Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TUNJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Dukungan Keluarga

a. Definisi

Menurut Oxford (1992 dalam Kusuma 2011) dukungan keluarga

merupakan suatu sistem pendukung yang diberikan oleh keluarga terhadap

anggota keluarga yang meliputi memberikan dukungan emosional, bantuan

materil, memberikan informasi dan pelayanan, serta memfasilitasi anggota

keluarga dalam membuat kontak sosial dengan masyarakat. Sedangkan

menurut Friedman (2003) dukungan keluarga adalah suatu proses

hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya yang dapat diakses

oleh keluarga yang dapat bersifat mendukung dan memberikan pertolongan

kepada anggota keluarga.

b. Dimensi Dukungan Keluarga

Menurut Sarafino (2004 dalam Yusra, 2010) dimensi dukungan

keluarga adalah sebagai berikut :

1) Dimensi emosional / empati (Emotional Support)

Dukungan ini melibatkan ekspresi, rasa empati dan perhatian

terhadap seseorang sehingga membuatnya merasa lebih baik,

memperoleh kembali keyakinannya, merasa dimiliki dan dicintai pada

saat stres. Dimensi ini memperlihatkan adanya dukungan dari keluarga,


adanya pengertian dari anggota keluarga yang lain terhadap anggota

keluarga yang menderita diabetes mellitus. Komunikasi dan interaksi

antara anggota keluarga diperlukan untuk memahami situasi anggota

keluarga.

Memberikan dukungan emosional kepada keluarga termasuk

dalam fungsi afektif keluarga. Fungsi afektif berhubungan dengan

fungsi internal keluarga untuk memberikan perlindungan psikososial

dan dukungan terhadap anggotanya. Keluarga berfungsi sebagai sumber

cinta, pengakuan, penghargaan dan memberi dukungan.Terpenuhinya

fungsi afektif dalam keluarga dapat meningkatkan kualitas

kemanusiaan, stabilisasi kepribadian dan perilaku dan harga diri anggota

keluarga. Keluarga juga berfungsi sebagai tempat singgahnya

kehangatan, dukungan, cinta dan penerimaan.

2) Dimensi penghargaan (Support Appraisal)

Dimensi ini terjadi melalui ekspresi berupa sambutan yang positif

dengan orang-orang disekitarnya, dorongan atau pernyataan setuju

terhadap ide-ide atau perasaan individu. Dukungan ini merupakan

dukungan keluarga dalam memberikan umpan balik dan penghargaan

kepada anggota keluarga dengan menunjukkan respon positif, yaitu

dorongan terhadap gagasan atau perasaan. Dukungan penghargaan

keluarga merupakan bentuk fungsi afektif keluarga terhadap pasien

dengan penyakit kronik untuk dapat meningkatkan status

psikososialnya. Dukungan penghargaan ini merupakan informasi yang


diberikan pada seseorang bahwa dia dihargai dan diakui keberadaannya

serta rasa dimiliki dan dicintai oleh orang di sekitarnya. Harga diri

seseorang dapat ditingkatkan dengan cara mengkomunikasikan kepada

seseorang bahwa dia bernilai dan diterima meskipun tidak luput dari

kesalahan.

3) Dimensi instrumental (Instrumental Support)

Dimensi ini memperlihatkan dukungan dari keluarga dalam

bentuk nyata terhadap ketergantungan anggota keluarga. Peterson &

Bredow (2004 dalam Yusra, 2010) menyatakan dimensi instrumental ini

meliputi penyediaan sarana ( peralatan atau saran pendukung lain )

untuk mempermudah atau menolong orang lain, termasuk didalamya

adalah memberikan peluang waktu.

Menurut Oxford (1992 dalam Kusuma, 2011) dukungan ini berupa

bantuan nyata (tangible aid) atau dukungan alat (instrumental aid).

Dukungan ini mengacu pada penyediaan sarana dan layanan untuk

memecahkan masalah praktis. Tangible assistance dapat berupa bentuk

pemberian uang atau makanan kepada seseorang di masa sulit atau

kesusahan. Dukungan ini merupakan fungsi ekonomi dan perawatan

kesehatan yang diterapkan keluarga terhadap anggota keluarga. Fungsi

ekonomi keluarga merupakan pemenuhan semua kebutuhan anggota

keluarga dan anggotanya, sedangkan fungsi perawatan kesehatan

keluarga adalah mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga,

diantaranya merawat pasien yang sakit, menciptakan lingkungan yang


mendukung kesehatan keluarga, dan membawa anggota keluarga ke

pelayanan kesehatan untuk memeriksakan kesehatannya.

4) Dukungan informasi (Informational Support)

Dimensi ini menyatakan dukungan keluarga yang diberikan bisa

membantu pasien dalam mengambil keputusan dan menolong pasien

dari hari ke hari dalam manajemen penyakitnya. Sedangkan menurut

Peterson & Bredow (2004 dalam Yusra, 2010) aspek informasi ini

terdiri dari pemberian nasehat, pengarahan atau keterangan yang

diperlukan oleh individu yang bersangkutan serta untuk mengatasi

masalah pribadinya.

Menurut Smet (1994 dalam Andriani, 2014) dukungan keluarga

didefinisikan sebagai informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan

yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang

akrab dengan subjek di dalam lingkungannya atau yang berupa

kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional

dan berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dukungan verbal

adalah memberi dukungan dengan kata-kata yang menyenangkan

maupun menghibur yang mengkespresikan kasih sayang. Dukungan

informasi merupakan suatu dukungan dan bantuan yang diberikan oleh

keluarga dalam bentuk memberikan saran, nasehat, dan memberikan

informasi penting yang dibutuhkan pasien dalam upaya meningkatkan

status kesehatannya (Bomar, 2004 dalam Yusra, 2010).


c. Tujuan Dukungan Keluarga

Sangatlah luas diterima bahwa orang yang berada dalam lingkungan

sosial yang suportif umumnya memiliki kondisi yang lebih baik

dibandingkan rekannya yang tanpa keuntungan ini. Lebih khususnya,

karena dukungan sosial dapat dianggap mengurangi atau menyangga efek

serta meningkatkan kesehatan mental individu atau keluarga secara

langsung, dukungan sosial adalah strategi penting yang haru ada dalam

masa stress bagi keluarga (Friedman, 2010). Dukungan sosial juga dapat

berfungsi sebagai strategi pencegahan guna mengurangi stress akibat

negatifnya (Roth, 1996). Sistem dukungan keluarga ini berupa membantu

berorientasi tugas sering kali diberikan oleh keluarga besar, teman, dan

tetangga. Bantuan dari keluarga besar juga dilakukan dalam bentuk bantuan

langsung, termasuk bantuan financial yang terus-menerus dan intermiten,

berbelanja, merawat anak, perawatan fisik lansia, melakukan tugas rumah

tangga, dan bantuan praktis selama masa krisis (Friedman, 2010).

d. Fatar-faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga

Menurut Purnawan (2008) dalam Rahayu (2008) faktor-faktor yang

mempengaruhi dukungan keluarga adalah:

1) Faktor Internal

a) Tahap perkembangan

Dukungan dapat di tentukan oleh faktor usia dalam hal ini

adalah pertumbuhan dan perkembangan, dengan demikian setiap


rentang usia (bayi-lansia) memiliki pemahaman dan respon terhadap

perubahan kesehatan yang berbeda-beda.

b) Pendidikan atau tingkat pengetahuan

Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk

oleh variabel intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar belakang

pendidikan dan pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif akan

membentuk cara berfikir seseorang termasuk kemampuan untuk

memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan

menggunakan pengetahuan tentang kesehatan untuk menjaga

kesehatan dirinya.

c) Faktor emosi

Faktor emosional juga mempengaruhi keyakinan terhadap

adanya dukungan dan cara melakukannya. Seseorang yang

mengalami respon stress dalam setiap perubahan hidupnya cenderung

berespon terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan

cara mengkhawatirkan bahwa penyakit tersebut dapat mengancam

kehidupannya. Seseorang yang secara umum terlihat sangat tenang

mungkin mempunyai respon emosional yang kecil selama ia sakit.

Seorang individu yang tidak mampu melakukan koping secara

emosional terhadap ancaman penyakit mungkin.

d) Spiritual

Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang

menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan yang


dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau teman, dan

kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup.

2) Eksternal

a) Praktik di keluarga

Cara bagaimana keluarga memberikan dukungan biasanya

mempengaruhi penderita dalam melaksanakan kesehatannya.

Misalnya, klien juga kemungkinan besar akan melakukan tindakan

pencegahan jika keluarga melakukan hal yang sama.

b) Faktor sosio-ekonomi

Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan resiko

terjadinya penyakit dan mempengaruhi cara seseorang

mendefinisikan dan bereaksi terhadap penyakitnya. Variabel

psikososial mencakup: stabilitas perkawinan, gaya hidup, dan

lingkungan kerja.Seseorang biasanya akan mencari dukungan dan

persetujuan dari kelompok sosialnya, hal ini akan mempengaruhi

keyakinan kesehatan dan cara pelaksanaannya. Semakin tinggi

tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan lebih cepat tanggap

terhadap gejala penyakit yang dirasakan. Sehingga ia akan segera

mencari pertolongan ketika merasa ada gangguan pada kesehatannya.

c) Latar belakang budaya

Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan, nilai dan

kebiasaan individu, dalam memberikan dukungan termasuk cara

pelaksanaan kesehatan pribadi.


2. Efikasi Diri (self efficacy)

a. Definisi Efikasi Diri

Konsep efikasi diri telah dikembangkan oleh Albert Bandura sebagai

teori sosial kognitif pada tahun 1977. Bandura (1997) dalam Lange, et al.

(2012) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan individu akan

kemampuannya untuk mengatur dan melakukan tugas-tugas tertentu yang

dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. Efikasi diri

pada dasarnya adalah hasil proses kognitif berupa keputusan, keyakinan,

atau penghargaan tentang sejauh mana individu memperkirakan

kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau tindakan tertentu yang

diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Bandura (1997) dalam Ghufron, et al. (2010) menjelaskan efikasi diri

mengacu pada keyakinan akan kemampuan individu untuk menggerakkan

motivasi, berfikir, dan berperilaku yang diperlukan untuk memenuhi

tuntutan situasi. Efikasi diri merupakan keyakinan individu terhadap

kemampuannya untuk mengelola penyakit kronis secara mandiri, karena

menentukan seseorang untuk memulai atau tidak dalam melakukan

perawatan (Nyunt, et al., 2010). Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat

disimpulkan bahwa efikasi diri adalah keyakinan seseorang akan

kemampuan dirinya dalam mengatur dan melaksanakan kegiatan yang

mendukung kesehatannya berdasarkan pada tujuan dan harapan yang

diinginkan.
b. Jenis-jenis efikasi diri (self efficacy)

Menurut pandangan Hugnes, Ginnett & Curphy (2009) melihat efikasi

diri (self efficacy) terdiri dari dua jenis yaitu:

1. Positive self efficacy

Self efficacy dikatakan positif ketika keyakinan yang dimiliki

seseorang bahwa ia percayai kuasa untuk menciptakan apa yang ia

inginkan atau harapkan.

2. Negative self efficacy

Self efficacy yang negative ketika keyakinan yang di miliki

seseorang membuat dirinya lemah atau melemahkan dirinya sendiri.

c. Sumber-sumber Efikasi Diri

Menurut Bandura (1997) dalam Lunenburg (2011) efikasi diri

seseorang berkembang melalui empat sumber utama yaitu:

1) Pengalaman keberhasilan (Mastery experiences)

Sumber informasi ini memberikan pengaruh besar pada efikasi diri

individu karena didasarkan pada pengalaman-pengalaman pribadi

individu secara nyata yang berupa keberhasilan dan kegagalan.

Pengalaman keberhasilan akan menaikkan efikasi diri individu,

sedangkan pengalaman kegagalan akan menurunkannya. Pengalamarn

keberhasilan individu ini meningkatkan ketekunan dan kegigihan dalam

berusaha mengatasi kesulitan, sehingga dapat mengurangi kegagalan.


2) Pengalaman orang lain (Vicarious experience)

Yaitu mengamati perilaku dan pengalaman orang lain sebagai

proses belajar individu. Melalui model ini efikasi diri individu dapat

meningkat, terutama jika ia merasa memiliki kemampuan yang setara

atau bahkan merasa lebih baik dari pada orang yang menjadi subyek

belajarnya. Ia akan mempunyai kecenderungan merasa mampu

melakukan hal yang sama. Meningkatnya efikasi diri individu ini dapat

meningkatkan motivasi untuk mencapai suatu prestasi. Peningkatan

efikasi diri ini akan menjadi efektif jika subjek yang menjadi model

tersebut mempunyai banyak kesamaan karakteristik antara individu

dengan model, kesamaan tingkat kesulitan tugas, kesamaan situasi dan

kondisi, serta keanekaragaman yang dicapai oleh model.

3) Persuasi verbal (Verbal persuasion)

Pada persuasi verbal, individu diarahkan dengan saran, nasihat,

dan bimbingan sehingga dapat meningkatkan keyakinannya tentang

kemampuan-kemampuan yang dimiliki yang dapat membantu mencapai

tujuan yang diinginkan. Individu yang diyakinkan secara verbal

cenderung akan berusaha lebih keras untuk mencapai suatu

keberhasilan. Dalam kondisi yang menekan dan kegagalan terus-

menerus, pengaruh sugesti akan cepat hilang jika mengalami

pengalaman yang tidak menyenangkan.


4) Keadaan fisiologis dan psikologis (Physiological & emotional state)

Yaitu situasi yang menekan kondisi emosional. Gejolak emosi

kegelisahan yang mendalam, dan keadaan fisiologis yang lemah yang

dialami individu akan dirasakan sebagai suatu isyarat akan terjadi

peristiwa yang tidak diinginkan. Individu akan mendasarkan informasi

mengenai kondisi fisiologis mereka untuk menilai kemampuannya. Oleh

karena itu, efikasi diri tinggi biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat

stres dan kecemasan. Sebaliknya, efikasi diri yang rendah ditandai oleh

tingkat stres dan kecemasan yang tinggi pula.

d. Dimensi Efikasi Diri

Menurut Bandura (1997) dalam Lunenburg (2011) terdapat tiga

dimensi dalam efikasi diri yaitu:

1) Tingkat kesulitan tugas (Magnitude)

Aspek ini berkaitan dengan tingkat kesulitan individu. Individu

akan berupaya melakukan tugas tertentu yang dipersepsikan dapat

dilaksanakannya dan akan menghindari situasi dan perilaku yang

dipersepsikan diluar batas kemampuannya.

2) Kekuatan keyakinan (Strength)

Aspek ini berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kemantapan

seseorang terhadap keyakinannya. Seseorang dengan tingkat efikasi diri

yang rendah akan lebih mudah digoyahkan oleh pengalaman-

pengalaman yang memperlemahnya, sedangkan seseorang yang


memiliki efikasi diri yang kuat akan tekun dalam meningkatkan

usahanya meskipun dijumpai pengalaman yang memperlemahnya.

3) Generalitas (Generality)

Aspek ini berkaitan luas pada bidang tugas atau tingkah laku.

Keyakinan individu terhadap kemampuan dirinya tergantung pada

pemahaman kemampnan dirinya, baik yang terbatas pada suatu aktivitas

dan situasi tertentu maupun pada serangkaian aktivitas dan situasi yang

lebih luas atau bervariasi.

e. Proses Pembentukkan Efikasi Diri

Menurut Bandura (1994) dalam Ariani (2011) proses psikologis dalam

efikasi diri yang turut berperan dalam diri manusia ada 4, yaitu:

1) Proses kognitif

Proses ini merupakan proses berfikir, termasuk cara memperoleh,

pengorganisasian, dan penggunaan informasi kebanyakan tindakan

manusia bermula dari sesuatu yang dipikirkan terlebih dahulu. Individu

yang memiliki efikasi diri yang tinggi lebih senang membayangkan

tentang kesuksesan. Sebaliknya individu dengan efikasi dirinya rendah

lebih banyak membayangkan kegagalan dan hal-hal yang dapat

menghambat tercapainya kesuksesan. Bentuk tujuan personal juga

dipengaruhi oleh penilaian akan kemampuan diri. Semakin seseorang

mempersepsikan dirinya mampu maka individu akan semakin

membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannya dan semakin kuat

komitmen individu terhadap tujuannya.


2) Proses motivasi

Tingginya motivasi manusia dibangkitkan melalui kognitif.

Individu memberi motivasi atau dorongan bagi diri mereka sendiri dan

mengarahkan tindakan melalui tahap pemikiran-pemikiran sebelumnya.

Kepercayaan akan kemampuan diri dapat mempengaruhi motivasi

dalam beberapa hal, yakni menentukan tujuan yang telah ditentukan

individu, usaha besar yang dilakukan mereka dalam menghadapi

kesulitan-kesulitan dan ketahanan mereka dalam menghadapi kegagalan.

Ada tiga teori yang menjelaskan tentang proses motivasi. Teori pertama

yaitu causal attributions (atribusi penyebab). Teori ini fokus pada

sebab-sebab yang mempengaruhi motivasi, usaha, dan reaksi-reaksi

individu. Individu yang memiliki efikasi diri tinggi bila mengahadapi

kegagalan cenderung menganggap kegagalan tersebut diakibatkan usaha

yang tidak cukup memadai. Sebaliknya, individu yang efikasi dirinya

rendah, cenderung menganggap kegagalanya diakibatkan kemampuan

mereka yang terbatas. Teori kedua, outcomes experience (harapan akan

hasil) yang menyatakan bahwa motivasi dibentuk melalui harapan-

harapan Biasanya individu akan berperilaku sesuai dengan keyakinan

mereka tentang hal yang dapat mereka lakukan. Teori ketiga, goal

theory (teori tujuan) dengan membentuk tujuan terlebih dahulu akan

dapat meningkatkan motivasi.


3) Proses afektif

Proses ini merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan

reaksi emosional. Keyakinan individu akan koping mereka turut

mempengaruhi tingkat stres dan depresi seseorang saat mereka

menghadapi situasi yang sulit. Persepsi efikasi diri tentang

kemampuannya mengontrol sumber stres memiliki peranan penting

dalam imbulnya kecemasaan. Individu yang percaya akan

kemampuannya untuk mengontrol situasi cenderung tidak memikirkan

hal-hal yang negatif. Individu yang merasa tidak mampu mengontrol

situasi cenderung mengalami tingkat kecemasan yang tinggi, selalu

memikirkan kekurangan mereka, memandang lingkungan sekitar penuh

dengan ancaman, membesarkan masalah kecil, dan terlalu cemas pada

hal-hal kecil yang sebenarnya jarang terjadi.

4) Proses seleksi

Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi tertentu

turut mempengaruhi efek dari suatu kejadian. Individu cenderung

menghindari aktivitas dan situasi yang diluar batas kemampuan mereka.

Bila individu merasa yakin bahwa mereka mampu menangani suatu

situasi, maka mereka cenderung tidak menghindari situasi tersebut.

Dengan adanya pilihan yang dibuat, individu kemudian dapat

meningkatkan kemampuan, minat, dan hubungan sosial mereka.


f. Manfaat dari keyakinan rasa efikasi diri

Menurut Bandura (1994), terdapat banyak bukti bahwa keberhasilan

dan kesejahteraa manusia dapat dicapai dengan rasa optimis, ketika dalam

realita sosial banyak sekali tantangan hidup seperti hambatan,

kesengsaraan, kemunduran, frustasi dan ketidakadilan yang harus dihadapi.

Seseorang harus mempunyai keyakinan keberhasilan yang kuat untuk dapat

mempertahankan usahanya. Rasa efikasi diri yang tinggi akan

menimbulkan daya tahan terhadap hambatan dan kemunduran dari setiap

kesulitan yang ada. Orang yang mengalami kecemasan akan mudah

terserang depresi. Sedangkan orang yang mempunyai rasa efikasi diri yang

tinggi akan lebih mampu untuk melakukan berbagai usaha dan latihan serta

mengontrol lingkungan sekitarnya.

Rasa efikasi diri yang tinggi yang dimiliki oleh sekelompok orang

menurut Bandura (1994) akan dapat merubah situasi sosial. Banyaknya

tantangan kehidupan yang harus dihadapi memerlukan upaya kolektif

untuk menghasilkan perubahan yang signifikan. Rasa efikasi yang tinggi

akan menjadi suatu upaya untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi

dan meningkatkan kualitas hidup mereka melalui usaha yang terpadu. Dari

usaha yang dilakukan inilah akan muncul suatu penemuan baru karena rasa

keyakinan yang tinggi, seberapa banyak usaha yang mereka lakukan dan

seberapa tahan mereka terhadap hambatan yang ditemui akan berpengaruh

terhadap keberhasilan kolektif dari usaha yang mereka lakukan.


3. Manajemen Diri

a. Definisi

Manajemen diri mengacu pada pelaksanaan tugas-tugas dimana

seseorang harus berusaha untuk hidup dengan baik dengan satu atau lebih

kondisi kronis. Tugas ini juga termasuk dalam mendapatkan kepercayaan

untuk menangani manajemen medis, manajemen peran, dan manajemen

emosional (Adams, Greiner & Corrigan, 2004 dalam Astuti 2014).

Manajemen diri merupakan hasil dari hubungan kolaboratif antara pasien,

dokter, dan tenaga kesehatan lain, serta kelompok lain. Secara umum

manajemen diri adalah keterlibatan pasien terhadap seluruh aspek dalam

penyakit kroniknya dan implikasinya, termasuk manajemen medis,

perubahan dalam peran sosial dan pekerjaan, serta koping (Taylor, 2006

dalam Hasanat 2015).

b. Tujuan Manajemen Diri Hipertensi

Menurut Packer, Boldy, Grahan, Melling, Parsons dan Osborn (2011)

manfaat manajemen diri yaitu, manajemen diri mendukung partisipasi aktif

pasien terhadap pengobatan, meminimalkan dampak penyakit kronik pada

fungsi dan status kesehatan serta kolaborasi pasien dengan tenaga

kesehatan. Selain itu menurut Balduino, Mantovani, Lacerda dan Meier

(2013), tujuan manajemen diri hipertensi adalah memperoleh informasi

untuk berhenti merokok, mengontrol berat badan, melakukan aktivitas fisik

secara teratur, nutrisi yang tepat, mengurangi garam dan memonitor

tekanan darah. Manajemen diri pada pasien hipertensi mendorong individu


sadar terhadap perilaku mereka ke depan terhadap status kesehatan untuk

mengkaji adanya potensi yang berbahaya.

c. Sasaran dan Strategi Manajemen Diri Hipertensi

Sasaran dan strategi edukasi kegiatan ditujukan untuk penyakit-

penyakit kronis dengan jumlah partisipan 10-15 orang dengan diagnosa dan

usia yang bervariasi. Prinsip asumsi program ini adalah bahwa penyakit

kronik yang berbeda-beda punya kesamaan masalah manajemen diri dan

sehubungan dengan tugas-tugas penyakit, pasien dapat belajar untuk

merespon dari hari ke hari terkait manajemen penyakit, dan kepercayaan

diri terkait dengan pengetahuan pasien tentang praktik manajemen diri

mendukung status kesehatan dan menggunakan sumber-sumber perawatan

kesehatan. Terdapat 2 intervensi manajemen diri yang dikembangakan

yaitu manajemen diri untuk penyakit kronik (seperti penyakit paru,

penyakit jantung, stroke dan artritis) dan diabetes (Lorig, Sobel, Stewart,

Brawn, Bandura, Ritter, et al, 1999).

d. Kegiatan Manajemen Diri Hipertensi

Kegiatan manajemen diri hipertensi mencakup modifikasi gaya hidup

yang tidak hanya penting untuk mengontrol tekanan darah tetapi juga

sebagai landasan manajemen global pada banyak faktor risiko

aterosklerosis (RNAO, 2009) antara lain :

1) Aktivitas Fisik

latihan aerobik merupakan cara yang mendukung dalam

menurunkan tekanan darah. Pasien secara bertahap pasien dapat


meningkatkan latihan selama 30 sampai 45 menit 3 sampai 5 kali per

minggu. Berjalan, berenang, dan jogging merupakan latihan aerobik

yang baik sekali (White, Duncan & Baumle, 2013). Intensitas sedang

seperti berjalan, jogging, dan berenang dapat meningkatkan relaksasi,

menurunkan atau mengontrol berat badan (Lewis, Heitkemper &

Shannon, 2000). Aktivitas fisik dapat menurunkan tekanan darah yang

mungkin sebagian menjelaskan melalui penurunan resistensi vaskuler

sistemik yang mana system saraf otonom dan system renin-angiotensin

yang mungkin mendasari mekanisme regulasi (Hu, Li, & Arao, 2013).

2) Diet garam

pengurangan intake sodium dari 2 ke 3 gram sodium atau 6 gram

sodium klorida perhari mendukung penurunan tekanan darah.

Menghindari makanan olahan, minuman berkarbon, dan banyak

mengkonsumsi sereal dapat menurunkan intake sodium. Mendorong

pasien untuk kecukupan intake potassium, magnesium, dan kalsium

(White, Duncan, Baumle, 2013).Batas sodium pada 65-100 mmol/hari,

setara dengan 2/3-1 sendok teh garam meja. Dengan penghitungan 100

mmol Na = 2400 mg = 1 sendok teh (6 gram) garam meja. Strategi

untuk mengurangi intake garam mengandung pemilihan makanan

rendah garam (buah-buahan dan sayuran), menghindari makanan cepat

saji, menahan diri dari penambahan garam, meminimalkan penggunaan

garam dalam memasak dan kesadaran pada makanan yang mengandung

asinan di rumah makan (CMA, 1999; CHEP, 2005 dalam RNAO, 2009).
3) Konsumsi Alkohol dan Kafein

Perawat mengkaji penggunaan alkohol dan kafein pasien termasuk

kuantitas dan frekuensi. Perawat berdiskusi secara rutin dengan pasien

tentang konsumsi alkohol dan kopi terutama yang terkandung dalam

bahan makanan seperti tape dan kopi yang dapat menaikkan tekanan

darah. Pantangan kopi berhubungan dengan risiko hipertensi lebih

rendah dari konsumsi kopi yang rendah (RNAO, 2009; Uiterwaal et al,

2007).

4) Merokok

Perawat memberikan penjelasan tentang hubungan antara

merokok dan risiko gangguan kardiovaskuler. Nikotin yang terkandung

dalam tembakau menyebabkan vasokontriksi dan meningkatkan tekanan

darah pasien hipertensi ().Lewis, Heitkemper & Shannon, 2000

5) Stres

Perawat mengkaji pasien dengan diagnosis hipertensi untuk

mengetahui bagaimana reaksi pada kejadian stress dan belajar

bagaimana membangun koping dan manajemen stress yang efektif. Stres

berhubungan dengan depresi, isolasi sosial, dan kurangnya kualitas

dukungan meningkatkan risiko gangguan penyakit jantung koroner yang

sama besarnya seperti merokok, dislipidemia, dan hipertensi itu sendiri.

Dukungan terhadap manajemen stress efektif dalam mengontrol tekanan

darah yang optimal (RNAO, 2009).


4. Hipertensi

a. Definisi

Hipertensi merupakan keadaan peningkatan tekanan darah dalam arteri

ketika jantung sedang berkontraksi (sistolik) sama dengan atau diatas 140

mmHg dan tekanan darah saat jantung sedang berelaksasi (diastolik) sama

dengan atau diatas 90 mmHg (WHO, 2013). Hipertensi adalah salah satu

faktor penting sebagai pemicu penyakit tidak menular (Non Communicable

Disease = NCD) seperti penyakit jantung, Stroke, dan lain- lain yang saat

ini menjadi momok penyebab kematian nomer satu di dunia (Kemenkes RI,

2015).

Menurut American Sosiety of Hypertension (ASH) hipertensi adalah

suatu sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskuler yang progresif sebagai

akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan (Nuraini,

2015). Menurut Joint National Committe on Prevention Detection,

Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure VII / JNC 2003

hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg dan tekanan

diastolic ≥ 90 mmHg (Depkes RI,2013).

b. Etiologi Hipertensi

Menurut udjianti, (2010) hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu:

1) Hipertensi Primer atau esensial

Hipertensi yang tidak diketahui diantaranya adalah seperti genetik,

jenis kelamin, dan usia, konsumsi diit tinggi garam dan lemak, berat
badan (obesitas > 25% diatas BB normal), gaya hidup, merokok,

mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan tekanan darah.

2) Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder terjadi karena dari penyakit lain, seperti

penyakit ginjal, kelainan hormonal, obat-obatan. misalnya dalam

penggunaan kontrasepsi oral, neurogenik (tumor otak, gangguan

pesikiatris), kehamilan dan stress.

c. Klasifikasi Hipertensi

Pengelompokan tekanan darah dan Hipertensi berdasarkan pedoman Joint

National Committe JNC7 (2003), (Kowalksi, R,E., 2010)

Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah

Kategori Sistolik Diastolik


Optimal 115 atau kurang 75 atau kurang
Normal Kurang dari 120 Kurang dari 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi tahap 1 140-159 90-99
Hipertensi tahap 2 Lebih dari 160 Lebih dari 100

Jika angka sistolik dan diastolik dalam rentang salah satu dari kategori

diatas normal, secara keseluruhan seseorang termasuk dalam kategori

hipertensi.

d. Gejala Klinis Hipertensi

Tekanan darah dipengaruhi oleh aliran senyawa kimia di ginjal dan

karena tekanan darah tinggi yang parah dapat merusak ginjal, beberapa
gejala yang muncul ditahap hipertensi yang sudah parah biasanya bukan

merupakan akibat langsung dari perubahan tekanan darah, melainkan

karena kerusakan ginjal. Gejala tersebut yaitu keringat berlebih, kram

otot, keletihan, peningkatan frekuensi berkemih dan denyut jantung cepat

atau tidak teratur (Depkes RI, 2013).

Tanda dan gejala yang ditimbulkan pada penderita pada penderita

hipertensi menurut Nurarif, (2013) yaitu:

1) Tidak ada gejala

Tekanan darah yang tinggi namun penderita tidak merasakan

perubahan kondisi tubuh. Seringkali hal ini yang menyebabkan banyak

penderita hipertensi terlalu mengabaikan kondisinya karena memang

gejala atau keluhan yang dirasakan.

2) Gejala yang lazim

Gejala yang lazim pada penyakit hipertensi adalah nyeri kepala

dan kelelahan. Beberapa penderita yang memerlukan pertolongan

medis karena mengeluh sakit kepala, pusing, lemas, kelelahan, sesak

nafas, gelisah, mual, muntah, epistaksin, kesadaran menurun.

e. Faktor Resiko Hipertensi

Menurut Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular faktor

risiko hipertensi yang tidak ditangani dengan baik di bagi menjadi dua

kelompok yaitu faktor risiko yang dapat diubah yaitu obesitas, merokok,

kurang aktivitas fisik, konsumsi garam berlebih, dislipidemia, konsumsi

alkohol berlebih, stres dan faktor risiko yang tidak dapat diubah yaitu
umur, jenis kelamin dan keturunan (Depkes RI, 2013). Dengan

bertambahnya umur, resiko terkena penyakit hipertensi menjadi lebih

besar. Pada usia lanjut, hipertensi ditemukan hanya kenaikan tekanan

darah sistolik. Kejadian ini disebabkan karena perubahan struktur pada

pembuluh darah besar (Depkes RI, 2013).

f. Komplikasi hipertensi

Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit

jantung, gagal jantung kongestif, stroke gangguan penglihatan dan

penyakit ginjal. Hipertensi yang tidak diobati akan mempengaruhi semua

sistem organ dan akhirnya memperpendek harapan hidup sebesar 10-20

tahun. Mortalitas pada pasien hipertensi lebih cepat apabila penyakitnya

tidak terkontrol dan telah menimbulkan komplikasi ke beberapa organ

vital. Penyebab kematian yang paling sering terjadi adalah penyakit

jantung dengan atau tanpa disertai stroke dan gagal ginjal (Nuraini, 2015).

Komplikasi yang sering terjadi pada hipertensi ringan dan sedang

mengenai mata, ginjal, jantung dan otak.Hipertensi dapat menimbulkan

kerusakan organ tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu

kerusakan organ otak, kardiovaskular, ginjal dan retinopati. Beberapa

penyebab kerusakan organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari

kenaikan tekanan darah pada organ, atau efek tidak langsung antara lain

adanya antibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif (Depkes

RI, 2013).

Stroke merupakan kerusakan target organ pada otak yang diakibatkan


oleh hipertensi. Stroke timbul karena perdarahan, tekanan intra kranial

yang meninggi, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non

otak yang terpajan tekanan tinggi (Nuraini, 2015). Infark miokard dapat

terjadi apabila arteri koroner mengalami arterosklerosis atau apabila

terbentuk trombus yang menghambat aliran darah yang melalui pembuluh

darah tersebut, sehingga miokardium tidak mendapatkan suplai oksigen

yang cukup (Depkes RI, 2013).

Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat

tekanan tinggi pada kapiler-kapiler ginjal dan glomerulus akan

mengakibatkan darah mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, sehingga

nefron akan terganggu dan berlanjut menjadi hipoksia dan kematian

ginjal. Kerusakan membran glomerulus juga akan menyebabkan protein

keluar melalui urin sehingga sering dijumpai edema sebagai akibat dari

tekanan osmotik koloid plasma yang berkurang (Nuraini, 2015).

Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh

darah pada retina.Semakin tinggi tekanan darah dan semakin lama

hipertensi tersebut berlangsung, maka semakin berat pula kerusakan yang

dapat ditimbulkan. Kelainan lain yang terjadi pada retina yang terjadi

akibat tekanan darah yang tinggi adalah iskemik optik neuropati atau

kerusakan pada saraf mata akibat aliran darah yang buruk, oklusi arteri

dan vena retina akibat penyumbatan aliran darah pada arteri dan vena

retina. Penderita retinopati hipertensif pada awalnya tidak menunjukkan

gejala, yang pada akhirnya dapat menjadi kebutaan pada stadium akhir
(Depkes RI, 2013). Kerusakan lain yang lebih parah pada mata terjadi

pada kondisi hipertensi maligna, dimana tekanan darah meningkat secara

tiba-tiba. Manifestasi klinis akibat hipertensi maligna juga terjadi secara

mendadak, antara lain nyeri kepala, double vision, dim vision, dan sudden

vision loss (Nuraini, 2015).

g. Penatalaksanaan Hipertensi

Menurut Junaidi (2010) penatalaksanaan penderita hipertensi dapat

dibagi menjadi dua, yaitu :

1) Penatalaksanaan Non Farmakologi

Merupakan pengobatan tanpa menggunakan obat-obatan yang

diterapikan untuk hipertensi, dengan cara ini penurunan tekanan darah

diupayakan untuk merubah kebiasaan yang dapat mengakibatkan

terjadinya hipertensi yaitu :

a) Penderita hipertensi yang obesitas dianjurkan untuk mengurangi

berat badan sampai batas ideal dengan cara diit yang diatur porsi

makannya.

b) Mengurangi penggunaan garam sampai kurang dari 2-3 gram

natrium perhari atau 6 gram natrium klorida setiap setiap harinya

yang disertai dengan asupan kalsium, magnesium, dan kalium yang

cukup.

c) Manajemen stress agar tidak terlalu mempengaruhi pikiran.

d) Melakukan olahraga secara teratur.

e) Berhenti merokok.
f) Berusaha membina hidup yang positif.

2) Penatalaksanaan Farmakologi

Merupakan pengobatan yang didasarkan pada obat-obatan medis.

Pengobatan farmakologi merupakan pengobatan jangka panjang

bahkan mungkin sampai seumur hidup, diantaranya yaitu :

a) Obat yang terkenal dari jenis beta-blocker adalah propanolol,

atenolol, pindolo dan sebagainya.

b) Obat yang bekerja sentral dapat mengurangi pelepasan non

adrenalin sehingga menurunkan aktivitas syaraf adrenergic perifer

dan turunnya tekanan darah. Penggunaan obat ini perlu

memperhatikan efek hipertensi ortostatik, obat yang termasuk jenis

ini adalah Clonidine, Guanfacine dan Metildopa.


B. KERANGKA TEORI

Dimensi Dukungan Sumber Efikasi Diri:


Keluarga:
1. Pengalaman
1. Dimensi Emosional Dukungan Manajemen Diri Efikasi Diri Keberhasilan
2. Dimensi Penghargaan Keluarga
2. Pengalaman Orang
3. Dimensi Instrumental Lain
4. Dimensi Informasi 3. Persuasi Verbal
Kegiatan Manajemen Diri 4. Keadaan Fisiologis dan
Hipertensi: Psikologis
Hipertensi
1. Aktivitas Fisik
2. Diet Garam
Penatalaksanaan:
3. Konsumsi Alcohol &
1. Farmakologi Gejala Klinis Etiologi Kafein
2. Non Farmakologi 4. Merokok
Komplikasi Faktor Resiko 5. Stress

Bagan 2.1

Kerangka Teori Penelitian

Sumber : Sarafino (2004) dalam Yusra (2010), Bandura (1997) dalam Lunenburg (2011) , Udjianti (2010), Nurarif (2013),

Depkes RI (2013), Nuraini (2015), Junaidi (2010), RNAO (2009)

Anda mungkin juga menyukai