Anda di halaman 1dari 53

Case Report Session (CRS)

*Dokter Intenship

Epilepsi
dr. Thomas Gredio Saputra*

INTENSHIP
BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF RS HERMINA
KABUPATEN SUKABUMI
PROVINSI JAWA BARAT
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Case Report Session (CRS)


Epilepsi

DISUSUN OLEH

dr. Thomas Gredio Saputra

Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Mengikuti Intenship


Bagian Ilmu Penyakit Saraf RS Hermina
Kabupaten Sukabumi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Sukabumi, Januari 2020

PEMBIMBING

dr. Marcellia Andhita


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan Case
Report Session ini dengan judul “Epilepsi”. Laporan ini merupakan bagian dari
tugas Intenship di Bagian Ilmu Penyakit Saraf RS Hermina Sukabumi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan
dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada dr. Marcellia Andhita selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan
dengan baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
laporan Case Report Session ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.
Sebagai penutup semoga kiranya laporan Case Report Session ini dapat
bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Sukabumi, Januari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II STATUS PASIEN.......................................................................................2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................17
BAB IV ANALISIS KASUS.................................................................................45
BAB V KESIMPULAN.............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai,


terdapat pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari
wanita. Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun
pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi
pada usia lanjut.
Prevalensi epilepsI berkisar antara 0,5% - 2%. Di Indonesia penelitian
epidemiologi tentang epilepsy belum pernah di lakukan, namun bila dipakai angka
prevalensi yang dikemukakan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk
Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan 1,1 sampai 4,4 juta penderita
penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi.
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “serangan” atau penyakit
yang timbul secara tiba-tiba.Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan
penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi
juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam
kehidupan sehari-hari, epilepsy merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka
cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi.1
Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan
mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan
psikososial yang merugikan baik penderita maupun keluarganya.2
BAB II
STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
 Nama : Ny. Dian Novita
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Usia : 20 tahun
 Alamat : Sukaraja
 Status Perkawinan : Belum Menikah
 Agama : Islam
 Pekerjaan : Mahasiswa
 Suku Bangsa : Sunda
 No RM :
 Tanggal Masuk RS : 05 Januari 2020, 19.00 WIB
 Ruang Perawatan : Neurologi
DAFTAR MASALAH
No Masalah Aktif Tanggal Masalah Pasif Tanggal
.

1. Kejang-kejang 05-01-2020

2. Mual 05-01-2020

II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis. Anamnesis
dilakukan pada hari Rabu, tanggal 07 Februari 2020
1. Keluhan Utama : Kejang-kejang sejak ± 7 jam SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang
 Lokasi : Seluruh tubuh
 Onset : Sejak ± 7 jam SMRS
 Kualitas : Kejang berulang
 Kuantitas : Kejang 2-3 kali yang berlangsung < 15 menit
 Kronologis :
Pasien rujukan puskesmas diantar keluarga dengan keluhan
kejang-kejang sejak ± 7 jam SMRS. Pasien mengaku sebelum kejang
sedang makan dan mencium bau rokok. Pasien merasakan pusing dan
berkeringat, pasien berbaring lalu terjadilah kejang. Kejang berulang
2-3 kali yang berlangsung selama < 15 menit dengan jarak antar
kejang 15 menit sampai 2 jam. Kejang terjadi di seluruh tubuh disertai
mata terbelalak ke atas. Keluarga pasien mengatakan, diantara kejang
pasien tampak tidak sadar. Kejang masih berlangsung ketika di RS,
diberikan injeksi diazepam 1 ampul, kejang berhenti, setelah kejang
pasien sadar namun tampak kelelahan.
 Gejala penyerta : Keluhan pasien tidak disertai dengan demam, mual
(+), BAB dan BAK normal. Pasien tidak mengeluhkan pandangan dan
bicara terganggu, juga tidak ada kelemahan anggota gerak.
 Faktor yang memperberat : Jika pasien tidak meminum obat,
kelelahan, sakit perut, mencium bau tertentu seperti rokok dan
pewangi. Pasien mengaku ± 3 hari SMRS pasien kelelahan karena
acara keluarga di rumah dan kurang tidur. Pasien H-5 menstruasi.
 Faktor yang memperingan : Kejang hilang jika diberi obat anti kejang.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat kejang pertama kali sejak ± 5 tahun yang lalu
ketika menjalani kegiatan pengenalan lingkungan sekolah. Saat itu pasien
hanya di obati dengan obat kampung selama ± 3 tahun. Pasien mengalami
kejang 1 minggu SMRS saat berada di angkot dan mencium bau parfum.
Pasien pusing lalu kejang, 1 kali berlangsung < 15 menit dan sadar setelah
kejang. Riwayat kejang demam (-), trauma kepala (-), stroke (-), hipertensi
(-), dispepsia (+), tuberkulosis (+).

4. Riwayat Pengobatan
Riwayat rawat inap di bangsal saraf dengan epilepsi ± 3 bulan yang lalu.
Pasien rutin kontrol poli saraf sejak ± 2 tahun yang lalu. Obat yang diminum
antara lain: phenitoin 3x100mg, carbamazepin 2x200mg dan asam folat 1x1.
Minum obat teratur. Riwayat pengobatan tuberkulosis paket 6 bulan ± 10
tahun yang lalu.

5. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat keluarga dengan keluhan yang serupa disangkal
 Riwayat penyakit jantung (-), diabetes melitus (-), hipertensi (+), alergi
(-)

6. Riwayat Sosial Ekonomi dan Kebiasaan


Pasien mahasiswa memiliki 4 saudara dan pekerjaan orang tua bertani.

III. PEMERIKSAAN FISIK (OBJEKTIF)


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 07 Februari 2018.
1. Keadaan Umum
 Kesadaran : Compos mentis
 Kesan sakit : Tampak sakit sedang
 Kesan gizi : Gizi cukup

2.Tanda Vital
 Tekanan darah : 120/80 mmHg
 Nadi : 86 kali/menit
 Respirasi : 21 kali/menit, pernapasan reguler
 Suhu : 36,6°C
 Berat badan : 45 kg
Tinggi Badan : 157 cm
BMI : 45 kg/1,572 m2= 18,3 kg/m2
Status Gizi : Normal
3. Status Generalis
 Kepala : Normocephal
 Mata : Edema palpebra (-/-), conjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat, isokor, refleks cahaya (+/+),
katarak (-/-)
 THT : Dalam batas normal
 Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa kering (-),
lidah hiperemis (-), T1-T1, faring
hiperemis (-).
 Leher : Pembesaran KGB (-)
 Dada
Jantung :
- Inspeksi : Tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V
- Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, gallop (-),
murmur (-)
Paru :
- Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan
dan kiri
- Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-),
fremitus taktil sama kanan dan kiri
- Perkusi : Vocal fremitus sama kiri dan kanan,
sonor (+/+)
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing
(-/-)
 Perut :
- Inspeksi : Tampak datar, distensi (-), massa (-)
- Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+),
undulasi (-), shifting dullness (-), hepar
dan lien tidak teraba
- Perkusi : Timpani (+)
- Auskultasi : Bising usus (+) N
 Alat kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/(-), sianosis (-/-)

4. Status Neurologis
1) Kesadaran kualitatif : Compos Mentis
2) Kesadaran kuantitatif (GCS) : 15 (E4 V5 M6)
3) Tanda rangsang meningeal :
 Kaku kuduk :-
 Brudzinsky 1 :-
 Brudzinsky 2 : -|-
 Brudzinsky 3 :-
 Brudzinsky 4 :-
 Laseque : >700 / >700
 Kernig : >1350 / >1350
4) Saraf kranial :
1. N. I (Olfactorius )
Daya pembau Kanan Kiri Keterangan
Subjektif Dbn Dbn Dalam batas
normal
Objektif (dengan bahan) Dbn Dbn Dalam batas
normal

2. N.II (Opticus)
Kanan Kiri Keterangan
Daya penglihatan Dbn Dbn Dalam batas
Lapang pandang Dbn Dbn normal
Pengenalan warna Dbn Dbn
Funduskopi Tidak Tidak
dilakukan dilakukan

3. N.III (Oculomotorius)
Sela mata Simetris Simetris
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Pergerakan bola mata Normal Normal
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Strabismus Tidak ada Tidak ada
Ekso/endotalmus Tidak ada Tidak ada
Pupil:
Bentuk, besar Bulat, isokor, Bulat, isokor,  3
 3 mm mm
Reflex cahaya langsung + +
Reflex konvergensi + +
Reflex konsensual + +
Diplopia Tidak ada Tidak ada

4. N. IV (Trokhlearis)
Pergerakan bola mata ke Normal Normal
bawah-dalam
Diplopia Tidak ada Tidak ada

5. N. V (Trigeminus)
Motorik
Membuka & menutup mulut Normal
Mengunyah Normal
Mengigit Normal
Sensibilitas Muka
Oftalmikus Normal Normal
Maksila Normal Normal
Mandibula Normal Normal
Reflek Kornea Normal Normal

6. N. VI (Abduscens)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Dbn Dbn
Dalam batas
ke lateral
normal
Strabismus (-) (-)

7. N. VII (Facialis)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Saat diam simetris simetris
Mengernyitkan dahi Dbn Dbn
Menutup mata Dbn Dbn
Menyeringai Dbn Dbn
Daya perasa 2/3 ante lidah Dbn Dbn

8. N. VIII (Vestibulo-Kokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Pendengaran
Tuli konduktif (-) (-)
Tuli sensorineural (-) (-) Dalam batas
normal
Vestibular
Nistagmus horizontal (-) (-)

9. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan Kiri
Arkus faring Dbn Dbn
Daya perasa 2/3 posterior lidah Dbn Dbn

10. N. X (Vagus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus faring Dbn Dbn Dalam batas
Disfonia Dbn Dbn normal
Refleks muntah Dbn Dbn
11. N. XI (Assesorius)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Menoleh Dbn Dbn Dalam batas
Mengangkat bahu Dbn Dbn normal
Trofi Eutrofi Eutrofi

12. N. XII (Hipoglossus)


Kanan Kiri Keterangan
Motorik Dbn Dbn
Trofi eutrofi eutrofi Dalam batas
Tremor (-) (-) normal
Disartri (-) (-)
Fasciculasi (-) (-)

5) Sistem motorik :
Kanan Kiri Keterangan
Ekstremitas atas
Kekuatan 5 5
Tonus N N
Trofi Eu Eu
Ger. Involunter (-) (-)
Ekstremitas bawah
Kekuatan 5 5
Tonus N N
Trofi Eu Eu
Ger. Involunter (-) (-)

6) Sistem sensorik :
Sensasi Kanan Kiri Keterangan
Raba Dbn Dbn
Nyeri Dbn Dbn
Suhu Dbn Dbn
Propioseptif Dbn Dbn

7) Refleks :
Refleks Kanan Kiri Keterangan
Fisiologis
Biseps (+) (+)
Triseps (+) (+)
Patella (+) (+)
Achilles (+) (+)
Patologis
Hoffman (-) (-)
Tromer (-) (-)
Babinski (-) (-) Reflek patologis
Chaddock (-) (-) (-)
Openheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)

8) Fungsi koordinasi dan keseimbangan :


Pemeriksaan Kanan Kiri Keterangan
Romberg test Dbn Dbn
Test telunjuk-hidung Dbn Dbn
Tes heel-to-toe walking Dbn Dbn
Test telunjuk ke telunjuk Dbn Dbn

9) Sistem otonom :
Berkemih : Tidak ada keluhan
Defekasi : Tidak ada keluhan
Keringat : Tidak ada keluhan

10) Fungsi luhur : Tidak ada gangguan fungsi luhur


11) Vertebra : Tidak ada kelainan, nyeri tekan (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium klinik dilakukan pada tanggal 5 Februari 2018:
1. WBC : 6,04.109/L (normal: 4-10.109/L)
2. RBC : 4,91.1012/L (normal: 3,5-5,5.1012/L)
3. HGB : 13,6 g/dL (normal: 11-16 g/dL)
4. HCT : 39,5% (normal: 35-50%)
5. PLT : 300.109/L (normal: 100-300.109/L)
6. PCT : 0,288% (normal: 0,1-0,28%)
7. Ureum : 16 mg/dL (normal: 15-39 mg/dL)
8. Kreatinin : 0,6 mg/dL (normal: 0,6-1,1 mg/dL)
9. GDS : 81 mg/dL (normal: <200 mg/dL)
10. Natrium : 144,17 mmol/L (normal: 135-148 mmol/L)
11. Kalium : 3,75 mmol/L (normal: 3,5-5,3 mmol/L)
12. Chlorida : 106,6 mmol/L (normal: 98-110 mmol/L)
13. Calcium : 1,23 mmol/L (normal: 1,19-1,23 mmol/L)
Pemeriksaan laboratorium klinik dilakukan pada tanggal 6 Februari 2018:
1. SGOT : 19 υ/L (normal < 40 υ/L)
2. SGPT : 21 υ/L (normal < 41 υ/L)

V. RINGKASAN
S: Pasien rujukan puskesmas Tanjung diantar keluarga dengan keluhan kejang-
kejang sejak ± 7 jam SMRS. Pasien mengaku sebelum kejang sedang makan
dan mencium bau rokok. Pasien merasakan pusing dan berkeringat, berbaring
lalu terjadilah kejang. Kejang berulang 2-3 kali yang berlangsung selama < 15
menit dengan jarak antar kejang 15 menit sampai 2 jam. Kejang terjadi di
seluruh tubuh disertai mata terbelalak ke atas. Keluarga pasien mengatakan,
diantara kejang pasien tampak tidak sadar. Kejang masih berlangsung setiba di
RS, diberikan injeksi diazepam 1 ampul, kejang berhenti, setelah kejang
pasien sadar namun tampak kelelahan.
Gejala penyerta : demam (-), mual (+), BAB dan BAK normal. Pasien
tidak mengeluhkan pandangan dan bicara terganggu, juga tidak ada kelemahan
anggota gerak. Faktor yang memperberat jika pasien tidak meminum obat,
kelelahan, sakit perut, mencium bau tertentu seperti rokok dan pewangi.
Pasien mengaku ± 3 hari SMRS pasien kelelahan karena acara keluarga di
rumah dan kurang tidur. Pasien H-5 menstruasi. Kejang hilang jika diberi obat
anti kejang.
Pasien memiliki riwayat kejang pertama kali sejak ± 5 tahun yang lalu
ketika menjalani kegiatan pengenalan lingkungan sekolah. Saat itu pasien
hanya di obati dengan obat kampung selama ± 3 tahun. Pasien mengalami
kejang 1 minggu SMRS saat berada di angkot dan mencium bau parfum.
Pasien pusing lalu kejang, 1 kali berlangsung < 15 menit dan sadar setelah
kejang. Riwayat kejang demam (-), trauma kepala (-), stroke (-), hipertensi (-),
dispepsia (+), tuberkulosis (+).
Riwayat rawat inap di bangsal saraf dengan epilepsi ± 3 bulan yang lalu.
Pasien rutin kontrol poli saraf sejak ± 2 tahun yang lalu. Obat yang diminum
antara lain: phenitoin 3x100mg, carbamazepin 2x200mg dan asam folat 1x1.
Minum obat teratur. Riwayat pengobatan tuberkulosis paket 6 bulan ± 10
tahun yang lalu. Riwayat trauma waktu kecil di sangkal, riwayat kejang
demam disangkal, riwayat epilepsi dalam keluarga disangkal.

O: Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis GCS 15 (E:4, V:5, M:6)
Gizi : cukup
Suhu : 36,6ºC
Nadi : 86 x/m
Pernapasan : 21 x/m
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Berat Badan : 45 kg
Tinggi Badan : 157 cm

Status Neurologikus
Tanda rangsang meningeal : negatif
Saraf cranialis : baik

Fungsi Motorik Lka Lki Tka Tki


Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Normal Normal Normal Normal
Klonus - - - -
R. Fisiologis Normal Normal Normal Normal
R. Patologis - - - -
Fungsi Sensorik : Tidak ada kelainan
Fungsi Luhur : Tidak ada kelainan
Fungsi Vegetatif : Tidak ada kelainan
Gerakan Abnormal :-

A: Diagnosis Kerja: Diagnosis Neurologi


 Diagnosis Klinis : Kejang + dizziness
 Diagnosis Topik : Korteks serebri
 Diagnosis Etiologi : Epilepsi serangan umum tipe tonik-klonik

P: Non Medikamentosa:
 Pertolongan pertama
o Pasien dan anggota keluarga harus diberitahukan dengan jelas
tindakan apa yang harus diambil bila menghadapi serangan.
o Jangan memasukan sesuatu ke dalam mulut pasien atau memaksa
membuka mulut pasien.
o Tidak perlu diusahakan mengekang gerakan kejang karena hanya
akan berakibat menimbulkan cedera.
o Pasien harus dibiarkan untuk mengalami kejang seperti seharusnya.
o Pasien harus dipindahkan ke tempat yang aman.
o Setelah serangan balikkan pasien pada salah satu sisi dalam posisi
setengah telungkup untuk membantu pernafasan pasien dan
pemulihan serta berikan bantalan di kepala dengan sesuatu yang
lunak.
o Jalan nafas harus diperiksa dan diawasi
o Setelah suatu serangan pasien harus ditemani dan diberi dukungan
hingga fase bingung yang menyertainya telah hilang seluruhnya
dan pasien memperoleh kembali keseimbangannya.

Medikamentosa:
 IVFD RL 20 tpm
 Injeksi diazepam 1 ampul bolus pelan jika kejang
 Injeksi ranitidine 2x1 ampul
 Carbamazepin 2x200mg
 Phenytoin 3x100mg
 Asam folat 1x1 tab

Mx : Pantau tanda-tanda vital dan perbaikan keluhan


Ex : Memberi penjelasan kepada keluarga mengenai keadaan pasien dan terapi
yang akan diberikan, mengatur pola makan yang sehat dan seimbang,
penanganan stress dan istirahat yang cukup, serta kontrol pemeriksaan
secara teratur. Jangan panik jika serangan kambuh, jaga lidah pasien agar
tidak tergigit, jangan meninggalkan pasien seorang diri karena sewaktu-
waktu kejang pasien bisa muncul.

VI. PROGNOSIS
 Quo Ad Vitam : Dubia Ad bonam
 Quo Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam
 Quo Ad Functionam : Dubia Ad Bonam

VI. RIWAYAT PERKEMBANGAN


a. Follow Up Tanggal 08 Februari 2020 (perawatan hari ke-4)
 S : kejang (-), pusing berkurang, mual (-)
 O: Kesadaran : GCS 15 (E:4, V:5, M:6)
Suhu : 36,4ºC
Nadi : 80 x/m
Pernapasan : 20 x/m
Tekanan Darah : 110/80 mmHg

Status Neurologikus
Tanda rangsang meningeal : negatif
Saraf cranialis : baik

Fungsi Motorik Lka Lki Tka Tki


Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Normal Normal Normal Normal
Klonus - - - -
R. Fisiologis Normal Normal Normal Normal
R. Patologis - - - -
Fungsi Sensorik : Tidak ada kelainan
Fungsi Luhur : Tidak ada kelainan
Fungsi Vegetatif : Tidak ada kelainan
Gerakan Abnormal : -

 A: Diagnosis Kerja: Diagnosis Neurologi


 Diagnosis Klinis : Kejang + dizziness
 Diagnosis Topik : Korteks serebri
 Diagnosis Etiologi : Epilepsi serangan umum tipe
Tonik-klonik

 P: Medikamentosa
 IVFD RL 20 tpm
 Injeksi Diazepam 1 ampul bolus pelan jika kejang
 Carbamazepin 2x200mg
 Fenitoin 3x100mg
 Asam folat 1x1 tab

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan
tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.3
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala
akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan
tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau
yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan
gejala klinis yang kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak.
Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari
gejala klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah
suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang
(lebih dari satu episode).3
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya factor predisposisi yang dapat
mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan
adanya konsekuensi social yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat kejang epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan
epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas
(transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di
otak.4
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi
dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan
listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik
dan laboratorik.
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau kejang
berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.4

3.2 Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi. Sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsy lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsy di negara
maju ditemukan sekitar 50/100.000. Sementara di Negara berkembang mencapai
100/100.000.5
Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia
dibawah 2 tahun dan usia lanjut di atas 65 tahun. Umumnya paling tinggi pada
umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 th, dan meningkat lagi
setelahnya terkait dengan kemungkinan terjadinya penyakit cerebrovascular. Pada
75% pasien, epilepsy terjadi sebelum umur 18 tahun.6

3.3 Etiologi
Etiologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh:
A. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak
B. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma
otak pada saat lahir atau cedera lain
C. Pada bayi  penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir,
trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital
pada otak, atau infeksi
D. Pada anak-anak dan remaja  mayoritas adalah epilepsy idiopatik, pada umur
5-6 tahun  disebabkan karena febril
E. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi  idiopatik, karena birth
trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit serebro vaskuler
(> 50 th).

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :


 Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ±50% dari
penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetic,
awitan biasanya pada usia >3tahun. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan alat-alat diagnostic yang canggih kelompok ini semakin
sedikit.
 Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf
pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
gangguan metabolic, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum,
lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik serta kelainan
neurodegenerative.
 Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut
dan epilepsy mioklonik.7

3.4 Klasifikasi
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan
klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-
faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau
idiopatik), usia dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan
klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan
elektroensefalogram.
Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah :3
1. Bangkitan parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikik
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
 Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
 Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
 Dengan gangguan kesadaran saja
 Dengan automatisme
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik
atau klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,
dan berkembang menjadi bangkitan umum
2. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)
1) Bangkitan lena (absence)
Lena (absence), sering disebut petitmal. Serangan terjadi secara tiba-
tiba, tanpa di dahului aura.Kesadaran hilangselama beberapa detik, di
tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan kosong,
atau mata berkedip dengan cepat. Hampir selalu pada anak-anak,
mungkin menghilang waktu remaja atau diganti dengan serangan tonik-
klonik.
2) Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang
singkat dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis atau
asinkronis. Muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot
skeletal yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung
sejenak. Biasanya tidak ada kehilangan kesadaran selama serangan.
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan
atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.
3) Bangkitan tonik
Tonik, serangan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat
dari otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas.
Berupa pergerakan tonik satu ekstremitas atau pergerakan tonik umum
dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau
ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
Biasanya kesadaran hilang hanya beberapa menit terjadi pada anak 1-7
tahun.
4) Bangkitan atonik/astatik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan
ini bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut
lemas, atau kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta
mendapatkan luka-luka. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan
otot dan terjatuh secara tiba-tiba. Bangkitan ini jarang terjadi.
5) Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di
sebebkan aleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat.
Keadaan ini diikuti sentakan bilateral yang lamanya 1 menit sampai
beberapa menit yang sering asimetris dan bisa predominasi pada satu
anggota tubh. Serangan ini bisa bervariasi lamanya, seringnya dan
bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat lain.
6) Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis serang klasik
epilepsi serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan atau
pendengaran selama beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan
kesadaran secara cepat. Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai
dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian diiukti oleh
kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik
(gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan,
penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan
bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara
perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan
tertidur setelahnya.

3. Bangkitan Epileptik yang Tidak Tergolongkan

Klasifikasi ILAE (1989) untuk tipeepilepsy dan sindrom epilepsiadalah :3


1. Fokal / Partial (localized related)
1.1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah
sentrotemporal (childhood epilepsy with centrotemporal
spikes)
1.1.2. Epilepsy benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah
oksipital
1.1.3. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
1.2. Simtomatik
1.2.1. Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak –
anak (Kojenikow’s Syndrome)
1.2.2. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu
rangsangan (kurang tidur, alcohol, obat-obatan, hiperventilasi,
refleks epilepsy, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
1.2.3. Epilepsi lobus temporal
1.2.4. Epilepsi lobus frontal
1.2.5. Epilepsi lobus parietal
1.2.6. Epilepsi lobus oksipital
1.3. Kriptogenik

2. Epilepsi Umum
2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1. Kejang neonatus familial benigna
2.1.2. Kejang neonatus benigna
2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.4. Epilepsi lena pada anak
2.1.5. Epilepsi lena pada remaja
2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik – klonik pada saat
terjaga
2.1.8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di
atas
2.1.9. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang
spesifik
2.2. Kriptogenik atau Simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan
usia)
2.2.1. Sindrom West (spasme infantiil dan spasme salam)
2.2.2. Sindrom Lencox – Gastaut
2.2.3. Epilepsi Mioklonik astatic
2.2.4. Epilepsi mioklonik lena
2.3. Simtomatik
2.3.1. Etiologi non spesifik
 Ensefalopati mioklonik dini
 Ensefalopati pada infantiil dini dengan burst supresi
 Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk
di atas
2.3.2. Sindrom Spesifik
2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain

3. Epilepsi dan Sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1. Bangkitan Umum dan fokal
3.1.1. Bangkitan neonatal
3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau – Kleffner)
3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi diatas
3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

4. Sindrom Khusus
4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1. Kejang demam
4.1.2. Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya sekali(
isolated)
4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic
akut, atau toksis, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi
non ketotik
4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi
reflektorik)

3.5 Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih
dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen,
disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel
opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal
inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik.Aktivitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan
keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron.
Gambar : Silbernagl S. Color Atlas Pathopysiology. New York : Thieme.2000

Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:

1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam


merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan
menyebarkan aktivitas kejang.

3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel


piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang
bias dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang.
Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu
aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.

4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut


respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.

5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal


mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial
aksi secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak
apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara
bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik
tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari
20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan
terlibat.Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan
manifestasi yang sangat bervariasi.

Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :


1. Non Spesifik Predispossing Factor
( NPF ) yang membedakan seseorang peka tidaknya terhadap serangan
epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan
bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.

2. Specific Epileptogenic Disturbances


(SED). Kelainan epileptogenik ini dapat diwariskan maupun didapat dan
inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activity di otak.
Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.

3. Presipitating Factor (PF). Merupakan


faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi pada penderita epilepsi yang
kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat membangkitkan
reactive seizure dimana SED tidak ada.

Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal
dasar.

Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :

Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium
dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium.
Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ),
dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori
dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila
natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang
tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.

Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.

1. Fungsi jaringan neuron


penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin) kurang optimal hingga
terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi
jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat) berlebihan hingga terjadi
pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.

Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila


konsentrasi GABA (gamma aminobutyric acid ) tidak normal.  Pada otak manusia
yang menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh
GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik (IPSPs = inhibitory post
synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan
bahwa aktifitas epileptic disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh
GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak.
Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka
semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bias
menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi
dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh
neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini
menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis
ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA )
sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu
fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai macam
penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron
inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi,
tumor, vaskuler, obat atau toksin.Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya
faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah
timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan terhadap
kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena
setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka
serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan
yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati
selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak
mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus
temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi
dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah
terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan
sebagainya.Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia
atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat
neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat
trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat
mengembangkan epilepsi.Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga
menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya
grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal epilepsy. Walaupun
demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme
yang sama.
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai
kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial
membrane neuron bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron,
yakni membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke
intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel
terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl,
sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan
konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan
badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi
membran neuron berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni
neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik
dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel
neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-
neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate,aspartat dan asetilkolin
sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric
acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan
terjadi transmisi impuls atau rangsang.Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan
fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat,
membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron dan
seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh
ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan
letupan depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur
dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara
sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsy. Suatu sifat khas serangan
epilepsy ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses
inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang
epileptic.Selain itu juga system-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang
menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang
peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsy terhenti
ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi
otak.

3.6 Patofisiologi Anatomi Seluler


Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera
kepala, stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan
saraf yang tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang
mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada
cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam
mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan
pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa
menimbulkan bangkitan listrik di otak.
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi
(focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan
jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental.
Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh
ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan
inhibitorik di otak.Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari
presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor
NMDA atau AMPA di post-sinaptik.Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari
reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan
epilepsi.Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip
kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan
adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain
kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya
dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi
lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari
resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium,
kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi
neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan
listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka
bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal
ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu.Dalam hal epilepsi
dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang
dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai
sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di
hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses
belajar.

3.7 Manifestasi Klinis

 Kejang parsial simplek 


Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala
berupa “déjàvu” : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya.
 Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak
dapat di jelaskan.
 Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum
pada bagian tubuh tertentu.
 Gerakan yang tidak dapat di kontrol pada bagian tubuh tertentu
 Halusinasi  

 Kejang parsial (psikomotor) kompleks


Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya
bertahanlebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar
tidak akan mengingat waktu serangan.
Gejalanya meliputi :
 gerakan seperti mencucur atau mengunyah
 melakukan gerakan yang sama berulang – ulang atau memainkan pakaiannya
 Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan
berkeliling dalam keadaan seperti sedang bingung
 Gerakan menendang atau meninju yang berulang – ulang
 Berbicara tidak jelas seperti menggumam

 Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).


Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua
tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada
serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik
saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura.
Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat
berupa : merasa sakit perut, baal, kunang – kunang, telinga berdengung.
Pada tahap tonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa
alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase
klonik : terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol,
mengompol atau buang air besar tidak dapat di kontrol, pasien tampak
sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur
setelah serangan semacam ini.

3.8 Penegakkan Diagnosis

Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan


melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan
radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang
berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.8

1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami
penderita.Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan
sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi
yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis.Anamnesis juga
memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,
meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan
tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekuensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

Anamnesa / Alloanamnesa Epilepsi umum :


Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan
sekunder. Epilepsi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan
tonik-klonik. Manifestasi klinik: kedua golongan epilepsi grand mal tersebut
sama, perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau
preiktal sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik
selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus
epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat
sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap
sesuatu, sakit kepala dan sebagainya. Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang
kesadaran sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami
kejang tonik. otot-otot berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi
dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga
terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi.Kejang tonik ini kemudian
disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan
membanting-banting tubuh si sakit ke tanah.Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -
3 menit. Selain kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat,
midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut berbuih dan sianosis.Kejang
berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor sampai
koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita bangun, termenung dan kalau tak
diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai
setahun sekali.
Minor :
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi..
Bangkitan mioklonus.Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya
anggukan kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi
demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran
atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik.(9)
Bangkitan akinetik.Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena
menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau
mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan
ini(petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan
disebut trias Lennox-Gastaut.
Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau
sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-
laki. Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan
kerusakan otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma,
infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala
kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang
disertai teriakan atau tangisan,miosis atau midriasis pupil, sianosis dan
berkeringat.
Bangkitan motorik.Fokus epileptogen terletak di korteks
motorik.Bangkitan kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa
disertai dengan hilang kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri
gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot
lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan.Manifestasi klinik ini disebut
Jacksonian marche Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi).9
Bangkitan sensorik Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus
epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus
terletak di gyrus postcentralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu
bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu
anggota badan.Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron
sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-
kejang.Epilepsi lobus temporalis. Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun.
Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini
sangat kompleks karena fokus epileptogennya terletak di lobus temporalis dan
bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan
asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi
yang kompleks ini bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis ini
dulu disebut epilepsi psikomotor.
Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya
berupa automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang
sejenak, dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran
antara sadar dan mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi
yang terdiri dari halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik
sampai beberapa jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul :
Halusinasi dengan automatisme pengecap, halusinasi dengan automatisme
membaca, halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan
aneh.Tujuan pertama dokter ketika bertemu dengan pasien yang mempunyai nyeri
kranial adalah untuk menentukan apakah nyeri kepala tergolong primer atau
sekunder. Gejala nyeri kepala primer utama di antaranya migren, nyeri kepala tipe
tegang, nyeri kepala klaster, atau salah satu migren simpatetik trigeminal dari
varian migren atau klaster, yang cenderung kronik, rekuren, dan tidak disertai
gejala dan tanda lain dari penyakit neurologis.2
Semestinya tidak banyak kesulitan dalam mengenali penyakit nyeri kepala
sekunder seperti glaukoma, sinusitis purulen, perdarahan subaraknoid, dan
meningitis bakterial atau viral. Semua nyeri kepala lain yang berdasarkan lokasi,
kualitas nyerinya dan karakteristik presipitasi tidak sesuai dengan salah satu tipe
primer harus dicurigai simtomatik gangguan kranial, servikal atau sistemik.2

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


-Pada orang dewasa
Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Pada kulit
dicari adanya tanda neurofibromatosis berupa bercak-bercak coklat, bercak-bercak
putih, dan adenoma seboseum pada muka pada sklerosi tuberose. Hemangioma
pada muka dapat menjadi tanda adanya penyakit Sturge-Weber. Pada
toksoplasmosis, fundus okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda korio renitis.
Mencari kelainan bawaan, asimetri pada kepala, muka, tubuh, dan ekstremitas.

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium,
magnesium, natrium, bilirubin, ureum dalamdarah. Yang memudahkan
timbulnya kejang ialah keadaan hipoglikemia, hypokalemia, hipomagnesia,
hiponatremia, hypernatremia, hiperbilirubinemia, dan uremia. Penting pula
diperiksa pH darah karena alkalosis mungkin disertai kejang. Pemeriksaan cairan
otak dapat mengungkapkan adanya radang pada otak atau selaputnya,
toksoplasmosis susunan saraf sentral, leukemia yang menyerang otak, metastasis
tumor ganas, adanya perdarahan otak atau perdarahan subaraknoid.10,11
a. Pemeriksaan radiologis
Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu.
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsy. Gelombang yang
ditemukan pada EEG berupa gelombang runcing, gelombang paku,
runcing lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain adalah
pemeriksaan foto polos kepala
b. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris
Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik
turunnya kesadaran.
c. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan
adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya
kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di
kedua hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk,
dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi
tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme
infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal
gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd),
epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku /
tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak
(sinkron).
a. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita
yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan
diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG
memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta
memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada.Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk
penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta
bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter.Penentuan lokasi
fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada
persiapan operasi.
Gambar: profil EEG pada pasien Epilepsi

3.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup
penderita yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara
lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek
samping ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan
angka kesakitan dan kematian.10
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka
mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium,
penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi
eksitatorik glutamat. Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik
GABAergik. Beberapa obat antie- pilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara
lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin),
felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam
(Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin),
pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat (Topamax), asam valproat
(Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter, 1996). Protokol penanggulangan
terhadap status epilepsi dimulai dari terapi benzodiazepin yang kemudian
menyusul fenobarbital atau fenitoin.Fenitoin bekerja menginhibisi
hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok loncatan
listrik.Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai
efek samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap
gangguan kognitif ringan dan sedang. Melihat banyaknya efek samping dari obat
antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat
bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan
otak.
Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron
sebagai aktivator terhadapreseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-
5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor
NMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang
bisa menstimulasi kematian dari sel.
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan
antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam
penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat
antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai
mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor
NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA).Pada hewan percobaan
ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat
tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi. Dari data
penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat digunakan pada penderita
epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien epilepsi
dengan gangguan kognitif, karena ternyata levetirasetam tidak berinteraksi dengan
obat CNS lainnya. Salah satu andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai
antikonvulsan adalah dengan ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein
SVA2. Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di
sinaptik adalah satu-satunya protein yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam
mendasar pada karakter serta pendistribusian molekul protein sebagai
antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada hewan percobaan bahwa pemberian
levetirasetam yang analog dengan protein SVA2 di vesikel berpotensi sebagai
antikonvulsan.
Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk
epilepsi yakni:12,13
1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu
pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai
tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.

2. Terapi dimulai dengan monoterapi

3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap
samapai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.

4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol


bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis
terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.
5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan
tidak terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.

Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme


kerjanya :
1) Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga
pada reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin.
2) Fenitoin :  Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan
klorida dan neurotransmitter yang voltage dependen

3) Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABA, menurunkan


eksitabilitas glutamate, menurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium.

4) Valproat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang


konduktan kalsium (T) dan kalium.

5) Levetiracetam : Tidak diketahui

6) Gabapentin :  Modulasi kalsium channel tipe N

7) Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent

8) Okskarbazepin :  Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium,


modulasi aktivitas channel.

9) Topiramat :  Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated


chloride, modulasi efek reseptor GABA.
10) Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi
glutamate.
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat
dihentikan tanpa kekambuhan. Penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap
setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang.
Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika hendak menghentikan OAE
yakni:
1. Syarat umum yang meliputi :

- Penghentian OAE telah didiskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga


dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.

- Gambaran EEG normal

- Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.

- Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1


OAE yang bukan utama.

2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE


- Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.
- Epilepsi simtomatik
- Gambaran EEG abnormal
- Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.
- Penggunaan OAE lebih dari 1
- Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
- Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
- Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinannya bila penderita telah
bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan
timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir,
kemudian evaluasi.
BAB IV
ANALISIS KASUS

Ny. Dian Novita, 20 tahun, rujukan puskesmas Tanjung diantar keluarga


dengan keluhan kejang-kejang sejak ± 7 jam SMRS. Pasien mengaku sebelum
kejang sedang makan lalu mencium bau rokok. Pasien merasakan pusing dan
berkeringat dan terjadilah kejang. Kejang berulang 2-3 kali yang berlangsung
selama < 15 menit dengan jarak antar kejang 15 menit sampai 2 jam. Kejang
terjadi di seluruh tubuh disertai mata terbelalak ke atas. Keluarga pasien
mengatakan, diantara kejang pasien tampak tidak sadar. Kejang masih
berlangsung setiba di RS, diberikan injeksi diazepam 1 ampul, kejang berhenti,
setelah kejang pasien sadar namun tampak kelelahan.
Prevalensi epilepsi dinegara berkembang lebih tinggi pada usia dekade 1-2
dibandingkan pada usia lanjut. Berdasarkan jenis kelamin dinegara Asia,
dilaporkan laki-laki sedikit lebih tinggi daripada wanita.3 Dari klasifikasi kejang,
dicurigai merupakan kejang umum tonik-klonik. Kejang jenis ini paling banyak
ditemui. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura yang merupakan perasaan
yang dialami sebelum serangan dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu,
mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit
kepala dan sebagainya.
Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas
penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. Otot-otot
berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi.
Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang
dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang
klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si
sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 - 3 menit. Selain kejang-kejang
terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya
negatif, mulut berbuih dan sianosis. Pasca serangan, penderita akan sadar secara
perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur
setelahnya.
Gejala penyerta : demam (-), mual (+), BAB dan BAK normal. Pasien tidak
mengeluhkan pandangan dan bicara terganggu, juga tidak ada kelemahan anggota
gerak. Faktor yang memperberat jika pasien tidak meminum obat, kelelahan, sakit
perut, mencium bau tertentu seperti rokok dan pewangi. Pasien mengaku ± 3 hari
SMRS pasien kelelahan karena acara keluarga di rumah dan kurang tidur. Pasien
H-5 menstruasi. Kejang hilang jika diberi obat anti kejang. Faktor pencetus
epilepsi berupa kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis, alkohol.
Pasien memiliki riwayat kejang pertama kali sejak ± 5 tahun yang lalu
ketika menjalani kegiatan pengenalan lingkungan sekolah. Saat itu pasien hanya
diobati dengan obat kampung selama ± 3 tahun. Pasien mengalami kejang 1
minggu SMRS saat berada di angkot dan mencium bau parfum. Pasien pusing lalu
kejang, 1 kali berlangsung < 15 menit dan sadar setelah kejang. Riwayat kejang
demam (-), trauma kepala (-), stroke (-), hipertensi (-), dispepsia (+), tuberkulosis
(+). Frekuensi bangkitan kejang umum tonik-klonik dapat setiap jam sampai
setahun sekali.
Riwayat rawat inap di bangsal saraf dengan epilepsi ± 3 bulan yang lalu.
Pasien rutin kontrol poli saraf sejak ± 2 tahun yang lalu. Obat yang diminum
antara lain: phenitoin 3x100mg, carbamazepin 2x200mg dan asam folat 1x1.
Minum obat teratur. Riwayat pengobatan tuberkulosis paket 6 bulan ± 10 tahun
yang lalu. Riwayat trauma waktu kecil di sangkal, riwayat kejang demam
disangkal, riwayat epilepsi dalam keluarga disangkal.
Pasien dengan kejang umum tonik-klonik diberikan terapi karbamazepin
atau lamotrigin sebagai terapi lini pertama. Pasien didiagnosis epilepsi dengan
serangan umum tonik-klonik dengan tatalaksana perawatan di rumah sakit.
Dengan pengobatan IVFD RL 20 tpm, injeksi diazepam 1 ampul bolus pelan jika
kejang, karbamazepin 2x200mg, fenitoin 3x100mg, asam folat 1x1 tab.
BAB V
KESIMPULAN

Epilepsi adalah gangguan pada otak yang menyebabkan terjadinya kejang


berulang. Kejang terjadi ketika aktivitas listrik dalam otak tiba-tiba terganggu.
Gangguan ini dapat menyebabkan perubahan gerakan tubuh, kesadaran, emosi dan
sensasi.
Tidak semua kejang disebabkan epilepsy. Kejang juga dapat disebabkan
oleh kondisi tertentu seperti meningitis, ensefalitis atau trauma kepala. Ada
banyak tipe kejang pada epilepsy.Kejang dapat digolongkan menjadi kejang
parsial dan kejang umum, tergantung pada banyaknya area otak yang terpengaruh.
Ada beberapa komplikasi pada epilepsy seperti status epileptikus dan
sudden unexpected death in epilepsy. Status epileptikus ini terjadi jika terdapat
kejang lebih dari 30 menit tanpa adanya pemulihan kesadaran. Biasanya status
epileptikus adalah kedaruratan medis pada kejang tonik klonik.
Gejala epilepsy dapat dikontrol dengan menggunakan obat anti kejang.
Hampir delapan dari sepuluh orang dengan epilepsy gejala kejang yang mereka
alami dapat dikontrol dengan baik oleh obat anti kejang. Pada awal pengobatan
akan diberikan satu jenis obat untuk mengatasi kejang. Apabila kejang tidak dapat
dikontrol maka akan digunakan dua atau lebih kombinasi dari obat anti kejang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Accessed on February 22th 2014 :


http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment-
134.pdf
2. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai
Epilepsi. In : Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.2005. p119-127.
3. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (Perdossi). Pedoman Tatalaksana Epilepsy.Jakarta: Penerbit
Perdossi;2012.
4. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder,P
ediatric Neurology: Essentials for General Practice. 1sted. 2007
5. Accessed on February 22th 2014:
http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf 
6. Accessed on February 22th 2014:
http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm
7. Accessed on February 22th 2014 :
http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahami-gejala-epilepsi-
pada-anak-2
8. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes a
nd Therapy in Children and Adults. 2nd ed. America: Blackwell Publishing
Ltd.2005
9 . P r i c e   d a n   W i l s o n .   2 0 0 6 .   Patofisiologi: Konsep Klinis Pros
es -Proses Penyakit.Ed: 6. Jakarta: EGC
10. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6thed. New York: McGraw-Hill.
11. Wilkinson I. Essential neurology. 4thed. USA: Blackwell Publishing.
200515.PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta.
200816.http://www.medscape.com/viewarticle/726809
12. Utama H. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farmakologi dan
terapi. 5th ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005.
13. Lumbantobing SM. Epilepsy. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;2006.

Anda mungkin juga menyukai