permasalahan hukum, dan terkadang sebuah perkara juga ada ranah hukum perdata dan juga ada ranah
hukum pidananya.Di samping itu, hukum perdata sering juga disebut sebagai hukum sipil, akan tetapi
untuk menghindari term “sipil” erat kaitannya dengan istilah militer maka lebih baik menggunakan saja
istilah hukum perdata.Hukum perdata dikatakan sebagai induk dari bidang-bidang hukum, oleh karena
masih banyak pembagian-pembagiannya seperti Hukum Perkawinan, Hukum Jaminan, Hukum Tata
Ruang, Hukum Kontrak, Hukum Agraria, Hukum Notaris, dan masih banyak lagi pembagiannya. Dengan
demikian tanpa menguasai dasar-dasar hukum perdata sebagai fondasi hukum maka akan kesulitan
untuk memahami beberapa bagian hukum perdata lainnya.Setidaknya pembagian Hukum Perdata
menurut ilmu hukum sekarang ini lazim di bagi empat (lih: Subekti, 2003: 16) yaitu:Hukum tentang diri
seseorang.Hukum kekeluargaan.Hukum kekayaan.Hukum warisan.Ataukah dengan bersandar pada
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) maka akan diketemukan berbagai
permasalahan hukum perdata beserta pengaturannya
Hukum pidana adalah norma atau aturan hukum yang di dalamnya terdapat sanksi berupa pidana.
- Larangan, yakni orang tidak boleh melakukan suatu perbuatan tertentu, kalau melakukan dapat
dijatuhi sanksi pidana.
- Keharusan, yakni orang harus melakukan suatu perbuatan tertentu, kalau tidak melakukan dapat
dijatuhi sanksi pidana.
Sanksi pidana adalah hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang telah melakukan pelanggaran
terhadap norma atau aturan hukum. Sanksi pidana dapat dikenakan pada nyawa (pidana mati),
kemerdekaan (pidana penjara, kurungan, dan tutupan), atau harta benda (denda, ganti rugi). Sanksi
pidana bersifat khusus, karena lapangan hukum lain tidak mengenal sanksi seperti sanksi pidana ini.
2. Khusus, yakni melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memaksanya.
Kepentingan hukum dapat milik Negara, masyarakat, korporasi maupun orang perorangan.
1. Tertulis, yakni sumber hukum pidana yang berupa peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh
lembaga Negara yang berhak membuat peraturan hukum.
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai sumber hukum pidana tertulis yang utama.
2. Tidak tertulis, yakni kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu sehingga
menjadi suatu peraturan hukum pidana adat. Keberadaan hukum pidana adat diakui dengan masih
berlakunya Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No. 1 Tahun 1951.
- Hukum pidana umum: hukum pidana yang berlaku untuk siapa saja (sipil dan militer).Contoh:
KUHP (Buku I KUHP: Ketentuan Umum, yakni Pasal 1- Pasal 85), UU No.15 Tahun 2003 tentang
Terorisme.
- Hukum pidana khusus: hukum pidana yang hanya berlaku untuk golongan militer. Contoh: KUHP
Militer, KUHP Buku II: Kejahatan, KUHP Buku III: Pelanggaran dan semua peraturan perundangan di luar
KUHP.
- Hukum pidana formil (in concreto): hukum pidana yang berisi aturan cara-cara Negara
melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana. Hukum pidana formil untuk menegakkan hukum
pidana materiil.
- Hukum pidana nasional: hukum pidana yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia, yang berbentuk
Undang-Undang.
- Hukum pidana lokal: hukum pidana yang berlaku untuk daerah tertentu saja, yang berbentuk
perda.
- Hukum pidana internasional: hukum pidana yang berlakunya antarnegara (transnasional), yang
berbentuk traktat multilateral maupun bilateral.
- Hukum pidana dikodifikasikan: hukum pidana yang disusun dalam suatu buku kodifikasi menurut
sistem-sistem tertentu. Contoh: KUHP. KUHP Militer.
- Hukum pidana tidak dikodifikasikan: uhukum pidana di luar kodifikasi, yakni semua peraturan
perundangan pidana di luar kodifikasi.
1. Publik: dalam mempertahankan hukum tersebut di dalamnya negara harus terlibat secara aktif,
tanpa diminta oleh pihak-pihak yang berurusan .
2. Privat: keterlibatan negara baru terjadi apabila pihak-pihak memang menghendaki untuk
menyelesaikan masalah hukum dengan melibatkan negara. Dalam hukum privat, negara berperan pasif.
Contoh: hukum perdata.
F. SANKSI PIDANA
Sanksi pidana adalah nestapa yang sengaja diberikan kepada pelaku tindak pidana yang memenuhi
syarat-syarat tertentu, yang dijatuhkan oleh hakim Negara.
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Kurungan
d. Denda
2. Pidana tambahan:
Putusan hakim bagi pelaku tindak pidana berupa tindakan (maatregel), dijatuhkan kepada pelaku tindak
pidana di bawah umur atau anak-anak. Putusan berupa pengembalian anak kepada kedua orang tuanya
atau diserahkan kepada Negara.
G. TUJUAN PEMIDANAAN
Pemidanaan adalah pemberian sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana yang memenuhi syarat-syarat
tertentu.
Tujuan: melindungi masyarakat dari perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana.
1. Teori absolut/pembalasan: pelaku tindak pidana dijatuhi sanksi pidana sebagai pembalasan atas
perbuatan yang telah dilakukan.
2. Teori relatif/tujuan: pelaku dijatuhi sanksi pidana untuk menegakkan tata tertib dalam masyarakat,
agar masyarakat takut dan tidak melakukan tindak pidana.
- Kejahatan diancam dengan sanksi pidana mati atau penjara. Peraturan perundangan dalam KUHP
terdapat pada Buku II. Peraturan perundangan di luar KUHP contohnya UU No. 8 Tahun 2010 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang
- Pelanggaran diancam sanksi pidana kurungan atau denda. Peraturan perundangan dalam KUHP
terdapat pada Buku III. Peraturan perundangan di luar KUHP contohnya UU No. 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Perbedaan jenis tindak pidana ini didasarkan pada kriteria kuantitatif, yaitu kejahatan diancam sanksi
pidana yang lebih berat dari pada pelanggaran.
- Tindak pidana formil: tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan pada perbuatan yang
dilarang. Tindak pidana tersebut selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam
rumusan tindak pidana dalam pasal.
UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 (Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
- Tindak pidana materiil: tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan pada akibat yang
dilarang. Tindak pidana ini selesai apabila akibat yang dilarang telah terjadi.
- Tindak pidana Culpa : Tindak pidana yang dilakukan dengan unsur alpa (Pasal 195, 201, 359, 360
KUHP).
- Tindak pidana dengan berbuat (comissionis) : tindak pidana yang dilakukan dengan berbuat aktif
secara fisik yang melanggar aturan hukum pidana yang bersifat larangan (Pasal 338, 351, 362 KUHP).
- Tindak pidana tidak berbuat (omissionis) : tindak pidana yang dilakukan dengan tidak melakukan
perbuatan apapun secara fisik yang melanggar aturan hukum yang bersifat keharusan (Pasal 522, 531
KUHP)
- Tindak pidana biasa: tindak pidana yang tidak memerlukan laporan yang bersifat aduan untuk
mengusutnya (Pasal 104, 284, 340, 352, 379 KUHP)
- Tindak pidana aduan: tindak pidana yang memerlukan laporan yang bersifat aduan untuk
mengusutnya (Pasal 284, 310, 367 KUHP)
a. Kesalahan
Kesalahan adalah kunci daripertanggungjawaban pidana, merupakan sikap batin yang dimiliki pelaku
bentuknya sengaja atau alpa.
b. Mampu bertanggungjawab
kemampuan bertanggungjawab yakni pelaku tindak pidana tersebut dapat dijatuhi tindak pidana.
a. Asas Legalitas (nullum delictin noela poena sine praevia lege poenale)
Tiada suatu tindak pidana jika belum diatur dalam peraturan perundangan. Asas ini menghendaki bahwa
tindak pidana harus tertulis dalam peraturan perundangan. Sebagai dasar hukumnya Pasal 1 Ayat (1)
KUHP yang menyatakan: Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
Tujuan asas ini untuk kepastian hukum dan mencegah tindakan kesewenang-wenangan penguasa. Asas
ini mempunyai konsekuensi peraturan perundangan pidana tidak boleh berlaku surut, artinya peraturan
perundangan harus berlaku setelah peraturan perundangan tersebut diundangkan. Selain itu tidak
diperbolehkan menggunakan penafsiran analogi yang menggunakan logika saja.
Berkaitan dengan asas legalitas ini terdapat asas lex temporis delicti yaitu suatu tindak pidana harus
diperiksa berdasarkan peraturan hukum yang ada pada saat tindak pidana itu dilakukan.
b. Asas retroaktif
Apabila ada perubahan peraturan perundangan, dan pelaku tindak pidana belum dijatuhi putusan yang
berkekuatan hukum tetap, maka dipakai ketentuan yang menguntungkan bagi pelaku. Dasar hukumnya
Pasal 1 Ayat (2): Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan dipakai
aturan yang paling ringan bagi terdakwa. Asas ini dapat dikatakan bertentangan dengan asas legalitas
yang melarang peraturan perundangan berlaku surut, karena asa ini memberi kemungkinan
diperbolehkannya peraturan perundangan berlaku surut asal menguntungkan pelaku tindak pidana.
a. Asas teritorial: peraturan perundangan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap semua tindak
pidana yang dilakukan dalam wilayah Indonesia, tidak memandang jenis kewarganegaraannya
(WNI/WNA). Wilayah Indonesia dalam hal ini meliputi tiga pengertian, yakni wilayah daratan dari Sabang
sampai Merauke termasuk laut dan udaranya, kapal yang berbendera Indonesia serta pesawat udara
yang dimiliki oleh maskapai penerbangan Indonesia.
b. Asas personal atau nasional aktif: peraturan perundangan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap
semua tindak pidana yang dilakukan WNI di luar wilayah Indonesia.
c. Asas Perlindungan atau nasional pasif: peraturan perundangan hukum pidana Indonesia berlaku untuk
semua tindak pidana di luar wilayah Indonesia yang dilakukan WNI maupun WNA yang menyerang
kepentingan negara Indonesia.
d. Asas Universal: peraturan perundangan hukum pidana Indonesia berlaku untuk semua tindak pidana
di dalam atau di luar wilayah Indonesiayang dilakukan oleh WNI atau WNA yang menyerang
kepentingan negara Indonesia dan kepentingan negara asing.