suatu bidang.
Pekerjaan adalah kegiatan untuk mengganti waktu, kemampuan, dan tenaga kerja sesorang dengan
uang.
Media sosial yang tidak dikelola dengan baik oleh pemerintah hanya akan memberikan bom waktu di
tengah masyarakat yang relatif labil seperti Indonesia. Alih-alih menjadi sesuatu yang berbuah produktif,
keberadaan media sosial yang penetrasinya nyaris tanpa batas justru menghambat produktifitas
masyarakat dengan memunculkan penyakit sosial yang sifatnya endemik dan kasat mata karena
menyerang kondisi psikologis yang bersangkutan. Lebih buruknya lagi, keberadaan media sosial justru
dipandang sebagai cara baru dalam berkomunikasi dengan rakyat atau, parahnya, dijadikan salah satu
rujukan untuk mencari calon dan menentukan siapa yang bakal menjadi pimpinan nasional di kemudian
hari.
2. Kultur materialistik
Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu dampak negatif dari sejarah Nusantara yang dipenuhi kerajaan-
kerajaan adalah munculnya budaya materialistik di tengah masyarakat. Siapa yang tampil parlente, necis
dan glamor sontak dinilai sebagai sosok yang memiliki kualitas positif di atas rata-rata manusia
kebanyakan seperti lebih pintar, lebih kaya, lebih bijak, dan lebih bermoral alias beradab. Padahal,
tampilan tidak menjamin seseorang memiliki kualitas tertentu. Bias imaji personal ini tumbuh subur di
tengah masyarakat Indonesia karena begitu kuatnya pengaruh kultur materialistik yang ditawarkan oleh
praktik feodalisme di masa lalu.
Praktik hukum di Indonesia sangat lemah. Hukum lebih banyak berfungsi untuk kalangan masyarakat
menengah hingga akar rumput, dan semakin menumpul saat berhubungan dengan mereka yang lebih
berduit dan punya kekuasaan. Dalam penegakannya sekalipun, hukum lebih banyak bersifat tebang
pilih. Siapa yang menguntungkan secara publikasi akan langsung dijadikan komoditas politik, tanpa
mempedulikan langkah tersebut benar atau tidak.
Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa korupsi dan pungutan liar merupakan praktik yang umum
ditemui di tengah masyarakat, terutama saat berhubungan dengan mereka yang berada di bangku
birokrasi. Ini tidak ada hubungannya dengan kolonialisme yang dialami Nusantara selama hampir 3
abad, melainkan lebih karena kultur yang menginginkan kekayaan secara instan dan keinginan untuk
tampil mewah dibanding sesama.
Salah satu sektor krusial yang seringkali diremehkan oleh masyarakat Indonesia adalah pendidikan.
Bidang ini tidak dipandang sebagai pembuka jendela masa depan, dan sebagai gantinya hanya dilihat
sebagai sektor yang menghabiskan uang belaka. Kalaupun bersekolah, kebanyakan hanya memandang
sebagai jalan pintas menuju ketenaran dan kekayaan lewat berbagai macam gelar yang dimiliki.
Pandangan yang rendah terhadap dunia pendidikan membuat masyarakat relatif terbelakang dan tidak
memiliki penguasaan berarti terhadap teknologi dan berbagai cara untuk meningkatkan taraf hidup
rakyat.
Sampai kapan pun jua, sosok dan nama Soeharto akan selalu menjadi bahan cemooh mereka yang
menghendaki kebebasan mengeluarkan pendapat di negeri ini. Padahal, baik Soeharto maupun
Soekarno tidak banyak berbeda soal hal ini; sama-sama otoriter dan memberangus siapapun yang
menghalangi langkah politik mereka. Tumbangnya Orde Baru di tahun 1998 disertai pula oleh tingginya
partisipasi politik dan demokrasi masyarakat. Namun, hal tersebut tampaknya tidak menjadikan
pembangunan nasional berjalan dengan lancar. Keberadaan partai politik yang terlampau banyak serta
menjamurnya dan makin mudahnya bagi seseorang untuk mendirikan organisasi massa terbukti
kontraproduktif terhadap pembangunan manusia Indonesia itu sendiri dan kerap menimbulkan
kebingungan massal yang tiada guna.
Pergantian tampuk pemerintahan selalu dibarengi oleh pergantian skema pembangunan nasional. Lebih
buruk lagi, pergantian tersebut didefinisikan sebagai perubahan total (dan nyaris bertolak belakang) dan
berberbeda dari pemerintahan sebelumnya. Ada kalanya, program pembangunan yang ada tidaklah
matang – dan hanya bermodalkan sentimen agar berbeda dengan periode pemerintahan yang lalu. Hal
ini memperlihatkan rendahnya kedewasaan politik, dan juga menjadi pertanda bahwa partai politik
cenderung mengutamakan kepentingannya sendiri ketimbang menjalankan apa yang seharusnya
diberikan pada rakyat.
Ada tiga penyebab mengapa orang korupsi yaitu adanya tekanan (pressure), kesempatan (opportunity)
dan rasionalisasi (rationalization).
Korupsi (corruption) terjadi karena faktor kekuasaan (directionary) dan monopoli (monopoly) yang tidak
dibarengi dengan akuntabilitas (accountability).
Menurut teori ini korupsi bisa terjadi bila ada kesempatan akibat kelemahan sistem atau kurangnya
pengawasan dan keinginan yang didorong karena kebutuhan atau keserakahan.
Teori Cost Benefit Model
Teori ini menyatakan bahwa korupsi terjadi jika manfaat korupsi yang didapat atau dirasakan lebih besar
dari biaya atau risikonya.
Korupsi adalah hal yang konstan dalam masyarakat dan terjadi di semua peradaban.
Korupsi mewujud dalam berbagai bentuk serta menyebabkan berbagai dampak, baik pada ekonomi dan
masyarakat luas.
Berbagai penelitian maupun studi komprehensif soal dampak korupsi terhadap ekonomi dan juga
masyarakat luas telah banyak dilakukan hingga saat ini.
Di antara penyebab paling umum korupsi adalah lingkungan politik dan ekonomi, etika profesional dan
moralitas, serta kebiasaan, adat istiadat, tradisi dan demografi.
Korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi dan memengaruhi operasi bisnis, lapangan kerja, dan
investasi.
Korupsi juga mengurangi pendapatan pajak dan efektivitas berbagai program bantuan keuangan.
Tingginya tingkat korupsi pada masyarakat luas berdampak pada menurunnya kepercayaan terhadap
hukum dan supremasi hukum, pendidikan dan akibatnya kualitas hidup, seperti akses ke infrastruktur
hingga perawatan kesehatan.
Baca juga: Pernah Ada Kasus Korupsi, Tasikmalaya Tetap Dapat Bantuan Keuangan Tertinggi di Jabar
Secara ringkas, dampak masif korupsi dapat dirasakan dalam berbagai bidang antara lain :
Dampak ekonomi
Meski studi tentang korupsi terus berjalan, namun belum ada solusi pasti dalam memberantas korupsi
hingga saat ini.
Sebab, suatu cara menangani korupsi bisa efektif di satu negara atau di satu wilayah tapi belum tentu
berhasil di negara lain.