertian Wadiah Secara Terminologi.

Ulama mahzab Hanafi mengartikan Wadiah adalah memberikan wewenang


kepada orang lain untuk menjaga hartanya. Contohnya seperti ada seseorang
menitipkan sesuatu pada seseorang dan si penerima titipan menjawab ia atau
mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad tersebut sah
hukumnya.

‫تسليط الغير على حفظ ماله صارحا أو داللة‬


“ mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan
yang jelas maupun isyarat”

Sedangkan mahzab Maliki, Syafi’i, Hanabilah mengartikan wadi’ah


adalah mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara
tertentu.

]‫توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص‬


“ mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu

 Pengertian Wadi’ah Secara Istilah

Wadi’ah adalah akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan suatu


barang untuk dijaga secara layak (menurut kebiasaan).  Atau  ada juga yang
mengartikan wadiah secara istilah adalah memberikan kekuasaan kepada orang

2
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dalam Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta,
2001, h. 85

8
lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan secara terang-terangan atau
dengan isyarat yang semakna dengan itu”.[3]

 Dalam Ensiklopedi Hukum Islam

Wadi’ah secara bahasa bermakna meninggalkan atau meletakkan, yaitu


meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga. Sedangkan
secara istilah adalah Memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga
hartanya atau barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang
semakna dengan itu.

 Pengertian Wadi’ah Menurut Bank Indonesia (1999)

Wadi’ah adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai


barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga
keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.

 Wadi’ah juga bisa diartikan titipan

Yaitu titipan dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan
hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penyimpan
menghendakinya. Dari pengertian ini maka dapat dipahami bahwa apabila ada
kerusakan pada barang titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana
layaknya, maka si penerima titipan tidak wajib menggantinya, tapi apabila
kerusakan itu disebabkan karena kelalaiannya, maka ia wajib menggantinya. Yang
dimaksud dengan “barang” disini adalah suatu yang berharga seperti uang,
dokumen, surat berharga dan barang lain yang berharga di sisi Islam. [4] Dengan
demikian akad wadi’ah ini  mengandung unsur amanah, kepercayaan (trusty).
Dengan demikian, prinsip dasar wadi’ah adalah amanah, bukan dhamanah.
Wadiah pada dasarnya akad tabarru’, (tolong menolong), bukan akad tijari.3
2) Sumber Hukum Wadi’ah
Dasar hukum pelaksanaan wadiah adalah sebagaimana dijelaskan dalam:
1. Al-Qur’an
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.

Narto.http://artikelterbaru.com/ekonomi/perbankan/penghimpunan-dana-prinsip-wadiah-
3

20111923.html(diunduh pada tanggal 3 Maret 2020 pukul 10.00 WIB

9
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS An-Nisa 58).
2. As-Sunnah

“Tunaikanlah amanah yang dipercayakan kepadamu dan janganlah kamu


mengkhiatani terhadap orang yang telah mengkhianatimu”. HR.Abu
Dawud dan Tirmidzi

3) Jenis akad Wadi’ah


1. Wadiah Amanah
Yaitu Wadiah dimana uang atau barang yang dititipkan hanya boleh
disimpan dan tidakboleh dibudidayakan, si penerima titipan tidak
bertanggung jawab atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada
barang titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian penerima titipan
dalam memelihara titipan tersebut. Contoh : Safe Deposit Box.
2. Wadiah Yadh Dhamanah
Yaitu Wadiah dimana si penerima barang dapat memanfaatkan barang
titipan tersebut dengan seizing pemiliknya dan menjamin untuk
mengembalikan barang tersebut secara utuh setiap saat si pemilik
menghendakinya. Hasil dari pemanfaatan barang tidak wajib dibagi
hasilnya. Namun boleh saja si penerima titipan memberi bonus pada
pemilik barang. Contoh: Tabungan dan Giro tidak berjangka.4

4) Rukun dan Syarat Wadi’ah


a. Rukun wadi’ah ada empat, yaitu:
1) Pemilik barang atau pihak yang menitip (Muwaddi’)
2) Pihak yang menyimpan atau yang menerima titipan (Mustauda’)
3) Objek wadi’ah berupa barang yang dititipkan (Wadi’ah)
4) Ijab Kabul
b. Ketentuan Syari’ah

4
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia (Jakarta: Salemba Empat. 2008), 230.

10
1) Pelaku harus cakap hokum, balligh serta mampu menjaga dan
memelihara barang titipan.
2) Objek wadi’ah, harus jelas dan diketahui spesifikasinya oleh
pemilik dan penyimpan.
3) Ijab Kabul, adalah pernyataan dan ekspresi saling ridho antar pihak
pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui
korespondasi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.

5) Giro dan Tabungan Wadiah


Giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad
wadiah,yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya
menghendaki adapun dala konsep wadiah yad al-dhamanah, pihak yang
menerima titipan boleh menggunakan atau memanfaatkan uang atau
barang yang dititipkan.

Beberapa ketentuan Umum Giro Wadiah

a. Dana wadiah dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial


dengan syarat bank harus menjamin pembayaran kembali nominal dana
wadiah tersebut.
b. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau
ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan
tidak menanggung kerugian.Bank dimungkinkan memberikan bonus
kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana
masyarakat tapi tidak boleh diperjanjikan dimuka.5
c. Pemilik dana wadiah dapat menarik kembali dananya sewaktu-waktu
(on call), baik sebagian ataupun seluruhnya .

Tabungan Wadiah

Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan


akad wadiah,yakni titpan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap
5
Ibid., 231.

11
saat sesuai dengan kehendak pemiliknya. Berkaitan dengan produk
tabungan, Bank syariah menggunakan akad wadiah yad al-dhamanah.Dalam
hal ini, nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada
bank syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang
titipannya, sedangkan bank syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi
yang disertai hak untuk menggunakan dan memanfaatkan dana atau barang
teresbut.

Mengingat wadiah yad al dhamanah ini mempunyai implikasi hukum


yang sama dengan qordh, maka nasabah penitip dan bank tidak boleh saling
menjanjikan untuk membagi hasilkan keuntungan harta tersebut. Namun
demikian, Bank diperkenankan memberikan bonus kepada pemilik harta
titipan selama tidak diisyaratkan dimuka.

Ketentuan Umum Tabungan Wadiah

a. Tabungan wadiah merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yang


harus dijaga dan dikembalikan setiap saat (on call)sesuai dengan kehendak
pemilik harta .
b. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang
menjadi milik atau tanggungan bank, sedangkan nasabah penitip tidak
dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.
c. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai
sebuah insentif selama tidak diperjanjikan dalam akad pembukaan
rekening.
Dalam hal bank berkeinginan untuk memberikan bonus wadiah, beberapa
metode yang dapat dilakukan adalah :

a) Bonus wadiah atas dasar saldo terendah


b) Bonus wadiah atas dasar saldo rata-rata harian
c) Bonus wadiah atas dasar saldo harian
b. Komparasi dengan KHES

12
Wadiah itu sendiri merupakan akad titipan barang dari salah satu pihak
kepada pihak lainnya, di mana akad tersebut terdiri dari dua bagian utama,
yaitu wadiah yad amanah dan wadiah yad dhamanah.
Wadiah yad amanah adalah wadiah yang didasari oleh kepercayaan,
dalam wadiah jenis ini, pihak yang menerima titipan hanya dipercayakan untuk
menjaga barang titipan, bukan untuk memanfaatkan barang titipan.
Berbeda halnya dengan wadiah yad dhamanah, di mana pihak penitip
memberikan izin kepada penerima titipan untuk memanfaatkan barang titipan,
dengan tetap menjaga keutuhan barangnya.
Demi tercapainya tujuan akad wadiah, maka aturan tentang wadiah ini telah
diatur sedemikian rupa dalam KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah),
tepatnya dalam Bab XIV pasal 370-390.
Berikut ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai aturan yang ada
dalam pasal tersebut:

1. Rukun dan syarat wadiah, rukun wadiah antara lain harus adanya penitip,


2. penerima titipan, harta atau objek titipan, dan ijab kabul. Sedangkan syarat
dari akad wadiah yaitu harus adanya kecakapan hukum bagi kedua belah
pihak yang melakukan akad, objek wadiah merupakan milik sah pihak
penitip, dan kedua belah pihak diberikan kesempatan untuk membatalkan
akad sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.
3. Jenis-jenis akad wadiah, di mana wadiah terbagi dua, yaitu wadiah
amanah dan wadiah dhamanah.
4. Penjagaan atau perawatan barang, di mana barang wadiah harus dijaga
dengan baik agar tidak rusak atau pun hilang, pihak yang menerima titipan
tidak boleh memberikan barang titipan kepada orang lain. Apabila barang
yang disimpan tersebut dikhawatirkan tidak dapat bertahan lama, maka
penerima titipan dapat menjualnya bila penitip tak kunjung mengambil
barang titipannya, setelah dijual maka uang hasil penjualan tersebut harus
disimpan dengan baik, layaknya barang titipan tadi. Jika barang titipan
rusak dengan sendirinya, maka penerima titipan tidak harus bertanggung

13
jawab atas kerusakan tersebut, kecuali bila kerusakan yang timbul akibat
dari kelalaiannya.
5. Pengembalian barang titipan, barang titipan dapat diambil sesuai dengan
ketentuan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak, setiap biaya yang
harus dikeluarkan dari proses pengembalian barang, maka biaya tersebut
akan ditanggung oleh penitip.6

Kesemua aturan akad wadiah yang telah dibuat tersebut, bertujuan untuk


menjadikan akad wadiah semakin mudah untuk dipahami dan digunakan, serta
memudahkan dalam hal pengambilan keputusan terkait dengan barang titipan,
baik itu keputusan mengenai proses perawatan, kerusakan atau kehilangan barang,
pengembalian barang, dan berbagai keputusan lainnya yang berhubungan dengan
akad wadiah.
c. Implementasi di Lembaga Keuangan Syariah

Wadi’ah merupakan salah satu sumber modal dalam perbakan syariah.


Berdasarkan sumber modal yang terbesar selain modal dasar, maka wadi`ah dapat
dibagi kedalam, Wadi`ah Jariyah/Tahta Thalab dan Wadi`ah Iddikhariyah/Al-
Taufir keduanya termasuk kedalam titipan yang sifatnya biasa. Kedua simpanan
ini mempunyai karakteristik yaitu harta atau uang yang dititipkan boleh
dimanfaatkan, pihak bank boleh memberikan imbalan berdasarkan kewenangan
menajemennya tanpa ada perjanjian sebelumnya dan simpanan ini dalam
perbankan dapat disamakan dengan giro dan tabungan.

Prinsip Al-Wadiah dalam bank syariah merujuk pada perjanjian dimana


pelanggan menyimpan uang di bank dengan tujuan agar bank bertanggungjawab
menjaga uang tersebut dan menjamin pengembalian uang tersebut bila terjadi
tuntutan dari nasabah. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan prinsip wadiah
adalah semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut akan menjadi
milik bank (demikian pula sebaliknya). Sebagai imbalan bagi nasabah, si

6
https://www.ekituntas.com/2019/08/akad-wadiah-dalam-khes-kompilasi-hukum.html
(diunduh pada tanggal 3 Mei 2020 pukul 22.00 WIB)

14
penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap harta dan fasilitas-fasilitas giro
lain.

Berdasarkan pada aturan perundangan yang ditetapkan oleh BI, prinsip ini
teraplikasi dalam kegiatan penggalangan dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan yang meliputi :7

1. Giro
2. Tabungan
3. Deposito
4. Dan bentuk lainnya.
Adapun ketentuan umum dari prinsip ini adalah:

1. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi milik atau


tanggungan bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak
menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberi bonus kepada pemilik
dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak
boleh diperjanjikan di muka.
2. Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup ijin
penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama
tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro
bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro dan debit card.
3. Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan biaya administrasi
untuk sekedar menutupi biaya yang benar – benar terjadi.
4. Ketentuan – ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan
berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

Uraian diatas adalah ketentuan – ketentuan yang umumnya ada dalam produk
bank syariah yang menggunakan prinsip wadhi’ah. Dan untuk tiap produk
memiliki ketentuan – ketentuan khusus yang sedikit berbeda tapi umumnya sama.

7
 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Kencana Predana Media Group,
Jakarta, 2012, hal 284

15
Pada dunia perbankan, insentif atau bonus dapat diberikan dan hal ini menjadi
kebijakan dari bank bersangkutan. Hal ini dilakukan sebagai upaya merangsang
semangat masyarakat dalam menabung dan sekaligus sebagai indikator kesehatan
bank. Pemberian bonus tidak dilarang dengan catatan tidak disyaratkan
sebelumnya dan secara jumlah tidak ditetapkan dalam nominal atau persentasi.
Sehingga akad wadhi’ah yang dilakukan sah hukumnya. Hal ini sesuai dengan
pendapat ulama hanafi dan maliki.

Insentif dalam perbankan adalah merupakan banking policy dalam upaya


merangsang minat masyarakat terhadap bank, sekaligus sebagai indicator bank
terkait. Karena semakin besar keuntungan nasabah semakin efisien pula
pemanfaatan dana tersebut dalam investasi yang produktif dan menguntungkan.

Dalam aktivitas perbankan tentunya dana titipan dari nasabah tersebut


digunakan untuk aktivitas perbankan lainnya dengan ketentuan bank memberikan
jaminan atas simpanan tersebut dan mengembalikan pada nasabah bila
dikehendaki.

Tetapi dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan
prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat
menetapkan besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan
persentase. Aplikasinya dapat dilihat dalam skema berikut ini.8

BAB III
8
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dalam Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta,
2001, h. 88

16
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Wadi’ah yaitu titipan dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun
badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penyimpan
menghendakinya.
Keberadaan wadi’ah dalam perbankan syariah intinya adalah untuk
membersihkan penyimpanan maupun penginvestasian dana masyarakat sesuai
dengan apa yang telah digariskan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, sehingga kita
dapatkan apa yang telah Allah janjikan kelak diyaumil akhir dan terlepas dari azab
siksa kubur dan api neraka naujubillahi minzalik.

DAFTAR PUSTAKA

17
https://tafsirq.com/fatwa/dsn-mui/sertifikat-wadiah-bank-indonesia
Syafi’i Antonio, Muhammad . 2001. Bank Syariah Dalam Teori ke Praktik. Gema
Insani: Jakarta,
Narto.http://artikelterbaru.com/ekonomi/perbankan/penghimpunan-dana-prinsip-
wadiah-20111923.html

https://www.ekituntas.com/2019/08/akad-wadiah-dalam-khes
kompilasihukum.html

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Kencana Predana Media


Group, Jakarta, 2012, hal 284

18

Anda mungkin juga menyukai