Anda di halaman 1dari 20

A.

PENDAHULUAN
Pendidikan karakter memiliki peran penting untuk membangun
karakter seseorang. Bukan saja saat ini, sejak 2500 tahun yang lalu, Socrates
telah berkata bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk
membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, sekitar
1500 tahun yang lalu. Muhammad SAW, Sang Nabi terakhir dalam ajaran
Islam, juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia
adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good
character) di mana ajaran pertamanya adalan kejujuran (al-amien) serta
bagaimana dapat membangun karakter yang baik tersebut maka saat itu pula
telah diajar bahwa manusia harus senantiasa mampu belajar (iqra) apakah
belajar dari ayat-ayat yang tertulis maupun ayat-ayat yang tidak tertulis.
Tokoh pendidikan Barat yang mendunia seperti Kilpatrick, Lickona,
Brooks dan Goble seakan menggemakan kembali gaung yang disuarakan
Socrates dan Muhamad SAW, bahwa moral, akhlak atau karakter adalah
tujuan yang tidak terhindarkan dari dunia pendidikan. Begitu juga dengan
Marthin Luther King Jr. menyetujui pemikiran tersebut dengan mengatakan,
"Intelligence plus character, that is the true aim of education". Kecerdasan
plus karakter, itulah tujuan yang benar dari pendidikan.
Melihat perjalanan sejarah pendidikan dari dekade sebelumnya, para
orang tua, secara subyektif, membuat perbandingan antara situasi pendidikan
masa kini dengan situasi di mana mereka dulu mengalami pendidikan di
sekolah, atas situasi, sikap, perilaku sosial anak-anak, remaja, generasi muda
sekarang, sebagian orang tua menilai terjadinya penurunan atau degradasi
sikap atau nilai-nilai budaya bangsa. Mereka menghendaki adanya sikap dan
perilaku anak-anak yang lebih berkarakter, kejujuran, memiliki integritas yang
merupakan cerminan budaya bangsa, dan bertindak sopan santun dan ramah
tamah dalam pergaulan keseharian. Selain itu diharapkan pula generasi muda

1
tetap memiliki sikap mental dan semangat juang yang menjunjung tinggi
etika, moral, dan melaksanakan ajaran agama.
Sepaham dengan pengertian di atas, berkembang tuntutan untuk
perubahan kurikulum pendidikan yang mengedepankan perlunya membangun
karakter bangsa. Hal ini didasarkan pada fakta dan persepsi masyarakat
tentang menurunnya kualitas sikap dan moral anak-anak atau generasi muda.
Pada saat ini yang diperlukan adalah kurikulum pendidikan yang berkarakter,
dalam arti kurikulum itu sendiri memiliki karakter dan sekaligus
diorientasikan bagi pembentukan karakter peserta didik. Perbaikan kurikulum
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kurikulum itu sendiri
(inherent), bahwa suatu kurikulum yang berlaku harus secara terus-menerus
dilakukan peningkatan dengan mengadopsi kebutuhan yang berkembang
dalam masyarakat dan kebutuhan peserta didik. Bagaimana cara
mengembangkan kurikulum pendidikan karakter yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan peserta didik inilah yang harus lebih dicermati,
sehingga proses pendidikan karakter merupakan keseluruhan proses
pendidikan yang dialami peserta didik sebagai pengalaman pembentukan
kepribadian melalui memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai, keutamaan-
keutamaan nilai moral dan nilai-nilai ideal agama.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Pengembangan Kurikulum Pendidikan Karakter
a. Definisi Kurikulum
Definisi kurikulum memang sangat beragam, baik dalam arti luas
maupun dalam arti sempit. Akan tetapi, untuk tujuan penulisan ini, kiranya
perlu dikutip pernyataan Sukmadinata yang mengatakan, kurikulum
merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman
belajar yang disediakan bagi siswa di sekolah. Dalam kurikulum terintegrasi
filsafat, nilai-nilai, pengetahuan, dan perbuatan pendidikan.

2
Selanjutnya dijelaskan, dalam memahami konsep kurikulum,
setidaknya ada tiga pengertian yang harus dipahami, yaitu:
1) Kurikulum sebagai substansi atau sebagai suatu rencana belajar.
2) Kurikulum sebagai suatu sistem, yaitu sistem kurikulum yang
merupakan bagian dari sistem sekolah dan sistem pendidikan, bahkan
sistem masyarakat.
3) Kurikulum sebagai suatu bidang studi, yaitu bidang kajian kurikulum,
yang merupakan bidang kajian para ahli kurikulum, pendidikan dan
pengajaran.
Mengacu pada pendapat tersebut, dapat ditegaskan bahwa kurikulum
merupakan rancangan pendidikan, yang berisi serangkaian proses kegiatan
belajar siswa. Dengan demikian secara implisit kurikulum memiliki tujuan
yaitu tujuan pendidikan. Selain itu juga jelas bahwa banyak faktor yang terkait
dengan pelaksanaan pendidikan, yaitu guru, siswa, orang tua, dan lingkungan.
Manajemen sekolah juga menjadi variabel penting dalam mewujudkan
tujuan pendidikan. Bagaimana iklim sekolah diciptakan, turut berperan dalam
mewarnai anak didik. Apakah iklim kebebasan, disiplin, ketertiban, dan
kreativitas benar-benar tercipta di lingkungan sekolah.
a) Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum adalah sebuah proses yang merencanakan,
menghasilkan suatu alat yang lebih baik dengan didasarkan pada hasil
penilaian terhadap kurikulum yang telah berlaku, sehingga dapat memberikan
kondisi belajar mengajar yang baik. Dengan kata lain pengembangan
kurikulum adalah kegiatan untuk menghasilkan kurikulum baru melalui
langkah-langkah penyusunan kurikulum atas dasar hasil penilaian yang
dilakukan selama periode waktu tertentu.
Pada umumnya ahli kurikulum memandang kegiatan pengembangan
kurikulum sebagai suatu proses yang kontinu, merupakan suatu siklus yang

3
menyangkut beberapa kurikulum yaitu komponen tujuan, bahan, kegiatan dan
evaluasi.
Oemar Hamalik membagi prinsip pengembangan kurikulum menjadi
delapan macam, antara lain:
1) Prinsip Berorientasi Pada Tujuan
Pengembangan kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu,
yang bertitik tolak dari tujuan pendidikan nasional. Tujuan kurikulum
merupakan penjabaran dan upaya untuk mencapai tujuan satuan dan jenjang
pendidikan tertentu. Tujuan kurikulum mengadung aspek-aspek pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai. Selanjutnya menumbuhkan perubahan tingkah
laku peserta didik yang mencakup tiga aspek tersebut dan bertalian dengan
aspek-aspek yang terkandung dalam tujuan pendidikan nasional.
2) Prinsip Relevansi (Kesesuaian)
Pengembangan kurikulum yang meliputi tujuan, isi dan sistem
penyampaian harus relevan (sesuai) dengan kebutuhan dan keadaan
masyarakat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa, serta serasi dengan
perkembnagan ilmu pengetahuan dan tegnologi.
3) Prinsip Efisiensi dan Efektifitas
Pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan segi efisien dan
pendayagunaan dana, waktu, tenaga, dan sumber-sumber yang tersedia agar
dapat mencapai hasil yang optimal. Dana yang terbat harus digunakan
sedemikina rupa dalam rangka mendukung pelaksanaan pembelajaran.
Waktu yang tersedia bagi siswa belajar di sekolah juga terbatas
sehingga harus dimanfaatkan secara tepat sesuai dengan tata ajaran dan bahan
pembelajaran yang diperlukan. Tenaga di sekolah juga sangat terbatas, baik
dalam jumlah maupun dalam mutunya, hendaknya didayagunakan secara
efisien untuk melaksanakan proses pembelajaran. Demikian juga keterbatasan
fasilitas ruangan, peralatan, dan sumber kerterbacaan, harus digunakan secara

4
tepat oleh sswa dalam rangka pembelajaran, yang semuanya demi
meningkatkan efektifitas atau keberhasilan siswa.
4) Prinsip Fleksibilitas
Kurikulum yang luwes mudah disesuaikan, diubah, dilengkapi atau
dikurangi berdasarkan tuntutan dan keadaan ekosistem dan kemampuan
setempat, jadi tidak statis atau kaku. Misalnya dalam suatu kurikulum
disediakan program pendidikan keterampilan industri dan pertanian.
Pelaksanaaan di kota, karena tidak tersedianya lahan pertanian, maka yang
dialaksanakan program keterampilan pendidikan industri. Sebaliknya,
pelaksanaan di desa ditekankan pada program keterampilan pertanian. Dalam
hal ini lingkungan sekitar, keadaaan masyarakat, dan ketersediaan tenaga dan
peralatan menjadi faktor pertimbangan dalam rangka pelaksanaan kurikulum.
5) Prinsip Kontiunitas
Kurikulum disusun secara berkesinambungan, artinya bagian-bagian,
aspek-spek, materi, dan bahan kajian disusun secara berurutan, tidak terlepas-
lepas, melainkan satu sama lain memilik hubungan fungsional yang
bermakna, sesuai dengan jenjang pendidikan, struktur dalam satuan
pendidikan, tingkat perkembangan siswa. Dengan prinsip ini, tampak jelas
alur dan keterkaitan di dalam kurikulum tersebut sehingga mempermudah
guru dan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran.
6) Prinsip Keseimbangan
Penyusunan kurikulum memerhatikan keseimbangan secara
proposional dan fungsional antara berbagai program dan sub-program, antara
semau mata ajaran, dan antara aspek-aspek perilaku yang ingin
dikembangkan. Keseimbangan juga perlu diadakan antara teori dan praktik,
antara unsur-unsur keilmuan sains, sosial, humaniora, dan keilmuan perilaku.
Dengan keseimbangan tersebut diharapkan terjalin perpaduan yang lengkap
dan menyeluruh, yang satu sama lainnya saling memberikan sumbangan
terhadap pengembangan pribadi.

5
7) Prinsip Keterpaduan
Kurikulum dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prinsip
keterpaduan, perencanaan terpadu bertitik tolak dari masalah atau topik dan
konsistensi antara unsur-unsusrnya. Pelaksanaan terpadu dengan melibatkan
semua pihak, baik di lingkungan sekolah maupun pada tingkat inter sektoral.
Dengan keterpaduan ini diharapkan terbentuk pribadi yang bulat dan utuh. Di
samping itu juga dilaksanakan keterpaduan dalam proses pembalajaran, baik
dalam interaksi antarsiswa dan guru maupun antara teori dan praktik.
8) Prinsip Mutu
Pengembangan kurikulum berorientasi pada pendidikan mutu, yang
berarti bahwa pelaksanaan pembelajaran yang bermutu ditentukan oleh derajat
mutu guru, kegiatan belajar mengajar, peralatan atau media yang bermutu.
Hasil pendidikan yang bermutu diukur berdasarkan kriteria tujuan pendidikan
nasional yang diharapkan.
b) Pendekatan Pengembangan Kurikulum
Pada dasarnya strategi dan pendekatan adalah berbeda, perbedaan
terletak pada jangkauan (cakupan) bahasannya. Hal ini berarti bahwa strategi
lebih sempit dari pendekatan. Strategi pada dasarnya adalah siasat yang
ditetapkan untuk memecahkan suatu masalah, sedangakan pendekatan lebih
menekankan usaha dan penerapan langkah-langkah atau cara kerja dengan
menerapkan suatu strategi dan beberapa metode yang tepat, yang dijalankan
sesuai dengan langkah-langkah yang sistematik untuk memperolah hasil kerja
yang lebih baik.
Jadi, pendekatan pengembangan kurikulum adalah cara kerja dengan
menerapkan strategi dan metode yang tepat dengan mengikuti langkah-
langkah pengembangan yang sistematis untuk menghasilkan kurikulum yang
lebih baik. Sementara Shodih dan Mulyasa (2002) mengemukakan pendekatan
pengembangan kurikulum berdasarkan pada sistem pengelolaan, fokus
sasaran dan kompetensi. Maksudnya sistem pengelolaan pengembangan

6
kurikulum dibedakan antara sistem pengelolaan yang terpusat (sentralisasi)
dan tersebar (desentralisasi). Sedangkan berdasarkan pada fokus sasaran
maksudnya pengembangan kurikulum dibedakan antara pendektan yang
mengutamakan penguasaan ilmu pengetahuan, penguasaan kemampuan
standar, penguasaan kompetensi, pembentukan pribadi, dan penguasaan
kemampuan memecahkan masalah sosial kemasyarakatan. Pendekatan
berdasarkan kompetensi merupakan pengembangan kurikulum yang
memfokuskan penguasaan kompetensi tertentu berdasarkan tahap - tahap
perkembangan peserta didik.

b. Pengertian Pendidikan Karakter


Secara sederhana pendidikan berkarakter adalah segala sesuatu yang
Anda lakukan yang mempengaruhi karakter anak-anak yang Anda ajar.
Namun secara lebih fokus, kita lihat seperti yang diutarakan Dr Thomas
Lickona mengenai definisi Pendidikan Berkarakter, bahwa “pendidikan
berkarakter adalah usaha sengaja untuk membantu orang memahami, peduli,
dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti.” Dalam bukunya, Educating
for Character,1 Dr Lickona menegaskan bahwa “Ketika kita berpikir tentang
jenis karakter yang kita inginkan bagi anak-anak kita, jelas bahwa kita ingin
mereka dapat menilai apa yang benar, peduli secara mendalam tentang apa
yang benar, dan kemudian melakukan apa yang mereka yakini untuk menjadi
benar, bahkan dalam menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam”.
Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat;
watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang daripada yang lain. Sedangkan menurut Imam Ghazali karakter
adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-
perbuatan dengan mudah tanpa melakukan pertimbangan fikiran. Karakter
adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas
seseorang atau sekelompok orang. Membentuk karakter tidak semudah

7
memberi nasihat, tidak semudah member instruksi, tetapi memerlukan
kesabaran, pembiasaan dan pengulangan, sebagaimana yang dinyatakan dalam
hadits yang artinya: “Ilmu diperoleh dengan belajar, dan sifat santun diperoleh
dengan latihan menjadi santun.” (HR Bukhari)
Sehingga proses pendidikan karakter merupakan keseluruhan proses
pendidikan yang dialami peserta didik sebagai pengalaman pembentukan
kepribadian melalui memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai, keutamaan-
keutamaan moral, nilai-nilai ideal agama, nilai-nilai moral.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang
bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari
agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat
memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar
tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut
adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung
jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya
diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan;
baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain
mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa
hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan,
ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas.
Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-
nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang
lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif)
sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010)
dalam Achmad Husen (2010), secara psikologis dan sosial kultural
pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh
potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dalam konteks
interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan

8
berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas
proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam:
Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual
development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic
development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity
development).
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan
moral. Menurut Hersh, et. al. (1980) dalam Achmad Husen (2010), di antara
berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan;
yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan,
pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan
pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989)
dalam Achmad Husen (2010), mengklasifikasikan berbagai teori yang
berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan
pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang
biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Sehingga proses pendidikan karakter merupakan keseluruhan proses
pendidikan yang dialami peserta didik sebagai pengalaman pembentukan
kepribadian melalui memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai, keutamaan-
keutamaan moral, nilai-nilai ideal agama, nilai-nilai moral.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan
karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara
sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama,
hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Bentuk dari pendidikan karakter ini masih menyimpan kontroversial,
dan sangat bergantung pada hasil yang diinginkan. Banyak orang percaya

9
bahwa menghasilkan anak-anak yang patuh dalam melakukan apa yang
diperintahkan adalah pendidikan berkarakter. Ide ini sering mengarah kepada
munculnya seperangkat aturan dan sistem imbalan dan hukuman (reward and
punishment) yang bersifat sementara dan terbatas dalam mengubah perilaku,
namun sedikit sekali atau sama sekali tidak mempengaruhi karakter yang
mendasar bagi anak-anak. Ada orang lain yang berpendapat bahwa
seharusnya tujuan kita adalah mengembangkan pemikir independen yang
memiliki komitmen moral dalam kehidupan mereka, dan yang cenderung
melakukan hal yang benar bahkan dalam keadaan menantang.
Inisiatif pendidikan berkarakter bisa sangat sederhana, seperti salah
satu guru yang baik melakukan beberapa hal dengan benar, atau mereka dapat
menjadi sangat rumit, melibatkan semua orang dan segala sesuatu di sekolah.
Apa yang dilakukan mungkin akan tergantung pada keadaan Anda. Berikut
adalah beberapa pilihan.
Kebijakan populer berpendapat bahwa cara terbaik untuk menerapkan
pendidikan karakter adalah melalui pendekatan holistik yang
mengintegrasikan pembangunan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan
sekolah. Pendekatan ini juga dikenal sebagai reformasi sekolah keseluruhan,
dan itu adalah masalah besar. Berikut adalah beberapa fitur yang membedakan
model holistik:
 Segala sesuatu di sekolah ini disusun di sekitar pengembangan
hubungan antara dan di kalangan siswa, staf, dan masyarakat.
 Sekolah adalah komunitas pelajar peduli di mana ada ikatan yang
terasa menghubungkan siswa, staf, dan sekolah.
 Pembelajaran sosial dan emosional ditekankan sebanyak pembelajaran
akademis.
 Kerjasama dan kolaborasi antarsiswa ditekankan atas persaingan.

10
 Nilai-nilai seperti keadilan, menghormati, dan kejujuran adalah bagian
dari pelajaran sehari-hari dalam dan di luar kelas.
 Siswa diberi kesempatan yang luas untuk mempraktikkan perilaku
moral melalui berbagai kegiatan seperti belajar melayani.
 Disiplin dan pengelolaan kelas berkonsentrasi pada pemecahan
masalah daripada imbalan dan hukuman (reward and punishment).
 Model lama yang berpusat pada guru kelas ditinggalkan dan diganti
menjadi kelas demokratis di mana guru dan siswa kelas mengadakan
pertemuan untuk membangun kesatuan, menetapkan norma-norma,
dan memecahkan masalah.

c. Konsep Kurikulum Pendidikan Karakter


a) Dari Knowing Menuju Doing
William Kilpatrick menyebutkan salah satu penyebab
ketidakmampuan seseorang berlaku baik meskipun ia telah memiliki
pengetahuan tentang kebaikan itu (moral knowing) adalah karena ia tidak
terlatih untuk melakukan kebaikan (moral doing). Berangkat dari pemikiran
ini maka kesuksesan pendidikan karakter sangat bergantung pada ada tidaknya
knowing, loving, dan doing atau acting dalam penyelenggaraan pendidikan
karakter.
Moral Knowing sebagai aspek pertama memiliki enam unsur, yaitu
kesadaran moral (moral awareness), yaitu kesediaan seseorang untuk
menerima secara cerdas sesuatu yang seharusnya dilakukan. Pengetahuan
tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), yaitu mencakup pemahaman
mengenai macam-macam nilai moral seperti menghormati hak hidup,
kebebasan, tanggung jawab, kejujuran, keadilan, tenggang rasa, kesopanan
dan kedisiplinan. Penentuan sudut pandang (perspective taking), yaitu
kemampuan menggunakan cara pandang orang lain dalam melihat sesuatu.

11
logika moral (moral reasoning), adalah kemampuan individu untuk mencari
jawaban atas pertanyaan mengapa sesuatu dikatakan baik atau buruk.
Keberanian mengambil menentukan sikap (decision making), yaitu
kemampuan individu untuk memilih alternatif yang paling baik dari sekian
banyak pilihan. Pengenalan (self knowledge), yaitu kemampan individu untuk
menilai diri sendiri. Keenam unsur adalah komponen-komponen yang harus
diajarkan untuk mengisi ranah kognitif mereka.
Selanjutnya Moral Loving atau Moral Feeling merupakan penguatan
aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini
berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu
keadaran akan jati diri, percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita
orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri
(self control), kerendahan hati (humility). Kata hati memiliki dua sisi yaitu
mengetahui apa yang baik, dan rasa wajib untuk mengerjakan yang baik itu.
Penghargaan diri adalah penilaian serta penghargaan terhadap diri kita sendiri.
Empati adalah penempatan diri kita pada posisi orang lain yang merupakan
aspek emosional dari “prospective taking”. Cinta kebaikan merupakan unsur
karakter yang paling tinggi yang mencakup kemurnian rasa tertarik pada hal
yang baik. Pengendalian diri adalah kesadaran dan kesediaan untuk menekan
perasaannya sendiri agar tidak melahirkan perilaku yang melebihi kewajaran.
Sedang "humanity" merupakan aspek emosi dari "self knowledge" yang
berbentuk keterbukaan yang murni terhadap kebenaran dan kemampuan untuk
bertindak mengoreksi kesalahan sendiri.
Setelah dua aspek tadi terwujud, maka perilaku moral (Moral Acting)
dapat terwujud. Perilaku moral adalah hasil nyata dari penerapan pengetahuan
dan perasaan moral. Orang yang memiliki kualitas kecerdasan dan perasaan
moral yang baik akan kecenderungan menunjukkan perilaku moral yang baik
pula. Kemampuan moral adalah kebiasaan untuk mewujudkan pengetahuan
dan perasaan moral dalam bentuk perilaku nyata. Kemauan moral adalah

12
mobilisasi energi atau daya dan tenaga untuk dapat melahirkan tindakan atau
perilaku moral, sedangkan kebiasaan moral adalah pengulangan secara sadar
perwujudan pengetahuan dan perasaan moral dalam bentuk perilaku moral
yang terus menerus.
Maka ketiga tahapan tadi perlu disuguhkan kepada siswa melalui cara-
cara yang logis, rasional dan demokratis. Sehingga perilaku yang muncul
benar-benar sebuah karakter bukan topeng.
b) Identifikasi Karakter
Pendidikan karakter tanpa identifikasi karakter hanya akan menjadi
sebuah perjalanan tanpa akhir, petualangan tanpa peta. Organisasi manapun di
dunia ini yang menaruh perhatian besar terhadap pendidikan karakter selalu
dan seharusnya mampu mengidentifikasi karakter-karakter dasar yang akan
menjadi pilar perilaku individu.
Indonesia Heritage Foundation merumuskan sembilan karakter dasar
yang menjadi tujuan pendidikan karakter. Kesembilan karakter tersebut
adalah; 1) cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya, 2) tanggung jawab,
disiplin dan mandiri, 3) jujur, 4) hormat dan santun, 5) kasih sayang, peduli,
dan kerja sama, 6) percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, 7)
keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, dan 9) toleransi, cinta
damai dan persatuan.
Sementara Character Counts di Amerika mengidentfikasikan bahwa
karakter-karakter yang menjadi pilar adalah; 1) dapat dipercaya
(trustworthiness), 2) rasa hormat dan perhatian (respect), 3) tanggung jawab
(responsibility), 4) jujur (fairness), 5) peduli (caring), 6) kewarganegaraan
(citizenship), 7) ketulusan (honesty), berani (courage), 9) tekun (diligence)
dan 10) integritas.
c) Prinsip Pendidikan Karakter
Character Education Quality Standards merekomendasikan 11 prinsip
mewujudkan pendidikan karakter yang efektif, sebagai berikut:

13
1) Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter.
2) Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup
pemikiran, perasaan dan perilaku.
3) Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk
membangun karakter.
4) Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian.
5) Memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan perilaku yang
baik.
6) Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang
menghargai semua siswa, membangun karakter mereka dan membantu
mereka untuk sukses.
7) Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri dari para siswa.
8) Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi
tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia kepada nilai dasar
yang sama.
9) Adanya pembagian kepeminpinan moral dan dukungan luas dalam
membangun inisiatif pendidikan karakter.
10) Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam
usaha membangun karakter.
11) Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru
karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa.

2. Model Kurikulum Pendidikan Karakter


Keberhasilan dalam menyelenggarakan dan menanamkan nilai-nilai
kehidupan melalui pendidikan karakter dapat pula dipengaruhi oleh cara atau
pendekatan yang dipergunakan dalam menyampaikan. Ada empat model
pendekatan penyampaian pendidikan karakter.
1) Model sebagai Mata Pelajaran Tersendiri (monolitik)

14
Dalam model pendekatan ini, pendidikan karakter dianggap sebagai
mata pelajaran tersendiri. Dalam hal ini pendidikan karakter memiliki
kedudukan yang sama dan diperlakukan sama seperti pelajaran atau bidang
studi lain. Konsekuensinya pendidikan karakter harus dirancangkan dalam
jadwal pelajaran secara terstruktur. Kelebihan dari pendekatan ini antara lain
materi yang disampaikan menjadi Iebih terencana matang/terfokus, materi
yang telah disampaikan lebih terukur. Sedangkan kelemahan pendekatan ini
adalah sangat tergantung pada tuntutan kurikulum. Penanaman nilai-nilai
tersebut seolah-olah hanya menjadi tanggung jawab satu orang guru semata,
demikian pula dampak yang muncul pendidikan karakter hanya menyentuh
aspek kognitif, tidak menyentuh internalisasi nilai tersebut.
2) Model Terintegrasi dalam Semua Bidang Studi
Pendekatan yang kedua dalam menyampaikan pendidikan karakter
adalah disampaikan secara terintegrasi dalam setiap bidang pelajaran, dan
oleh karena itu menjadi tanggung jawab semua guru. Dalam konteks ini setiap
guru dapat memilih materi pendidikan karakter yang sesuai dengan tema atau
pokok bahasan bidang studi. Melalui model terintegrasi ini maka setiap guru
adalah pengajar pendidikan karakter tanpa kecuali. Keunggulan model
terintegrasi pada setiap bidang studi antara lain setiap guru ikut bertanggung
jawab akan penanaman nilai-nilai hidup kepada semua siswa, di samping itu
pemahaman akan nilai-nilai pendidikan karakter cenderung tidak bersifat
informatif-kognitif, melainkan bersifat aplikatif sesuai dengan konteks pada
setiap bidang studi. Dampaknya siswa akan Iebih terbiasa dengan nilai-nilai
yang sudah diterapkan dalam berbagai seting. Sisi kelemahannya adalah
pemahaman dan persepsi tentang nilai yang akan ditanamkan harus jelas dan
sama bagi semua guru. Namun, menjamin kesamaan bagi setiap guru adalah
hal yang tidak mudah, hal ini mengingat latar belakang setiap guru yang
berbeda-beda. Di samping itu, jika terjadi perbedaan penafsiran nilai-nilai di
antara guru sendiri akan menjadikan siswa justru bingung.

15
3) Model di Luar Pengajaran
Penanaman nilai-nilai pendidikan karakter dapat juga ditanamkan di
luar kegiatan pembelajaran formal. Pendekatan ini Iebih mengutamakan
pengolahan dan penanaman nilai melalui suatu kegiatan untuk dibahas dan
kemudian dibahas nilai-nilai hidupnya. Model kegiatan demikian dapat
dilaksanakan oleh guru sekolah yang diberi tugas tersebut atau dipercayakan
kepada lembaga lain untuk melaksanakannya. Kelebihan pendekatan ini
adalah siswa akan mendapatkan pengalaman secara langsung dan konkret.
Kelemahannya adalah tidak ada dalam struktur yang tetap dalam kerangka
pendidikan dan pengajaran di sekolah, sehingga akan membutuhkan waktu
yang lebih lama dan biaya yang lebih banyak.
4) Model Gabungan
Model gabungan adalah menggabungkan antara model terintegrasi dan
model di luar pelajaran secara bersama. Model ini dapat dilaksanakan dalam
kerja sama dengan tim baik oleh guru maupun dalam kerja sama dengan pihak
luar sekolah. Kelebihan model ini adalah semua guru terlibat, di samping itu
guru dapat belajar dari pihak luar untuk mengembangkan diri dan siswa.
Siswa menerima informasi tentang nilai-nilai sekaligus juga diperkuat dengan
pengalaman melalui kegiatan-kegiatan yang terencana dengan baik.
Mengingat pendidikan karakter merupakan salah satu fungsi dari pendidikan
nasional, maka sepatutnya pendidikan karakter ada pada setiap materi
pelajaran.
Oleh karena itu, pendekatan secara terintegrasi merupakan pendekatan
minimal yang harus dilaksanakan semua tenaga pendidik sesuai dengan
konteks tugas masing-masing di sekolah, termasuk dalam hal ini adalah
konselor sekolah. Namun, bukan berati bahwa pendekatan yang paling sesuai
adalah dengan model integratif. Pendekatan gabungan tentu akan lebih baik
lagi karena siswa tidak hanya mendapatkan informasi semata melainkan juga
siswa menggali nilai-nilai pendidikan karakter melalui kegiatan secara

16
kontekstual sehingga penghayatan siswa lebih mendalam dan tentu saja lebih
menggembirakan siswa. Dari perspektif ini maka konselor sekolah dituntut
untuk dapat menyampaikan informasi serta mengajak dan memberikan
penghayatan secara langsung tentang berbagai informasi nilai-nilai karakter.

3. Kunci Keberhasilan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Karakter


1. Partisipasi masyarakat. Pendidik, orangtua, siswa, dan anggota
masyarakat menginvestasikan diri dalam proses pembangunan
konsensus untuk menemukan landasan bersama yang sangat penting
bagi keberhasilan jangka panjang.
2. Kebijakan pendidikan karakter. Membuat pendidikan karakter
bagian dari filosofi, tujuan atau pernyataan misi dengan mengadopsi
kebijakan formal. Jangan sebatas tulisan dan perkataan saja.
3. Kesepakatan. Ada pertemuan orang tua, guru dan perwakilan
masyarakat dan menggunakan konsensus untuk memperoleh
kesepakatan di mana karakter untuk memperkuat dan apa definisi yang
digunakannya.
4. Kurikulum Terpadu. Membuat pendidikan karakter bagian integral
dari kurikulum di semua tingkatan kelas. Mengambil sifat-sifat yang
telah dipilih dan menghubungkan mereka ke kelas pelajaran, sehingga
murid-murid melihat bagaimana suatu sifat ke dalam sebuah cerita
atau menjadi bagian dari sebuah percobaan ilmiah atau bagaimana
mempengaruhi mereka. Membuat karakter ini merupakan bagian dari
setiap kelas dan setiap subjek.
5. Pengalaman pembelajaran. Biarkan siswa melihat sifat dalam
tindakan, pengalaman itu dan mengungkapkannya (misalnya, layanan
belajar, pembelajaran kooperatif dan rekan mentoring). Luangkan
waktu untuk diskusi dan refleksi.

17
6. Evaluasi. Evaluasi pendidikan karakter terdiri dari dua perspektif:
1) Program yang mempengaruhi perubahan positif dalam perilaku
siswa, prestasi akademik dan kognitif.
2) Proses pelaksanaan menyediakan alat dan dukungan guru.
7. Model peran dewasa. Penting bahwa orang dewasa menunjukkan
karakter positif di rumah, sekolah dan dalam masyarakat. Jika orang
dewasa tidak memberi contoh perilaku yang mereka ajarkan, seluruh
program akan gagal.
8. Pengembangan staf. Menyediakan waktu pelatihan dan pengembangan
untuk staf sehingga mereka dapat membuat dan melaksanakan pendidikan
karakter secara berkelanjutan. Termasuk waktu untuk diskusi dan
pemahaman dari kedua proses dan program, serta untuk menciptakan
rencana pelajaran dan kurikulum.
9. Keterlibatan siswa. Melibatkan siswa dalam kegiatan yang sesuai dengan
usia dan memungkinkan mereka untuk terhubungkan dengan pendidikan
karakter untuk pembelajaran mereka, keputusan-keputsan dan tujuan-
tujuan pribadi Anda mengintegrasikan proses ke sekolah mereka.
10. Mempertahankan program. Program pendidikan karakter dipertahankan
dan dikembangkan melalui pelaksanaan sembilan elemen pertama, dengan
perhatian khusus pada tingkat komitmen yang tinggi: dana yang memadai,
dukungan untuk koordinasi distrik staf yang berkualitas tinggi, dan
pengembangan professional berkelanjutan dan sebuah jaringan dan
dukungan sistem bagi guru yang melaksanakan program.

C. PENUTUP
Proses pendidikan karakter merupakan keseluruhan proses pendidikan
yang dialami peserta didik sebagai pengalaman pembentukan kepribadian
melalui memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai, keutamaan-keutamaan
moral, nilai-nilai ideal agama, dan nilai-nilai moral.

18
Untuk membentuk manusia yang berkarakter maka harus selalu
diupayakan pengenalan, sehingga mampu mengidentifikasi karakter yang
baik, dan membentuk rasa kecintaan, dan pembiasaan dalam melakukan atas
moral-moral yang baik sehingga tidak hanya menjadi perilaku namun benar-
benar menjadi karakter yang melekat pada diri. Cara terbaik untuk
menerapkan pendidikan karakter adalah melalui pendekatan holistik yang
mengintegrasikan pembangunan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan
sekolah.
Dalam mencapai pendidikan karakter yang efektif harus memenuhi
standar prinsip-prinsip dasar kependidikan. Keberhasilan dalam
menyelenggarakan dan menanamkan nilai-nilai kehidupan melalui pendidikan
karakter dapat pula dipengaruhi oleh cara atau pendekatan yang dipergunakan
dalam menyampaikan pendidikan. Diperlukan pula guru berkarakter untuk
menghasilkan siswa berkarakter. Keterpaduan antara kurikulum yang tepat
dan berkesinambungan dan unsur-unsur penunjangnya menjadi kunci
keberhasilan pendidikan karakter yang membentuk bangsa yang berkarakter
yang memiliki peradaban dan budaya bangsa sendiri.

19
DAFTAR PUSTAKA

Hamalik, Oemar, 2001, Proses belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara.


Husen, Achmad, dkk. 2010, Model Pendidikan Karakter Bangsa, Jakarta:
Universitas Negeri Jakarta.
Syaodih Sukmadinata, Nana, 1997. Pengembangan Kurikulum, Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Syaodih Sukmadinata, Nana, 2004, Kurikulum dan pembelajaran Kompetensi,
Bandung: PPS UPI Banding dan Remaja Rosdakarya.
Suparno, Paul, SJ., dkk., 2010, Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi,
Yogyakarta: Kanisius.
Suyanto, 2011, Pendidikan Karakter untuk Membangun Karakter Bangsa,
Jakarta: Kemendiknas

20

Anda mungkin juga menyukai