Anda di halaman 1dari 18

TAFSIR BI AL-RA’YI

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al-Qu’ran
yang Diampu Oleh Dr. H. Mohammad Zahid, M.Ag

Oleh :
YUSLIYADI
18380012043

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
NOVEMBER 2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Quran merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan utama.
Penggalian makna yang tersimpan didalam setiap ayat Al-Quran harus
dilakukan dengan usaha penafsiran yang mendalam dengan tetap mengacu
pada syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang mufassir dan tidak
melenceng dari ajaran Islam yang sebenarnya. Al-Quran secara teks mimang
tidak berubah, tapi penafsiran atas teks selalu berubah , sesusai dengan
konteks ruang dan waktu. Karenanya, Al-Quran selalu membuka diri untuk
dianalisis, dipersepsi dan diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai
alat, metode dan berbagai pendekatan untuk mengatahui isi dan kandungan
Al-Quran.
Banyak redaksi ayat-ayat Al-Quran tidak dapat dijangkau maksudnya
secara pasti, hal ini kemudian menimbulkan keanikaragaman penafsiran.
Karena kemampuan setiap orang dalam memahami Al-Qu’ran dan
ungkapan Al-Qu’ran tidak sama, sehingga terjadinya perbedaan daya nalar
diantara mereka ini adalah satu hal yang sangat mungkin terjadi. Itulah
sebabnya seorang dalam meraih kebenaran teks dan konteks sebuah ayat
membutuhkan sebuah ilmu pendukung lainnya. Dengan ilmu tersebut
seseorang bisa lebih mudah mengkaji dan memahami makna-makna Al-
Qu’ran apalagi mengenai ayat-ayat mutasyabbih.
Maka dalam makalah ini akan didiskripsikan salah satu cara atau
metode yang digunakan untuk lebih mudahnya memahami Al-Quran dengan
metode Al-Tafsir bi Ar-Ra’yi.

B. Masalah atau Topik Bahasan


Ada beberapa masalah yang akan diulas dalam makalah ini :
1. Pengertian tafsir bi Ar-Ra’yi.
2. Pembagian tafsir bi Ar-Ra’yi.
3. Kedudkan dan kelebihan tafsir bi Ar-Ra’yi.
4. Pandangan ulamak tentang tafsir bi Ar-Ra’yi..

2
5. Beberapa contoh kitab tafsir bi Ar-Ra’yi.
C. Tujuan penulisan makalah
1. Untuk mengetahui Pengertian tafsir bi Ar-Ra’yi?
2. Untuk mengetahui Pembagian tafsir bi Ar-Ra’yi?
3. Untuk mengetahui Kedudukan dan kelebihan tafsir bi Ar-Ra’yi?
4. Untuk mengetahui Pandangan ulamak tentang tafsir bi Ar-Ra’yi?
5. Untuk mengetahui Beberapa contoh kitab tafsir bi Ar-Ra’yi?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengetian Tafsir bi Ar-Ra’yi/bi Al-Dirayah.


Kata dirayah ( ‫ ) دراية‬berasal dari kata dara-yadri-daryan-
wadirayatan ( ‫ ) درى – يدري – دريا – ودراية‬yang artinya mengerti, mengetahui,
dan memahami. Kata dirayah merupakan sinonim dengan kata ra’yun (‫)رأي‬
yang berasal dari kata ra’a-yar’i-ra’yan-wa ru’yatan ( ‫ورؤية‬-‫رؤيا‬-‫يرئ‬-‫)رأى‬
yang berarti melihat (bashara), mengerti (adrakah), menyangka, mengira
atau menduga (hasibah). Kata al-ra’yu juga bisa diartikan dengan I’tikad,
akal pikiran, ijtihad dan bahkan qiyas (analogi). Itulah sebabnya mengapa
tafsir dirayah dinamakan pula dengan tafsir bi al-dirayah / bi al-ma’qul / bi
al-ra’yi / bi al-ijtihad.1 Bahkan menurut Syekh Muhammad Ali As-Shobuni
didalam kitab karangannya yang dimaksud atau yang diharapkan dengan al-
ra’yi adalah al-ijtihad.2
Adapun yang dimaksud dengan bi al-ra’yi adalah penafsiran al-quran
yang dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah mengenali lebih dahulu
bahasa arab dari berbagai aspeknya serta mengenali lafal-lafal bahasa arab
dan segi-segi argumentasinya yang dibantu dengan menggunakan syair-
syair serta mempertimbangkan sebab nuzul, dan lain-lain sarana yang
dibutuhkan oleh mufassir.3 Intinya, yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra’yi
adalah menafsirkan al-quran dengan lebih mengutamakan pendekatan
kebehasaan dari berbagai seginya yang sangat luas.
Tafsir bi al-ra’yi disebut juga dengan istilah tafsir bi al-ma’qul, tasfir
bi al-ijtihad atau tafsir bi al-istinbath yang secara selintas mengisyratkan
tafsir ini lebih berorentasi kepada penalaran ilmiah yang bersifat aqli
(rasional) dengan pendekatan kebahasaan yang menjadi dasar
penjelasannya. Itulah sebabnya mengapa para ulamak berbeda-beda
pendapat dalam menilai tafsir bi al-ra’yi. Akan halnya ijtihad yang
1
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2014), 350.
2
Moh. Ali As-Shobuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, ( Jakarta : Darul Kitab Al-Islamiyah 1999 ),
155.
3
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, 351.

4
memungkinkan hasilnya benar atau salah, maka tafsir bi al-ra’yi jugak
demikian adanya. Ada yang dianggap benar/tepat yang karenanya maka
layak dipedomani, tetapi ada juga yang dianggap salah atau menyimpang
dan karenanya maka harus dijauhi.
Mufassir yang menggunakan tafsir bi al-ra’yi ini harus berupaya agar
pendapatnya sesuai dengan al-quran. Dengan demikian, hasil penafsirannya
lebih dapat dipertanggungjawabkan. Ulamak salaf sangat berhati-hati dalam
menafsirkan sesuatu, mereka khawatir akan terjerumus ke dalam ijtihad
yang mazmum (tercela).4 Oleh sebab itu, banyak ulamak salaf yang menulis
kitab tafsir dari para pendahulu dengan cara mengutip tanpa disertai
penjelasan tambahan, seperti Abdurrazaq bin Abi Hatim dan Sufyan bin
Uyainah.
B. Pembagian Tafsir bi Ar-Ra’yi
Tafsir bi al-ra’yi merupakan hasil ijtihad mufassir. Apabila ijtihad
yang dilakukan didukung dengan syarat-syarat yang dibutuhkan, ijtihad
tersebut adalah ijtihad yang baik. Sebaliknya, apabila ijtihad dilakukan
tanpa didukung syarat-syarat yang dibutuhkan, ijtihad tersebut adalah ijtihad
yang tidak baik.
Menafsirkan al-quran merupakan ikhtiar untuk menemukan petunjuk
al-quran. Dalam berikhtiar, ada dua ulamak yang menggunakan seperangkat
ilmu meng-istinbath-kan petunjuk-Nya. Disisi lain, ada pula yang
mengandalkan pendapatnya tanpa didukung ilmu. Maskipun demikian,
tujuannya sama yaitu menemukan pesan-pesan yang dikomunikasikan Alloh
SWT. Dengan kata lain, upaya mufassir yang tidak berdasarkan al-quran,
hadist dan ijmak tergolong tafsir bi al-ra’yi.5
Tafsir bi al-ra’yi dibedakan menjadi dua, yaitu tafsir bi al-ra’yi al-
mahmud dan tafsir bi al-ra’yi al-madzmum.

1. Tafsir bi al-ra’yi al-mahmud

4
Musa’id Sulaiman Ath-Thayyar, Fushul fi Ushul At-Tasfir, ( Riyadh : Dar An-Nasyr Ad-Dauli
1993 ), 47.
5
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, ( Jakarta : Amzah 2014 ), 163.

5
a. Pengertian Tafsir bi al-ra’yi al-mahmud
Tafsir bi al-ra’yi al-mahmud adalah ikhtiar untuk menemukan
pemahaman al-quran dengan menggunakan berbagai pengatahuan, seperti
ilmu bahasa arab atau ilmu-ilmu yang lain.6
Contoh tafsir bi al-ra’yi al-mahmud adalah istibath dan ijtihad yang
dihasilkan oleh sahabat dan tabi’in. sehubungan dengan itu, Abu Bakar Ash-
Shiddiq ditanya tentang al-kalalah (orang meninggal yang tidak mempunyai
anak dan orang tua). Ia menjawab “aku berpendapat dengan ijtihad. Apabila
itu benar, semata-mata dari Alloh. Akan tetapi, apabila itu salah, itu murni
dariku dan dari syetan.
Ijtihad yang dilakukan oleh sahabat seperti Abu Bakar merupakan
tafsir bi al-ra’yi al-mahmud karena berdasarkan pengatahuan yang
memadai.
b. Hukum Tafsir bi al-ra’yi al-mahmud
Menurut ulamak, boleh menafsirkan ayat-ayat al-quran berdasarkan
bahasa dan nilai-nilai syariat. Hal itu dilandasi olet ayat berikut.
‫ولقد يسرنا القر أن للذكر فهل من مدكر‬
Artinya : dan sungguh, telah kami mudahkan al-quran untuk
peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran? ( QS.
Al-Qamar (54) : 17 )
Di samping itu, ada ayat lain yang menganjurkan kita ber-istinbath
untuk menemukan solusi.
‫ولوردوه إلى الرسول وإلى أولى األمر منهم لعلمه الذين يستنبطونه منهم‬
Artinya : (padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengatahui kebenarannya (akan dapat) mengatahuinya (secara resmi)
dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). (QS. An-Nisa’ (4) : 83)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa mufassir dapat berijtihad mengenai
sebagian ayat al-quran dengan pengatahuan yang dimilikinya.
Sementara itu banyak sahabat yang menafsirkan ayat al-quran dengan
menggunakan kemampuan mereka. Hal itu menunjukkan bahwa tafsir bi ar-
ra’yi hukumnya boleh. Sementara itu, Abdullah bin Abbas banyak
menafsirkan ayat al-quran dengan alat bantu berupa syair-syair arab.
6
Al-Qurtubi, Jami’ li Ahkam Al-quran, (Tafsir Al-Qurtubi), juz I, (Kairo : Dar Al-Kutub Al-
Mishiriyah 1994), 34.

6
Dengan demikian, Ibnu Taimiyah menyatakan, “orang yang
membicarakan tafsir dengan didasari pengatahuan tentang bahasa arab dan
syariat, tidak ada dosa baginya”.7
c. Syarat Diterimanya Tafsir bi al-ra’yi al-mahmud
Untuk menafsirkan al-quran dengan menggunakan ijtihad, seorang
mufassir harus memenuhi beberapa syarat agar hasil tafsirnya dapat
diterima. Berikut ini syarat-syarat diterimanya Tafsir bi al-ra’yi al-mahmud
:
1. Memiliki kutipan dari Rasululloah SAW. yang terjaga dari riwayat dha’if
dan mawdhu’.
2. Berpegang pada pendapat sahabat. Pendapat tersebut berkedudukan
hokum marfu’, terlebih lagi yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat.
3. Berpengang pada kemutlakan bahasa.
4. Berpegang pada petunjuk yang diisyaratkan oleh strukutur kalam dan
berpegang pada hal-hal yang ditunjukkan oleh syariat.
2. Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum
a. Pengertian Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum
Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum adalah tafsir yang menggunakan
pendapat semata, mengikuti hawa nafsu, tidak menggunakan ilmu, dan tidak
melihat pendapat ulamak lain atau pendapat yang sesuai dengan ketentuan.
Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum dilarang oleh ulamak salaf. Pelakunya
dikecam karena tafsir itu dilakukan atas dasar kefanatikan terhadap suatu
mazdhab dan mengurbankan agama.8 Dengan kata lain, jika menafsirkan al-
quran hanya berdasarkan hawa nafsu atau kepentingan individu dan sebuah
pihak, ikhtiar tersebut termasuk Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum yang harus
ditolak.
b. Kemunculan Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum
Tafsiri ini pada mulanya digunakan ulamak untuk membela mazhab
yang diikuti. Selanjutnya mereka, mencari-cari sejumlah ayat Al-quran
dapat menguatkan pendapat mereka. Tidak hanya itu, meraka bahkan
memaksakan ayat-ayat al-quran sesuai dengan mazhab yang diikuti.
7
Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul Al-Tafsir, (Bairut : Dar Ibnu Hazm, 1994), 107.
8
Musa’id Sulaiman Ath-Thayyar, Fushul fi Ushul At-Tasfir, 47.

7
Tafsir bi al-ra’yi sebenarnya telah muncul sejak masa sahabat. Ketika
itu belum muncul bermacam-macam mazhab serta wilayah kekuasaan Islam
belum begitu luas sehingga tafsir tafsir belum diwarnai dengan beragam
kepentingan. Namun, waktu terus berjalan dan mazhab yang dianggap
menyimpangpun muncul. Hal itu mengakibatkan al-quran ditafsirkan
dengan ijtihad yang menyimpang serta tidak menggunakan tinjauan
kebahasaan yang benar. Oleh sebab itu, muncullah istilah Tafsir bi al-ra’yi
al-madzmum.
c. Hukum Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum
Hukum Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum itu haram dan hasilnya tidak
boleh di praktekkan karena banyak memberikan mudarat dan bahkan
menyesatkan manusia.
Ibnu Taimiyah menyatakan, “menfsirkan al-quran hanya berdasarkan
ijtihad hukumnya haram, ia juga berpendapat, diriwayatkan dari ulamak
bahwa sahabat sangat hati-hati dalam menafsirkan al-quran”.9 Lebih lanjut
ia menyatakan, barang siapa yang menafsirkan al-quran dengan
pendapatnya sendiri, ia telah memaksakan sesuatu yang tidak dia ketahui
dan melakukan perbuatan yang tidak diperintahkan. Apabila ia memperoleh
makna yang tepat, ia tetap melakukan kesalahan. Ia bagaikan seorang hakim
yang memberikan keputusan pada seseorang, sementaraia sendiri tidak
mengerti isi keputusan tersebut. Dengan demikian nerakalah yang lebih
pantas baginya, maskipun pendapatnya sesuai dengan syariat, hanya saja
dosanya lebih ringan daripada mereka yang salah.10
Oleh sebab itu, ulamak salaf merasa bersalah apabila menafsirkan al-
quran tanpa ilmu. Hal ini sebagaimana ungkapan Abu Bakar, Bumi
manakah yang akan menjadi tempat tinggalku dan langit manakah yang
akan menaungiku apabila aku menjelaskan tentang kitab Alloh dengan hal-
hal yang tidak aku ketahui.
Berikut ini adalah alasan-alasan yang menunjukkan haramnya tafsir bi
al-ra’yi al-madzmum.
1. Dalil dari Al-Quran
9
Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul Al-Tafsir, 96.
10
Ibid.

8
‫وال تقف ماليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسؤال‬
Artinya : dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu
ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu
akan diminta pertanggung jawabannya. (QS. Al-Isra’ (17) : 36)

‫إنما يأمركم بالسوء والفحشاء وأن تقولوا على هللا ماال تعلمون‬
Artinya : sesungguhnya (syetan) itu hanyalah menyuruh
kamu agar berbuat jahat dan keji, dan mengatakan apa yang
tidak kamu ketahui tentang Alloh. (QS. Al-Baqarah (2) :
169)

‫باالبينات والزبر… وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس مانزل إليهم ولعلهم يتفكرون‬
Artinya : (mereka kami utus) dengen membawa keterangan-
keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan Al-Dzikr
(al-quran) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.
(QS. An-Nahl (16) : 44 )

2. Dalil dari Hadist


‫من قال في القرأن بغير علم فليتبوأ… مقعده من النار‬
Artinya : barang siapa yang mengatakan sesuatu tentang al-
quran tanpa didasari pengatahuan, hendaknya ia memepati
tempatnya di neraka. (HR. At-Tirmidzi)

‫ فقد أخطاء‬،‫ فى كتاب هللا عز وجل برأيه فأصاب‬: ‫من قال‬


Artinya : Barang siapa yang berkata sesuatu mengenai kitab Alloh
Azza Wajalla dengan pendapatnya sendiri dan sesuai dengan yang
benar, sungguh ia telah melakukan kesalahn. (HR. Abu Dawud)

3. Pendapat Sahabat
Dari Anas dia berkata bahwa Umar bin Al-Khathtab berada diatas
mimbar membaca ayat “wa fakihatan wa abban (QS. Abasa (80) : 31).”
Ia mengungkapkan, kita telah mengatahui arti al-fakihah. Akan tetapi,
apa arti dari al-abba? Ia kemudian mengembalikan kepada dirinya dan
berujar, sesungguhnya ini merupakan pemaksaan wahai Umar. Dari Ibnu
Abi Mulaikah bahwa Ibnu Abbas ditanya btentang suatu ayat, seandainya
sebagian diantara kalian yang ditanya, niscaya bergegas untuk

9
berpendapat tentang ayat tersebut. Akan tetapi (Ibnu Abbas) tidak mau
berpendapat tentang ayat tersebut.11
4. Pendapat Tabi’in
Masruq berkata takutlah kamu tentang tafsir. Sesungguhnya tafsir itu
menyampaikan riwayat tentang Alloh. Selain itu Asy-Sya’bi berujar, Demi
Alloh, semua ayat telah aku tanyakan. Akan tetapi, menjelaskan tentang
pemahaman ayat sama artinya dengan menyampaikan riwayat (penjelasan
dari) Tuhan.12
Pernyataan Masruq dan Asy-Sya’bi menunjukkan bahwa menafsirkan
al-quran sama artinya dengan menjadi juru bicara Alloh SWT. Akan tetapi,
tafsir yang disampaikan belum tentu sesuai dengan keinginan Alloh
sehingga hal itu menunjukkan bahwa tidak sepantasnya manusia
memberikan penjelasan tentang maksud-Nya yang ia sendiri belum pernah
mendengar penjelasan langsung dari-Nya.
Disamping itu Yazid bin Abi Yazid berkata, kami selalu menanyakan
tentang halal dan haram kepada Sa’id bin Al-Musayyab karena ia orang
yang paling alim pada masanya. Akan tetapi, apabila kami menanyakan
tentang tafsir al-quran kepadanya, ia terdiam seolah-olah tidak mendengar
pertanyaan kami.13
C. Kedudukan, Kelebihan dan Kelemahan Tafsir bi Al-Ra’yi
Tafsir bi Al-Ra’yi memiliki peran penting dalam mengembangkan
khazanah intlektual Islam. Berikut ini penjelasannya :
1. Kedudukan Tafsir bi Al-Ra’yi
Tujuan tafsir adalah memenuhi kebutuhan ummat terhadap
pemahaman kitab Alloh dan menjelaskan hal-hal yang belum dapat
dipahami. Apabila tidak ditemukan riwayat, mufassir dituntut untuk
berijtihad. Sehubungan dengan itu, yang mula-mula menafsirkan al-quran
dengan ijtihad adalah madrasah kufah yang dipelopori oleh Abdullah bin
Mas’ud.

11
Ibnu Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, juz 1, (Bairut : Mu’assaah Al-Risalah, 2000), 63.
12
Ibid., 87.
13
Ibid., 86.

10
Tidak seluruh ayat al-quran ditafsirkan oleh generasi awal. Oleh sebab
itu, Tafsir bi Al-Ra’yi memiliki peran yang sangat penting untuk
menjelaskan ayat-ayat yang belum ditafsirkan. Tidak hanya itu, Tafsir bi Al-
Ra’yi mampu menyuguhkan pemahaman baru sehingga al-quran dapat tetap
berlaku sepanjang masa.
2. Kelebihan Tafsir bi Al-Ra’yi
Madrasah kufah jauh dari pusat Islam. Oleh sebab itu, madrasah
tersebut fokus pada tafsir bi Al-Ra’yi. Selanjutnya, Tafsir bi Al-Ra’yi
memiliki beberapa kelebihan, sebagai berikut :
a. Melakukan Tafsir bi Al-Ra’yi sama saja melakukan perintah Alloh
SWT., yaitu bertihad.
b. Tafsir bi Al-Ra’yi merupakan upaya untuk mengetahui makna-makna
kitab Alloh SWT.
c. Tafsir bi Al-Ra’yi menjadikan disiplin ilmu al-quran terus berkembang.
d. Tafsir bi Al-Ra’yi dapat mengadaptasikan al-quran sesuai dengan
kehidupan masa kini.
e. Para mufassir dapat menafsirkan seluruh komponen ayat-ayat al-quran
secara dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengatahuan dan
teknologi.
Dengan kata lain, mufassir boleh berijtihad untuk memproleh
pemahaman baru serta meng-istinbath-kan makna dan hikmah al-quran.
Sehubungan dengan itu, Abdullah Syahatah menyatakan bahwa
terpengaruhnya tafsir dengan disiplin ilmu yang digeluti mufassir bukanlah
sesuatu yang negatif selama tidak menjadikan al-quran hanya sebagai kitab
pengatahuan.14 Dengan demikian, segala bentuk ijtihad yang tidak membuat
manusia berpaling dari al-quran tidaklah dilarang.
Sedangkan sebagian kelemahan Tafsir bi Al-Ra’yi terutama terdapat
pada kemungkinan penafsiran Al-quran yang dipaksakan, subjektif dan pada
hal-hal tertentu mungkin sulit dibedakan antara pendekatan ilmiah yang
sesungguhnya dengan kecendrungan subjektivitas mufassirnya. Terus
diantara mufassir kadang ada yang menulis tafsirnya dengan ungkapan yang
14
Abdullah Syahatah, Ulum At-Tafsir, ( Dar Asy-Syuruq, 2001 ), 27.

11
indah dan menyusupkan mazhabnya kedalam untaian kalimat yang dapat
memperdaya banyak orang sebagaimana yang dilakukan penulis tafsir Al-
Kasysyaf dalam menyisipkan faham ke-mu’tazilah-annya.15 Sekalipun
diantara mereka terdapat juga ahli kalam yang men-ta’wilkan ayat-ayat sifat
dengan selera mazhabnya. Golongan ini lebih dekat ke mazhab Ahlu
Sunnah Wal Jama’ah dari pada ke Mu’tazilah. Akan tetapi jika mereka
membawakan penafsiran yang bertentangan dengan mazhab sahabat dan
tabi’in, maka sebenarnya mereka tidak ada bedanya dengan mu’tazilah dan
ahli bid’ah lainnya.
D. Pandangan ulamak Tentang Tafsir bi Al-Ra’yi
Ulamak berbeda pendapat mengenai tafsir bi Al-Ra’yi. Ada yang
menerima dan ada pula yang menolak. Ulamak yang menerima tafsir bi Al-
Ra’yi memiliki sejumlah alasan, berikut ini alasan-alasan tersebut :
1. Banyak ayat al-quran yang mendorong manusia agar mau mempelajari
al-quran kemudian meng-istinbath-kan makna-maknanya, diantaranya
ayat berikut :
‫أفال يتدبرون القرأن ولوكان من عند غيرهللا لوجدوا فيه اختالفا كثير‬
Artinya : maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau
kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Alloh, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak didalamnya. ( QS. An-Nisa’ (4) : 82 )

‫كتاب أنزلناه إليك مبارك ليتدبروا أياته وليتذكر… أولوا األلباب‬


Artinya : ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh
dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan
supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.
( QS. Shad (38) : 29 )
2. Apabila tafsir bi Al-Ra’yi terlarang, berarti ijtihad dalam hal apapun juga
terlarang. Jika demikian, hukum mengalami kejumudan.16 Akan tetapi,
kenyataannya ijtihad itu diperintahkan, termasuk ijtihad tentang makna-
makna al-quran.
3. Dikalangan para sahabat sering terjadi perbedaan penafsiran, maskipun
al-quran yang mereka baca itu sama. Sehubungan dengan itu, perlu
diketahui bahwa tidak seluruh tafsir Nabi Muhammad SAW. Mengenai
15
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu Al-Quran, (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), 488.
16
Khalid Abdurrahman, Ushul At-Tafsir wa Al-Qawa’idih, (Damaskus : Dar An-Nafa’is, 1986),
169.

12
al-quran sampai ke semua sahabat. Oleh karena itu, selebihnya mereka
berijtihad.17 Dengan banyaknya perbedaan diantara sahabat,
menunjukkan diperkenankannya menafsirkan al-quran dengan ijtihad.
4. Doa Nabi Muhammad SAW. Kepada Ibnu Abbas.
‫اللهم فقهه يف الدين وعلمه التأويل‬

Artinya : wahai Alloh, berilah ia pemahaman (agama) dan ajarilah ia


takwil (al-quran). (HR. Ahmad).
Apabila takwil hanya boleh berdasarkan kutipan dari Nabi
Muhammad SAW. Seperti ayat-ayat al-quran, doa beliau kepada Ibnu
Abbas menjadi tidak berguna. Dengan kata lain, kita boleh
menafsirkan berdasarkan ijtihad.
Sementara itu, ulamak yang menulak tafsir bi Al-Ra’yi memiliki
sejumlah alasan tersendiri. Berikut ini alasan-alasan tersebut :
1. Tafsir bi Al-Ra’yi merupakan interpretasi kalam Alloh tanpa dilandasi
pengatahuan. Hal itu dilarang karena mufassir memberikan penjelasan
tanpa adanya keyakinan.18 Dengan kata lain, mufassir memberikan
penjelasan dengan keraguan, padahal keraguan tidak dapat dijadikan
argument.
2. Berpendapat harus dilandasi pengatahuan. Hal ini disebutkan dalam dua
ayat berikut.
‫وال تقف ماليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسؤال‬

Artinya : dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu


ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu
akan diminta pertanggung jawabannya. ( QS. Al-Isra’ (17) : 36 )
‫قل إنما حرم ربي الفواحش ما ظهر منها وما بطن واإلثم والبغي بغير الحق وأن تشركوا باهلل‬
‫مالم ينزل به سلطانا وأن تقولوا على هللا ماال تعلمون‬
Artinya : Katakanlah Muhammad, Tuhanku hanya mengharamkan
segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersmbunyi, perbuatan
dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan)
kamu mempersekutukn Alloh dengan sesuatu, sedangkan dia tidak
menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu
membicarakan tentang Alloh apa yang tidak kamu ketahui. (QS. Al-
A’raf (7) : 33)

17
Ibid., 170.
18
Ibid., 168.

13
3. Berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW. Tidak boleh menafsirkan al-
quran tanpa pengatahuan.
‫ومن قال فى القرأن برأيه فليتبوأ مقعده من النار‬
Artinya : Barang siapa yang mengatakan sesuatu tentang al-quran tanpa
didasari pengatahuan, hendaknya ia menempati tempatnya di neraka.
(HR. At-Tirmidzi)
‫ومن قال فى القرأن برأيه فأصاب فقد أخطاء‬
Artinya : Barang siapa yang mengatakan sesuatu tentang al-quran
berdasarkan pendapatnya sendiri dan sesuai dengan yang benar, sungguh
ia telah melakukan kesalahan. (HR. Abu Dawud)
Berdasarkan penjabaran mengenai ulamak yang menerima atau
menulak tafsir bi al-ra’yi, dapat disimpulkan bahwa perbedaan mereka
hanya bersifat lafzhi, bukan bersifat haqiqi, tafsir bi al-ra’yi diperbolehkan
apabila sesuai dengan kaidah. Sebaliknya tafsir bi al-ra’yi tidak
diperbolehkan apabila tidak sesuai dengn kaidah.19
E. Beberapa contoh kitab tafsir bi Ar-Ra’yi
Beberapa contoh kitab tafsir bi Ar-Ra’yi yang sangat besar
mamfaatnya bagi perkembangan ilmu tafsir, diantaranya sebagai berikut :
a. Mafatih al-Ghaib (kunci-kunci keghaiban) juga umum disebut dengan
al-Tafsir al-Kabir, karangan Muhammad al-Razi Fakhr al-Din (554-604
H / 1149-1207 M), sebanyak 17 jilid sekitar 32000-36200 halaman tidak
termasuk indeks.
b. Tafsir Al-Jalalayn (tafsir dua orang jalal), karya jalal al-Din al-Mahalli
(w. 544-604 H/1149-1207 M) dan Jalal al-Din Abd. Al-Rahman al-
Sayuthi (w. 849-911 H/1445-1505 M)
c. Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil ( sinar al-quran dan rahasia-rahasia
penakwilannya ), buah pena al-Imam al-Qadhi Nasir al-Din abi Sa’ed
Abdulloh Ali Umar bin Muhammad al-Syarazi al-Baidhawi ( w.
791/1388 M )
d. Ruh al-Ma’ani (jiwa makna-makna al-quran), dengan muallif
(pengarang) al-Alamah Syihab al-Din al-Alusi (w. 1270 H/1853 M)

19
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, 160-161.

14
e. Gharib Al-Quran wa Ragha’ib al-Furqan (kata-kata asing dalam Al-
Quran dan yang menggelitik dalam al-Furqan), karya Nizam al-Din al-
Hasan Muhammad al-Nyasaburi (w. 728 H/1328 M)
f. Zad al-Masir fi Ilm al-Tafsir (bekal perjalan dalam ilmu tafsir), setebal
2768 halaman dalam 8 jilid hasil uusaha al-Imam al-Abi Faraj Jamal al-
Din Abd. Al-Rahmati bin Ali bin Muhammad al-Jawazi al-Qurayzi al-
Baghdadi (597 H/1200 M)
g. Irsyad al-Aql al-Salim ila Mazaya Al-Quran al-Karim (petunjuk akal
yang selamat menuju kepada keistimawaan Al-Quran yang mulia) tulisan
Abu al-Sa’ud Muhammad bin Muhammad Musthafa al-Ammadi (w. 951
H/1544 M)
h. Tafsir al-Khozin lebih populer dengan nama Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani
al-Tanzil (pilihan penakwilan tentang makna-makna Al-Quran), susunan
A’la al-Din Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi yang lebih
myashur dengan panggilan al-Khozin (w. 544-604 H/1149-1207 M) tafsir
ini terdiri atas 4 jilid dengan tebal halaman antara 2160-4400.
i. Al-Tibyan fi Tafsir Al-Quran (keterangan dalam menafsirkan Al-Quran),
karya Al-Imam Al-Syekh Ismail Haqiqi al-Barusawi (w. 1137 H/1724
M), setebal 10 jilid dengan jumalah halaman sekitar 4400.20
Serta masih banyak lagi kitab-kitab tafsir bi Al-Ra’yi lainnya yang
sangat penting untuk dikaji.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

20
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, 357.

15
Dari beberapa penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya
pada saat ini rupanya sangat sulit untuk memahami fenomena-fenomena
tanpa adanya fenomena yang terjadi dimasa-masa awal ketika Al-Quran
diturunkan. Jika kita rasakan sepertinya wahyu sangat terasa membumi
ketika awal-awal Al-Quran diturunkan dan Rasul beserta sahabatnya masih
hidup, karena rujukan dan sumbernya dapat ditemukan langsung. Tetapi hal
ini tidaklah menjadi suatu penghalang dalam melihat dan menganalisis Al-
Quran.
Adapun yang dimaksud dengan bi al-ra’yi adalah penafsiran al-quran
yang dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah mengenali lebih dahulu
bahasa arab dari berbagai aspeknya serta mengenali lafal-lafal bahasa arab
dan segi-segi argumentasinya yang dibantu dengan menggunakan syair-
syair serta mempertimbangkan sebab nuzul, dan lain-lain sarana yang
dibutuhkan oleh mufassir. Intinya, yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra’yi
adalah menafsirkan al-quran dengan lebih mengutamakn pendekatan
kebehasaan dari berbagai seginya yang sangat luas (ijtihad).
Tafsir bi al-ra’yi disebut juga dengan istilah tafsir bi al-ma’qul, tasfir
bi al-ijtihad atau tafsir bi al-istinbath yang secara selintas mengisyratkan
tafsir ini lebih berorentasi kepada penalaran ilmiah yang bersifat aqli
(rasional) dengan pendekatan kebahasaan yang menjadi dasar
penjelasannya. Itulah sebabnya mengapa para ulamak berbeda-beda
pendapat dalam menilai tafsir bi al-ra’yi. Akan halnya ijtihad yang
memungkinkan hasilnya benar atau salah, maka tafsir bi al-ra’yi jugak
demikian adanya. Ada yang dianggap benar/tepat yang karenanya maka
layak dipedomani, tetapi ada juga yang dianggap salah atau menyimpang
dan karenanya maka harus dijauhi.
B. Saran
Kritik konstruktif sangat penulis harapkan demi kemajuan dan
perkembangan penulis kedepannya khususnya dibidang studi Al-Qu’ran.
Siapa yang berkata dengan berdasarkan Al-Qu’ran pasti benar, siapa
yang berhukum dengan Al-Qu’ran pasti adil, siapa yang beramal dengan

16
berdasarkan Al-Qu’ran pasti diberi pahala, dan siapa yang menyeru orang
lain kepada Al-Quran pasti diberi hidayah ke jalan yang lurus.

Daftar Pustaka

17
Amin Suma Muhammad, Ulumul Qur’an, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada 2014.
Ali As-Shobuni Muhammad, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, Jakarta : Darul
Kitab Al-Islamiyah 1999.

Ath-Thayyar Musa’id Sulaiman, Fushul fi Ushul At-Tasfir, Riyadh : Dar


An-Nasyr Ad-Dauli 1993.
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta : Amzah 2014.

Al-Qurtubi, Jami’ li Ahkam Al-quran, (Tafsir Al-Qurtubi), juz I, Kairo : Dar


Al-Kutub Al-Mishiriyah 1994.

Taimiyah Ibnu, Muqaddimah fi Ushul Al-Tafsir, Bairut : Dar Ibnu Hazm,


1994.

Ath-Thabari Ibnu Jarir, Tafsir Ath-Thabari, juz 1, Bairut : Mu’assaah Al-


Risalah, 2000.

Syahatah Abdullah, Ulum At-Tafsir, Dar Asy-Syuruq, 2001.

Al-Qattan Manna’ Khalil, Studi Ilmu Al-Quran, Bogor : Pustaka Litera


Antar Nusa, 2013.
Abdurrahman Khalid, Ushul At-Tafsir wa Al-Qawa’idih, Damaskus : Dar
An-Nafa’is, 1986.

18

Anda mungkin juga menyukai