SUNAT
Disusun Oleh :
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya
lah makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Adapaun masalah yang dibahas dalam
makalah ini adalah mengenai “Sunat” pada mata kuliah Etika Profesi Dan Regulasi Dalam
Praktik Kebidanan.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada Kartika Dian Listyaningsih, SST.,M.Sc selaku dosen
pengampu mata kuliah Etika Profesi Dan Regulasi Dalam Praktik Kebidanan.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih ada kekurangan. Untuk itu, kami
memohon maaf. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan agar untuk
kedepannya kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam penulisan makalah ini tidak terulang lagi.
Semoga apa yang saya tulis pada makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sunat merupakan praktik kuno yang dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat untuk
alasan-alasan agama maupun sosial budaya, dan sampai saat ini masih terus berlangsung. Sunat
tidak hanya berlaku pada anak laki-laki tetapi juga berlaku pada anak perempuan. Dalam
berbagai kebudayaan peristiwa sunat sering kali dipandang sebagai peristiwa yang sakral,
seperti halnya upacara perkawinan. Kesakralan pada khitan terlihat dalam upacara-upacara
yang diselenggarakan. Akan tetapi fenomena kesakralan dengan segala macam upacara sunat
yang dilakukan hanya tampak pada sunat laki-laki, sedangkan untuk sunat perempuan sangat
jarang terlihat. Menurut (Hindi, 2008) sunat adalah pemotongan sebagian dari organ kelamin,
untuk laki-laki pelaksanaan sunat hampir sama disetiap tempat, yaitu pemotongan kulup penis
laki-laki. Sedangan pada perempuan berbeda disetiap tempat, ada yang sebatas pembuangan
sebagian dari klentit (klitoris) dan ada yang sampai memotong bibir kecil vagina (labia minora ).
Pelaksanaan sunat perempuan telah tersebar diberbagai belahan dunia dan terdapat pada
berbagai suku dan ras. Namun asal- usulnya masih sangat sulit dipaparkan. Bukti-bukti
menunjukkan sunat perempuan sangat terkenal dikalangan masyarakat Mesir kuno dan
merupakan acara ritual bagi masyarakat Mesir yang terjadi sebelum abad ke dua sebelum
Masehi. Konsep sunat perempuan dilaksanakan atas dasar ajaran agama, tidak hanya agama
Islam tetapi beberapa agama lainnya. Namun sunat perempuan lebih dikenal dalam masyarakat
Islam dan Yahudi sebagai perintah agama yang harus dilakukan, dan merupakan ritual
keagamaan yang bersifat tradisional (Amriel, 2010).
Dalam budaya matriarki, sunat perempuan merupakan sebuah keharusan. Hal ini tidak terlepas
dari pendapat yang melekat dalam pemikiran masyarakat bahwa tradisi sunat perempuan
merupakan perintah agama dan anggapan perempuan adalah penggoda laki- laki karena
memiliki syahwat yang besar. Anggapan tersebut telah menyumbang mitos dalam kehidupan
perempuan, termasuk dalam tradisi sunat perempuan. Dengan disunat, daya seksual
perempuan dibatasi dan dianggap perempuan tidak lagi menjadi penggoda bagi laki- laki (Gani,
2007).
Tradisi sunat perempuan sesungguhnya dikenal dalam masyarakat Jawa, khususnya lingkungan
Kesultanan Yogyakarta. Tradisi ini dinamakan tetesan, yang harus dilakukan oleh perempuan
sejak lahir hingga remaja. Di beberapa daerah Jawa lainnya, sunat perempuan dikenal sebagai
tetesan. Bagi tenaga medis, seperti dokter dan bidan desa yang bertugas di puskesmas, sunat
perempuan telah berlangsung turun-temurun dan perlu dihormati. Kebanyakan sunat
perempuan dilakukan dengan bantuan dukun bayi dengan peralatan yang tidak steril yang
akhirnya membahayakan kesehatan reproduksi perempuan. Banyak hal dan alasan yang
dipercayai masyarakat Jawa dalam melakukan sunat, salah satunya adalah untuk kesehatan dan
kebersihan alat kelamin serta menghindari anak dari sukerto atau hambatan yang dibawa dan
sejak lahir serta sebagai identitas diri bahwa ia bersuku bangsa Jawa. Dengan begitu sunat
masyarakat Jawa percaya, bahwa sunat perempuan berfungsi untuk mensucikan diri manusia
dan terbebas dari bahaya. Bagi masyarakat Jawa menjalankan dan melestarikan tradisi sangat
penting, karena bagi mereka dengan menjalankan tradisi mereka tidak akan lupa dengan adat
istiadat yang telah ditanamkan sejak dulu oleh leluhur mereka dan mereka tidak akan di
singkirkan atau tidak di anggap oleh suku mereka. (Geertz, 1983).
1. Untuk memenuhi tugas Etika Profesi Dan Regulasi Dalam Praktik Kebidanan.
3. Memperoleh informasi.
Metode dan penulisan dalam makalah ini adalah dengan cara melakukan wawancara secara
langsung terhadap narasumber.
BAB 11
ISI PEMBAHASAN
A. Topik Wawancara
"Wawancara dengan bidan dengan tema sunat"
3. Nani Sumiati
4. Nia Pertiwi
5. Umatul Khoerriyah
Hasil wawancara
1.Apakah ibu pernah menangani klien yang berkeinginan sunat dan bagaimana etika &Moralitas untuk
menangani klien yang berkeinginan sunat ya bu?
Jawab : Tidak pernah,karena dalam konteks kesehatan,sunat perempuan bahkan justru mungkin
resikonya yang ada bisa infeksi misalnya jika dilihat dari sisi manfaatnya tidak ada,Sementara sunat
perempuan sesungguhnya tak bermanfaat bagi perempuan dari sisi medis,Namun adat ini telah
berakarsecara tradisi berbalut agama.
2.Didalam pelayanankebidanan apakah ibu pernah mengalami kendala saat melakukan penanganan
sunat ya bu ? Jika pernah ,apa saja dan seperti apa kendalanya bu?
Jawab : Tidak pernah melakukan penanganan sunat karena bisa terjadi resiko infeksi yang mengintai bila
terjadi kesalahan praktik.
3. Didalam pelayanan kebidanan jika ada kendala saat penanganan sunat,cara apa saja yang ibu lakukan
untuk menyelesaikan kendala tersebut bu?
Jawab : Kendalanya adalah menjelaskan ke masyarakat karena ini adat bukan domain
kesehatan,Kementrian Kesehatan tidak ada posisi memberikan pedoman terkait sunat perempuan.
4.Bagaimana pendapat ibu terkait UU bidan yang sudah ditetapkan dalam menangani klien yang
berkeinginan sunat ya bu?
Jawab : Tidak ada kompetensi bidan untuk melakukan sunat perempuan disamping itu tidak ada
kurikulum tentang sunat dalam pendidikan kebidanan.jadi kalau ada yang memaksa ,biasanya bidan
hanya melakukan sunat simbolik dengan menempelkan kunyit dan ani ani ( Pemotong padi ).
5.Apa saja bentuk informed consent terkait penanganan sunat ya bu? Dan seperti apa ya bu informad
consent dalam sunat itu?
Nama :
Umur/Jenis Kelamin :
Alamat :
Bukti diri/KTP :
Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan
PERSETUJUAN/PENOLAKAN
Nama :
Umur/Jenis Kelamin :
Alamat :
Bukti diri/KTP :
Dirawat di :
Yang tujuan, sifat dan perlunya tindaakn medis tersebut di atas, serta resiko yang dapat
ditimbulkannya telah cukup dijelaskan oleh dokter/paramedis dan telah saya mengerti
sepenuhnya.
Demikian pernyataan saya ini saya buat penuh kesadaran dan tanpa paksaan
Keluarga Pasien/Saksi
(......................)
6.Dalam Pelayanan kebidanan jika ada pasien yang tidak mau menandatangani informad consent terkait
dengan sunat bagaimana cara ibu untuk mengatasinya ya bu? Dan jika klien tetap tidak mau
menandatangani bagaimana yang akan ibu lakukan?
Jawab : Informad consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah
mendaptkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan. Dijelaskan tentang tidakan yang akan
dilakukan oleh bidan dan pasien akan menanggung segala akibat yang terjadi akan menjadi tanggung
jawab keluarga pasien bagi pasien yang tidak mau melakukan tanda tangan informad consent.
7.Apakah ibu pernah memiliki kasus klien yang berkeinginan sunat ya bu? Dan jika ada,bagaimana cara
ibu untuk menanganinya?
Jawab : Bidan akan memberikan penjelasan bahwa tidak ada kurikulum tentang sunat di pendidikan
kebidanan. Dan jika ada yang memaksa, bidan hanya melakukan sunat simbolik yaitu dengan cara
menempelkan kunyit dan ani ani (pemotong padi).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil wawancara, didapatkan hasil bahwa tidak ada kurikulum tentang sunat dalam pendidikan
kebidanan. Dan jika ada klien yang memaksa, bidan hanya bisa memberikan penjelasan mengenai
kurikulum sunat dalam pendidikan kebidanan dan hanya melakukan sunat simbolik dengan cara
menempelkan kunyit dan ani ani (pemotong padi). Kebanyakan sunat perempuan dilakukan dengan
bantuan dukun bayi dan jarang ke bidan atau dokter, padahal dukun bayi menyunat hanya
dengan peralatan yang tidak steril yang akhirnya membahayakan kesehatan reproduksi
perempuan. Tetapi itu sudah menjadi keinginan klien atau tradisi masyarakat jaman dahulu.
B. Saran