Oleh :
Preseptor :
dr. Adji Mustiadji, Sp.An
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
karuni yang diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Stroke dengan Gangguan Ventilasi”
Referat ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Adji Mustiadji, Sp.An, yang telah
memberikan bimbingan serta arahan, sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan
baik.
Akhir kata kami menyadari bahwa referat ini masih belum sempurna baik
mengenai isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang
membaca referat ini. Kami berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membacanya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
1. Referat ini dibuat untuk memenuhi syarat dalam kepaniteraan klinik senior
pada Departemen Anestesi RSUD M. Natsir.
2. Untuk mengetahui dan memahami tentang stroke dengan gangguan ventilasi.
1.3. Manfaat
1.3.1. Bagi Penulis
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penyusunan referat ini adalah
untuk menambah pengetahuan bagi penulis tentang stroke dengan gangguan ventilasi
terutama mengenai penegakan diagnosa dan penatalaksanaan penyakit tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stroke
2.1.1 Definisi
Stroke adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda klinis
yang berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional otak fokal maupun
global yang berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau
membawa kematian), yang tidak disebabkan oleh sebab lain selain penyebab vaskuler
(Mansjoer, 2000). Menurut Geyer (2009) stroke adalah sindrom klinis yang ditandai
dengan berkembangnya tiba-tiba defisit neurologis persisten fokus sekunder terhadap
peristiwa pembuluh darah. Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu di
dunia dan penyebab kematian nomor dua di dunia. Duapertiga stroke terjadi di
negara berkembang. Pada masyarakat barat, 80% penderita mengalami stroke
iskemik dan 20% mengalami stroke hemoragik. Insiden stroke meningkat seiring
pertambahan usia (Dewanto dkk, 2009).
2.1.2 Epidemiologi
Stroke dapat terjadi pada semua golongan usia, tetapi sebagian besar
ditemukan pada usia diatas 55 tahun. Insiden stroke pada usia 80-90 tahun adalah 300
per 10.000 penduduk, dimana mengalami peningkatan 100 kali lipat dibandingkan
dengan insiden stroke pada usia 30-40 tahun sebesar 3 per 10.000 penduduk. Data
Riskesdas pada tahun 2013 menunjukkan prevalensi penyakit stroke pada kelompok
usia yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan atau dengan gejala meningkat seiring
usia yaitu tertinggi pada usia ≥75 tahun (67,0%). Di Indonesia jenis stroke yang
paling banyak diderita adalah stroke iskemik dengan persentase sebesar 52,9%, yang
secara berurutan diikuti dengan stroke perdarahan intraserebral, stroke embolik, dan
stroke perdarahan subaraknoid dengan persentase masingmasing sebesar 38,5%,
7,2%, dan 1,4%.
2.1.3 Etiologi
Stroke pada anak-anak dan orang dewasa muda sering ditemukan jauh lebih
sedikit daripada hasil di usia tua, tetapi sebagian stroke pada kelompok usia yang
lebih muda bisa lebih buruk. Kondisi turun temurun predisposisi untuk stroke
termasuk penyakit sel sabit, sifat sel sabit, penyakit hemoglobin SC (sickle cell),
homosistinuria, hiperlipidemia dan trombositosis. Namun belum ada perawatan yang
memadai untuk hemoglobinopati, tetapi homosistinuria dapat diobati dengan diet dan
hiperlipidemia akan merespon untuk diet atau mengurangi lemak obat jika perlu.
Identifikasi dan pengobatan hiperlipidemia pada usia dini dapat memperlambat
proses aterosklerosis dan mengurangi risiko stroke atau infark miokard pada usia
dewasa (Gilroy, 1992).
2.1.4 Klasifikasi
1) Stroke Iskemik
2. Stroke Embolik
Stroke embolik disebabkan oleh suatu embolus yang dapat bersumber pada arteri
serebral, karotis interna, vertebro-basilar, arkus aorta asendens ataupun katup
serta endokardium jantung. Embolus tersebut berupa trombus yang terlepas dari
dinding arteri yang aterosklerotik dan berulserasi atau gumpalan kuman karena
endokarditis bakterial maupun gumpalan darah dan jaringan karena infark mural.
Sehingga terjadi penyumbatan pembuluh darah yang mengakibatkan darah tidak
bisa mensuplai oksigen dan nutrisi ke otak.
2) Stroke Hemoragik
Merupakan stroke yang terjadi karena pembuluh darah di otak pecah yang
diakibatkan oleh karena tidak kuat menahan tekanan yang terlalu tinggi.
Menurut WHO, dalam International Statistical Classification of Diseases and
Related Health Problem 10th Revision, stroke hemoragik dibagi atas:
a. Perdarahan Intraserebral (PIS)
Perdarahan yang berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan
bukan disebabkan oleh trauma. Sekitar 10% stroke terjadi oleh karena
perdarahan intraserebral. Perdarahan ini banyak disebabkan oleh
hipertensi, selain itu faktor penyebab lainnya adalah pecahnya aneurisma,
malformasi arteriovena, penyakit darah seperti hemofilia, leukemia,
trombositopenia, pemakaian antikoagulan, angioma kavernosa,
alkoholisme, diskrasia darah, dan angiopati amiloid.
b. Perdarahan Subarakhnoidal (PSA)
Keadaan terdapatnya atau masuknya darah ke dalam ruangan subaraknoid.
Perdarahan ini terjadi karena pecahnya aneurisma pada percabangan
arteri-arteri besar (50%), malformasi arteriovena atau MAV (5%), berasal
dari PIS (20%) dan penyebab yang tidak diketahui (25%).
2.1.5 Patofisiologi
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di dalam
arteri-arteri yang membentuk Sirkulus Willisi (Gambar 1): arteria karotis interna dan
sistem vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya.
Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15 sampai 20
menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu diingat bahwa oklusi di suatu
arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri
tersebut. Alasannya adalah bahwa mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang
memadai ke daerah tersebut. Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu
dari berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak.
(1) keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan
trombosis, robeknya dinding pembuluh, atau peradangan;
(2) berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau
hiperviskositas darah;
(3) gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari
jantung atau pembuluh ekstrakranium; atau
(4) ruptur vaskular di dalam jaringan otak atau ruang subaraknoid (Price et al, 2006).
Suatu stroke mungkin didahului oleh Transient Ischemic Attack (TIA) yang
serupa dengan angina pada serangan jantung. TIA adalah serangan-serangan defisit
neurologik yang mendadak dan singkat akibat iskemia otak fokal yang cenderung
membaik dengan kecepatan dan tingkat penyembuhan bervariasi tetapi biasanya
dalam 24 jam. TIA mendahului stroke trombotik pada sekitar 50% sampai 75%
pasien (Harsono, 2009).
(PATHWAY)
2.1.6 Gambaran Klinis
1. Infark pada Sistem Saraf Pusat
Tanda dan gejala infark arteri tergantung dari area vaskular yang terkena.
b. Vertebrobasilar:
a). Paresis atau hilangnya sensasi bilateral atau alternatif,
b). Kebutaan mendadak bilateral (pada pasien usia lanjut),
c). Diplopia, ataksia, vertigo, disfagia-setidaknya dua dari tiga gejala ini terjadi
secara bersamaan (Price, 2005).
3. Perdarahan Subarakhnoid
Akibat iritasi meningen oleh darah, maka pasien menunjukkan gejala nyeri kepala
mendadak (dalam hitungan detik) yang sangat berat disertai fotofobia, mual,
muntah, dan tanda-tanda meningismus (kaku kuduk dan tanda Kernig). Pada
perdarahan yang lebih berat, dapat terjadi peningkatan tekanan intrakranial dan
gangguan kesadaran. Pada funduskopi dapat dilihat edema papil dan perdarahan
retina. Tanda neurologis fokal dapat terjadi sebagai akibat dari:
a). Efek lokalisasi palsu dari peningkatan tekanan intrakranial,
b). Perdarahan intraserebral yang terjadi bersamaan,
c). Spasme pembuluh darah, akibat efek iritasi darah,bersamaan dengan iskemia
(Price, 2005).
2.1.7 Diagnosis
2) Pemeriksaan Penunjang
2.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang cepat, tepat, dan cermat memegang peranan besar dalam
menentukan hasil akhir pengobatan. Betapa pentingnya pengobatan stroke sedini
mungkin, karena ‘jendela terapi’ dari stroke hanya 3-6 jam. Hal yang harus
dilakukan adalah:
2.1.9 Komplikasi
Sekitar 15%-20% pasien stroke bisa datang dengan komplikasi atau mengalami
perburukan keadaan dimana hal ini berpengaruh terhadap meningkatnya morbiditas
dan mortalitas, diantaranya:
1) Gagal Nafas
Gagal nafas dapat terjadi sebagai akibat langsung dari lesi stroke pada batang
otak yang mengatur sistem respirasi, bersamaan dengan hilangnya tonus otot
faring baik saat batuk, menelan, maupun refleks muntah yang sebenarnya juga
memiliki peran fisiologis bagi sistem respirasi.
2) Peningkatan Suhu Tubuh (Demam)
Demam merupakan kondisi yang cukup sering terjadi pada fase awal setelah
serangan stroke iskemik. Penyebab demam biasanya terjadi oleh karena infeksi
sistemik, tetapi pada beberapa pasien stroke dengan demam penyebabnya tidak
diketahui. Kondisi demam berkaitan secara signifikan dengan morbiditas dan
mortalitas yang lebih tinggi.
3) Pneumonia dan Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Insiden pneumonia pada stroke antara 5%-22%. Pneumonia sering terjadi dalam
48-72 jam pertama pasca stroke iskemik dan mengakibatkan sekitar 15% - 25%
kematian terkait stroke. Pneumonia yang berkaitan dengan stroke merupakan
akibat aspirasi yang disebabkan oleh defisit neurologik, seperti penurunan
kesadaran, gangguan refleks protektif atau disfagia. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
juga sering didapatkan pada pasien stroke oleh karena pasien menggunakan
kateter dalam waktu yang cukup lama dan adanya imobilisasi.
4) Edema Serebri
Saat aliran darah melewati daerah jaringan otak yang infark, sel-sel mati tersebut
membengkak sehingga menyebabkan peningkatan massa dalam otak. Edema
serebi timbul dalam beberapa jam setelah onset stroke akut dan mencapai puncak
dalam 2-5 hari. Kondisi pembengkakan ini dapat merusak dan mengubah struktur
otak, meningkatkan tekanan intrakranial, dan sekitar 2%-3% dari kasus
menyebabkan herniasi dan kematian.
5) GCS Rendah
Derajat kesadaran penderita stroke dapat diketahui melalui pengukuran skor
Glasgow Coma Scale (GCS). GCS juga membantu dalam memprediksi outcome
penderita yakni mortalitas pada stroke akut. Penderita dengan skor GCS 9.
6) Deep Vein Thrombosis (DVT)
Deep Vein Thrombosis (DVT) adalah suatu kondisi medis umum tetapi
merupakan komplikasi stroke yang serius dan dapat menjadi penyebab morbiditas
dan mortalitas selama periode penyembuhan stroke akut. Pasien usia lanjut
dengan kelumpuhan pada ekstremitas bawah, imobilitas fisik, hiperkoagulabilitas
darah, merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan perkembangan DVT
2.1.10 Prognosis
Prognosis Prognosis stroke dapat dilihat dari 6 aspek yakni: death, disease,
disability, discomfort, dissatisfaction, dan destitution. Keenam aspek prognosis
tersebut terjadi pada stroke fase awal atau pasca stroke. Untuk mencegah agar
aspek tersebut tidak menjadi lebih buruk maka semua penderita stroke akut harus
dimonitor dengan hati-hati terhadap keadaan umum, fungsi otak, EKG, saturasi
oksigen, tekanan darah dan suhu tubuh secara terus-menerus selama 24 jam
setelah serangan stroke.
Asmedi & Lamsudin (1998) mengatakan prognosis fungsional stroke pada
infark lakuner cukup baik karena tingkat ketergantungan dalam activity daily
living (ADL) hanya 19 % pada bulan pertama dan meningkat sedikit (20 %)
sampai tahun pertama. Bermawi, et al., (2000) mengatakan bahwa sekitar 30-60
% penderita stroke yang bertahan hidup menjadi tergantung dalam beberapa
aspek aktivitas hidup sehari-hari. Dari berbagai penelitian, perbaikan fungsi
neurologik dan fungsi aktivitas hidup sehari-hari pasca stroke menurut waktu
cukup bervariasi. Suatu penelitian mendapatkan perbaikan fungsi paling cepat
pada minggu pertama dan menurun pada minggu ketiga sampai 6 bulan pasca
stroke.
Prognosis stroke juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan keadaan yang
terjadi pada penderita stroke. Hasil akhir yang dipakai sebagai tolak ukur
diantaranya outcome fungsional, seperti kelemahan motorik, disabilitas, quality of
life, serta mortalitas. Menurut Hornig et al., prognosis jangka panjang setelah TIA
dan stroke batang otak/serebelum ringan secara signifikan dipengaruhi oleh usia,
diabetes, hipertensi, stroke sebelumnya, dan penyakit arteri karotis yang
menyertai. Pasien dengan TIA memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
pasien dengan TIA memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien
dengan stroke minor. Tingkat mortalitas kumulatif pasien dalam penelitian ini
sebesar 4,8 % dalam 1 tahun dan meningkat menjadi 18,6 % dalam 5 tahun.
Gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan
oksigenasi darah normal eliminasi karbon dioksida (PaCO2)
dan pH yang adekuat disebabkan oleh masalah ventilasi difusi atau perfusi gagal
nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen-karbondioksida dalam paru-paru tidak
dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbon dioksida dalam sel-sel tubuh, Sehingga menyebabkan tegangan oksigen
kurang dari 50 mmHg (hipoksemia) dan peningkatan tekanankarbondioksida lebih
besar dari 45 mmHg/hiperkapnia (Brunner & Sudarth, 2005)
2.2.2 Klasifikasi
a. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal
secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul
b. gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit parukronik seperti
bronkitis kronik, emfisema.
2.2.3 Etiologi
Gagal nafas dapat terjadi sebagai akibat langsung dari lesi stroke pada batang
otak yang mengatur sistem respirasi, bersamaan dengan hilangnya tonus otot faring
baik saat batuk, menelan, maupun refleks muntah yang sebenarnya juga memiliki
peran fisiologis bagi system respirasi.
2.2.4 Patofisiolgi
Pasien mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yangmemburuk
secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali ke asalnya.
Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel, indikator
gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan
normal ialah 16-20/mnt kapasitas vital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
1. Gagal nafas total:
Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan
Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga serta
tidak ada pengembangan dada pada inspirasi
Adanya kesulitasn inflasi paru
2. Gagal nafas parsial
Terdengar suara nafas tambahan seperti snoring dan whizzing
Ada retraksi dada
3. Hiperkapni atau hipoksemia
Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)
Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2
menurun)
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan
fungsi otak fokal atau global. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya
stroke dibagi dua, stroke iskemik dan hemoragik. stroke iskemik muncul secara
mendadak defisit neurologik fokal. Gejala baru terjadi dalam hitungan detik,
menit, atau ketika bangun tidur. Defisit tersebut mungkin mengalami perbaikan
dengan cepat, mengalami perburukan progresif, atau menetap.
Stroke memiliki efek terhadap mortalitas dan morbiditas secara global.stroke
memiliki berbagai komplikasi seperti gagal napas, peningkatan suhu tubuh,
infeksi saluran kemih, edema serebri, penurunan GCS, DVT dan pneumonia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunner & Suddarth. (2015). Keperawatan Medikal Bedah (edisi 8). Jakarta :
EGC
2. Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M., & Wagner, C.M. (2013).
Nursing interventions classification (NIC). USA: Elsevier.
3. Moorhead, S., Johnson, M., Maridean, M., & Swanson, E. (2013). Nursing
outcomes classification (NOC). USA: Elsevier.
4. Price, S.A & Wilson. L.M. (2016). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6 vol 2. Jakarta: EGC.
5. Mansjoer, Arief et al. 2000. Strok dalam Kapita Selekta Kedokteran. Media
Aesculapius FKUI, Jakarta. Hal 17-20
6. Sidharta P, Mardjono M. 2004. Mekanisme gangguan vaskular susunan saraf
dalam Neurologi klinis dasar. Dian Rakyat. Surabaya. Hal 269-293
7. Gubitz G, Sandercock P. Extracts from clinical evidence.Acute ischemic
stroke. BMJ 2000; 320: 692-6
8. Guyton, A et al. 1997. Aliran darah serebral, aliran serebrospinal dan
metabolisme otak dalam Fisiologi Kedokteran edisi 9 editor Setiawan I. EGC,
Jakarta. Hal 175-184
9. Pines A, Bornstein NM, Shapira I. Menopause and sichaemic stroke: basic,
clinical and epidemiological consederations. The role of hormone
replacement. Human reproduction update 2002; 8 (2): 161-8
10. Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang G. 2005. Gambaran umum
tentang gangguan peredaran darah otak dalam Kapita selekta neurology
edisi kedua editor Harsono. Gadjah Mada university press, Yogyakarta. Hal
81-102
11. Corwin EJ 2000. Stroke dalam buku saku patofisiologi editor Endah P. EGC,
Jakarta. Hal 181-182
12. Chandra, B. 1994. Stroke dalam nurology Klinik Edisi Revisi. Lab/bagian
Ilmu Penyakit Saraf FK. UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Hal 28-51
13. Hamid, Abdulbar et al. 2012. Advanced Neurology Life Support. Jakarta:
Pokdi Neuro Intensif PERDOSSI. Hal 77
14. Dewanto, George et al. 2007. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana
Penyakit Saraf. Jakarta: EGC. Hal 26
15. Widjaja, L 1993. Stroke patofisiologi dan penatalaksanaan. Lab/bagian Ilmu
Penyakit Saraf FK. UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.Hal 1-48
16. Gubitz G, Sandercock P. Regular review: prevention of ischemic stroke. BMJ
2000; 321:1455-9
17. Gonzales RG. Imaging-guided acute ischemic stroke theraphy: from time is
brain to physiology is brain. AJNR Am J Neuroradiol 2006; 27: 728-35
18. Caplan LR, Gorelick PB, Hier DB. Race, sex and occlusive cerebrovascular
disease: a review. Stroke 1986; 17: 648-655
19. Azis AL, Widjaja D, Saharso D dan kawan-kawan 1994. Gangguan
pembuluh darah otak dalam pedoman diagnosis dan terapi LAB/ UPF Ilmu
Penyakit Saraf. Lab/bagian Ilmu Penyakit Saraf FK. UNAIR/RSUD Dr.
Soetomo, Surabaya. Hal 33-35
20. Prince, A. Sylvia and Wilson, Lorraine. 1995. Penyakit serebrovaskular
dalam patofisiologi edisi 6 editor Hartanto H et al. EGC, Jakarta. Hal 1105-
1130
21. Heiss WD, Thiel A, Grond M, Graf R. Which targets are relevant for therapy
of acute ischemic stroke. Stroke 1999; 30: 1486-9
22. Barnett HJM, Eliasziw M, Meldrum HE. Evidence based cardiology:
prevention of ischaemic stroke. BMJ 1999; 318: 1539-43