*Dokter Intenship
Epilepsi
dr. Thomas Gredio Saputra*
INTENSHIP
BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF RS HERMINA
KABUPATEN SUKABUMI
PROVINSI JAWA BARAT
2020
HALAMAN PENGESAHAN
DISUSUN OLEH
PEMBIMBING
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan Case
Report Session ini dengan judul “Epilepsi”. Laporan ini merupakan bagian dari
tugas Intenship di Bagian Ilmu Penyakit Saraf RS Hermina Sukabumi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan
dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada dr. Marcellia Andhita selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan
dengan baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
laporan Case Report Session ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.
Sebagai penutup semoga kiranya laporan Case Report Session ini dapat
bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II STATUS PASIEN.......................................................................................2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................17
BAB IV ANALISIS KASUS.................................................................................45
BAB V KESIMPULAN.............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. Dian Novita
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 20 tahun
Alamat : Sukaraja
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Suku Bangsa : Sunda
No RM :
Tanggal Masuk RS : 05 Januari 2020, 19.00 WIB
Ruang Perawatan : Neurologi
DAFTAR MASALAH
No Masalah Aktif Tanggal Masalah Pasif Tanggal
.
1. Kejang-kejang 05-01-2020
2. Mual 05-01-2020
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis. Anamnesis
dilakukan pada hari Rabu, tanggal 07 Februari 2020
1. Keluhan Utama : Kejang-kejang sejak ± 7 jam SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Lokasi : Seluruh tubuh
Onset : Sejak ± 7 jam SMRS
Kualitas : Kejang berulang
Kuantitas : Kejang 2-3 kali yang berlangsung < 15 menit
Kronologis :
Pasien rujukan puskesmas diantar keluarga dengan keluhan
kejang-kejang sejak ± 7 jam SMRS. Pasien mengaku sebelum kejang
sedang makan dan mencium bau rokok. Pasien merasakan pusing dan
berkeringat, pasien berbaring lalu terjadilah kejang. Kejang berulang
2-3 kali yang berlangsung selama < 15 menit dengan jarak antar
kejang 15 menit sampai 2 jam. Kejang terjadi di seluruh tubuh disertai
mata terbelalak ke atas. Keluarga pasien mengatakan, diantara kejang
pasien tampak tidak sadar. Kejang masih berlangsung ketika di RS,
diberikan injeksi diazepam 1 ampul, kejang berhenti, setelah kejang
pasien sadar namun tampak kelelahan.
Gejala penyerta : Keluhan pasien tidak disertai dengan demam, mual
(+), BAB dan BAK normal. Pasien tidak mengeluhkan pandangan dan
bicara terganggu, juga tidak ada kelemahan anggota gerak.
Faktor yang memperberat : Jika pasien tidak meminum obat,
kelelahan, sakit perut, mencium bau tertentu seperti rokok dan
pewangi. Pasien mengaku ± 3 hari SMRS pasien kelelahan karena
acara keluarga di rumah dan kurang tidur. Pasien H-5 menstruasi.
Faktor yang memperingan : Kejang hilang jika diberi obat anti kejang.
4. Riwayat Pengobatan
Riwayat rawat inap di bangsal saraf dengan epilepsi ± 3 bulan yang lalu.
Pasien rutin kontrol poli saraf sejak ± 2 tahun yang lalu. Obat yang diminum
antara lain: phenitoin 3x100mg, carbamazepin 2x200mg dan asam folat 1x1.
Minum obat teratur. Riwayat pengobatan tuberkulosis paket 6 bulan ± 10
tahun yang lalu.
2.Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 86 kali/menit
Respirasi : 21 kali/menit, pernapasan reguler
Suhu : 36,6°C
Berat badan : 45 kg
Tinggi Badan : 157 cm
BMI : 45 kg/1,572 m2= 18,3 kg/m2
Status Gizi : Normal
3. Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Edema palpebra (-/-), conjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat, isokor, refleks cahaya (+/+),
katarak (-/-)
THT : Dalam batas normal
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa kering (-),
lidah hiperemis (-), T1-T1, faring
hiperemis (-).
Leher : Pembesaran KGB (-)
Dada
Jantung :
- Inspeksi : Tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V
- Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, gallop (-),
murmur (-)
Paru :
- Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan
dan kiri
- Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-),
fremitus taktil sama kanan dan kiri
- Perkusi : Vocal fremitus sama kiri dan kanan,
sonor (+/+)
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing
(-/-)
Perut :
- Inspeksi : Tampak datar, distensi (-), massa (-)
- Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+),
undulasi (-), shifting dullness (-), hepar
dan lien tidak teraba
- Perkusi : Timpani (+)
- Auskultasi : Bising usus (+) N
Alat kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/(-), sianosis (-/-)
4. Status Neurologis
1) Kesadaran kualitatif : Compos Mentis
2) Kesadaran kuantitatif (GCS) : 15 (E4 V5 M6)
3) Tanda rangsang meningeal :
Kaku kuduk :-
Brudzinsky 1 :-
Brudzinsky 2 : -|-
Brudzinsky 3 :-
Brudzinsky 4 :-
Laseque : >700 / >700
Kernig : >1350 / >1350
4) Saraf kranial :
1. N. I (Olfactorius )
Daya pembau Kanan Kiri Keterangan
Subjektif Dbn Dbn Dalam batas
normal
Objektif (dengan bahan) Dbn Dbn Dalam batas
normal
2. N.II (Opticus)
Kanan Kiri Keterangan
Daya penglihatan Dbn Dbn Dalam batas
Lapang pandang Dbn Dbn normal
Pengenalan warna Dbn Dbn
Funduskopi Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
3. N.III (Oculomotorius)
Sela mata Simetris Simetris
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Pergerakan bola mata Normal Normal
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Strabismus Tidak ada Tidak ada
Ekso/endotalmus Tidak ada Tidak ada
Pupil:
Bentuk, besar Bulat, isokor, Bulat, isokor, 3
3 mm mm
Reflex cahaya langsung + +
Reflex konvergensi + +
Reflex konsensual + +
Diplopia Tidak ada Tidak ada
4. N. IV (Trokhlearis)
Pergerakan bola mata ke Normal Normal
bawah-dalam
Diplopia Tidak ada Tidak ada
5. N. V (Trigeminus)
Motorik
Membuka & menutup mulut Normal
Mengunyah Normal
Mengigit Normal
Sensibilitas Muka
Oftalmikus Normal Normal
Maksila Normal Normal
Mandibula Normal Normal
Reflek Kornea Normal Normal
6. N. VI (Abduscens)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Dbn Dbn
Dalam batas
ke lateral
normal
Strabismus (-) (-)
7. N. VII (Facialis)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Saat diam simetris simetris
Mengernyitkan dahi Dbn Dbn
Menutup mata Dbn Dbn
Menyeringai Dbn Dbn
Daya perasa 2/3 ante lidah Dbn Dbn
8. N. VIII (Vestibulo-Kokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Pendengaran
Tuli konduktif (-) (-)
Tuli sensorineural (-) (-) Dalam batas
normal
Vestibular
Nistagmus horizontal (-) (-)
9. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan Kiri
Arkus faring Dbn Dbn
Daya perasa 2/3 posterior lidah Dbn Dbn
10. N. X (Vagus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus faring Dbn Dbn Dalam batas
Disfonia Dbn Dbn normal
Refleks muntah Dbn Dbn
11. N. XI (Assesorius)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Menoleh Dbn Dbn Dalam batas
Mengangkat bahu Dbn Dbn normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
5) Sistem motorik :
Kanan Kiri Keterangan
Ekstremitas atas
Kekuatan 5 5
Tonus N N
Trofi Eu Eu
Ger. Involunter (-) (-)
Ekstremitas bawah
Kekuatan 5 5
Tonus N N
Trofi Eu Eu
Ger. Involunter (-) (-)
6) Sistem sensorik :
Sensasi Kanan Kiri Keterangan
Raba Dbn Dbn
Nyeri Dbn Dbn
Suhu Dbn Dbn
Propioseptif Dbn Dbn
7) Refleks :
Refleks Kanan Kiri Keterangan
Fisiologis
Biseps (+) (+)
Triseps (+) (+)
Patella (+) (+)
Achilles (+) (+)
Patologis
Hoffman (-) (-)
Tromer (-) (-)
Babinski (-) (-) Reflek patologis
Chaddock (-) (-) (-)
Openheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
9) Sistem otonom :
Berkemih : Tidak ada keluhan
Defekasi : Tidak ada keluhan
Keringat : Tidak ada keluhan
V. RINGKASAN
S: Pasien rujukan puskesmas Tanjung diantar keluarga dengan keluhan kejang-
kejang sejak ± 7 jam SMRS. Pasien mengaku sebelum kejang sedang makan
dan mencium bau rokok. Pasien merasakan pusing dan berkeringat, berbaring
lalu terjadilah kejang. Kejang berulang 2-3 kali yang berlangsung selama < 15
menit dengan jarak antar kejang 15 menit sampai 2 jam. Kejang terjadi di
seluruh tubuh disertai mata terbelalak ke atas. Keluarga pasien mengatakan,
diantara kejang pasien tampak tidak sadar. Kejang masih berlangsung setiba di
RS, diberikan injeksi diazepam 1 ampul, kejang berhenti, setelah kejang
pasien sadar namun tampak kelelahan.
Gejala penyerta : demam (-), mual (+), BAB dan BAK normal. Pasien
tidak mengeluhkan pandangan dan bicara terganggu, juga tidak ada kelemahan
anggota gerak. Faktor yang memperberat jika pasien tidak meminum obat,
kelelahan, sakit perut, mencium bau tertentu seperti rokok dan pewangi.
Pasien mengaku ± 3 hari SMRS pasien kelelahan karena acara keluarga di
rumah dan kurang tidur. Pasien H-5 menstruasi. Kejang hilang jika diberi obat
anti kejang.
Pasien memiliki riwayat kejang pertama kali sejak ± 5 tahun yang lalu
ketika menjalani kegiatan pengenalan lingkungan sekolah. Saat itu pasien
hanya di obati dengan obat kampung selama ± 3 tahun. Pasien mengalami
kejang 1 minggu SMRS saat berada di angkot dan mencium bau parfum.
Pasien pusing lalu kejang, 1 kali berlangsung < 15 menit dan sadar setelah
kejang. Riwayat kejang demam (-), trauma kepala (-), stroke (-), hipertensi (-),
dispepsia (+), tuberkulosis (+).
Riwayat rawat inap di bangsal saraf dengan epilepsi ± 3 bulan yang lalu.
Pasien rutin kontrol poli saraf sejak ± 2 tahun yang lalu. Obat yang diminum
antara lain: phenitoin 3x100mg, carbamazepin 2x200mg dan asam folat 1x1.
Minum obat teratur. Riwayat pengobatan tuberkulosis paket 6 bulan ± 10
tahun yang lalu. Riwayat trauma waktu kecil di sangkal, riwayat kejang
demam disangkal, riwayat epilepsi dalam keluarga disangkal.
Status Neurologikus
Tanda rangsang meningeal : negatif
Saraf cranialis : baik
P: Non Medikamentosa:
Pertolongan pertama
o Pasien dan anggota keluarga harus diberitahukan dengan jelas
tindakan apa yang harus diambil bila menghadapi serangan.
o Jangan memasukan sesuatu ke dalam mulut pasien atau memaksa
membuka mulut pasien.
o Tidak perlu diusahakan mengekang gerakan kejang karena hanya
akan berakibat menimbulkan cedera.
o Pasien harus dibiarkan untuk mengalami kejang seperti seharusnya.
o Pasien harus dipindahkan ke tempat yang aman.
o Setelah serangan balikkan pasien pada salah satu sisi dalam posisi
setengah telungkup untuk membantu pernafasan pasien dan
pemulihan serta berikan bantalan di kepala dengan sesuatu yang
lunak.
o Jalan nafas harus diperiksa dan diawasi
o Setelah suatu serangan pasien harus ditemani dan diberi dukungan
hingga fase bingung yang menyertainya telah hilang seluruhnya
dan pasien memperoleh kembali keseimbangannya.
Medikamentosa:
IVFD RL 20 tpm
Injeksi diazepam 1 ampul bolus pelan jika kejang
Injeksi ranitidine 2x1 ampul
Carbamazepin 2x200mg
Phenytoin 3x100mg
Asam folat 1x1 tab
VI. PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : Dubia Ad bonam
Quo Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam
Quo Ad Functionam : Dubia Ad Bonam
Status Neurologikus
Tanda rangsang meningeal : negatif
Saraf cranialis : baik
P: Medikamentosa
IVFD RL 20 tpm
Injeksi Diazepam 1 ampul bolus pelan jika kejang
Carbamazepin 2x200mg
Fenitoin 3x100mg
Asam folat 1x1 tab
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan
tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.3
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala
akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan
tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau
yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan
gejala klinis yang kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak.
Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari
gejala klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah
suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang
(lebih dari satu episode).3
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya factor predisposisi yang dapat
mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan
adanya konsekuensi social yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat kejang epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan
epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas
(transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di
otak.4
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi
dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan
listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik
dan laboratorik.
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau kejang
berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.4
3.2 Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi. Sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsy lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsy di negara
maju ditemukan sekitar 50/100.000. Sementara di Negara berkembang mencapai
100/100.000.5
Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia
dibawah 2 tahun dan usia lanjut di atas 65 tahun. Umumnya paling tinggi pada
umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 th, dan meningkat lagi
setelahnya terkait dengan kemungkinan terjadinya penyakit cerebrovascular. Pada
75% pasien, epilepsy terjadi sebelum umur 18 tahun.6
3.3 Etiologi
Etiologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh:
A. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak
B. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma
otak pada saat lahir atau cedera lain
C. Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir,
trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital
pada otak, atau infeksi
D. Pada anak-anak dan remaja mayoritas adalah epilepsy idiopatik, pada umur
5-6 tahun disebabkan karena febril
E. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena birth
trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit serebro vaskuler
(> 50 th).
3.4 Klasifikasi
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan
klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-
faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau
idiopatik), usia dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan
klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan
elektroensefalogram.
Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah :3
1. Bangkitan parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikik
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
Dengan gangguan kesadaran saja
Dengan automatisme
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik
atau klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,
dan berkembang menjadi bangkitan umum
2. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)
1) Bangkitan lena (absence)
Lena (absence), sering disebut petitmal. Serangan terjadi secara tiba-
tiba, tanpa di dahului aura.Kesadaran hilangselama beberapa detik, di
tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan kosong,
atau mata berkedip dengan cepat. Hampir selalu pada anak-anak,
mungkin menghilang waktu remaja atau diganti dengan serangan tonik-
klonik.
2) Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang
singkat dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis atau
asinkronis. Muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot
skeletal yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung
sejenak. Biasanya tidak ada kehilangan kesadaran selama serangan.
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan
atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.
3) Bangkitan tonik
Tonik, serangan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat
dari otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas.
Berupa pergerakan tonik satu ekstremitas atau pergerakan tonik umum
dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau
ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
Biasanya kesadaran hilang hanya beberapa menit terjadi pada anak 1-7
tahun.
4) Bangkitan atonik/astatik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan
ini bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut
lemas, atau kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta
mendapatkan luka-luka. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan
otot dan terjatuh secara tiba-tiba. Bangkitan ini jarang terjadi.
5) Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di
sebebkan aleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat.
Keadaan ini diikuti sentakan bilateral yang lamanya 1 menit sampai
beberapa menit yang sering asimetris dan bisa predominasi pada satu
anggota tubh. Serangan ini bisa bervariasi lamanya, seringnya dan
bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat lain.
6) Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis serang klasik
epilepsi serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan atau
pendengaran selama beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan
kesadaran secara cepat. Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai
dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian diiukti oleh
kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik
(gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan,
penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan
bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara
perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan
tertidur setelahnya.
2. Epilepsi Umum
2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1. Kejang neonatus familial benigna
2.1.2. Kejang neonatus benigna
2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.4. Epilepsi lena pada anak
2.1.5. Epilepsi lena pada remaja
2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik – klonik pada saat
terjaga
2.1.8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di
atas
2.1.9. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang
spesifik
2.2. Kriptogenik atau Simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan
usia)
2.2.1. Sindrom West (spasme infantiil dan spasme salam)
2.2.2. Sindrom Lencox – Gastaut
2.2.3. Epilepsi Mioklonik astatic
2.2.4. Epilepsi mioklonik lena
2.3. Simtomatik
2.3.1. Etiologi non spesifik
Ensefalopati mioklonik dini
Ensefalopati pada infantiil dini dengan burst supresi
Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk
di atas
2.3.2. Sindrom Spesifik
2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan Sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1. Bangkitan Umum dan fokal
3.1.1. Bangkitan neonatal
3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau – Kleffner)
3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi diatas
3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom Khusus
4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1. Kejang demam
4.1.2. Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya sekali(
isolated)
4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic
akut, atau toksis, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi
non ketotik
4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi
reflektorik)
3.5 Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih
dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen,
disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel
opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal
inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik.Aktivitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan
keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron.
Gambar : Silbernagl S. Color Atlas Pathopysiology. New York : Thieme.2000
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal
dasar.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium
dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium.
Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ),
dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori
dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila
natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang
tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami
penderita.Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan
sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi
yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis.Anamnesis juga
memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,
meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan
tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekuensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium,
magnesium, natrium, bilirubin, ureum dalamdarah. Yang memudahkan
timbulnya kejang ialah keadaan hipoglikemia, hypokalemia, hipomagnesia,
hiponatremia, hypernatremia, hiperbilirubinemia, dan uremia. Penting pula
diperiksa pH darah karena alkalosis mungkin disertai kejang. Pemeriksaan cairan
otak dapat mengungkapkan adanya radang pada otak atau selaputnya,
toksoplasmosis susunan saraf sentral, leukemia yang menyerang otak, metastasis
tumor ganas, adanya perdarahan otak atau perdarahan subaraknoid.10,11
a. Pemeriksaan radiologis
Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu.
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsy. Gelombang yang
ditemukan pada EEG berupa gelombang runcing, gelombang paku,
runcing lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain adalah
pemeriksaan foto polos kepala
b. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris
Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik
turunnya kesadaran.
c. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan
adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya
kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di
kedua hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk,
dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi
tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme
infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal
gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd),
epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku /
tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak
(sinkron).
a. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita
yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan
diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG
memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta
memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada.Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk
penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta
bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter.Penentuan lokasi
fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada
persiapan operasi.
Gambar: profil EEG pada pasien Epilepsi
3.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup
penderita yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara
lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek
samping ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan
angka kesakitan dan kematian.10
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka
mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium,
penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi
eksitatorik glutamat. Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik
GABAergik. Beberapa obat antie- pilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara
lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin),
felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam
(Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin),
pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat (Topamax), asam valproat
(Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter, 1996). Protokol penanggulangan
terhadap status epilepsi dimulai dari terapi benzodiazepin yang kemudian
menyusul fenobarbital atau fenitoin.Fenitoin bekerja menginhibisi
hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok loncatan
listrik.Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai
efek samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap
gangguan kognitif ringan dan sedang. Melihat banyaknya efek samping dari obat
antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat
bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan
otak.
Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron
sebagai aktivator terhadapreseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-
5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor
NMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang
bisa menstimulasi kematian dari sel.
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan
antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam
penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat
antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai
mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor
NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA).Pada hewan percobaan
ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat
tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi. Dari data
penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat digunakan pada penderita
epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien epilepsi
dengan gangguan kognitif, karena ternyata levetirasetam tidak berinteraksi dengan
obat CNS lainnya. Salah satu andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai
antikonvulsan adalah dengan ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein
SVA2. Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di
sinaptik adalah satu-satunya protein yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam
mendasar pada karakter serta pendistribusian molekul protein sebagai
antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada hewan percobaan bahwa pemberian
levetirasetam yang analog dengan protein SVA2 di vesikel berpotensi sebagai
antikonvulsan.
Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk
epilepsi yakni:12,13
1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu
pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai
tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap
samapai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.
- Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.