Kelas10 SMK Teknik-Survei-Dan-Pemetaan Iskandar PDF
Kelas10 SMK Teknik-Survei-Dan-Pemetaan Iskandar PDF
TEKNIK SURVEI
DAN PEMETAAN
JILID 1
SMK
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
Departemen Pendidikan Nasional
Hak Cipta pada Departemen Pendidikan Nasional
Dilindungi Undang-undang
TEKNIK SURVEI
DAN PEMETAAN
JILID 1
Untuk SMK
Penulis : Iskandar Muda
Perancang Kulit : TIM
Ukuran Buku : 17,6 x 25 cm
MUD MUDA, Iskandar.
t Teknik Survei dan Pemetaan Jilid 1 untuk SMK oleh
Iskandar Muda ---- Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan
Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
x, 173 hlm
Daftar Pustaka : Lampiran. A
Glosarium : Lampiran. B
Daftar Tabel : Lampiran. C
Daftar Gambar : Lampiran. D
ISBN : 978-979-060-151-2
ISBN : 978-979-060-152-9
Diterbitkan oleh
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
Departemen Pendidikan Nasional
Tahun 2008
KATA SAMBUTAN
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat
dan karunia Nya, Pemerintah, dalam hal ini, Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen
Pendidikan Nasional, telah melaksanakan kegiatan penulisan
buku kejuruan sebagai bentuk dari kegiatan pembelian hak cipta
buku teks pelajaran kejuruan bagi siswa SMK. Karena buku-buku
pelajaran kejuruan sangat sulit di dapatkan di pasaran.
Buku teks pelajaran ini telah melalui proses penilaian oleh Badan
Standar Nasional Pendidikan sebagai buku teks pelajaran untuk
SMK dan telah dinyatakan memenuhi syarat kelayakan untuk
digunakan dalam proses pembelajaran melalui Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 45 Tahun 2008 tanggal 15 Agustus
2008.
Kami berharap, semua pihak dapat mendukung kebijakan ini.
Kepada para peserta didik kami ucapkan selamat belajar dan
semoga dapat memanfaatkan buku ini sebaik-baiknya. Kami
menyadari bahwa buku ini masih perlu ditingkatkan mutunya.
Oleh karena itu, saran dan kritik sangat kami harapkan.
Jakarta, 17 Agustus 2008
Direktur Pembinaan SMK
ii
PENGANTAR PENULIS
Penulis mengucapkan puji syukur ke Hadirat Allah SWT karena atas ridho-Nya buku
teks “Teknik Survei dan Pemetaan” dapat diselesaikan dengan baik. Buku teks “Teknik
Survei dan Pemetaan” ini dibuat berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dibuat,
silabus mata kuliah Ilmu Ukur Tanah untuk mahasiswa S1 Pendidikan Teknik Sipil dan D3
Teknik Sipil FPTK UPI serta referensi-referensi yang dibuat oleh penulis dalam dan luar
negeri.
Tahap-tahap pembangunan dalam bidang teknik sipil dikenal dengan istilah SIDCOM
(survey, investigation, design, construction, operation and mantainance). Ilmu Ukur Tanah
termasuk dalam tahap studi penyuluhan (survey) untuk memperoleh informasi spasial
(keruangan) berupa informasi kerangka dasar horizontal, vertikal dan titik-titik detail yang
produk akhirnya berupa peta situasi.
Buku teks ini dibuat juga sebagai bentuk partisipasi pada Program Hibah Penulisan
Buku Teks 2006 yang dikoordinir oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Penulis mengucapkan terima kasih :
1. Kepada Yth. Prof.Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd, selaku Rektor Universitas
Pendidikan Indonesia di Bandung,
2. Kepada Yth. Drs. Sabri, selaku Dekan Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan
Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung,
atas perhatian dan bantuannya pada proposal buku teks yang penulis buat.
Sesuai dengan pepatah “Tiada Gading yang Tak Retak”, penulis merasa masih
banyak kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam proposal buku teks ini, baik
substansial maupun redaksional. Oleh sebab itu saran-saran yang membangun sangat
penulis harapkan dari para pembaca agar buku teks yang penulis buat dapat terwujud
dengan lebih baik di masa depan.
Semoga proposal buku teks ini dapat bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan
penulis khususnya serta memperkaya khasanah buku teks bidang teknik sipil di perguruan
tinggi (akademi dan universitas). Semoga Allah SWT juga mencatat kegiatan ini sebagai
bagian dari ibadah kepada-Nya. Amin.
Penulis,
ii
iii
2.3. Kesalahan Acak 50
2.4. Kesalahan Besar 50
DAFTAR ISI 3. Pengukuran Kerangka Dasar
Vertikal 60
JILID 1
Pengantar Direktur Pembinaan SMK i
Pengantar Penulis ii
Daftar Isi iv
Deskripsi Konsep xvi
Peta Kompetensi xvii
1. Pengantar Survei dan Pemetaan 1
2. Macam-Macam Kesalahan dan
Cara Mengatasinya 25
2.1. Kesalahan-Kesalahan pada
Survei dan Pemetaan 25
2.2. Kesalahan Sistematis 46
6. Macam Besaran Sudut 144
Dasar Vertikal 91
4.3. Prosedur Pengukuran Sipat Datar 6.1. Macam Besaran Sudut 144
Kerangka Dasar Vertikal 95
6.2. Besaran Sudut dari Lapangan 144
4.4. Pengolahan Data Sipat Datar
6.3. Konversi Besaran Sudut 145
Kerangka Dasar Vertikal 103
6.4. Pengukuran Sudut 160
4.5. Penggambaran Sipat Datar
Kerangka Dasar Vertikal 104
7. Jarak, Azimuth dan Pengikatan ke
Muka 189
5. Proyeksi Peta, Aturan Kuadran dan
Sistem Kordinat 120 7.1. Mengukur Jarak dengan Alat
Sederhana 189
5.1. Proyeksi Peta 120 7.2. Pengertian Azimuth 192
5.2. Aturan Kuadran 136 7.3. Tujuan Pengikatan ke Muka 197
5.3. Sistem Koordinat 137 7.4. Prosedur Pengikatan Ke muka 199
5.4. Menentukan Sudut Jurusan 139 7.5. Pengolahan Data Pengikatan
JILID 2
Kemuka 203
3.1. Pengertian 60
3.2. Pengukuran Sipat Datar Optis 60 8. Cara Pengikatan ke Belakang
3.3. Pengukuran Trigonometris 78 Metoda Collins 208
3.4. Pengukuran Barometris 81
4. Pengukuran Sipat Datar Kerangka 8.1. Tujuan Cara Pengikatan ke
Dasar Vertikal 90 Belakang Metode Collins 210
8.2. Peralatan, Bahan dan Prosedur
Pengikatan ke Belakang Metode
4.1. Tujuan dan Sasaran Pengukuran Collins 211
Sipat Datar Kerangka Dasar 8.3. Pengolahan Data Pengikatan ke
Vertikal 90 Belakang Metode Collins 216
4.2. Peralatan, Bahan dan Formulir 8.4. Penggambaran Pengikatan ke
Ukuran Sipat Datar Kerangka Belakang Metode Collins 228
iv
11. Pengukuran Luas 306
9. Cara Pengikatan ke Belakang Metoda
11.1. Metode-Metode Pengukuran Luas 306
Cassini 233
11.2. Prosedur Pengukuran Luas
dengan Perangkat Lunak
9.1. Tujuan Pengikatan ke Belakang AutoCAD 331
Metode Cassini 234
9.2. Peralatan, Bahan dan Prosedur
Pengikatan ke Belakang Metode JILID 3
Cassini 235
9.3. Pengolahan Data Pengikatan ke
Belakang Metode Cassini 240
9.4. Penggambaran Pengikatan ke
Belakang Metode Cassini 247
10. Pengukuran Poligon Kerangka
Dasar Horisontal 252
10.1. Tujuan Pengukuran Poligon
Kerangka Dasar Horizontal 252
10.2. Jenis-Jenis Poligon 254
10.3. Peralatan, Bahan dan Prosedur
Pengukuran Poligon 264
10.4. Pengolahan Data Pengukuran
Poligon 272
10.5. Penggambaran Poligon 275
di Tepi Pantai 388
13.11. Bentuk-Bentuk Lembah dan
Pegunungan dalam Garis Kontur 390
13.12.Cara Menentukan Posisi, Cross
13. Garis Kontur, Sifat dan
Bearing dan Metode
Interpolasinya 378
Penggambaran 392
13.13 Pengenalan Surfer 393
13.1. Pengertian Garis Kontur 378
13.2. Sifat Garis Kontur 379 14. Perhitungan Galian dan
13.3. Interval Kontur dan Indeks Kontur 381 Timbunan 408
13.4. Kemiringan Tanah dan Kontur
Gradient 382 14.1. Tujuan Perhitungan Galian dan
13.5. Kegunaan Garis Kontur 382
Timbunan 408
13.6. Penentuan dan Pengukuran Titik
14.2. Galian dan Timbunan 409
Detail untuk Pembuatan Garis
14.3. Metode-Metode Perhitungan
Kontur 384
Galian dan Timbunan 409
13.7. Interpolasi Garis Kontur 386
14.4. Pengolahan Data Galian dan
13.8. Perhitungan Garis Kontur 387
Timbunan 421
13.9. Prinsip Dasar Penentuan Volume 387
14.5. Perhitungan Galian dan Timbunan 422
13.10. Perubahan Letak Garis Kontur
14.6. Penggambaran Galian dan
Timbunan 430
12. Pengukuran Titik-titik Detail Metoda
Tachymetri 337 15. Pemetaan Digital 435
12.1.Tujuan Pengukuran Titik-Titik 15.1. Pengertian Pemetaan Digital 435
Detail Metode Tachymetri 337 15.2. Keunggulan Pemetaan Digital
12.2.Peralatan, Bahan dan Prosedur Dibandingkan Pemetaan
Pengukuran Tachymetri 351 Konvensional 435
15.3. Bagian-Bagian Pemetaan Digital 436
12.3. Pengolahan Data Pengukuran 15.4. Peralatan, Bahan dan Prosedur
Tachymetri 359 Pemetaan Digital 440
12.4. Penggambaran Hasil Pengukuran 15.5. Pencetakan Peta dengan Kaidah
Tachymetri 360 Kartografi 463
16. Sistem Informasi Geografis 469
16.1. Pengertian Dasar Sistem
Informasi Geografis 469
16.2. Keuntungan SIG 469
16.3. Komponen Utama SIG 474
16.4. Peralatan, Bahan dan Prosedur
Pembangunan SIG 479
16.5. Jenis-Jenis Analisis Spasial
dengan Sistem Informasi
Geografis dan Aplikasinya pada
Berbagai Sektor Pembangunan 488
Lampiran
Daftar Pustaka...........A
Glosarium ...............................B
vi
DESKRIPSI
Buku Teknik Survei dan Pemetaan ini menjelaskan ruang lingkup Ilmu ukur
tanah, pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan pada Ilmu Ukur tanah untuk
kepentingan studi kelayakan, perencanaan, konstruksi dan operasional pekerjaan
teknik sipil. Selain itu, dibahas tentang perkenalan ilmu ukur tanah, aplikasi teori
kesalahan pada pengukuran dan pemetaan, metode pengukuran kerangka dasar
vertikal dan horisontal, metode pengukuran titik detail, perhitungan luas, galian
dan timbunan, pemetaan digital dan sistem informasi geografis.
Buku ini tidak hanya menyajikan teori semata, akan tetapi buku ini
dilengkapi dengan penduan untuk melakukan praktikum pekerjaan dasar survei.
Sehingga, diharapkan peserta diklat mampu mengoperasikan alat ukur waterpass
dan
No Sub Kompetensi Pembelajaran
Pengetahuan Keterampilan theo
1 Pengantar survei dan a. Memahami ruang lingkup plan Menggambarkan diagram
pemetaan surveying dan geodetic alur ruang lingkup pekerjaan dolit
b. Memahami ruang lingkup survei dan pemetaan
pekerjaan survey dan e, d
pemetaan
c. Memahami pengukuran apa
kerangka dasar vertikal
d. Memahami Pengukuran t me
kerangka dasar horisontal
e. Memahami Pengukuran titik- lakuk
titik detail
2 Teori Kesalahan a. Mengidentifikasi kesalahan- an p
kesalahan pada pekerjaan
survey dan pemetaan
engu
b. Mengidentifikasi kesalahan
sistematis (systematic error)
kura
c. Mengidentifikasi Kesalahan n sip
Acak (random error)
d. Mengidentifikasi Kesalahan at d
Besar (random error)
e. Mengeliminasi Kesalahan atar
Sistematis
f. Mengeliminasi Kesalahan , pol
Acak
3 Pengukuran kerangka a. Memahami penggunaan sipat Dapat melakukan ygo
dasar vertikal datar kerangka dasar vertikal pengukuran kerangka dasar
b. Memahami penggunaan vertikal dengan n da
trigonometris menggunakan sipat datar,
c. Memahami penggunaan trigonometris dan n ta
barometris barometris.
4 Pengukuran sipat dasar a. Memahami tujuan dan Dapat melakukan chym
kerangka dasar vertikal sasaran pengukuran sipat pengukuran kerangka dasar
datar kerangka dasar vertikal vertikal dengan etry
b. Mempersiapkan peralatan, menggunakan sipat datar
bahan dan formulir kemudian mengolah data
pengukuran sipat datar dan menggambarkannya.
kerangka dasar vertikal
c. Memahami prosedur
pengukuran sipat datar
kerangka dasar vertikal
d. Dapat mengolah data sipat
datar kerangka dasar vertikal
Dapat menggambaran sipat
datar kerangka dasar vertikal
serta pembuatan peta situasi.
vii
PETA KOMPETENSI
Program diklat : Pekerjaan Dasar Survei
Tingkat : x (sepuluh)
Alokasi Waktu : 120 Jam pelajaran
Kompetensi : Melaksanakan Dasar-dasar Pekerjaan Survei
No Sub Kompetensi Pembelajaran
Pengetahuan Keterampilan
10
15
5 Pemetaan digital
Proyeksi peta, aturan
Pengukuran poligon a. Memahami pengertian
a. Memahami tujuan Membuat Proyeksi peta
Dapat melakukan
kuadran dan sistem
kerangka dasar pengukuran poligon
pemetaan digital
proyeksi peta, aturan kuadran berdasarkan aturan kuadran
pengukuran kerangka dasar
koordinat
horisontal b. Memahami kerangka dasar
b. Mengetahui keunggulan
dan sistem koordinat dan sisten koordinat
horisontal (poligon).
b. Memahami jenis-jenis
horisontal
pemetaan digital
c. Mengetahui jenis-jenis poligon
dibandingkan pemetaan
proyeksi peta dan aplikasinya
c. Memahami aturan kuadran
d. Mempersiapkan peralatan,
konvensional
c. Memahami perangkat keras
bahan dan prosedur
geometrik dan trigonometrik
d. Memahami sistem koordinat
pengukuran poligon
dan perangkat lunak
e. Memahami pengolahan data
pemetaan digital
ruang dan bidang
e. Memahami orientasi survei
d. Memahami pencetakan peta
pengukuran poligon
f. Memahami penggambaran
dengan kaidah kartografi
dan pemetaan serta aturan
16 Sisitem informasi poligon
kuadran geometrik
a. Memahami pengertian sistem
11
6 Macam besaran sudut
Pengukuran luas
geografik a. Menyebutkan metode-metode
a. Mengetahui macam besaran
informasi geografik Mengaplikasikan besaran
Menghitung luas
b. Memahami keunggulan
sudut
pengukuran luas sudut dilapangan untuk
bedasarkan hasil dilapangan
b. Memahami besaran sudut
b. Memahami prosedur
sistem informasi geografik pengolahan data.
dengan metoda saruss,
dari lapangan
pengukuran luas dengan
dibandingkan pemetaan planimeter dan autocad.
c. Dapat melakukan konversi
metode sarrus
digital perangkat keras dan
c. Memahami prosedur
besaran sudut
perangkat lunak sistem
d. Memahami besaran sudut
pengukuran luas dengan
informasi geografik
c. Mempersiapkan peralatan,
untuk pengolahan data
planimeter
d. Memahami prosedur
bahan dan prosedur
7 Jarak, azimuth dan pengukuran luas dengan
pembangunan sistem
a. Memahami pengertian jarak Mengukur jarak baik dengan
pengikatan kemuka autocad
informasi geografik
pada survey dan pemetaan alat sederhana maupun
12 Pengukuran titik-titik d. Memahami jenis-jenis analisis
a. Memahami tujuan
b. Memahami azimuth dan sudut Melakukan pengukuran titik-
dengan pengikatan ke
detail spasial dengan sistem
pengukuran titik-titik detail
jurusan titik dtail metode tachymetri.
muka.
informasi geografik dan
metode tachymetri
c. Memahami tujuan pengikatan
aplikasinya pada berbagai
b. Mempersiapkan peralatan,
ke muka
sektor pembangunan
bahan dan prosedur
d. Mempersiapkan peralatan,
pengukuran tachymetri
bahan dan prosedur
c. Memahami pengolahan data
pengikatan ke muka
pengukuran tachymetri
e. Memahami pengolahan data
d. Memahami penggambaran
pengikatan ke muka
hasil pengukuran tachymetri
f. Memahami penggambaran
pengikatan ke muka
13 Garis kontur, sifat dan a. Memahami pengertian garis Membuat garis kontur
8 Cara pengikatan ke
interpolasinya a. Tujuan Pengikatan ke
kontur Mencari koordinat dengan
berdasarkan data yang
belakang metode b. Menyebutkan sifat-sifat garis
Belakang Metode Collins metode Collins.
diperoleh di lapangan.
collins b. Peralatan, Bahan dan
kontur
c. Mengetahui cara penarikan
Prosedur Pengikatan ke
Belakang Metode Collins
garis kontur
c. Pengolahan Data Pengikatan
d. Mengetahui prosedur
ke Belakang Metoda Collins
penggambaran garis kontur
d. Penggambaran Pengikatan ke
e. Memahami penggunaan
Belakang Metode Collins
perangkat lunak surfer
14
9 Perhitungan galian dan
Cara pengikatan ke a. Memahami tujuan
a. Memahami tujuan pengikatan Menghitung galian dan
Mencari koordinat dengan
belakang metode
timbunan ke belakang metode cassini
perhitungan galian dan metode Cassini.
timbunan.
Cassini timbunan
b. Mempersiapkan peralatan,
b. Memahami metode-metode
bahan dan prosedur
perhitungan galian dan
pengikatan ke belakang
metode cassini
timbunan
c. Memahami pengolahan data
c. Memahami pengolahan data
pengikatan ke belakang
galian dan timbunan
d. Mengetahui cara
metoda cassini
d. Memahami penggambaran
penggambaran galian dan
timbunan
pengikatan ke belakang
metode cassini
viii
ix
x
1 Pengantar Survei dan Pemetaan 1
1. Pengantar Survei dan Pemetaan
permukaan bumi baik unsur alam maupun
1.1 Plan surveying dan geodetic unsur buatan manusia pada bidang yang
surveying
dianggap datar. Plan surveying di batasi
oleh daerah yang sempit yaitu berkisar
llmu ukur tanah merupakan bagian rendah antara 0.5 derajat x 0.5 derajat atau 55 km x
dari ilmu yang lebih luas yang dinamakan
55 km.
ilmu Geodesi.
Ilmu Geodesi mempunyai dua maksud : Plan Surveying
a. Maksud ilmiah : menentukan bentuk Geodesi
permukaan bumi
b. Maksud praktis : membuat bayangan Geodetic Survaying
yang dinamakan peta dari sebagian
besar atau sebagian kecil permukaan Bentuk bumi merupakan pusat kajian dan
bumi. perhatian dalam Ilmu ukur tanah. Proses
penggambaran permukaan bumi secara
Pada maksud kedua inilah yang sering
fisiknya adalah berupa bola yang tidak
disebut dengan istilah pemetaan.
beraturan bentuknya dan mendekati bentuk
Pengukuran dan pemetaan pada dasarnya
sebuah jeruk. Hal tersebut terbukti dengan
dapat dibagi 2, yaitu :
adanya pegunungan, Lereng-lereng, dan
Geodetic Surveying jurang jurang. Karena bentuknya yang tidak
Plan Surveying beraturan maka diperlukan suatu bidang
matematis. Para pakar kebumian yang ingin
Perbedaan prinsip dari dua jenis
menyajikan informasi tentang bentuk bumi,
pengukuran dan pemetaan di atas adalah :
mengalami kesulitan karena bentuknya
Geodetic surveying suatu pengukuran
yang tidak beraturan ini, oleh sebab itu,
untuk menggambarkan permukaan bumi
mereka berusaha mencari bentuk sistematis
pada bidang melengkung/ellipsoida/bola.
yang dapat mendekati bentuk bumi.
Geodetic Surveying adalah llmu, seni,
teknologi untuk menyajikan informasi bentuk Awalnya para ahli memilih bentuk bola
kelengkungan bumi atau pada sebagai bentuk bumi. Namum pada
keiengkungan bola. Sedangkan plan hakekatnya, bentuk bumi mengalami
Surveying adalah merupakan llmu seni, dan pemepatan pada bagian kutub-kutubnya,
teknologi untuk menyajikan bentuk hal ini terlihat dari Fenomena lebih
panjangnya jarak lingkaran pada bagian
equator di bandingkan dengan jarak pada
lingkaran yang melalui kutub utara dan
kutub selatan dan akhirnya para ahli
memilih Ellipsoidal atau yang dinamakan
1 Pengantar Survei dan Pemetaan
ellips yang berputar dimana sumbu
pendeknya adalah suatu sumbu yang
menghubungkan kutub utara dan sumbu
kutub selatan yang merupakan poros
perputaran bumi, sedangkan sumbu
panjangnya adalah sumbu yang
menghubungkan equator dengan equator
yang lain dipermukaan sebaliknya. 2
adalah bila daerah mempunyai ukuran
Eksentrisitas kedua e = terbesar tidak melebihi 55 km (kira-kira 10
jam jalan).
Terbukti, bahwa bentuk bumi itu dapat
dianggap sebagai bentuk ruang yang
terjadi dengan memutar suatu ellips
dengan sumbu kecilnya sebagai sumbu
putar. Bilangan - bilangan yang penting
mengenai bentuk bumi yang banyak
digunakan dalam ilmu geodesi adalah :
e = 0, 006.694.605.329, 56
e' = 0, 006..739.725.182, 32
Gambar 1. Anggapan bumi
Bidang Ellipsoide adalah bila luas daerah Sumbu panjang ellipsoid a
lebih besar dari 5500 Km2, ellipsoide ini di Sumbu panjang ellipsoid b
dapat dengan memutar suatu ellips dengan Angka pergepengan x = a b
sumbu kecilnya sebagai sumbu putar a = a
6377.397, dan sumbu kecil b = 6356.078 1 a
Yang banyak dipakai adalah
m. Bidang bulatan adalah elips dari Bessel x a b
mempunyai sumbu kurang dari 100 km.
Jari-jari bulatan ini dipilih sedemikian, Eksentrisitas kesatu e2 =
a 2 b2
sehingga bulatan menyinggung permukaan a 2
bumi di titik tengah daerah. Bidang datar
1 Pengantar Survei dan Pemetaan 3
’2 a 2 b2 Salah satu hal yang harus diperhatikan
b 2 berkaitan dengan ellipsoidal bumi adalah
(l.A.G) Pada Sidang Umum International komponen – komponen sebagai berikut :
Union of Geodesy and Geophysics, dan a adalah sumbu setengah pendek
diterimanya dengan dimensi : atau jari-jari equator,
a = 6.37788.116660,000 m b adalah setengah sumbu pendek
b = 6.356.774, 5161 m atau jari-jari kutub,
2 pemepatan atau penggepengan
2 yaitu sebagai parameter untuk
menentukan bentuk ellipsoidal/
ellips,
1 eksentrisitet pertama dan
= 298,247.167.427
x eksentrisitet kedua.
2a b
R rata - rata = = 6.371. Q31, 5Q54 m
3
Gambar 2. Ellipsoidal bumi
kelengkungan bumi masih dapat diabaikan.
Lingkar paralel adalah lingkaran yang
memotong tegak lurus terhadap sumbu
putar bumi. Lingkaran paralel yang tepat
1 Pengantar Survei dan Pemetaan
membagi dua belahan bumi utara-selatan
yaitu lingkar paralel 0 0 disebut lingkaran
equator. Lingkar paralel berharga positif ke
Keterangan :
utara hingga 90° pada titik kutub utara dan
0 = pusat bumi (pusat ellipsoide bumi)
sebaliknya negatif ke selatan hingga -900
Ku = Kutub Utara bumi
pada titik kutub selatan. Lingkar meridian
Ks = Kutub selatan bumi
adalah lingkaran yang sejajar dengan
EK = ekuator bumi
sumbu bumi dan memotong tegak lurus
Bentuk bumi yang asli tidaklah bulat
sempurna (agak lonjong) namun
pendekatan bumi sebagai bola sempurna
masih cukup relevan untuk sebagian besar
kebutuhan, termasuk penentuan
kedudukan dengan tingkat presisi yang
relatif rendah.
Pada kenyataannya kita ingin menyajikan
permukaan bumi dalam bentuk bidang
datar. Oleh sebab itu, bidang bola atau
bidang ellipsoide yang akan dikupas pasti
ada distorsi atau ada perubahan bentuk
karena harus ada bagian dari bidang
speroid itu yang tersobekan dengan
kenyataan tersebut didekati dengan
perantara bidang proyeksi. Bidang proyeksi
ini terbagi dalam tiga jenis, yaitu :
Bidang proyeksi bidang datarnya
sendiri atau dinamakan perantara
azimuthal dan zenithal,
Bidang perantara yang berbentuk
kerucut dinamakan bidang perantara
conical,
Bidang proyeksi yang menggunakan
bidang perantara berbentuk silinder
yang dinamakan bidang perantara
cylindrical.
Dari bidang perantara ini ada aspek
geometric dari permukaan bumi matematis
itu ke bidang datar berhubungan dengan
luas, maka dinamakan proyeksi equivalent,
berhubungan dengan jarak (jarak di
bidang datar dalam perbandingan
skalanya) dinamakan proyeksi equidistance
dan berhubungan dengan sudut (sudut
permukaan bumi sama dengan sudut di
1 Pengantar Survei dan Pemetaan bidang datar) dinamakan proyeksi conform.
Contoh aplikasi yang mempertahankan
geometric itu adalah proyeksi equivalent
permukaan bumi sama dengan jarak pada
yaitu pemetaan yang biasanya digunakan
oleh BPN, proyeksi equidistance yaitu
pemetaan yang digunakan departemen
perhubungan dalam hal ini misalnya
jaringan jalan. Sedangkan proyeksi 5
conform yaitu pemetaan yang digunakan
untuk keperluan navigasi laut atau udara.
Ilmu ukur tanah pada dasarnya terdiri dari mempunyai bentuk tidak beraturan.
tiga bagian besar yaitu : Pengukuran-pengukuran dibagi dalam
pengukuran yang mendatar untuk
a) Pengukuran kerangka dasar Vertikal
mendapat hubungan titik-titik yang diukur di
(KDV)
atas permukaan bumi (Pengukuran
b) Pengukuran kerangka dasar Horizontal
Kerangka Dasar Horizontal) dan
(KDH)
pengukuran-pengukuran tegak guna
c) Pengukuran Titik-titik Detail
mendapat hubungan tegak antara titik-titik
yang diukur (Pengukuran Kerangka Dasar
Vertikal) serta pengukuran titik-titik detail.
Kerangka dasar pemetaan untuk pekerjaan
rekayasa sipil pada kawasan yang tidak
luas, sehingga bumi masih bisa dianggap
sebagai bidang datar, umumnya
merupakan bagian pekerjaan pengukuran
dan pemetaan dari satu kesatuan paket
pekerjaan perencanaan dan atau
perancangan bangunan teknik sipil. Titik-
titik kerangka dasar pemetaan yang akan
ditentukan tebih dahulu koordinat dan
ketinggiannya itu dibuat tersebar merata
dengan kerapatan tertentu, permanen,
mudah dikenali dan didokumentasikan
secara baik sehingga memudahkan
penggunaan selanjutnya.
1 Pengantar Survei dan Pemetaan
Gambar 3. Aplikasi pekerjaan pemetaan pada
bidang teknik sipil
peta perencanaan suatu bangunan sipil ke
Kerangka dasar vertikal merupakan teknik
lapangan (permukaan bumi) dalam
dan cara pengukuran kumpulan titik-titik
pelaksanaanya pekerjaan sipil ini dibuat
yang telah diketahui atau ditentukan posisi
dengan pematokan/ staking out, atau
vertikalnya berupa ketinggiannya terhadap
dengan perkataan lain bahwa pematokan
bidang rujukan ketinggian tertentu.
merupakan kebalikan dari pemetaan.
Bidang ketinggian rujukan ini biasanya
berupa ketinggian muka air taut rata-rata
(mean sea level - MSL) atau ditentukan
lokal.
Metode sipat datar prinsipnya adalah
Mengukur tinggi bidik alat sipat datar
optis di lapangan menggunakan rambu
ukur.
Pengukuran Trigonometris prinsipnya
adalah Mengukur jarak langsung (Jarak
Miring), tinggi alat, tinggi, benang
tengah rambu, dan suclut Vertikal
(Zenith atau Inklinasi).
Pengukuran Barometris pada prinsip-
nya adalah mengukur beda tekanan
atmosfer.
Metode sipat datar merupakan metode
yang paling teliti dibandingkan dengan
metode trigonometris dan barometris. Hal
ini dapat dijelaskan dengan menggunakan
teori perambatan kesalahan yang dapat
diturunkan melalui persamaan matematis
diferensial parsial.
Gamba 4. Staking out
1.3.1. Metode pengukuran sipat datar
optis
1 Pengantar Survei dan Pemetaan
7
nivo yang melalui titik A dan B. Umumnya
bidang nivo adalah bidang yang lengkung,
Gambar 5. Pengukuran sipat datar optis
tetapi bila jarak antara titik-titik A dan B
Metode sipat datar prinsipnya adalah dapat dianggap sebagai Bidang yang
Mengukur tinggi bidik alat sipat datar optis
mendatar.
di lapangan menggunakan rambu ukur.
Untuk melakukan dan mendapatkan
Hingga saat ini, pengukuran beda tinggi
pembacaan pada mistar yang dinamakan
dengan menggunakan metode sipat datar
pula Baak, diperlukan suatu garis lurus,
optis masih merupakan cara pengukuran
Untuk garis lurus ini tidaklah mungkin
beda tinggi yang paling teliti. Sehingga
seutas benang, meskipun dari kawat,
ketelitian kerangka dasar vertikal (KDV)
karena benang ini akan melengkung, jadi
dinyatakan sebagai batas harga terbesar
tidak lurus.
perbedaan tinggi hasil pengukuran sipat
Bila diingat tentang hal hal yang telah di
datar pergi dan pulang.
bicarakan tentang teropong, maka setelah
Maksud pengukuran tinggi adalah
teropong dilengkapi dengan diafragma,
menentukan beda tinggi antara dua titik. pada teropong ini di dapat suatu garis lurus
Beda tinggi h diketahui antara dua titik a ialah garis bidik. Garis bidik ini harus di buat
dan b, sedang tinggi titik A diketahui sama mendatar supaya dapat digunakan untuk
dengan Ha dan titik B lebih tinggi dari titik menentukan beda tinggi antara dua titik,
A, maka tinggi titik B, Hb = Ha + h yang ingatlah pula nivo pada tabung, karena pada
diartikan dengan beda tinggi antara titik A nivo tabung dijumpai suatu garis lurus yang
clan titik B adalah jarak antara dua bidang dapat mendatar dengan ketelitian besar.
tabung diatas teropong. Supaya garis bidik
mendatar, bila garis arah nivo di datarkan
dengan menempatkan gelembung di tengah-
tengah, perlulah lebih dahulu.
1 Pengantar Survei dan Pemetaan
Garis bidik di dafam teropong, dibuat sejajar
dengan garis arah nivo. Hal inilah yang
menjadi syarat utama untuk semua alat ukur
Garis lurus ini ialah tidak lain adalah garis
penyipat datar. Dalam pengukuran Sipat
nivo. Maka garis arah nivo yang dapat
Datar Optis bisa menggunakan Alat
mendatar dapat pula digunakan untuk
sederhana dengan spesifikasi alat penyipat
mendatarkan garis bidik di dalam suatu
datar yang sederhana terdiri atas dua tabung
teropong, caranya; tempatkan sebuah nivo
terdiri dari gelas yang berdiri dan di
hubungkan dengan pipa logam. Semua ini
dipasang diatas statif. Tabung dari gelas dan
pipa penghubung dari logam di isi dengan zat
cair yang berwarna. Akan tetapi ketelitian
membidik kecil, sehingga alat ini tidak 8
digunakan orang lagi. Perbaikan dari alat ini
adalah mengganti pipa logam dengan slang
dari karet dan dua tabung gelas di beri skala tengah-tengah antara rambu belakang dan
dalam mm. muka .Alat sifat datar diatur sedemikian rupa
sehingga teropong sejajar dengan nivo yaitu
Cara menghitung tinggi garis bidik atau
dengan mengetengahkan gelembung nivo.
benang tengah dari suatu rambu dengan
Setelah gelembung nivo di ketengahkan
menggunakan alat ukur sifat datar
barulah di baca rambu belakang dan rambu
(waterpass). Rambu ukur berjumlah 2 buah
muka yang terdiri dari bacaan benang
masing-masing di dirikan di atas dua patok
tengah, atas dan bawah. Beda tinggi slag
yang merupakan titik ikat jalur pengukuran
tersebut pada dasarnya adalah
alat sifat optis kemudian di letakan di
pengurangan benang tengah belakang
dengan benang tengah muka.
Berikut ini adalah syarat-syarat untuk alat
penyipat datar optis :
Garis arah nivo harus tegak lurus
pada sumbu kesatu alat ukur penyipat
datar. Bila sekarang teropong di putar
dengan sumbu kesatu sebagai sumbu
putar dan garis bidik di arahkan ke mistar
kanan, maka sudut a antara garis arah
nivo dan sumbu kesatu pindah kearah
kanan, dan ternyata garis arah nivo dan
dengan sendirinya garis bidik tidak
mendatar, sehingga garis bidik yang
tidak mendatar tidaklah dapat digunakan
untuk pembacaan b dengan garis bidik
yang mendatar, haruslah teropong
dipindahkan keatas, sehingga
gelembung di tengah-tengah.
Benang mendatar diagfragma harus
tegak lurus pada sumbu kesatu. Pada
pengukuran titik tinggi dengan cara
menyipat datar, yang dicari selalu titik
potong garis bidik yang mendatar dengan
mistar- n
mistar yang di
g
pasang diatas
titik- h
titik, sedan u
1 Pengantar Survei dan Pemetaan g diketahui ba b
hwa garis bidik u
adalah gari n
s lurus yang me
gkan
dua titik potong benang atau garis
diagframa dengan titik tengah lensa
objektif teropong.
Garis bidik teropong harus sejajar 9
dengan garis arah nivo. Garis bidik
adalah Garis lurus yang
menghubungkan titik tengah lensa
objektif dengan titik potong dua garis
diafragma, dimana pada garis bidik
pada teropong harus sejajar dengan
garis arah nivo sehingga hasil dari
pengukuran adalah hasil yang teliti dan
tingkat kesaIahannya sangat keciI.
Alat-alat yang biasa digunakan dalam
pengukuran kerangka dasar vertikal metode
Gambar 7. Pita ukur
sipat datar optis adalah:
Alat Sipat Datar
Gambar 8. Rambu ukur
Pita Ukur
Rambu Ukur
Statif
Unting – Unting
Dll
Gambar 9. Statif
Gambar 6 . Alat sipat datar
1.3.2. Metode pengukuran barometris
Pengukuran Barometris pada prinsip-nya
1 Pengantar Survei dan Pemetaan
10
dalam hal ini misalnya elevasi ± 0,00 meter
permukaan air laut rata-rata.
adalah mengukur beda tekanan atmosfer. P=
f m. a
Phg . g. H
Pengukuran tinggi dengan menggunakan A A
metode barometris dilakukan dengan MV 2
FC = - FC =
menggunakan sebuah barometer sebagai R
alat utama. Keterangan :
p = massa jenis rasa air raksa (hidragirum)
g = gravitasi - 9.8 mJsZ - 10 m/s2
h= tinggi suatu titik dari MSL ( Mean Sea
level )
BT
Gambar 10. Barometris
Inklinasi
Seperti telah di ketahui, Barometer adalah (i)
A dAB
alat pengukur tekanan udara. Di suatu
tempat tertentu tekanan udara sama
Gambar 11. Pengukuran Trigonometris
dengan tekanan udara dengan tebal
d AB = dm . cos i
tertentu pula. Idealnya pencatatan di setiap
HAB =dm. sin i + TA – TB
titik dilakukan dalam kondisi atmosfer yang
sama tetapi pengukuran tunggal hampir Pengukuran kerangka dasar vertikal
tidak mungkin dilakukan karena pencatatan metode trigonometris pada prinsipnya
tekanan dan temperatur udara adalah perolehan beda tinggi melalui jarak
mengandung kesalahan akibat perubahan langsung teropong terhadap beda tinggi
kondisi atmosfir. penentuan beda tinggi dengan memperhitungkan tinggi alat, sudut
dengan cara mengamati tekanan udara di vertikal (zenith atau inklinasi) serta tinggi
suatu tempat lain yang dijadikan referensi garis bidik yang diwakili oleh benang
gelembung nivo terlebih dahulu baru
kemudian membaca unsur-unsur
pengukuran yang lain. Jarak langsung
dapat diperoleh melalui bacaan optis
data sudut mendatar yang diukur pada
1.4 Pengukuran kerangka dasar
horizontal skafa fingkaran yang letaknya mendatar.
Bagian-bagian dari pengukuran kerangka
dasar horizontal adalah :
Untuk mendapatkan hubungan mendatar
titik-titik yang diukur di atas permukaan Metode Poligon
mendatar yang disebut dengan istilah Metode Trilaterasi
1.4.1 Metode pengukuran poligon
Poligon digunakan apabila titik-titik yang
akan di cari koordinatnya terletak
memanjang sehingga tnernbentuk segi
banyak (poligon). Pengukuran dan
Pemetaan Poligon merupakan salah satu
pengukuran dan pemetaan kerangka dasar
horizontal yang bertujuan untuk
memperoleh koordinat planimetris (X,Y)
titik-titik pengukuran. Pengukuran poligon
sendiri mengandung arti salah satu metode
penentuan titik diantara beberapa metode
penentuan titik yang lain. Untuk daerah
yang relatif tidak terlalu luas, pengukuran
cara poligon merupakan pilihan yang sering
di gunakan, karena cara tersebut dapat
dengan mudah menyesuaikan diti dengan
keadaan daerah/lapangan. Penentuan
koordinat titik dengan cara poligon ini
membutuhkan,
terhadap suatu sistim tertentu,
haruslah dipilih koordinat titik yang
sudah diketahui misalnya: titik
triangulasi atau titik-titik tertentu yang
1 Pengantar Survei dan Pemetaan mempunyai hubungan dengan lokasi
yang akan dipatokkan. Bila dipakai
system koordinat lokal pilih salah satu
Gambar 12. Pengukuran poligon
Data ukuran tersebut, harus bebas dari
sistematis yang terdapat (ada alat ukur)
sedangkan salah sistematis dari orang atau
pengamat dan alam di usahakan sekecil
mungkin bahkan kalau bisa di tiadakan.
Berdasarkan bentuknya poligon dapat dibagi
dalam dua bagian, yaitu :
Poligon berdasarkan visualnya :
a. poligon tertutup
b. poligon terbuka
1 Pengantar Survei dan Pemetaan
c. poligon bercabang
13
Untuk mendapatkan nilai sudut-sudut dalam
atau sudut-sudut luar serta jarak jarak
mendatar antara titik-titik poligon diperoleh
atau diukur di lapangan menggunakan alat
pengukur jarak yang mempunyai tingkat
Poligon berdasarkan geometriknya : ketelitian tinggi.
a. poligon terikat sempurna
Poligon digunakan apabila titik-titik yang akan
b. poligon terikat sebagian
dicari koordinatnya terletak memanjang
c. poligon tidak terikat
sehingga membentuk segi banyak (poligon).
Metode poligon merupakan bentuk yang
paling baik di lakukan pada bangunan karena
memperhitungkaan bentuk kelengkungan
bumi yang pada prinsipnya cukup di tinjau
dari bentuk fisik di lapangan dan geometrik-
nya. Cara pengukuran polygon merupakan
cara yang umum dilakukan untuk pengadaan
kerangka dasar pemetaan pada daerah yang
tidak terlalu luas sekitar (20 km x 20 km).
Berbagai bentuk poligon mudah dibentuk
untuk menyesuaikan dengan berbagai bentuk
medan pemetaan dan keberadaan titik – titik
rujukan maupun pemeriksa. Tingkat ketelitian
sistem koordinat yang diinginkan dan kedaan
medan lapangan pengukuran merupakan
faktor-faktor yang menentukan dalam
Titik Jarak Ketelitian Metode
menyusun ketentuan poligon kerangka
P 20 - 40 km 0.07 Triangulasi
dasar.Tingkat ketelitian umum dikaitkan
S 10 – 20 km 0.53 Triangulasi
dengan jenis dan atau tahapan pekerjaan
T 3 – 10 km 3.30 Mengikat
yang sedang dilakukan. Sistem koordinat
K 1 – 3 km - Polygon
dikaitkan dengan keperluan pengukuran
pengikatan. Medan lapangan pengukuran
menentukan bentuk konstruksi pilar atau
patok sebagai penanda titik di lapangan
penempatan titik.
1.4.2 Metode pengukuran triangulasi
Tabel 1. Ketelitian posisi horizontal (x,y) titik triangulasi
Selain posisi horizontal (X Y) dalam sistem dalam sistem geografis (j,I) dan
proyeksi Mercator, titik-titik triangulasi ini ketinggiannya terhadap muka air laut rata-
juga dilengkapi dengan informasi posisinya
rata yang ditentukan dengan cara
trigonometris.
Triangulasi dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
1 Pengantar Survei dan Pemetaan
Primer
Sekunder
Tersier
Bentuk geometri triangulasi terdapat tiga
buah bentuk geometrik dasar triangulasi,
yaitu :
Rangkaian segitiga yang
sederhana cocok untuk pekerjaan-
15
pekerjaan dengan orde rendah
untuk ini dapat sedapat mungkin
diusahakan sisi-sisi segitiga sama
segitiga yang seluruh jarak jaraknya di ukur
panjang.
di lapangan.
Kuadrilateral merupakan bentuk
yang terbaik untuk ketelitian tinggi,
karena lebih banyak syarat yang
dapat dibuat. Kuadrilateral tidak
boleh panjang dan sempit.
Titik pusat terletak antara 2 titik
yang terjauh dan sering di
perlukan.
1.4.3 Metode pengukuran trilaterasi
Trilaterasi digunakan apabila daerah yang
Gambar 13. Jaring-jaring segitiga
diukur ukuran salah satunya lebih besar
Pada jaring segitiga akan selalu diperoleh
daripada ukuran lainnya, maka dibuat
suatu titik sentral atau titik pusat. Pada titik
rangkaian segitiga. Pada cara ini sudut
pusat tersebut terdapat beberapa buah
yang diukur adalah semua sisi segitiga.
sudut yang jumlahnya sama dengan 360
Metode Trilaterasi yaitu serangkaian
derajat.
1.4.4. Metode pengukuran pengikatan
ke muka
Pengikatan ke muka adalah suatu metode
pengukuran data dari dua buah titik di
lapangan tempat berdiri alat untuk
memperoleh suatu titik lain di lapangan
tempat berdiri target (rambu ukur, benang,
unting-unting) yang akan diketahui
koordinatnya dari titik tersebut. Garis
antara kedua titik yang diketahui
koordinatnya dinamakan garis absis. Sudut
dalam yang dibentuk absis terhadap target
di titik B dinamakan sudut beta. Sudut beta
dan alfa diperofeh dari tapangan.
Pada metode ini, pengukuran yang
dilakukan hanya pengukuran sudut. Bentuk
yang digunakan metoda ini adalah bentuk
segi tiga. Akibat dari sudut yang diukur
1 Pengantar Survei dan Pemetaan
adalah sudut yang dihadapkan titik yang
dicari, maka salah satu sisi segitiga
tersebut harus diketahui untuk menentukan
bentuk dan besar segitinya.
16
Adapun perbedaan pada kedua metode di
atas terletak pada cara perhitungannya,
cara Collins menggunakan era perhitungan
Gambar 15. pengukuran pengikatan ke muka logaritma. Adapun pada metode Cassini
menggunakan mesin hitung. Sebelum alat
1.4.5 Metode pengukuran Collins
hitung berkembang dengan balk, seperti
dan Cassini
masa kini maka perhitungan umumnya
dilakukan dengan bantuan daftar logaritma.
Metode pengukuran Collins dan Cassini
Adapun metode Cassini menggunakan alat
merupakan salah satu metode dalam
hitung karena teori ini muncul pada saat
pengukuran kerangka dasar horizontal
adanya alat hitung yang sudah mulai
untuk menentukan koordinat titik-titik yang
berkembang. Pengikatan kebelakang
diukur dengan cara mengikat ke belakang
metode Collins merupakan model
pada titik tertentu dan yang diukur adalah
perhitungan yang berfungsi untuk
sudut-sudut yang berada di titik yang akan
mengetahui suatu letak titik koordinat, yang
ditentukan koordinatnya. Pada era
diukur melalui titik-titik koordinat lain yang
mengikat ke belakang ada dua metode
sudah diketahui. Pada pengukuran
hitungan yaitu dengan cara Collins dan
pengikatan ke belakang metode Collins,
Cassini.
alat theodolite ditegakkan di atas titik yang
ingin atau belum diketahui koordinatnya.
Misalkan titik itu diberi nama titik P. titik P
ini akan diukur melalui titik-titik lain yang
koordinatnya sudah diketahui terlebih
dahulu. Misalkan titik lainnya itu titik A, B,
dan titik C.
Pertama titik P diikatkan pada dua buah
titik lain yang telah diketahui koordinatnya,
yaitu diikat pada titik A dan titik B. Ketiga
titik tersebut dihubungkan oleh suatu
lingkaran dengan jari-jari tertentu, sehingga
titik C berada di luar lingkaran.
potongannya akan berupa titik hasil dari
pertemuan persilangan garis dan tali busur.
Titik itu diberi nama titik H, dimana titik H ini
merupakan titik penolong Collins. Sehingga
1 Pengantar Survei dan Pemetaan dari informasi koordinat titik A, B, dan G
serta sudut-sudut yang dibentuknya, maka
koordinat titik P akan dapat diketahui.
Kemudian tariklah titik P terhadap titik C. A (Xa,Ya)
Dari hasil penarikan garis P terhadap G
akan memotong tali busur lingkaran, dan
P diikat pada titik-titik A, B dan C.
Kemudian Cassini membuat garis yang
melalui titik A dan tegak lurus terhadap
garis AB serta memotong tempat
17 kedudukan yang melalui A dan B, titik
tersebut diberi nama titik R. Sama halnya
Cassini pula membuat garis lurus yang
Pada cara perhitungan Cassini melalui titik C dan tegak lurus terhadap
memerlukan dua tempat kedudukan untuk garis BC serta memotong tempat
menentukan suatu titik yaitu titik P. Lalu titik kedudukan yang melalui B dan C, titik
B (Xb,Yb) tersebut diberi nama titik S.
P
Sekarang hubungkan R dengan P dan S
H dengan P. Karena 4 BAR = 900, maka garis
BR merupakan garis tengah lingkaran,
sehingga 4 BPR = 900. Karena ABCS= 900
Gambar 15. Pengukuran Collins
maka garis BS merupakan garis tengah
1. titik A, B ,dan C merupakan titik lingkaran, sehinggga BPR = 900. Maka
koordinat yang sudah diketahui. titik R, P dan S terletak di satu garus lurus.
2. titik P adalah titik yang akan dicari Titik R dan S merupakan titik penolong
koordinatnya. Cassini. Untuk mencari koordinat titik P,
3. titik H adalah titik penolong collins yang lebih dahulu dicari koordinat-koordinat titik-
dibentuk oleh garis P terhadap C titik penolong R dan S, supaya dapat
dengan lingkaran yang dibentuk oleh dihitung sudut jurusan garis RS, karena PB
titik-titik A, B, dan P. 1 RS, maka didapatlah sudut jurusan PB,
dan kemudian sudut jurusan BP untuk
Sedangkan Metode Cassini adalah cara
dapat menghitung koordinat-koordinat titik
pengikatan kebelakang yang menggunakan
P sendiri dari koordinat-koordinat titik B.
mesin hitung atau kalkulator. Pada cara ini
theodolit diletakkan diatas titik yang belum
diketahui koordinatnya.
1 Pengantar Survei dan Pemetaan 18
A (Xa, Ya)
dab
B (Xb, Yb)
dcb
C (Xc, Yc)
P
S
Cassini (1679)
Gambar 16. Pengukuran cassini
Rumus-rumus yang akan digunakan adalah
x1 x2 d12 sin a12
y2 y1 d12 cos a12
tgna12 (x2 x1 ) : ( y2 y1 )
cot a12 ( y2 y1 ) : (x2 x1 )
Gambar 17. Macam – macam sextant
1.5 Pengukuran titik-titik detail
Untuk keperluan pengukuran dan
pemetaan selain pengukuran Kerangka
Dasar Vertikal yang menghasilkan tinggi
1 Pengantar Survei dan Pemetaan 19
prinsipnya adalah menentukan koordinat
dan tinggi titik-titik detail dari titik-titik ikat.
Metode yang digunakan dalam pengukuran
titik-titik detail adalah metode offset dan
metode tachymetri. Namun metode yang
sering digunakan adalah metode
Tachymetri karena Metode tachymetri ini
Gambar 19. Prisma bauernfiend
relatif cepat dan mudah karena yang
diperoleh dari lapangan adalah pembacaan
rambu, sudut horizontal (azimuth
magnetis), sudut vertikal (zenith atau
inklinasi) dan tinggi alat. Hasil yang
diperoleh dari pengukuran tachymetri
adalah posisi planimetris X, Y dan
ketinggian Z.
Gambar 20. Jalon
1.5.1. Metode pengukuran offset
Metode offset adalah pengukuran titik-titik
menggunakan alat alat sederhana yaitu pita
ukur, dan yalon. Pengukuran untuk
pembuatan peta cara offset menggunakan
alat utama pita ukur, sehingga cara ini juga
biasa disebut cara rantai (chain surveying).
Alat bantu lainnya adalah :
Gambar 21. Pita ukur
1 Pengantar Survei dan Pemetaan 20
Dari jenis peralatan yang digunakan ini, cara lurus dan jarak miring "direduksi" menjadi
offset biasa digunakan untuk daerah yang jarak horizontal dan jarak vertikal.
relatif datar dan tidak luas, sehingga
Pada gambar, sebuah transit dipasang pada
kerangka dasar untuk pemetaanyapun juga
suatu titik dan rambu dipegang pada titik
dibuat dengan cara offset. Peta yang
tertentu. Dengan benang silang tengah
diperoleh dengan cara offset tidak akan
dibidikkan pada rambu ukur sehingga tinggi t
menyajikan informasi ketinggian rupa bumi
sama dengan tinggi theodolite ke tanah.
yang dipetakan.
Sudut vertikalnya (sudut kemiringan) terbaca
Cara pengukuran titik detil dengan cara offset
Metode tachymetri didasarkan pada prinsip
ada tiga cara:
bahwa pada segitiga-segitiga sebangun, sisi
Cara siku-siku (cara garis tegak lurus),
yang sepihak adalah sebanding.
Cara mengikat (cara interpolasi),
Cara gabungan keduanya. Kebanyakan pengukuran tachymetri adalah
dengan garis bidik miring karena adanya
1.5.2 Metode pengukuran tachymetri keragaman topografi, tetapi perpotongan
benang stadia dibaca pada rambu tegak
Metode tachymetri adalah pengukuran
menggunakan alat-alat optis, elektronis, dan
digital. Pengukuran detail cara tachymetri
dimulai dengan penyiapan alat ukur di atas
titik ikat dan penempatan rambu di titik bidik.
Setelah alat siap untuk pengukuran, dimulai
dengan perekaman data di tempat alat
berdiri, pembidikan ke rambu ukur,
pengamatan azimuth dan pencatatan data di
rambu BT, BA, BB serta sudut miring .
sebesar a. Perhatikan bahwa dalam
Tachymetri "diagram' lainnya pada dasarnya
pekerjaan tachymetri tinggi instrumen adalah
bekerja atas bekerja atas prinsip yang, sama
tinggi garis bidik diukur dari titik yang
sudut vertikal secara otomatis dipapas oleh
diduduki (bukan TI, tinggi di atas datum
pisahan garis stadia yang beragam. Sebuah
seperti dalam sipat datar). Metode tachymetri
tachymetri swa-reduksi memakai sebuah
itu paling bermanfaat dalam penentuan lokasi
garis horizontal tetap pada sebuah diafragma
sejumlah besar detail topografik, baik
dan garis horizontal lainnya pada diafragma
horizontal maupun vetikal, dengan transit
keduanya dapat bergerak, yang bekerja atas
Model Diagram Alir
atau planset. Di wilayah-wilayah perkotaan,
PengantarDr.Ir.Drs.H.Iskandar Muda Purwaamijaya, MT
Survei dan Pemetaan
dasar perubahan sudut vertikal. Kebanyakan
pembacaan sudut dan jarak dapat dikerjakan
alidade planset memakai suatu jenis
lebih cepat dari pada pencatatan pengukuran
prosedur reduksi tachymetri.
dan pembuatan sketsa oleh pencatat.
1 Pengantar Survei dan Pemetaan 21
1
BA
i
A B Z
BT
Z
BB ? HAB
dAB
O'
O
Ta
dABX
Titik Nadir
Gambar 22. Pengukuran titik detail tachymetri
erke
nalan
Ilmu
Ukur
Tana
h
1 Pengantar Survei dan Pemetaan osen
Pena
nggu
ng Ja
wab :
Model Diagram Alir Ilmu Ukur Tanah Pertemuan ke-01
22
Bentuk Bentuk
Bumi
Jeruk
Bentuk Ellipsoida
Pemepatan
(Ellips putar dengan sumbu putar
(Radius Kutub < Radius Ekuator)
kutub ke kutub)
Plan Surveying Geodetic
(Ilmu Ukur Tanah) Surveying
Bola Rotasi Bumi
Ilmu, seni dan teknologi untuk menyajikan Ilmu, seni dan teknologi untuk menyajikan
informasi bentuk permukaan bumi baik unsur informasi bentuk permukaan bumi baik unsur
alam maupun buatan manusia di bidang alam maupun buatan manusia di bidang
datar (luas < 55 km x 55 km) atau (< 0,5 lengkung (luas > 55 km x 55 km) atau (> 0,5
derajat x 0,5 derajat) derajat x 0,5 derajat)
(1.1) Pengukuran Sipat Datar KDV
(1) Pengukuran Kerangka Dasar
(1.2) Pengukuran Trigonometris
Vertikal
(1.3) Pengukuran Barometris
Pengikatan ke Muka
(2.1) Pengukuran Titik
Tunggal
(2) Pengukuran Kerangka Dasar Pengikatan ke
Belakang (Collins &
Horisontal
Cassini)
(2.2) Pengukuran Titik
Jamak
Triangulasi,
Trilaterasi,
Poligon Kuadrilateral Triangulaterasi
(3) Pengukuran Titik-Titik Detail (3.1) Pengukuran Tachymetri
(3.2) Pengukuran Offset
Gambar 23. Diagram alir pengantar survei dan pemetaan
1 Pengantar Survei dan Pemetaan 23
Rangkuman
Berdasarkan uraian materi bab 1 mengenai pengantar survei dan pemetaan, maka
dapat disimpulkan sebagi berikut:
1. Pengukuran dan pemetaan pada dasarnya dapat dibagi 2, yaitu :
a. Geodetic Surveying
b. Plan Surveying
2. Geodetic surveying merupakan ilmu seni dan teknologi untuk menyajikan informasi
bentuk permukaan bumi baik unsur alam maupun buatan manusia di bidang lengkung
(luas > 55 km x 55 km) atau (>0,5 derajat x 0,5 derajat)
3. Plan Surveying merupakan ilmu seni dan teknologi untuk menyajikan informasi bentuk
permukaan bumi baik unsur alam maupun buatan manusia di bidang lengkung (luas <
55 km x 55 km) atau (<0,5 derajat x 0,5 derajat)
4. Ilmu ukur tanah pada dasarnya terdiri dari tiga bagian besar yaitu :
a. Pengukuran kerangka dasar Vertikal (KDV)
b. Pengukuran kerangka dasar Horizontal (KDH)
c. Pengukuran Titik-titik Detail
5. Kerangka dasar vertikal merupakan teknik dan cara pengukuran kumpulan titik-titik
yang telah diketahui atau ditentukan posisi vertikalnya berupa ketinggiannya terhadap
bidang rujukan ketinggian tertentu.
6. Pengukuran kerangka Dasar vertical pada dasarnya ada 3 metode, yaitu :
a. Metode pengukuran kerangka dasar sipat datar optis;
b. Metode pengukuran Trigonometris; dan
c. Metode pengukuran Barometris.
7. Pengukuran kerangka dasar horizontal adalah untuk mendapatkan hubungan
mendatar titik-titik yang diukur di atas permukaan bumi maka perlu dilakukan
pengukuran mendatar.
8. Bagian-bagian dari pengukuran kerangka dasar horizontal adalah :
a. Metode Poligon
b. Metode Triangulasi
c. Metode Trilaterasi
d. Metode kuadrilateral
e. Metode Pengikatan ke muka
f. Metode pengikatan ke belakang cara Collins dan cassini
1 Pengantar Survei dan Pemetaan 24
Soal Latihan
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini !
1. Sebutkan bagian-bagian pengukuran dari ilmu ukur tanah! Jelaskan
2. Mengapa bumi dianggap bulat?
3. Jelaskan pengertian dari pengukuran kerangka dasar vertikal ! sebutkan metode-
metode yang digunakan dalam pengukuran kerangka dasar vertikal!
4. Jika kita akan mengukur beda tinggi suatu wilayah, pengukuran apa yang tepat untuk
dilakukan ? Jelaskan!
5. Mengapa pengukuran titik-titik detail metode tachymetri sering digunakan ? Jelaskan!
2. Teori Kesalahan
25
2. Teori Kesalahan
Adapun sumber–sumber kesalahan yang
2.1 Kesalahan-kesalahan
menjadi penyebab kesalahan pengukuran
pada survei dan pemetaan
adalah sebagai berikut:
1. Pengukuran tidak selalu tepat, mengupayakan kesalahan yang kecil. Dan
2. Setiap pengukuran mengandung galat, jika diantara kesalahan itu terjadi maka
pengukuran tidak pernah diketahui, ulang.
4. Kesalahan yang tepat selalu tidak Kesalahan terjadi karena salah mengerti
diketahui permarsalahan, kelalaian, atau
pertimbangan yang buruk. Kesalahan dapat
selalu terdapat “Kesalahan”.
Kesalahan–
kesalahan ini disebabkan baik kare
na
2. Teori Kesalahan kekhilapan maupun karena kita manu
sia
memang tidak sempurna
dalam
diketemukan dengan mengecek secara
menciptakan alat–alat.
sistemetis seluruh pekerjaan dan
dihilangkan dengan jalan mengulang Kesalahan ini dapat kita golongkan
sebagian atau bahkan seluruh pekerjaan. dalam :
Dalam melaksanakan ukuran datar akan
1. Kesalahan instrumental/ kesalahan
karena alat
2. Kesalahan karena pengaruh luar/ alam
3. Kesalahan pengukur
26
Bila garis bidik datar (horizontal),
pembacaan pada rambu A = Pa dan
rambu B = Pb. Perbedaan tinggi H=
Pa – Pb, bila garis bidik tidak horizontal
(membuat sudut dengan garis
horizontal) maka pembacaan pada
rambu A = Pa’ dan pada rambu =
Pb’. Perbedaan tinggi adalah Pa’ – Pb’,
dalam hal ini Pa’ – Pb’ akan sama
dengan Pa–Pb. Bila ukuran dilakukan
dari tengah – tengah AB (PA = PB =1)
karena Pa’Pa = Pb’Pb = . Tapi kalau
ukuran tidak dilakukan dari tengah AB
missal dari Q, maka hasil ukuran
adalah qa – qb dan qa – qb Pa – Pb
karena qa – Pa = 1 dan qb – Pb = 2.
Dengan demikian ukuran sedapat
mungkin dilakukan dari tengah.
A. Kesalahan karena alat
Dalam kesalahan karena alat termasuk :
a) Karena kurang datarnya garis bidik
Gambar 24. Kesalahan pembacaan rambu
b) Tidak samanya titik O dari rambu
Titik O dari rambu mungkin tidak sa
ma
karena mungkin salah satu
2. Teori Kesalahan rambu
sudah aus. Titik O dari
rambuB
misalnya telah bergeser 1 mm. Dengan
demikian, rambu A dibaca 1.000 mm
maka di rambu B dibaca 999 mm.
27
Bila ukuran dilaksanakan dengan
meletakkan rambu A selalu di belakang
dan rambu B selalu di depan, maka
kesalahan A–B mempunyai tanda yang
sama–tiap sipatan kesalahannya
+1 mm. Kalau 100 sipatan berarti 100
mm.
II
I
II
b4
I
b m2
b1 m1 b3 m3
2
B
B
A
B
A +1mm +1mm +1mm
A
Gambar 25. Pengukuran sipat datar
II
I
II
b4
I
b2 m2
b1 m1 b3 m3
A B
Gambar 26. Prosedur Pemindahan Rambu
Untuk mengatasi kesalahan–kesalahan
tersebut, dalam pelaksanaan ukuran
tiap tiap kali sipatan rambu belakang
harus ditukar dengan rambu depan.
2. Teori Kesalahan (gambar 26)
c) Kurang tegak lurusnya rambu
Pengaruh luar dalam melaksanakan
ukuran datar adalah:
a. Cuaca
Panas matahari sangat mempengaruhi
pelaksanaan ukuran datar. Apabila
matahari sudah tinggi antara jam 11.00 –
jam 14.00, panas matahari pada waktu
itu akan menimbulkan adanya
gelombang udara yang dapat terlihat
melalui teropong. Dengan demikian,
gelombang udara didepan rambu akan
terlihat sehingga angka pada rambu ikut
bergelombang dan sukar dibaca.
pa pa'
Gambar 27. Kesalahan Kemiringan Rambu
2. Teori Kesalahan
29
Gambar 28. Pengaruh kelengkungan bumi
Karena itu oleh alat ukur datar dibaca
titik A pada rambu sedangkan
perbedaan tinggi mengikuti lengkungan
bumi, jadi seharusnya dibaca B. Dengan
demikian, maka tiap kali pengukuran
dibuat kesalahan . Besar ini dapat
c. Kesalahan karena pengukur
Kesalahan pengukur ini ada 2 macam :
a) Kesalahan kasar kehilapan
1. Keslahan kasar dapat diatasi
dengan mengukur 2 kali dengan
tinggi teropong yang berbeda.
dihitung
Pertama dengan tinggi teropong
R2 + a2 = (R + )2; R2 + a2 h1 didapat perbedaan tinggi h 1 =
= R2 + 2R + 2
Pa – Pb. Pada pengukuran kedua
kecil sekali jadi kalau dikuadratkan dengan tinggi teropong h2 didapat
dapat dihapus sehingga kita dapat R2 + perbedaan tinggi h 2 = qa – qb.
a2 = F + 2R . Bilangan ini kecil sekali h 1 harus sama dengan h 2, bila
tapi kalau tiap kali dibuat kesalahan akan terdapat kesalahan/ perbedaan
menumpuk menjadi besar. Kesalahan ini besar maka harus diulang.
bisa diatasi dengan tiap kali mengukur
dari tengah.
qa
2. Teori Kesalahan
pa
h2
h1
Gambar 29. Kesalahan kasar sipat datar
30
2. Dapat diatasi pula dengan selain
membaca benang tengah dibaca
pula benang atas dan benang
bawah sebab:
benang atas + benang bawah / 2 =
benang tengah.
Sifat Kesalahan qb
a. Kesalahan kasar, adalah kesalahan pb
yang besarnya satuan pembacaannya.
Miasalnya mengukur jarak yang dapat
dibaca sampai 1 dm, namun terjadi
perbedaan pengukuran sampai 1 m. Ini
berarti ada kesalahan pembacaan
ukuran dan harus diulang.
b. Kesalahan teratur, terjadi secara teratur
setiap kali melakukan pengukuran dan
umumnya terjadi karena kesalahan alat.
c. Kesalahan yang tak teratur, disebabkan
karena kurang sempurnanya panca
indera maupun peralatan dan
kesalahan ini sulit dihindari karena
memang merupakan sifat pengamatan\
ukuran.
2.1.1 Kesalahan pada pengukuran KDV
Kesalahan yang terjadi akibat berhimpitnya
sumbu vertikal theodolite dengan garis arah
vertikal. Sumbu vertikal theodolite x miring
dan membentuk sudut v terhadap garis
vertikal x. AB adalah arah kemiringan
maksimum dengan sasaran s pada sudut
elevasi h dalam keadaan dimana sumbu
vertikal theodolite berhimpit dengan arah
garis vertikal yang menghasilkan posisi
lintasan teleskop csd dalam arah u dari
kemiringan maksimum. Sedangkan dalam
keadaan dimana sumbu vertikal theodolite
miring sebesar v terhadap garis vertikal
menghasilkan lintasan c’sd’ dalam arah u’
2. Teori Kesalahan dari kemiringan yang maksimum. Dari dua
lintasan ini akan diperoleh segitiga bola scc’
yang sumbu vertikal dinyatakan dalam
persamaan berikut :
= u’ – u
= v sin u’ ctgn (90 – h)
31
diperoleh beda tinggi pada jalur sama
menghasilkan angka nol.
Jarak belakang dan muka setiap slag
menjadi suatu variabel yang menentukan
bobot kesalahan dan pemberi koreksi.
Semakin panjang suatu slag pengukuran
maka bobot kesalahannya menjadi lebih
besar, dan sebaliknya
C
C'
u
= v sin u’ tgn h u' C'
r
C
u
S
u'
r
Karena kesalahan sumbu vertikal tak dapat B'
A B
dihilangkan dengan membagi rata dari O
S
A' D
observasi dengan teleskop dalam posisi D'
pengukuran untuk sasaran dengan elevasi
Gambar 30. Kesalahan Sumbu Vertikal
cukup besar.
Salah satu pengaplikasian pada pengukuran
Koreksi kesalahan pada pengukuran dasar kerangka dasar vertikal dapat dilihat dari
vertikal menggunakan alat sipat datar optis. pengukuran sipat datar.
Koreksi kesalahan didapat dari pengukuran
Pada pengukuran kerangka dasar vertikal
yang menggunakan dua rambu, yaitu rambu
menggunakan sipat datar optis, koreksi
depan dan rambu belakang yang berdiri 2
kesalahan sistematis berupa koreksi garis
stand.
bidik yang diperoleh melalui pengukuran
Koreksi kesalahan acak pada pengukuran sipat datar dengan menggunakan 2 rambu
kerangka dasar vertikal dilakukan untuk yaitu belakang dan muka dalam posisi 2
memperoleh beda tinggi dan titik tinggi ikat stand (2 kali berdiri dan diatur dalam bidang
definit. Sebelum pengelohan data sipat nivo). Sedangkan pada pengukuran
datar kerangka dasar vertikal dilakukan, kerangka dasar horizontal menggunakan
koreksi kesalahan sistematis harus alat theodolite, koreksi kesalahan sistematis
dilakukan terlebih dahulu dalam pembacaan berupa nilai rata-rata sudut horizontal yang
benang tengah. Kontrol tinggi dilakukan diperoleh melalui pengukuran target (berupa
melalui suatu jalur tertutup yang diharapkan benang dan unting-unting) pada posisi
teropong biasa (vizier teropong pembidik
berasal diatas teropong) dan pada posisi
teropong luas biasa (vizier teropong
pembidik berasal di bawah teropong)
2. Teori Kesalahan
Sebelum pengolahan data sipat datar
kerangka dasar vertikal dilakukan, koreksi
sistematis perlu dilakukan terlebih dahulu
kedalam pembacaan benang tengah setiap
slang. Kontrol tinggi dilakukan melalui suatu
alur tertutup sedemikian rupa sehingga
diharapkan diperoleh beda tinggi pada jalur
tertutup sama dengan nol, jarak belakang 32
dan muka setiap slang menjadi variabel
yang menentukan bobot kesalahan dan
bobot pemberian koreksi. Semakin panjang
Apabila teleskop dipasang dalam keadaan
jarak pada suatu slang maka bobot
terbalik, tanda kesalahan menjadi negatip
kesalahan dan koreksinya lebih kecil.
dan apabila sudut yang dicari dengan
kesalahan sumbu horizontal, dan apabila dasar horizontal dilakukan untuk
sumbu horizontal miring sebear i maka, memperoleh harga koordinat definitip.
Sebelum pengolahan poligon kerangka
Sin = tgn h / tgn ( 90 – i ). Tgn h. tgn i
dasar horizontal dilakukan, koreksi
Karena a dan I biasanya sangat kecil,
sistematis harus dilakukan terlebih dahulu
persamaan dapat terjadi = I tan h
dalam pembacaan sudut horizontal. Kontrol
koordinat dilakukan melalui 4 atau 2 buah
titik ikat bergantung pada kontrol sempurna
atau sebagian
Jarak datar dan sudut poligon setiap titik
poligon merupakan variabel yang
menentukan untuk memperoleh koordinat
definitip tersebut. Syarat yang ditetapkan
dan harus diperhatikan adalah syarat sudut
lalu syarat absis dan ordinat. Bobot koreksi
sudut tidak diperhitungkan atau dilakukan
secara sama rata tanpa memperhatikan
faktor lain. Sedangkan bobot koreksi absis
dan ordinat diperhitungkan melalui dua
metode :
a. Metode Bowditch
2. Teori Kesalahan
b. Metode Transit
Metode ini bobot koreksinya dihitung
berdasarkan proyeksi jarak langsung
tehadap sumbu x dan pada sumbu y.
Semakin besar jarak langsung
koreksi bobot absis dan ordinat maka
semakin besar nilainya.
33
Kesalahan acak pada pengukuran kerangka
dasar horizontal dilakukan untuk
memperoleh beda tinggi dan tinggi titik ikat
relatif. Sebelum pengolahan data sipat datar kedalam pembacaan sudut horizontal.
kerangka dasar vertikal dilakukan, koreksi Kontrol koordinat dilakukan melalui 4 atau 2
sistematis perlu dilakukan terlebih dahulu buah titik ikat tergantung pada ikat kontrol
kedalam pembacaan benang tengah setiap sempurna atau sebagian saja. Jarak datar
slang. Kontrol tinggi dilakukan melalui suatu dan sudut poligon setiap poligon merupakan
alur tertutup sedemikian rupa sehingga suatu variabel yang menentukan untuk
diharapkan diperoleh beda tinggi pada jalur memperoleh koordinat definitif tersebut.
tertutup sama dengan nol, jarak belakang Syarat yang ditetapakan dan harus dipenuhi
dan muka setiap slang menjadi variabel terlebih dahulu adalah syarat sudut baru
yang menentukan bobot kesalahan dan kemudian absis dan ordinat. Bobot koreksi
bobot pemberian koreksi. Semakin panjang sudut tidak diperhitungkan atau dilakuan
jarak pada suatu slang maka bobot secara sama rata tanpa memperhitungkan
kesalahan dan koreksinya lebih kecil. faktor-faktor lain. Sedangkan bobot koreksi
absis dan ordinat diperhitungkan melalui 2
Koreksi kesalahan acak pada pengukuran
metode, yaitu metode bowditch dan
kerangka dasar horizontal dilakukan untuk
transit. Metode bowditch bobot koreksinya
memperoleh koordinat (absis dan ordinat)
dihitung berdasarkan jarak datar langsung,
definitif. Sebelum pengolahan data poligon
sedangkan terhadap sumbu x (untuk absis)
kerangka dasar horizontal, koreksi
dan sumbu y (untuk sumbu ordinat).
sistematis harus dilakukan terlebih dahulu
Semakin besar jarak datar langsung, koreksi
bobot absis dan ordinat semakin besar,
demikian pula sebaliknya.
Di atas telah dijelaskan bentuk-bentuk
kesalahan yang mungkin terjadi pada waktu
melakukan pengukuran, kesalahan
kesalahan pengukuran dapat di sebabkan
oleh ;
a. Karena kesalahan pada alat yang
digunakan (seperti yang telah di
jelaskan di atas)
b. Karena keadaan alam, dan
c. Karena pengukur sendiri
Alat-alat yang digunakan adalah alat ukur
penyipat datar dan mistar. Lebih dahulu
akan di tinjau kesalahan pada alat ukur
penyipat datar. Kesalahan yang didapat
2. Teori Kesalahan adakah yang berhubungan dengan syarat
utama. Kesalahan ini adalah: Garis bidik
tidak sejajar dengan garis arah nivo.
a. Kesalahan pada alat yang dugunakan Kesalahan ini sering kita jumpai pada saat
melakukan pekerjaan pengukuran beda
tinggi.
Karena lengkungnya permukaan 34
bumi, pada umumnya bidang-bidang
nivo karena melengkungnya
permukaan bumi akan melengkung
waktu antara pengukuran satu
pula dan beda tinggi antara dua titik
mistar dengan mistar lainnya, baik
adalah antara jarak dua didang nivo
kaki tiga maupun mistar ke dua
yang melalui dua titik itu.
masuk kedalam tanah, maka
Karena lengkungnya sinar cahaya, pembacaan pada mistar kedua akan
akan dijelaskan pada bagian salah bila digunakan untuk mencari
koreksi boussole beda tinggi antara dua titik yang
ditempati oleh mistar-mistar itu.
Karena getaran udara, karena
adanya pemindahan hawa panas Karena perubahan arah garis nivo.
dari permukaan bumi ke atas, maka Karena alat ukur penyipat datar
bayangan dari mistar yang dilihat kena panas sinar matahari, maka
dengan teropong akan bergetar, terjadi tegangan pada bagian-
sehingga pembacaan dari mistar bagian alat ukur, terutama pada
tidak dapat dilakukan dengan teliti bagian yang terpenting yaitu pada
Karena masuknya lagi tiga kaki dan bagian nivo.
mistar ke dalam tanah. Bila dalam
c. Karena pengukur sendiri
Kesalahan yang kasar, karena belum
pahamnya pembacaan pada mistar. Mistar-
mistar mempunyai tata cara tersendiri dalam
pembuatan skalanya. Kesalahan ini banyak
sekali dibuat dalam menentukan banyaknya
meter dan desimeter angka pembacaan.
Salah satu pengaplikasian pengukuran
kerangka dasar horisontal ini adalah
2. Teori Kesalahan
pengukuran tachymetri dengan bantuan alat
theodolite.
Kesalahan pengukuran cara tachymetri
dengan theodolite
35
Kesalahan arah sejajar garis ukur = l sin
Kesalahan arah tegak lurus garis ukur = l - l
cos
Bila skala peta adalah 1 : S, maka akan
terjadi salah plot sebesar 1/S x kesalahan.
Bila kesalahan pengukuran jarak garis ofset
l, maka gabungan pengaruh kesalahan
pengukuran jarak dan sudut menjadi: {(l sin
) 2 + l 2}1/2.
Kesalahan alat, misalnya ;
a. Jarum kompas tidak benar-benar lurus. Ketelitian pengukuran cara offset dalam
upaya meningkatkan ketelitian hasil ukur
b. Jarum kompas tidak dapat bergerak
cara offset bisa dilakukan dengan :
bebas pada porosnya.
c. Garis bidik tidak tegak lurus sumbu 1. Titik-titik kerangka dasar dipilih atau
mendatar (salah kolimasi). dibuat mendekati bentuk segitiga sama
d. Garis skala 0° - 180° atau 180° - 0° sisi.
tidak sejajar garis bidik. 2. Garis ukur:
e. Letak teropong eksentris. Jumlah garis ukur sesedikit
f. Poros penyangga magnet tidak sepusat mungkin.
dengan skala lingkaran mendatar. Garis tegak lurus garis ukur
sependek mungkin.
Kesalahan pengukuran, misalnya;
Garis ukur pada bagian yang datar.
a. Pengaturan alat tidak sempurna
(temporaryadjustment)
b. Salah taksir dalam pembacaan 3. Garis offset pada cara siku-siku harus
c. Salah catat. benar-benar tegak lurus garis ukur.
4. Pita ukur harus benar-benar mendatar
Kesalahan akibat faktor alam misalnya; dan diukur seteliti mungkin.
a. Deklinasi magnet. 5. Gunakan kertas gambar yang stabil
b. atraksi lokal. untuk penggambaran.
Kesalahan pengukuran cara offset Pada perhitungan dari survei yang
Kesalahan arah garis offset dengan menggunakan metode closed traverse
panjang l yang tidak benar-benar tegak lurus selalu terjadi kesalahan (penyimpangan).
berakibat: yaitu adanya dua stasiun yang meskipun
pada kenyataannya dilapangan, stasiun
tersebut hanya satu. Kesalahan tersebut
meliputi kesalahan koodinat dan elevasi
stasiun terakhir yang seharusnya adalah
2. Teori Kesalahan sama dengan stasiun awal. Hal ini terjadi
karena kesalahan pada ketidak-sempurnaan
terhadap :
1. Alat (Tidak ada alat yang sempurna)
2. Pembacaan (tidak ada penglihatan yang
sempurna)
Sewaktu survei dilakukan dan tidak mungkin 36
kesalahan itu tidak dapat dihindarkan sebab
tidak ada alat dan manusia yang ideal untuk
menghasilkan pengukuran yang ideal pula.
Pada survei yang menggunakan theodolite,
kesalahan yang terjadi adalah akumulatif,
dalam kesalahan dalam salah satu stasiun,
akan pempengaruhi bagi posisi stasiun
berikutnya.
Sedangkan survei menggunakan kompas,
kesalahan yang terjadi pada salah satu
stasiun, tidak mempengaruhi bagi stasiun
berikutnya. Distribusi kesalahan pada Survei
magnetik, dengan cara yang sederhana
yaitu jumlah total kesalahan dibagi dengan
Gambar 31. Pengaruh kesalahan kompas t0 Theodolite
jumlah lengan survai, kemudian di
distribusikan ke setiap stasiun tersebut.
Untuk mengatasi hal itu, angka kesalahan
yang terjadi harus di distribusikan ke setiap
stasiun. Kesalahan yang terjadi karena
survei magnetic (dengan menggunakan
kompas dan survay grade x) menggunakan
theodolithe, memiliki jenis yang berbeda.
Dibawah ini merupakan distribusi untuk
survei non magnetic
Perataan penyimpangan elevasi
Berikut ini gambar sket perjalanan tampak
samping memanjang
2. Teori Kesalahan
Gambar 32. Sket perjalanan
Setelah perhitungan dilakukan, ternyata
elevasi titik akhir yang seharusnya sama
dengan titik 1 terdapat penyimpangan
sebesar:
Elevasi koreksi = elevasi titik + koreksi
Perataan penyimpangan koordinat 37
Setelah perhitungan dilakuan, hasilnya
stasiun terakhir tidak kembali ke stasiun
awal, ada selisih jarak sel (d).d2=f(y)2+f(x)2 Koreksi bousole
Dari ilmu alam diketahui, bahwa jarum
magnet diganggu oleh benda-benda dari
logam yang terletak di sekitar jarum magnet
itu. Bila tidak ada gangguan, jarum magnet
akan terletak didalam bidang meridian
magnetis, ialah dua bidang yang melalui dua
Gambar 33. Gambar Kesalahan Hasil Survei kutub magnetis dan bidang magnetios itu.
Karena untuk keperluan pembuatan peta
Penyimpangan yang terjadi adalah
diperlukan meridian geografis yang melalui
penyimpangan absis f(x) dan ordinat f(y)
dua kutub bumi dan tempat jarum itu, dan
koreksi terhadap penyimpangan absis:
karena meridian magnetis tidak berhimpit
Absis terkoreksi = absis lama + koreksi. dengan meridian geografis yang disebabkan
oleh tidak samanya kutub-kutub magnetis
Koreksi terhadap penyimpangan ordinat,
dan kutub-kutub geografis, maka azimuth
analog dengan perhitungan diatas
magnetis harus diberi koreksi terlebih
dahulu, supaya didapat besaran-besaran
geografis: ingat pada sudut jurusan yang
sebetulnya sama dengan azimuth utara-
timur. Untuk menentukan koreksi boussole
ada dua cara. Ingatlah lebih dahulu apa
yang diartikan dengan koreksi. Koreksi
adalah besaran yang harus ditambahkan
pada pembacaan atau pengukuran, supaya
didapat besaran yang betul. Kesalahan
adalah besaran yang harus dikurangkan dari
pembacaan atau pengukuran, supaya
didapat besaran yang betul.
a. Mengukur azimuth suatu garis yang
tertentu; Seperti telah diketahui garis
yang tertentu adalah garis yang
menghubungkan dua titik P(Xp;Yp) dan
Q(Xq;Yq) yang telah diketahui koordinat-
koordinatnya. Alat ukut BTM
ditempatkan pada salah satu titik itu,
misalnya di titik P, dengan sumbu
kesatuan tegak lurus diatas titik P.
2. Teori Kesalahan Arahkan garis bidik tepat pada titik Q,
Misalkan pembacaan pada skala
lingkaran mendatar dengan ujung utara
jarum magnet ada A. Hitunglah sudut
jurusan ab garis PQ dengan tg ab =
(xq-xp) : (yp-yp) yang setelah sudut
jurusan pq ini di sesuaikan dengan
macam sudut azimuth yang ditunjuk oleh 38
jarum magnet alat ukur BTM ada ,
maka karena adalah besaran yang
betul, dapatlah ditulis: punggungnya ke arah matahari yang
diukur dan keadaan tepi-tepi matahari
=A+C Dalam rumus C adalah
dilihat dari ujung objektif pada kertas
rumus boussole, sehingga C = -A
putih yang di pasang pada lensa okuler.
b. Mengukur tinggi matahari; Dasar cara Besarnya refraksi yang selalu
kedua ini adalah mengukur tinggi suatu mempunyai tanda minus tergantung
bintang yang diketahui deklinasinya pada tinggi h yang di dapat dari
pada saat pengukuran bintang itu. pengukuran. Untuk harga koreksi
Dengan tinggi h, deklinasi bintang itu berlaku tabel. Tinggi h yang didapat dari
dan lintang tempat pengukuran hasil pengukuran koreksi refraksi dengan
dapatlah di hitung azimuth astronomis tanda minus.
yang sama dengan azimuth geografis
Tinggi h yang telah diberi koreksi refraksi
bintang itu. Bila azimnuth astronomis itu
ini adalah tinggi sebenarnya dari pada
dibandingkan dengan azimuth yang
tepi atas atau tepi bawah matahari.
ditunjuk oleh jarum magnet pada saat
Karena yang diperlukan sekarang adalah
pengukuran, dapatlah ditentukan koreksi
tinggi titik pusat matahari dan sudut lihat
boussole.
kedua tepi atas dan tepi bawah matahari
Ingatlah selalu, bahwa pada saat ada D = 32’, maka tinggi sebenarnya tadi
pengukuran si pengukur berdiri dengan harus dikurangi dengan ½ D = 16’, bila di
ukur tepi bawah mata hari untuk
mendapatkan tinggi sebenarnya dari
pada titik pusat matahari.
2.1.3 Kesalahan Pengukuran
Banyak faktor yang mempengaruhi hasil
pengukuran sipat datar teliti, mulai dari
faktor-faktor yang pengaruhnya dapat
dihilangkan sampai faktor-faktor yang
pengaruhnya hanya dapat diperkecil.
Adapun faktor-faktor tersebut antara lain:
Keadaan tanah jalur pengukuran
Keadaan/ kondisi atmosfir (getaran
udara)
Refraksi atmosfir.
Kelengkungan bumi.
Kesalahan letak skala nol rambu.
Kesalahan panjang rambu (bukan
2. Teori Kesalahan rambu standar).
Kesalahan pembagian skala (scale
graduation) rambu.
Kesalahan pemasangan nivo rambu
Kesalahan garis bidik.
Pengukuran sipat datar pada umumnya
harus menggunakan jalur pengukuran
yang keras, seperti jalan diperkeras,
jalan raya, jalan baja.
Dengan demikian turunya alat dan
rambu dalam pelaksanaan pengukuran
dapat diperkecil, karena apabila terjadi
penurunan alat dan rambu maka
pengukuran akan mengalami
kesalahan. Besarnya kesalahan akibat
penuruanan alat-alat tersebut dijelaskan
dibawah ini:
I II I
1 2 2
1 1 b2
m2
b1
m1
A turun
turun turun B
Gambar 34. Kesalahan karena penurunan alat
Pada salag 1 selama waktu pembacaan
rambu belakang dan memutar alat
kerambu muka, alat ukur turun 1. Pada
1 dan selama pengukuran berlangsun
g
alat turun 2.
40
Di bawah ini adalah usaha yang bisa
dilakukan untuk memperkecil pengaruh
turunnya alat dan rambu:
Pada perpindahan slag, pembacaan
dimulai pada rambu yang sama
seperti pembacaan pada slag
sebelumnya,
Slag 1: h1 (b1 (m1 1 ) Pada setiap slag pembacaan
) dilakukan dua kali untuk setiap
Slag 2: h2 (b2 1 ) (m2 2
+ rambu.
h AB (b1 m2 ) ( 1 2 1 )
m1h )AB u ( Untuk kedua usaha di atas dapat
h AB 1 2 1 ) hAB K1
(b2 diterangkan sbb:
Dimana:
Pembacaan dimulai pada rambu
huAB = beda tinggi hasil ukuran
no I.
K1 = ( 1 2 1 ) = kesalahan Dari slag 1 : h1 = (b1 – m1) + 1
karena turunya alat dan rambu Dari slag 2 : h2 = (b2 – m2)+ 2 - 1
hAB
hAB = hAB – ( 1 - 1 - 2 )
Dari penjelasan diatas dapat
u
disimpulkan, bahwa apabila pengukuran hAB = K 2
antara dua titik (pilar) terdiri dari banyak Dimana K2 < K1
slag pengaruh turunnya alat dan rambu
akan menjadi lebih besar (akumulasi).
I II I
1 2 2
1 1 b2 m2
b1
m1
A B
Gambar 35. Pembacaan pada rambu I
e
m
2. Teori Kesalahan
b
acaan diulang 2x
I II
41
1 1
b1
m 1
b'1 m 2
4
4
3
3
2
Gambar 36. Pembacaan pada rambu II 1
2
1
0
Dari slag 1 : Secara sistematis dapat dirumuskan
Bacaan pertama : h1 = (b1 – m1)- 1 sbb:
Bacaan kedua : h1 = (b1 – m1) + 2
Misal rambu I mempunyai kesalahan 1,
Rata-rata h1 = 1
u 1
2
( 1 2 ) Dan rambu II mempunyai kesalahan 2,
Dengan cara yang sama dari slag 2 1, maka:
dua diperoleh:
1 2
)
Rata-rata h2 = h2u 1
( 2 1
)
2
(b1 m1 ) ( 1 2
)
u
Maka h AB h AB
Kesalahannya: ( 1 - 2)
b. Kesalahan letak skala nol rambu
Slag 2: h1 (b2 2 ) (m2 1 )
Slag 1: h1 (b1 ) (m1
Kesalahan letak skala nol rambu dapat )
(b2 m2 ) ( 2 1
terjadi karena kesalahan pembuatan
h Kesalahannya: ( 2 - 1)
alat (pabrik) atau rambu yang
digunakan sudah sering dipakai Jumlah kesalahan dari dua slag adalah
sehingga permukaan bawahnya ( 1 - 2) +( 2 - 1) =0
menjadi aus. Artinya: h AB u
hAB
2. Teori Kesalahan
42
II
I
I
II
b4 m4
b1
b2
m1 b3
m2
m3
2
B
1
A
Gambar 37. Kesalahan Skala Nol Rambu
Jadi dapat disimpulkan bahwa beda Hal ini mengakibatkan data hasil
tinggi hasil ukuran antara dua titik tidak
I pengukuran mengalami kesalahan.
II
mengandung kesalahan akibat
Besarnya pengaruh dijelaskan dalam
kesalahan letak skala nol rambu, bila
gambar 38.
pengukuran dilakukan dengan
prosedure sbb: Secara sistematis dapat dirumuskan
sebagai berikit:
Jumlah slag antara titik-titik yang
diukur harus genap. Misal rambu I muai sebesar 1m dan
Posisi rambu harus diatur selang- rambu II muai 2m; panjangnya rambu
seling (I – II – I – II .... dst .... I) standar adalah L m, umumnya 3m;
maka dalam satu slag:
c. Kesalahan panjang rambu
u 1
Panjang rambu akan berubah karena
Beda tinggi yng beanr = h = b – m
perubahan temperatur udara. Misalnya
Karena
panjang rambu invar 3m, panjang
rambu tersebut tepat 3m pada b1 = L 1 1
b1 1 b
L L
temperatur standar t0. Bila pada waktu
pengukuran temperatur udara adalah t m1 = L 2
m1 1 2
m
L L
(lebih besar atau lebih kecil dari t0)
maka rambu tidak lagi 3m, tetapi 3m Maka h = b – m = hu + 1
b 1 2
m 1
L L
(t - t0) dimana adalah angka muai
invar.
Beda tinggi ukuran = h =b –m1
2. Teori Kesalahan
43
1 2
1
b Gambar 38. Bukan rambu standar
Artinya, data pengukuran mengandu
ng
m
Penaksiran bacaan pada interval skala
kesalahan sebesar: yang kecil akan berbeda dengan
1 2
b 1 m 1
L L bacaan pada interval skala yang lebih
Dengan cara yang sama dapat besar, artinya ketelitian bacaan akan
diterangkan kesalahan untuk rambu berbeda, hal ini tidak dikehendaki.
yang mengkerut.
Cara pencegahannya yaitu apabila
Cara pencegahan agar rambu tidak terdapat kesalahan akibat tidak
mengalami pemuaian, yaitu jika pada meratanya pembagian skala pada
saat pengukuran udara panas atau rambu, sebaiknya rambu tersebut tidak
hujan maka rambu ukur harus dilindungi digunakan dan dalam pemilihan rambu
dengan payung sehingga rambu ukur sebaiknya harus teliti agar memperoleh
dapat terlindungi. rambu yang sama dalam pembagian
skalanya.
d. Kesalahan pembagian skala rambu
e. Kesalahan pemasangan nivo rambu
b = b Cos pembagian skala rambu
Kesalahan
terjadi pada waktu pembuatan (pabrik). Pada rambu keadaan tegak,
Misalkan panjang rambu 3m, maka seharusnya gelembung nivo berada
apabila ada satu bagian skala dibuat
b = b (1 – ½ + ....) ditengah. Akan tetapi karena kesalahan
terlalu kecil, pasti dibagian yang lain pemasangan, keadaan di atas tidak
ada yang lebih besar. dipenuhi, artinya gelembung nivo sudah
Besarnya kesalahan pembacaan adal
ah
½ b1. Karena konstan, besar
nya
2. Teori Kesalahan kesalahan tergantung tingginya baca
an
b1. Makin tinggi b1 maka makin bes
berada ditengah rambu dalam keadaan ar
D = 2R.X
miring. Apabila rambu miring baik kesalahannya.
karena umumnya kecil:
b = b1 – ½ b1 + ....
Kesalahn karena kelengkungan bumi
pada beda tinggi adalah dh
Dh = (b - tA) – (m - tB)
44 Sedangkan pada pembacaan rambu
masing-masing adalah:
Rambu belakang : Xb = (b - tA)
yang melalui alat sipat datar bila Rambu muka : Xm = (m - tB)
bidang-bidang nivo dianggap saling D D Besarnya X adalah (lihat gambar 42):
sejajar. Dengan garis bidik mendatar,
(R + h)2 + D2 = {(R + h) + X}2
karena kelengkungan bumi tersebut
(R + h)2+ D2 = (R + h)2 + 2 (R + h)X + X2
tidak memberikan beda. Permasalahan
D2 = 2 (R + h)X + X2
di atas dijelaskan dalam gambar 41.
Karena h <<< R dan X <<< R dapat
Dari bacaan garis bidik mendatar
Dianggap: (R + h) R dan X2 0, maka
menghasilkan selisih bacaan (b - m)
2
yang tidak sama dengan selisih (tA - tB).
2
permukaan tanah. Atau X = D
2 R
f. Kelengkungan bumi
Dengan demikian:
Jarak antara bidang-bidang nivo melalui
masing-masing titik yang bersangkutan Db2
X b
2R
disebut beda tinggi antara dua titik.
Dm2
X m
Beda tinggi antara dua titik dapat 2R
ditentukan dari ketinggian bidang nivo
2. Teori Kesalahan
45
Dan pengukuran sipat datar dijelaskan pada
2 2
1 gambar 43.
b m
dh (Db2 Dm2 )
2R 2R 2R
Secara sistematis besarnya pengaruh
Berikut contoh besarnya X dan dh. refraksi atmosfir pada pengukuran sipat
402 Skala t akan nampak di t1,
Mak X = 0.13mm
2(6000000) kesalahannya adalah Y = t1 – t.
Bila Db = 40 m, Dm = 30 m, Besarnya Y adalah :
Maka dh = 1 (402 - 302) D2
2(6000000) Y =K
2R
= 0.06 mm Dimana K = koefisien refraksi atmosfir
Karena kelengkungan bumi bacaan Bila D = 40 m, K = 0.14, maka:
rambu terlalu besar, sehingga Y = 0.14 402 = 0.02 mm
koreksi X bertanda negatif 2(6000000)
Bila Db > Dm koreksi dh adalah
Catatan:
negatif Koreksi refraksi atmosfir dan
Bila Db < Dm koreksi dh adalah kelengkungan bumi biasanya digabung
positif menjadi satu karena refraksi dan
kelengkungan bumi terjadi bersama-
g. Refraksi atmosfir
sama pada saat pengukuran dilakukan.
Karena lapisan atmosfir mempunyai
Rumusnya : r D
kerapatan yang tidak sama (makin 2R
kebawah, makin rapat) jalannya sinar/ k 1
r (Db2 Dm2 )
cahaya (matahari) adalah mengalami 2R
pembiasan (melengkung).
Dimana:
Sehingga benda-benda akan lebih r = adalah koreksi terhadap bacaan
tinggi dari posisi seharusnya. Besarnya r = adalah koreksi terhadap beda tinggi
pengaruh refraksi atmosfir pada (satu slag)
pengukuran berlangsung hendaknya
alat ukur di lindungi oleh payung.
j. Kesalahan garis bidik
Garis bidik harus sejajar dengan garis
2. Teori Kesalahan
jurusan nivo hal ini merupakan syarat
utama alat sipat datar. Apabila tidak
sejajar, pada kedudukan gelembung
h. Getaran udara
nivo ditengah garis bidik tidak
Biasanya, bayangan rambu pada mendatar.
teropong nampak bergetar karena
adanya pemindahan panas dari
permukaan tanah ke atas.
Dengan demikian cara pencegahannya
yaitu karena pembacaan rambu tidak
dapat dilakukan dengan teliti, maka
k 1 2
sebaiknya pengukuran dihentikan.
i. Perubahan arah garis jurusan nivo
Pada alat ukur akan terjadi tegangan
pada bagian-bagian alat ukur terutama
sekali nivo apabila terkena panas
matahari langsung.
Cara pencegahannya yaitu agar hal ini
tidak terjadi, maka pada saat
atau prisma).
Bila dari samping, karena paralak,
gelembung nivo akan nampak sudah
tepat ditengah. Sehingga megakibatkan
46
kedudukan garis bidik belum mendatar
maka pembacaan akan mengandung
kesalahan.
Cara pencegahannya yaitu sebelum Cara pencegahannya yaitu pada saat
pengukuran dimulai, pastikan dulu akan memulai pengukuran maka
bahwa garis bidik sudah sejajar dengan gelembung nivo diatur dulu hingga
garis jurusan nivo. benar-benar sesuai dengan aturan.
k. Paralak
Dalam pengukuran pada saat 2.2 Kesalahan sistematis
pembacaan, gelembung nivo harus
tepat ditengah. Untuk mengetahu Kesalahan sistematis adalah kesalahan
dengan tepat bahwa gelembung nivo yang mungkin terjadi akibat adanya
berada ditengah, yaitu dengan cara kesalahan pada suatu sistem. Kesalahan
menempatkan mata tegak diatas nivo sistem dapat diakibatkan oleh peralatan dan
langsung atau bayangan (lewat cermin kondisi alam.
2. Teori Kesalahan
47
Peralatan yang dibuat manusia walaupun Apabila penyebab suatu kesalahan telah di
dibuat dengan canggihnya, akan tetapi ketahui sebelumnya dan apabila pada saat
masih diperlukan suatu prosedur guna pengukuran kondisinya telah pula di ketahui
mengetahui kemungkinan munculnya maka dapat di lakukan koreksi terhadap
kesalahan pada pengukuran baik alat, kesalahan-kesalahan yang timbul dan
maupun data. kesalahan semacam ini di sebut kesalahan
sistematis.
Rambu belakang Rambu muka
BTb BTm
1 A 2
Arah Pengukuran
Gambar 39. Sipat Datar di Suatu Sla
diketahui sebelumnya dan apabila pada saat
Apabila penyebab suatu kesalahan telah
pengukuran kondisinya telah pula diketahui,
maka dapat dilakukan koreksi pada
Sebagai contoh, sehubungan dengan
kesalahan yang ada. Contohnya, pita ukur
adanya kesalahan-kesalahan tersebut,
baja yang terdapat koreksi skala atau
bahwa pada pita ukur baja biasanya untuk.
koreksi suhu. Selanjutnya, seperti pada
Harga-harga ukurnya terdapat konstanta-
kesalahan yang besarnya hampir sama dan
konstanta koreksi skala atau kloreksi suhu.
jika dilakukan koreksi dengan suatu nilai
Selanjutnya, seperti halnya kesalahan
tertentu terhadap harga ukurnya, maka akan
petugas yang timbul pada pengukuran
mendekati harga benar walaupun tidak
elevasi dengan instrumen ploting, terdapat
dapat diketahui dengan pasti penyebab
semacam kesalahan yang besarnya hampir
kesalahan tersebut. Kesalahan seperti ini
sama dan jika di lakukan koreksi dengan
dapat pula diklasifikasikan sebagai
suatu nilai tertentu terhadap harga ukurnya,
kesalahan sistematis.
maka akan mendekati harga benar
walaupun tidak dapat di ketahui dengan
pasti penyebab kesalahan tersebut
pembacaan pada kedua mistar akan
menjadi BTm dan BTb.
Beda tinggi antara titik A dan titik B sama
dengan t = BTb1-BTm1. Sekarang akan
2. Teori Kesalahan dicari hubungan antara selisih pembacaan
BTb2 dan BTm2 yang di dapatkan garis
bidik miring dengan selisih pembacaan
Kesalahan seperti ini dapat pula di
klasifikasikan sebagai kesalahan sisitematis.
Kesalah sistematis dapat terjadi karena
kesalahan alat yang kita gunakan.
Alat-alat yang di gunakan adalah alat ukur
penyipat datar dan mistar. Lebih dahulu kita
akan tinjau kesalahan yang ada pada alat
ukur penyipat datar. Kesalahan yang di
dapat adalah yang berhubungan dengan
syarat utama. Kesalahan itu adalah garis
bidik tidak sejajar dengan dengan garis arah
nivo. Dapat diketahui bahwa untuk
mendapatkan beda tinggi antara dua titik
mistar yang diletakan di atas dua titik harus
di bidik dengan garis bidik yang mendatar.
Semua pembacan yang di lakukan dengan
garis bidik yang mendatar diberi tanda
dengan angka 1. pembacaan dengan garis
bidik yang mendatar adalah BTb1-BTm1,
sedang pembacaan yang di lakukan dengan
garis bidik miring dinyatakan dengan angka
2. bila gelembung di tengah-tengah, jadi
garis arah nivo mendatar dan garis bidik
tidak sejajar dengan garis arah nivo, maka
garis bidik akan miring dan membuat sudut
dengan garis arah nivo, sehingga
jarak antara dua bidang nivo yang
melalui dua titik itu.
2. Karena melengkungnya sinar
cahaya (refraksi). Sinar cahaya yang
48
datang dari benda yang di teropong
harus melalui lapisan-lapisan udara
yang tidak sama padatnya, karena
BTb1 dan BTm2 yang akan di dapat bila suhu dan tekannya tidak sama.
garis bidik mendatar jadi telah sejajar
3. Karena getaran udara. akibat
dengan garis arah nivo, maka koreksi garis
adanya pemindahan hawa panas
bidik untuk diatas sama dengan:
dari permukaan bumi keatas, maka
(BTb1 BTm1) (BTb2 BTm2) bayangan dari mistar yang di lihat
(db1 dm1) (db2 dm2) dengan teropong akan bergetar
Kesalahan sistematis dapat juga disebabkan sehingga pembacan ada mistar
oleh karena keadaan alam yang dapat di tidak dapat di lakukan.
sebabkan oleh:
4. Karena masuknya lagi kaki tiga dan
1. Karena lengkungan permukaan mistar kedalam tanah. Bila dalam
bumi. Pada umumnya karena waktu antara pengukuran satu
bidang-bidang nivo karena pula dan mistar dengan mistar lainya baik
beda tinggi antara dua tititk adalah
= (b1 + m1 ) + ( 0 +
h2 = (b2 + m20) +(
2. Teori Kesalahan
49
Mengatasi kesalahan garis bidik ada dua Dasar/ dihitung kemiringan garis bidik,
cara : dan selanjutnya dikoreksikan terhadap
hasil ukuran. h1 + h2 = (b10 + m10) + (b20 + m20)
h = b0 - m0
Eleminasi, yaitu dengan mengatur
penempatan alat sehingga kesalahan Dari hal-hal diatas dapat dilihat bahwa,
tersebut hilang dengan sendirinya akibat dari dua kesalahan yang timbul, hasil
(tereliminir). ukuran menjadi tidak benar, tetapi dalam hal
Mencari kesalahan garis bidik ini dapat di eliminasi dua cara :
Di jumlah slag genap.
Pengaturan perpindahan mistar ukur.
Bila pada slag sebelumnya mistar ukur
merupakan mistar belakang, slag
selanjutnya harus menjadi mistar muka dan
sebaliknya.
2. Teori Kesalahan
50
2.3 Kesalahan acak 2.4 Kesalahan besar
Adalah suatu kesalahan yang objektif yang Kesalahan besar dapat terjadi apabila
mungkin terjadi akibat dari keterbatasan operator atau surveyor melakukan
panca indera manusia. Keterbatasan itu kesalahan yang seharusnya tidak terjadi
dapat berupa kekeliruan, kurang hati-hati, akibat kesalahan pembacaan dan penulisan
kelalaian, ketidakmengertian pada alat, atau nilai yang diambil dari data pengukuran.
belum menguasai sepenuhnya alat. Dengan demikian, jika terjadi kesalahan
Walaupun demikian, pengukur yang yang besar maka pengukuran harus diulang
berpengalaman tidak mutlak pengukurannya dengan rute yang berbeda.
itu benar. Karena itu dalam mempersiapkan
2.4.1 Koreksi kesalahan
dan merencanakan pekerjaan pengukuran
harus diperhatikan hal–hal sebagai berikut: Seluruh pengukuran untuk kepentingan dari
pemetaan maupun aplikasi lain, pada
Menggunakan metode yang berbeda,
dasarnya memperhatikan kesalahan
Mengupayakan rute pengukuran yang
sistematis dan acak yang sering terjadi.
berbeda.
Khusus untuk pengukuran kerangka dasar
Kesalahan ini lebih mudah dikoreksi dengan horizontal, koreksi kesalahan sistemtik dan
pendekatan ilmu statistik. Pada fenomena acak mutlak dilakukan. Maka dari itu, kita
pengukuran dan pemetaan suatu syarat mengenal adnya rumus KGB (koreksi
geometrik menjadi kontrol kesalahan garis bidik)
1 Dm)….(2)
1 Db-
2. Teori Kesalahan
1 Dm)….(3)
paham menggunakan alat ukur, dan
tidak paham menggunakan pembacaan
rambu.
2. Kesalahan alat ukur
ukur antara lain :
Dijelaskan dalam gambar 24.
apabila jarak antara dua titik yang
diukur jauh dan dibagi dalam
beberapa seksi, maka pengaruhnya
adalah :
h = tan ( n
1 1
h = (a1-a a1) – (b1-b b1)
h = (a1- b1) – (a a1- b b1)
51 karena a a1 = tan (Db-Dm)
h1-h = h = tan (Db-Dm)
bila sudut kecil :
dari persamaan (1) dan (2) dapat h= (radial) x (Db-Dm)
dimengerti bahwa pengaruh
b) Bila rambu baik maka garis nol
kesalahan garis bidik sama dengan
skala rambu harus berhimpit
nol haruslah diusahakan agar :
dengan alas rambu. Karena
Db = Dm atau ( n kesalahan pembuatan garis nol
n dapat terletak diatas alas rambu.
Karena seringnya rambu dipakai
Persamaan (1) dapat dijelaskan maka ada kemungkinan alas rambu
sebagai berikut: menjadi aus. Ini berarti bahwa
h yang benar adalah : h = a – b angka skala nol terletak di bawah
dari ukuran diperoleh: h1=a1-b1 alas rambu. Beda tinggi yang
didapat dari pembacaan-
agar h 1 menjadi betul, maka
pembacaan yang salah karena
terlalu besar sekali lagi terlalu kecil
maka dikatakan bahwa rambu
mempunyai kesalahan pembagian
skala. Kesalahan ini tidak dapat
adanya kesalahan garis nol skala e) Kesalahan panjang rambu.
rambu akan betul, apabila jumlah
Seharusnya panjang rambu
seksi antara dua titik dibuat genap yang
dan pemindahan rambu ukur digunakan adalah standard. Artinya
selama pengukuran harus selang apabila angka rambu mulai dari 0 –
seling, 3m panjang rambu harus tepat 3m.
Bila dikatakan bahwa rambunya
c) Untuk menegakan rambu ukur
mempunyai kesalahan panjang.
digunakan nivo kotak yang
diletakan pada rambu. Apabila
gelembung nivo ditempatkan
ditengah, rambu harus tegak. Akan
tetapi bila gelembung nivo sudah
ditengah tetapi rambu miring,
dikatakan terdapat kesalahan nivo
kotak karena salah mengaturnya.
d) Kesalahan pembagian skala rambu.
52 antara dua bidang nivo yang melalui
dua titik itu.
b) Karena melengkungnya sinar
Bila Lb dan Lm adalah kesalahan cahaya (refraksi). Sinar cahaya yang
datang dari benda yang di teropong
panjang rambu belakang dan muka
harus melalui lapisan-lapisan udara
Lb dan Lm panjang rambu belakang
yang tidak sama padatnya, karena
dan muka a dan b adalah
suhu dan tekannya tidak sama.
pembacaan pada rambu belakang
dan muka yang mempunyai c) Karena getaran udara . karena
kesalahan maka beda tinggi yang adanya pemindahan hawa panas
betul adalah : dari permukaan bumi keatas, maka
h=h1+{ Lba - Lm b} bayangan dari mistar yang di lihat
Lb Lm dengan teropong akan bergetar
sehingga pembacan ada mistar
3. Kesalahan karena faktor alam
tidak dapar di lakukan.
2. Teori Kesalahan
53
d) Karena masuknya lagi kaki tiga dan Yang mempengaruhi sudut serta
mistar kedalam tanah. Bila dalam pengukuran:
waktu antara pengukuran satu
- Sudut diukur pada satu titik, kedua
mistar dengan mistar lainya baik
titik sebelum dan sesudah titik sudut
kaki tiga maupun mistar kedua
tersebut. Penempatan alat pada titik
masuk lagi kedalam tanah maka
sudut haruslah tepat kalau tidak
pembacan pada mistar kedua akan
demikian maka akan terdapat
salah bila di gunakan untuk
kesalahan sudut. Untuk membantu
mencari beda tinggi antara dua titik
dalam sentrering alat–alat pengukur
yang di tempati oleh mistar-mistar
sudut yang baru dilengkapi dengan
itu.
alat sentering optis. Karena
e) Karena perubahan garis arah nivo, sentrering yang menggunakan
karena alat ukur penyipat datar unting–unting sangat menyusahkan
kena napas sinar matahari maka dilapangan karena unting–unting
akan terjadi tegangan pada bagian- sangat mudah bergoyang bila tertiup
bagian alat ukur, terutama pada angin. Selain titik sudut, yang
bagian penting seperti nivo. penting lainnya adalah titik–titik
arah.
2.4.3 Kesalahan pada ukuran
jarak:
Disini akan dibicarakan sedikit mengenai
kesalahan pada sudut dan kesalahan pada Kesalahan sudut
Kesalahan jarak
Sudut yang diukur merupakan suatu
data untuk perhitungan poligon dan Kesalahan jarak yang sering dilakukan
dengan sendirinya pula ketelitian ialah disebabkan para pengukur jarak
poligon sebagaian tergantung dari pada merentangkan pita ukurnya kurang
pengukuran sudutnya dengan demikian tegang, sehingga terdapat kesalahan
salah satu cara untuk meninggikan pengukuran jarak. Satu hal yang sangat
ketelitian poligon pengukuran sudut penting dan yang kadang – kadang
harus diukur dengan teliti. dilupakan orang ialah mengecek alat
pengukur jarak. Karena bila tidak
demikian akan terdapat kesalahan
sistematis.
2. Teori Kesalahan
54
Yang dimaksud dengan kesalahan besar Kemungkinan kesalahan besar pada sudut
disini ialah kesalahan sudut atau kesalahan terbagi 2 macam cara :
jarak yang biasanya disebabkan oleh karena
Kesalahan besar sudut, dapat
kekeliruan, baik karena kekeliruan membaca
ditemukan bila poligon itu dihitung atau
maupun menulis. Kesalahan besar dalam
digambar secara grafis muka dan
ukuran sudut suatu poligon sudah dapat
belakang. Perpotongan kedua poligon
terlihat pada salah penutup yang terlalu
itu menunjukkan titik poligon dimana
besar. Kesalahan besar dalam ukuran jarak
terdapat kesalahan besar.
suatu poligon terlihat pada salah penutup
koordinat yang jauh lebih besar dari Kesalahan besar sudut, dapat dicari
toleransi. tempatnya dengan tidak perlu
menghitung atau menggambar poligon
tetapi cukup menghitung satu kali.
m e n d a ta r b
b'
Gambar 40. Rambu miring
2. Teori Kesalahan
55
mendatar
b m
Xb Xm
tb
Bidang
nivo Alat
tA
tA - tB BBidang
A nivo B
Bidang
nivo A
Gambar 41. Kelengkungan Bumi
D mendatar
bidang nivo
h melalui alat
Bumi
R
R
Pusat Bumi
Gambar 42. Kelengkungan bumi
t'
2. Teori Kesalahan
56
Garis pandangan
t Lengkung cahaya
Bumi
Model DiagramModel Diagram Alir
Teori Kesalahan
R
R = jari-jari bumi
R' = jari-jari lengkung cahaya
Pusat Bumi
Gambar 43. Refraksi atmosfir
2. Teori Kesalahan
57
Alir Ilmu Ukur Tanah Pertemuan ke-02
Teori Kesalahan
Dosen Penanggung Jawab : Dr.Ir.Drs.H.Iskandar Muda Purwaamijaya, MT
Koreksi dengan Metode Pengukuran
Koreksi Garis Bidik (Sipat Datar KDV)
Pembacaan Teropong Biasa & Luar
Kesalahan Sistematis Biasa (Theodolite KDH)
(Systemathical Error) Jumlah Slag Genap (Sipat Datar KDV)
Jumlah Jarak Belakang ~ Jarak Muka
(Sipat Datar KDV)
Kesalahan yang disebabkan oleh
sistem peralatan dan kondisi
alam
Kesalahan yang
mungkin terjadi Kesalahan Acak Koreksi dengan Hitung Perataan
pada pengukuran (Random Error) dan Ilmu Statistik
dan pemetaan
Kesalahan yang disebabkan oleh keterbatasan
panca indera manusia
Titik Kontrol Tinggi
(H atau Z)
lanimetris (X dan Y)
Titik Kontrol
Kontrol Sudut Komponen-Komponen Koreksi
Horisontal (Azimuth)
Sistem
Kesalahan Besar Pembobotan
Koreksi
(Blunder)
Pengukuran harus diulangi
Kesalahan yang disebabkan oleh kesalahan
membaca/melihat angka-angka
Gambar 44. Model diagram alir teori kesalahan
2. Teori Kesalahan
58
Rangkuman
Berdasarkan uraian materi bab 2 mengenai teori kesalahan, maka dapat
disimpulkan sebagi berikut:
1. Bagian yang harus ada saat pengukuran yaitu benda ukur, alat ukur, dan
pengukur/pengamat.
2. Persyaratan kesalahan saat pengukuran yaitu:
a. Pengukuran tidak selalu tepat
b. Setiap pengukuran mengandung galat
c. Harga sebenarnya dari suatu pengukuran tidak pernah diketahui
d. Kesalahan yang tepat selalu tidak diketahui
3. Penyebab kesalahan pengukuran yaitu : alam, alat dan pengukur
4. Factor- factor yang mempengaruhi hasil pengukuran yaitu : keadaan tanah jalur
pengukuran, keadaan/kondisi atmosfer (getaran udara), refraksi atmosfer,
kelengkungan bumi, kesalahan letak skala nol rambu, kesalahan panjang rambu (bukan
rambu standar), kesalahan pembagian skala (scale graduation) rambu, kesalahan
pemasangan nivo rambu, kesalahan garis bidik.
5. Macam-macam kesalahan yaitu : kesalahan sistematis, kesalahan acak, kesalahan
besar.
6. Kesalahan pada ukuran dibagi dua, yaitu : kesalahan sudut dan kesalahan jarak.
2. Teori Kesalahan
59
Soal Latihan
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini !
1. Jelaskan secara singkat definisi dari koreksi dan kesalahan?
2. Bagaimana cara mengkoreksi kesalahan sistematis pada pengukuran kerangka dasar
vertical dan kerangka dasar horizontal?
3. Jelaskan secara singkat faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran?
4. Bagaimana cara mengatasi kesalahan garis bidik?
5. Gambarkan model diagram alir teori kesalahan!
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
60
3. Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
pilar dengan titik kerangka dasar horizontal.
Pengadaan jaring kerangka dasar vertikal
dimulai oleh Belanda dengan menetapkan
MSL di beberapa tempat dan diteruskan
dengan pengukuran sipat datar teliti.
Bakosurtanal, mulai akhir tahun 1970-an
Pengukuran tinggi adalah menentukan beda
memulai upaya penyatuan sistem tinggi
tinggi antara dua titik. Beda tinggi antara 2
nasional dengan melakukan pengukuran
titik dapat ditentukan dengan :
sipat datar teliti yang melewati titik-titik
kerangka dasar yang telah ada maupun 1. Metode pengukuran penyipat datar
pembuatan titik-titik baru pada kerapatan 2. Metode trigonometris
tertentu. Jejaring titik kerangka dasar vertikal 3. Metode barometri
ini disebut sebagai Titik Tinggi Geodesi
(TTG).
3.2 Pengukuran sipat datar
Hingga saat ini, pengukuran beda tinggi
sipat datar masih merupakan cara Metode sipat datar optis adalah proses
pengukuran beda tinggi yang paling teliti. penentuan ketinggian dari sejumlah titik atau
Sehingga ketelitian kerangka dasar vertikal pengukuran perbedaan elevasi. Perbedaan
(K) dinyatakan sebagai batas harga terbesar yang dimaksud adalah perbedaan tinggi di
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
atas air laut ke suatu titik tertentu sepanjang 61
garis vertikal. Perbedaan tinggi antara titik-
titik akan dapat ditentukan dengan garis
sumbu pada pesawat yang ditunjukan pada tabung harus di tengah setiap kali akan
rambu yang vertikal. membaca skala rambu.
Beberapa istilah yang digunakan dalam
pengukuran alat sipat datar, diantaranya:
pertama diketahui tingginya.
Rambu belakang Rambu muka
BTb BTm
1 A 2
Arah Pengukuran
H1.2 = BTb - BTm
Gambar 45. Pengukuran sipat datar optis
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal c. Tinggi garis bidik
Tinggi garis bidik adalah tinggi garis bidik
di atas bidang referensi ketinggian
(permukaan air laut rata-rata)
62
untuk menentukan ketinggian stasion
tersebut.
h. Seksi
Seksi adalah jarak antara dua stasion
yang berdekatan, yang sering pula
disebut slag.
Tb
Istilah-istilah di atas dijelaskan pada gambar
Ta
46.
d. Pengukuran ke belakang
Keterangan Gambar 46:
Pengukuran ke belakang adalah
A, B, dan C = stasion: X = stasion antara
pengukuran ke rambu yang ditegakan di
Andaikan stasion A diketahui tingginya,
stasion yang diketahui ketinggiannya,
maka:
maksudnya untuk mengetahui tingginya
a. Disebut pengukuran ke belakang, b =
garis bidik. Rambunya disebut rambu
rambu belakang;
belakang.
b. Disebut pengukuran ke muka, m =
e. Pengukuran ke muka rambu muka.
Pengukuran ke muka adalah
Dari pengukuran 1 dan 2, tinggi stasion B
pengukuran ke rambu yang ditegakan di
diketahui, maka:
ta
hAB
muka. disebut titik putar
HA
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
63
m=b
1 2
b m
m m2
3 4
A B C
X
bidang referensi
Gambar 46. Keterangan pengukuran sipat datar
garis bidik mendatar
b
A hAB = ta - b
bidang referensi
Gambar 47. Cara tinggi garis bidik
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal Cara tersebut dinamakan cara tinggi
garis bidik.
Catatan:
Keterangan gambar 47:
ta dapat dianggap hasil pengukuran ke
ta = tinggi alat di A
belakang, karena stasion A diketahui
T = tinggi garis bidik
tingginya. Dengan demikian beda tinggi
HA = tinggi stasion A
dari A ke B yaitu hAB = ta – b. Hasil ini
b = bacaan rambu di B
menunjukan bahwa hAB adalah negatif
HB = tinggi stasion B
(karena ta < b) sesuai dengan keadaan
hAB = beda tinggi dari A ke B = ta – b
dimana stasion B lebih rendah dari
untuk menghitung tinggi stasion B stasion A.
beda tinggi dari B ke A yaitu hBA = b –
t. Hasilnya adalah positif. Jadi apabila
HB dihitung dengan rumus HB = HA +
hAB hasilnya tidak sesuai dengan
64
keadaan dimana B harus lebih rendah
dari A.
hAB = a – b
hBA = b – a
Bila tinggi stasion A adalah HA, maka
tinggi stasion B adalah:
T
HB = HA + hAB = HA + a – b = T – b
Bila tinggi stasion B adalah HB, maka
tinggi stasion A adalah:
HA = HB + hBA = HB + b – a = T – a
c. Cara ketiga
Alat sipat datar tidak ditempatkan
diantara atau pada stasion.
Perhatikan gambar 49:
hAB = a – b
hBA = b – a
bila tinggi stasion C diketahui HC, maka:
HB = HC + tc – b = T – b
T
h
HA = HC + tc – a = T – a
Bila tinggi stasion A diketahui, maka:
HB = HA + hAB = HA + a - b
Bila tinggi stasion B diketahui, maka:
HA = HB + hAB = HB + b – a
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
65
garis bidik mendatar
a b
hAB = a - b hBA = b - a
A
HA HB
bidang referensi
Gambar 48. Cara kedua pesawat di tengah-tengah
garis bidik mendatar
tc
B
C
B
0
A
HA HB HC
Gambar 49. Keterangan cara ketiga
Dari ketiga cara di atas, cara yang
a bdatar tepat di tengah-tengah antara
paling teliti adalah cara kedua, karena stasion A dan B (jarak pandang ke A
pembacaan a dan b dapat diusahakan sama dengan jarak pandang ke B).
sama teliti yaitu menempatkan alat sipat
datar di antaranya:
4. Sipat datar memanjang.
kesalahan garis bidik, refraksi udara akan menghasilkan beda tinggi antara
serta kelengkungan bumi. kedua stasion tersebut.
Tujuan pengukuran ini umumnya untuk
3.2.1 Jenis-Jenis Pengukuran Sipat Datar
mengetahui ketinggian dari titik-titik
Ada beberapa macam pengukuran sipat yang dilewatinya dan biasanya
diperlukan sebagai kerangka vertikal
bagi suatu daerah pemetaan. Hasil
akhir daripada pekerjaan ini adalah data
ketinggian dari pilar-pilar sepanjang
jalur pengukuran yang bersangkutan. 66
Yaitu semua titik yang ditempati oleh
rambu ukur tersebut.
Sipat datar memanjang dibedakan
menjadi:
Memanjang terbuka,
Memanjang keliling (tertutup),
Memanjang terbuka terikat
sempurna,
Memanjang pergi pulang,
Memanjang double stand.
5. Sipat datar resiprokal
Kelainan pada sipat datar ini adalah
pemanfaatan konstruksi serta tugas
nivo yang dilengkapi dengan skala
pembaca bagi pengungkitan yang
dilakukan terhadap nivo tersebut.
Sehingga dapat dilakukan pengukuran
beda tinggi antara dua titik yang tidak
dapat dilewati pengukur. Seperti halnya
sipat datar memanjang, maka hasil
akhirnya adalah data ketinggian dari
kedua titik tersebut. Seperti pada
gambar 50 :
Perbedaan tinggi antara A ke B adalah
hAB = ½ {(a - b) + (a’ + b’)}. Titik-titk C,
A, B, dan D tidak harus berada pada
satu garis lurus.
Apabila jarak antara A dan B jauh, salah
satu rambu (rambu jauh) diganti dengan
target dan sipat datar yang digunkan
adalah tipe jungkit.
'
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
b
'
a b
B D
67
C A
Gambar 50. Contoh pengukuran resiprokal
Apabila sekrup pengungkit dilengkapi n1 = bacaan skala pengungkit pada
skala untuk menentukan banyaknya saat garis bidik mengarah ke
putaran seperti nampak pada gambar target atas.
gelombang nivo akan tetapi banyaknya saat garis bidik mengarah ke
ditentukan oleh perbedaan bacaan
skala yang diperoleh.
B = b0 + b1 = b0 +
n0 n2 i Sekrup pengungkit
berskala
n1 n2
Dimana:
Gambar 51. sipat datar tipe jungkit
n0 = bacaan skala pengungkit pada
saat gelombung nivo berada di
tengah.
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
68
Catatan: selanjutnya dapat diperhitungkan
banyaknya galian dan timbunan yang
Untuk memperoleh ketelitian tinggi,
perlu dilakukan pada pekerjaan
lakukanlah pengukuran ke masing-
konstruksi.
masing target berulang-ulang, misalkan
20x.
C
x D
A
B
Gambar 52. Contoh pengukuran resiprokal
Pengukuran sebaiknya dilakukan pada Pelaksanaan pekerjaan ini dilakukan
keadaan cuaca yang berbeda, misalnya dalam dua bagian yang disebut sebagai
ukuran pertama pagi hari dan ukuran sipat datar profil memanjang dan
kedua sore hari. Hal ini dimaksudkan melintang. Hasil akhir dari pengukuran
untuk memperkecil pengaruh refraksi ini adalah gambaran (profil) dari pada
udara. kedua jenis pengukuran tersebut dalam
arah potongan tegaknya.
Untuk memperkecil pengaruh
kesalahan refraksi udara dan Profil memanjang
kelengkungan bumi, pengukuran Maksud dan tujuan pengukuran profil
sebaiknya dilakukan bolak-balik. memanjang adalah untuk menentukan
Maksudnya, pertama kali alat ukur ketinggian titik-titik sepanjang suatu garis
dipasang sekitar A kemudian dipindah rencana proyek sehingga dapat
ke tempat sekitar B seperti nampak digambarkan irisan tegak keadaan
pada gambar berikut ini: lapangan sepanjang garis rencana
proyek tersebut. Gambar irisan tegak
6. Sipat datar profil.
keadaan lapangan sepanjang garis
Pengukuran ini bertujuan untuk
rencana proyek disebut profil
mengetahui profil dari suatu trace baik
memanjang.
jalan ataupun saluran, sehingga
Untuk merencanakan bangunan-
bangunan, ada kalanya ingin diketahui
keadaan tinggi rendahnya permukaan
tanah. Oleh sebab itu dilakukan
pengukuran sipat datar luas dengan
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
mengukur sebanyak mungkin titik detail.
Kerapatan dan letak titik detail diatur
Di lapangan, sepanjang garis rencana sesuai dengan kebutuhannya. Apabila
proyek dipasang patok-patok dari kayu makin rapat titik detail pengukurannya
atau beton yang menyatakan sumbu maka akan mendaptkan gambaran
proyek. Patok-patok ini digunakan untuk permukaan tanah yang lebih baik.
pengukuran profil memanjang. Bentuk permukaan tanah akan
dilukiskan oleh garis-garis yang
Profil melintang
Profil melintang diperlukan untuk
mengetahui profil lapangan pada arah
tegak lurus garis rencana atau untuk
mengetahui profil lapangan ke arah yang
membagi sudut sama besar antara dua
garis rencana yang berpotongan.
7. Sipat datar luas
atas peta daerah pengukuran tersebut.
Cara pengukurannya adalah dengan
cara tinggi garis bidik. Agar pekerjaan
pengukuran berjalan lancar maka pilihlah
69
tempat alat ukur sedemikian rupa,
hingga dari tempat ini dapat dibidik
sebanyak mungkin titik-titik di sekitarnya.
menghubungkan titik-titik yang
mempunyai ketinggian sama. Garis ini 3.2.2 Ketelitian pengukuran sipat datar
dinamakan kontur.
Dalam pengukuran sipat datar akan pasti
Pada jenis pengukuran sipat datar ini mengalami kesalahan-kesalahan yang pada
yang paling diperlukan adalah
garis besarnya dapat digolongkan ke dalam
penggambaran profil dari suatu daerah
kesalahan yang sifatnya sistimatis
pemetaan yang dilakukan dengan
(Systematic errors) dan kesalahan yang
mengambil ketinggian dari titik-titik detail
sifatnya kebetulan (accidental errors).
di daerah tersebut dan dinyatakan
Kesalahan-kesalahan yang tergolong
sebagai wakil daripada ketinggiannya,
sistematis adalah kesalahan-kesalahan
sehingga dengan melakukan interpolasi
yang telah diketahui penyebabnya dan
diantara ketinggian yang ada, maka
dapat diformulasikan ke dalarn rumus
dapat ditarik garis-garis konturnya di
matematika maupun fisika tertentu.
koreksi terhadap hasilnya atau dengan cara-
cara pengukuran tertentu. Misalnya, untuk
menghilangkan pengaruh kesalahan garis
bidik, refraksi udara dan kelengkungan
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal bumi, alat sipat datar harus ditempatkan
tepat di tengah antara dua rambu (jarak ke
rambu belakang dan ke rambu muka harus
Misalnya, kesalahan - kesalahan yang dibuat sama besar).
terdapat pada alat ukur yang digunakan
Dengan demikian hasil pengukuran hanya
antara lain kesalahan garis bidik, kesalahan
dipengaruhi kesalahan yang sifatnya
garis nol skala rambu; kesalahan karena
kebetulan.
faktor alam antara lain refraksi udara dan
kelengkungan bumi.
Misalnya, kesalahan menaksir bacaan pada
skala rambu, menaksir letak gelembung nivo
di tengah. Karena kesalahan sistimatik
bersifat menumpuk (akumulasi), maka hasil
pengukuran harus dibebaskan dari
kesalahan sistematis tersebut. Cara yang
dapat ditempuh yaitu dengan memberikan
K = konstanta yang menunjukan tingkat
ketelitian pengukuran dalam satuan
milimeter
D = Jarak antara dua titik yang diukur
70 dalam satuan kilometer
3.2.3 Syarat-syarat alat sipat datar
Untuk mengetahui apakah pengukuran Pengukuran sipat datar memerlukan dua
harus diulangi atau tidak dan untuk alat utama yaitu sipat datar dan rambu ukur
mengetahui baik tidaknya pengukuran sipat alat sipat datar. Biasanya alat ini dilengkapi
datar (memanjang), maka ditentukan batas dengan nivo yang berfungsi untuk
harga kesalahan terbesar yang masih dapat mendapatkan sipatan mendatar dari
diterima yang dinamakan toleransi kedudukan alat dan unting-unting untuk
pengukuran. mendapatkan kedudukan alat tersebut di
atas titik yang bersangkutan.
Angka toleransi dihitung dengan rumus:
a. Pesawat Sipat Datar
T= K D
Pesawat sipat datar yang kita gunakan
Dimana :
dapat ditemukan pada beberapa alat
T = toleransi dalam satuan milimeter
berikut.
Tribach
Tribach adalah platform
ataupun
penghubung statip dan alat
sipat
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
datar.
Teropong
1. Dumpy Level Teropong ini duduk di atas tr
ibach
Kelebihan dari alat sipat datar ini yaitu
dan kedudukan mendatarnya
teleskopnya hanya bergerak pada suatu
diatur
bidang yang menyudut 90 terhadap
oleh ketiga sekrup penyetel
sumbu rotasinya. Alat ini adalah alat
yang
yang paling sederhana.
terdapat pada tribach diatas.
Bagian dari alat ini meliputi:
Landasan alat
Landasan alat ini terletak di atas dari
tripod (statif) dan merupakan
landasan datar tempat alat ukur
tersebut diletakan dan diatur
sebelum melakukan pengukuran.
Sekrup penyetel
Sekrup penyetel berfungsi untuk
mendatarkan alat ukur di atas
landasan alat tersebut, juga untuk
mendatarkan sebuah bidang nivo
yaitu bidang yang tegak lurus
terhadap garis gaya gravitasi.
Nivo
Pada alat ukur sipat datar ini
umumnya terdapat dua buah nivo.
Dari jenis kotak yang terletak pada
71
tribach dan jenis tabung yang
terletak di atas teropong. Nivo kotak
tersebut digunakan untuk
Teropong ini dilengkapi dengan
mendatarkan bidang nivo dari alat
sekumpulan peralatan optis dan
tersebut, yaitu agar tegak lurus pada
peralatan untuk dapat memperbesar
garis grafvitasi dan nivo tabung
bayangan, reticule dengan benang
digunakan untuk mendatarkan
diafragma, serta peralatan penyetel
teropong pada jurusan bidikan.
lainnya.
dan teropong,
8) Trivet, dapat dikuncikan pada statip
9) Kiap (leveling head), terdiri
dari
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal tribrach dan trivet,
10) Sumbu kesatu (sumbu tegak) ,
11) Tombol focus
Gambar 53. Dumpy level
Tipe kekar terdiri dari:
1) Teropong,
2) Nivo tabung,
3) Skrup koreksi/pengatur nivo,
4) Skrup koreksi/pengatur diafragma (4
buah),
5) Skrup pengunci gerakan horizontal,
6) Skrup kiap (umumnya 3 buah),
7) Tribrach, penyangga sumbu kesatu
72
2. Tipe Reversi ( Reversible level )
Kelebihan dari sipat datar ini yaitu pada
teropong terdapat nivo reversi dan
teropong mempunyai sumbu mekanis.
Pada type ini teropong dapat diputar
sepanjang sumbu mekanis sehingga
nivo tabung letak dibawah teropong.
Karena nivo tabung mempunyai dua
permukaan maka dalam posisi demikian
gelembung nivo akan nampak.
Disamping itu teropong dapat diungkit
sehingga garis bidik bisa mengarah
keatas, kebawah maupun mendatar.
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
Gambar 54. Tipe reversi
73
Tipe Reversi terdiri dari:
1) Teropong,
2) Nivo reversi (mempunyai dua
permukaan),
3) Skrup koreksi/pengatur nivo
4) Skrup koreksi/pengatur diafragma,
5) Skrup pengunci gerakan horizontal,
6) Skrup kiap,
Dalam tilting level terdapat
sekrup
pengungkit teropong dan hanya terdiri
dari tiga bagian saja. Bagian dari alat
ini, diantaranya:
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
Dudukan alat
Pada bagian alat ini dapat berputar
terhadap sumbu vertikal alat, yaitu
7) Tribrach,
dengan tersedianya bola dan soket
8) Trivet,
diantara landasan statif dan tribach
9) Kiap,
10) Sumbu kesatu (sumbu tegak),
11) Tombol focus,
12) Pegas,
13) Skrup pengungkit teropong,
14) Skrup pemutar,
15) Sumbu mekanis,
3. Tilting Level
Perbedaan tilting level dan dumpy level
adalah teleskopnya tidak dapat dipaksa
bergerak sejajar dengan plat paralel di
atas. Penyetelan pesawat ungkit ini
lebih mudah dibandingkan dengan
dumpy level. Kelebihan dari pesawat
tilting level yaitu teropongnya dapat
diungkit naik turun terhadap sendinya,
dan mempunyai dua nivo yaitu nivo
kotak dan nivo tabung.
74
Teropong
Teropong yang terdapat pada alat
ukur ini sama dengan pada alat ukur
dumpy level ataupun teropong pada
umumnya.
Nivo
Demikian pula nivo yang terletak di
atas teropong tersebut mempunyai
fungsi yang sama dengan yang
terdapat pada alat-alat lainnya.
Gambar 55. Dua macam tilting level
tersebut.
Berbeda dengan tipe reversi, pada tipe
ini teropong dapat diungkit dengan
skrup pengungkit.
Gambar 56. Bagin-bagian dari tilting level
Keterangan :
1. Teropong,
2. Nivo tabung,
3. Skrup koreksi/pengatur nivo,
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
4. Skrup koreksi/pengatur diagram,
5. Skrup pengunci gerakan horizontal,
6. Skrup kiap,
7. Tribrach,
8. Trivet,
9. Kiap (leveling head),
10. Sumbu kesatu (sumbu tegak),
11. Tombol focus,
12. Pegas,
13. Skrup pengungkit teropong,
75
4. Automatic Level
Pada alat ini yang otomatis adalah
sistem pengaturan garis bidik yang tidak
lagi bergantung pada nivo yang terletak
di atas teropong. Alat ini hanya
mendatarkan bidang nivo kotak melalui
tiga sekrup penyetel dan secara
otomatis sebuah bandul menggantikan
fungsi nivo tabung dalam mendatarkan
garis nivo ke target yang dikehendaki.
Bagian-bagian dari alat sipat datar
otomatis diantaranya: kip bagian bawah
(sebagai landasan pesawat yang
menumpu pada kepala statif), sekrup
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
Keistimewaan utama dari penyipat datar m
otomatis adalah garis bidiknya yang b
a
melalui perpotongan benang silang
r
tengah selalu horizontal meskipun
5
sumbu optik alat tersebut tidak
8.
horizontal.
B
Gambar 57. Instrumen sipat datar otomatis
a
g
ia
n
-
b
a
g
ian dari sipat datar otomatis
76
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
77
Keterangan : bidik dengan permukaan tanah.
1. Teropong, Rambu ukur terbuat dari kayu atau
2. Kompensator, campuran logam alumunium.
3. Skrup koreksi/ pengatur diafragma, Ukurannya, tebal 3 cm – 4 cm,
4. Skrup pengunci gerakan horizontal, lebarnya 10 cm dan panjang 2 m, 3
5. Skrup kiap, m, 4 m, dan 5 m. Pada bagian
6. Tribrach, bawah diberi sepatu, agar tidak aus
7. Trivet, karena sering dipakai.
8. Kiap (leveling head/base plate), dan
Rambu ukur dibagi dalam skala,
9. Tombol focus.
angka-angka menunjukan ukuran
Ketepatan penggunaan dari keempat dalam desimeter. Ukuran desimeter
alat sipat datar diatas yaitu sama-sama dibagi dalam sentimeter oleh E dan
digunakan untuk pengukuran kerangka oleh kedua garis. Oleh karena itu,
dasar vertikal, dimana kegunaan dari kadang disebut rambu E. Ukuran
keempat alat di atas yaitu hanya untuk meter yang dalam rambu ditulis
memperoleh informasi beda tinggi yang dalam angka romawi. Angka pada
relatif akurat pada pengukuran di suatu rambu ukur tertulis tegak atau
lapangan. terbalik. Pada bidang lebarnya ada
lukisan milimeter dan diberi cat
b. Rambu Ukur
merah dan hitam dengan cat dasar
Rambu untuk pengukuran sipat datar putih agar saat dilihat dari jauh tidak
(leveling) diklasifikasikan ke dalam 2 menjadi silau. Meter teratas dan
tipe, yaitu: meter terbawah berwarna hitam,
pembacaan sendiri berwarna merah.
a) Jalon
Fungsi rambu ukur adalah sebagai
b) Rambu sipat datar sopwith alat bantu dalam menentukan beda
c) Rambu sipat datar bersendi tinggi dan mengukur jarak dengan
d) Rambu sipat datar invar menggunakan pesawat. Rambu
ukur biasanya dibaca langsung oleh
2. Rambu sipat datar sasaran
pembidik.
Rambu ukur diperlukan untuk
mempermudah/membantu
mengukur beda tinggi antara garis
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
78
Pada pengukuran tinggi dengan cara
trigonometris ini, beda tinggi didapatkan
secara tidak langsung, karena yang diukur
di sini adalah sudut miringnya atau sudut
zenith. Bila jarak mendatar atau jarak miring
diketahaui atau diukur, maka dengan
memakai hubungan-hubungan geometris
dihitunglah beda tinggi yang hendak
Gambar 59. Rambu ukur ditentukan itu.
Bila jarak antara kedua titik yang hendak
3.3 Pengukuran trigonometris ditentukan beda tingginya tidak jauh, maka
kita masih dapat menganggap bidang nivo
Metode trigonometris prinsipnya adalah sebagai bidang datar.
mengukur jarak langsung (jarak miring),
Akan tetapi bila jarak yang dimaksudkan itu
tinggi alat, tinggi benang tengah rambu dan
jauh, maka kita tidak boleh lagi memisahkan
sudut vertikal (zenith atau inklinasi) yang
atau mengambil bidang nivo itu sebagai
kemudian direduksi menjadi informasi beda
bidang datar, tetapi haruslah bidang nivo itu
tinggi menggunakan alat theodolite.
dipandang sebagai bidang lengkung, Di
Seperti telah dibahas sebelumnya, beda samping itu kita harus pula menyadari
tinggi antara dua titik dihitung dari besaran bahwa jalan sinarpun bukan merupakan
sudut tegak dan jarak. Sudut tegak garis lurus, tetapi merupakan garis
diperoleh dari pengukuran dengan alat lengkung. Jadi jika jarak antara kedua titik
theodolite sedangkan jarak diperoleh atau yang akan ditentukan beda tingginya itu
terkadang diambil jarak dari peta. jauh, maka bidang nivo dan jalan sinar tidak
dapat dipandang sebagai bidang datar dan
garis lurus, tetapi haruslah dipandang
sebagai bidang lengkung dan garis
lengkung.
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
a
BT
dm
79
HAB
A B
dAB
Gambar 60. Contoh pengukuran trigonometris
i : Inklinasi (sudut miring) HAB = (TB + TB’) + B’B’’ – TB
dab : dm . cos i = D tan m + t – 1 cot z + t-1
HAB : dm . sin I + ta – BT HAB = Dm sin m + t – 1
= Dm cos z + t – 1
Titik A dan B akan ditentukan beda tingginya
dengan cara trigonometris. Prosedur Sudut tegak ukuran perlu mendapat koreksi
pengukuran dan perhitungannya adalah sudut refraksi dan bidang-bidang nivo
sebagai berikut: melalui A dan B harus diperhitungkan
tingginya sumbu mendatar dari A. apabila beda tinggi dan jarak AB besar dan
Misalkan t, beda tinggi akan ditentukan lebih teliti.
Tegakkan target di B, ukur tingginya Lapisan udara dari B ke A akan berbeda
target dari B, misalkan l, kepadatannya karena sinar cahaya yang
Ukur sudut tegak m (sudut miring) datang dari target B ke teropong theodolite
atau z (sudut zenith), akan melalui garis melengkung. Makin dekat
Ukur jarak mendatar D atau Dm ke A makin padat. Dengan adanya
(dengan EDM), dan kesalahan karena faktor alam tersebut di
Dari besaran-besaran yang diukur, atas hitungan beda tinggi perlu mendapat
maka: koreksi.
a
m
b
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal a
r
6
1.
G
a
m
b
a
r
k
o
r
e
k
si
tr
igonometris
80
Keterangan: 1 k 2
hAB D cot z' t 1 D
z’ = sudut zenith ukuran 2R
z = sudut zenith yang betul
Dimana:
m’ = sudut miring ukuran
k = koefisien refraksi udara = 0.14
m = sudut miring yang betul
R = jari-jari bumi 6370 km
r = sudut refraksi udara
Besarnya sudut refraksi udara r
0 = pusat bumi
dapat dihitung dengan rumus:
D = jarak (mendatar)
R = rm . Cp . Ct
Dari gambar 61: rm = sudut refraksi normal pada
hAB = (TB + BB’) + B’B’’ + B’’B’’’ – TB tekanan udara 760 mmHg,
2 temperatur udara 100C dan
2R kelembaban nisbi 60%
D 2 P
atau hAB D tan(m' r) t 1 Cp = ; P = tekanan udara di A
2R 760
D2 dalam mmHg
hAB D tan(m' r) t 1
2R 283
Ct = ; t = temperatur udara
atau 1 k 273 t
hAB D tan m' t 1
2R di A dalm mmHg 0C
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
81
Agar beda tinggi yang didaptkan lebih baik,
Pada prinsipnya menghitung beda tinggi
maka pengukuran harus dilakukan bolak-
pada suatu wilayah yang relatif sulit dicapai
hAB = D tan m +
balik. Kemudian D + t – 1
hasilnya dirata-ratakan,
karena kondisi alamnya dengan bantuan
dapat pula beda tinggi dihitung secara
pembacaan tekanan udara atau atmosfer
serentak dengan rumus:
menggunakan alat barometer
H H B
hAB D 1 tan 12 (m'2 m'1 )
2R
A
dimana: D 2
HA dan HB tinggi pendekatan A dan
B (dari peta topografi)
m1’, m2’ sudut miring ukuran di A
dan B
t dan 1 dibuat sama tinggi.
3.4 Pengukuran barometris
Gambar 62. Bagian-bagian barometer
Metode barometris prinsipnya adalah
Dari ketiga metode di atas yang
mengukur beda tekanan atmosfer suatu
keuntungannya lebih besar ialah alat sipat
ketinggian menggunakan alat barometer
datar, karena setiap ketinggian berbeda-
yang kemudian direduksi menjadi beda
beda dan tekanan berbeda-beda maka hasil
tinggi.
pengukurannya pun berbeda-beda.
Pengukuran dengan barometer relatif
Pengukuran sipat datar KDV maksudnya
mudah dilakukan, tetapi membutuhkan
adalah pembuatan serangkaian titik-titik di
ketelitian pembacaan yang lebih
lapangan yang diukur ketinggiannya melalui
dibandingkan dua metode lainnya, yaitu
pengukuran beda tinggi untuk pengikatan
metode alat sipat datar dan metode
ketinggian titik-titik lain yang lebih detail dan
trigonometris
banyak. Tujuan pengukuran sipat datar KDV
Hasil dari pengukuran barometer ini adalah untuk memperoleh informasi tinggi
bergantung pada ketinggian permukaan yang relatif akurat di lapangan yang
tanah juga bergantung pada temperatur sedemikian rupa sehingga informasi tinggi
udara, kelembapan, dan kondisi-kondisi pada daerah yang tercakup layak untuk
cuaca lainnya. diolah sebagai informasi yang lebih
Gambar 63. Barometer
Peristiwa alam menunjukan bahwa semakin
tinggi suatu tempat maka semakin kecil
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
Pengukuran sipat datar KDV diawali dengan
mengidentifikasi kesalahan sistematis dalam
hal ini kesalahan bidik alat sipat datar optis
melalui suatu pengukuran sipat datar dalam
posisi 2 stand.
Disamping itu, karena antara massa m
dengan volume V dan kepadatan
mempunyai hubungan:
M=V.
82
Maka untuk satu satuan masa, V = 1/ .
Dengan demikian rumus di atas akan
Menurut hukum Boyle dan Charles: menjadi:
P . V = R . T......................................... 1 P= . R . T................... 2
Dimana:
Bila perubahan tekanan udara adalah dp
P= tekanan gas (udara) persatuan
untuk satu satuan luas sesuai dengan
masa, dalam satuan Newton/m2
perubahan tinggi dh, maka:
V= volume gas (udara) persatuan
Dp = - g . . dh............. 3
masa, dalam satuan m3
R= konstanta gas (udara) Dimana g = percepatan gaya berat, =
log( 2 ) ................. 8
T= temperatur gas (udara) dalam kepadatan udara. Kombinasi rumus 2 dan 3
satuan kelvin (00C = 2730K). akan memberikan:
tekanannya. Hubungan antara tekanan dan RT dp
Dh = - ........... 4
ketinggian bergantung pada temperatur, g
log( 2 ) , M = modulus log. p
kelembaban dan percepatan gaya gravitasi.
Bila P1 adalah tekanan udara pada
Secara sederhana kita dapat menentukan ketinggian H1 dan P2 adalah tekanan pada
hubungan antara perubahan tekanan ketinggian H2, maka dengan menggunakan
dengan perubahan tinggi. rumus 4
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
83
H2 P2 3
s = 1.2928 kg/m pada temperatur
RT dp
h dh H 2 H1 00C dan tekanan 760 mmHg
H1 P1
g p
gs = 9.80665 N/kg dimuka laut pada
Karena
R T akan merupakan suatu lintang 450
g
Ts = 00C = 2730K
konstanta, maka:
Maka :
P2
RT dp T p
h h (18402.6)m
g P1
p Ts p1
RT Dimana:
h
g{ln P2 ln P1} P2 = tekanan udara pada ketinggian H2
dalam mmHg
RT P
h P1 = tekanan udara pada ketinggian H1
M g P1
dalam mmHg
Brigg = 0.4342945...................................... 5 T = temperatur udara rata-rata pada
metode pengukuran tunggal (single
Subtitusikan harga R persamaan 6 kedalam
observation)
persamaan 5:
metode pengukuran simultan
ps p2 T ................. (simultaneous observation)
h log 7
M s gs p1 Ts
1. Pengukuran tunggal
Bila diambil harga standar sbb: Misalkan titik-titik A, B, C, D akan
ditentukan beda-beda tingginya.
Ps = 101325 N/m2 yang sesuai dengan
tekanan 760 mmHg pada Alat ukur yang digunakan satu alat
temperatur 00C dan g = 9.80665 barometer dan satu alat thermometer.
N/kg
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
84
ps
B
C
A
Gambar 64. Pengukuran tunggal
idealnya pencatatan di setiap titik
Misal titik A telah diketahui tingginya.
dilakukan, namun pada pengukuran
Pertama sekali catat tekanan dan
tunggal hal ini tidak mungkin dilakukan.
temperatur udara di A.
Sehingga pencatatan mengandung
Kemudian kita berjalan menuju titik
kesalahan akibat perubahan kondisi
B, C, D dan kemudian kembali ke C,
atmosfir.
B, dan A. Pada titik-titik yang dilalui
tadi (B, C, D, C, B, A) kita catat pula
tekanan dan temperatur udaranya.
Dengan pencatatan besaran-
besaran tekanan dan temperatur di
setiap titik, dengan rumus 8 dapat
dihitung beda-beda tingginya.
Dan dari ketinggian A dapat dihitung
ketinggian B, C, dan D.
Dalam keadaan atmosfir yang sama
dan thermometer pertama ditempatkan
2. Pengukuran simultan
di titik yang diketahui tingginya
Pada metode simultan, pencatatan sedangkan yang lain dibawa ke titik-titik
tekanan dan temperatur udara di dua yang akan diukur.
titik yang ditentukan beda tingginya
Prosedur pengukuran:
dilakukan pada saat bersamaan.
Buat jadwal waktu penacatatan.
Maksudnya untuk mengeliminir
Misalkan t0, t1, t2, t3, t4, t5, t6.
kesalahan karena perubahan kondisi
atmosfir. Alat-alat pertama (I) ditempatkan di
A, dan alat-alat kedua (II) berjalan
Alat barometer dan thermometer yang
dari A-B-C-D-C-B-A.
digunakan adalah dua buah. Barometer
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
85
t4
t6
D
t5 t3
t7 B
t1
A C
t2
Gambar 65. Pengukuran Simultan
Pada pukul t0, catat tekanan dan Catatan:
temperatur di A (I) dan A (II)
1. Rumus 8 dapat ditulis lain:
Pada pukul t1, catat tekanan dan
p2
temperatur di A (I) dan B (II) h (18402.6)(1 t) log( ) ....9
p1
Pada pukul t2, catat tekanan dan
temperatur di A (I) dan C (II) Dimana:
Pada pukul t3, catat tekanan dan T dinyatakan dalam satuan 0C
temperatur di A (I) dan D (II) 1
0.003663
Pada pukul t4, catat tekanan dan 273
temperatur di A (I) dan D (II) 2. Apabila dimisalkan untuk tinggi H = 0,
Pada pukul t5, catat tekanan dan tekanannya adalah p = 739 mmHg
temperatur di A (I) dan C (II)
maka rumus umum untuk menghitung
Pada pukul t6, catat tekanan dan tinggi adalah:
temperatur di A (I) dan B (II)
Hi = (18402.6) (1 + 0.003663 t) log
Pada pukul t7, catat tekanan dan
739
temperatur di A (I) dan A (II) ( )
pi
Dari pencatatan di A dan titik-titik terhadap A. Dengan demikian beda
lain dapat ditentukan beda tinggi tinggi antara dua titik
yang Tinggi dihitung dengan rumus 10
berdekatan dapat diketahui. disebut tinggi hitungan dan digunakan
untuk menghitung beda tinggi.
3. Rumus berikut ini, akan memberikan
hasil h yang lebih baik, karena harga g
yang digunakan disesuaikan dengan
Model DiagramModel Diagram Alir
Pengukuran: Dr.Ir.Drs.H.Iskandar Muda Purwaamijaya, MT
Kerangka Dasar Vertikal
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
86
2H = H1+H2 (harga pendekatan)
R = jari-jari bumi ( 6370 km)
= lintang tempat pengamatan
rata-rata = ½ ( 1 + 2 )
= 2.64399 x 10-3
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
87
Alir Ilmu Ukur Tanah Pertemuan ke-03
Penjelasan Metode-Metode Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
Dosen Penanggung Jawab
Orde - 1
Benang Tengah
Rambu Belakang
Orde - 2
Daerah Datar Metode Sipat
( 0 - 15 %) Datar
Rambu Muka
Jarak
Tinggi Alat langsung
Benang Tengah
Pengukuran Daerah Bukit Metode
Kerangka Trigonometris
(15 - 45 %)
Dasar Vertikal
Benang
Tengah
Sudut Vertikal
(Inklinasi/
Zenith)
Tekanan
Udara di
Orde - 3
Titik i
Tekanan
Udara di
Daerah Titik j
Metode
Gunung
Barometris
( > 45 %)
Gravitasi
di Titik i
Massa
Jenis Gravitasi
Cairan di Titik j
Gambar 66. Model diagram alir pengukuran kerangka dasar vertikal
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
88
Rangkuman
Berdasarkan uraian materi bab 3 mengenai pengukuran kerangka dasar vertikal,
maka dapat disimpulkan sebagi berikut:
1. Kerangka dasar vertikal merupakan kumpulan titik-titik yang telah diketahui atau
ditentukan posisi vertikalnya berupa ketinggiannya terhadap bidang rujukan
ketinggian tertentu.
2. Pengukuran tinggi merupakan penentuan beda tinggi antara dua titik. Pengukuran
beda tinggi dapat ditentukan dengan tiga metode, yaitu:
Metode pengkuran penyipat datar
Metode trigonometris
Metode barometris.
3. Pengukran beda tinggi metode sipat datar optis adalah proses penentuan ketinggian
dari sejumlah titik atau pengukuran perbedaan elevasi. Tujuan dari pengukuran
penyipat datar adalah mencari beda tinggi antara dua titik yang diukur.
Pengkuran sipat datar terdiri dari beberapa macam, yaitu:
Sipat datar memanjang
Sipat datar resiprokal
Sipat datar profil
Sipat datar luas
4. Pengukuran beda tinggi metode trigonometris prinsipnya yaitu mengukur jarak
langsung (jarak miring), tinggi alat, tinggi benang tengah rambu dan sudut vertikal
(zenith atau inklinasi) yang kemudian direduksi menjadi informasi beda tinggi
menggunakan alat theodolite.
5. Pengukuran beda tinggi metode barometris prinsipnya adalah mengukur beda
tekanan atmosfer suatu ketinggian menggunakan alat barometer yang kemudian
direduksi menjadi beda tinggi.
6. Tingkat ketelitian yang paling tinggi dari ketiga metode tersebut adalah sipat datar
kemudian trigonometris dan terakhir adalah barometris. Pada prinsipnya ketiga
metode tersebut layak dipakai bergantung pada situasi dan kondisi lapangan.
3 Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal
89
Soal Latihan
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini !
1. Apa yang dimaksud dengan kerangka dasar vertikal ?
2. Jelaskan apa yang anda ketahui tentang pengukuran beda tinggi metode sipat datar
optis !
3. Apa yang dimaksud dengan pengukuran tinggi dan bagaimana cara mencari beda
tingginya ?
4. Sebutkan dan jelaskan macam-macam pengukuran sipat datar ?
5. Sebutkan macam-macam sipat datar memanjang !
6. Sebutkan bagian-bagian pesawat sipat datar tipe dumpy level lengkap beserta
gambarnya !
7. Jelaskan prinsip pengukuran beda tinggi metode trigonometris dan metode barometris
yang anda ketahui !
8. Sebutkan prosedur pengukuran dan penurunan rumus beda tinggi metode
trigonometris lengkap dengan gambarnya !
9. Dari ketiga metode pengukuran beda tinggi, manakah yang mempunyai tingkat ketelitian
paling tinggi dan jelaskan alasannya !
10. Jelaskan kelebihan dari alat sipat datar tipe dumpy level, automatic level, tilting level,
dan tipe reversi ?
90
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
4. Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
4.1 Tujuan dan sasaran
pengukuran sipat datar
kerangka dasar vertikal
diketahui/diukur dengan menggunakan
Ilmu Ukur Tanah adalah ilmu yang prinsip sipat datar.
mempelajari pengukuran-pengukuran yang
Pengukuran menggunakan sipat datar optis
diperlukan untuk menentukan letak relatife
adalah pengukuran tinggi garis bidik alat
titik-titik diatas, pada atau dibawah
sipat datar di lapangan melalui rambu ukur.
permukaan tanah, atau sebaliknya, ialah
Rambu ukur ini berjumlah 2 buah masing-
memasang titik-titik dilapangan. Letak titik-
masing didirikan di atas dua patok/titik yang
titik yang ditentukan adalah berguna pada
merupakan jalur pengukuran. Alat sipat
kompliming peta atau untuk menentukan
datar optis kemudian diletakan di tengah-
garis-garis atau jalur-jalur dan kemiringan-
tengah antara rambu belakang dan muka.
kemiringan konstruksi pada pekerjaan teknik
Alat sipat datar diatur sedemikian rupa
sipil.
sehingga teropong sejajar dengan nivo yaitu
Pengukuran-pengukuran ini dilakukan pada dengan mengetengahkan gelembung nivo.
daerah yang relatife sempit, dimana tidak Setelah gelembung nivo di ketengahkan
perlu dilibatkan adanya faktor kelengkungan (garis arah nivo harus tegak lurus pada
bumi diperhitungkan, termasuk dalam Ilmu sumbu kesatu) barulah di baca rambu
Geodesi Tinggi. belakang dan rambu muka yang terdiri dari
Sebagaimana telah kita tahu bahwa bacaan benang tengah, atas dan bawah.
permukaan bumi ini tidak tentu, artinya tidak Beda tinggi slag tersebut pada dasarnya
mempunyai pemukaan yang sama tinggi, adalah pengurangan Benang Tengah
maka tinggi titik kedua tersebut dapat di belakang (BTb) dengan Benang Tengah
hitung, yaitu apabila titik pertama telah muka (BTm).
diketahui tingginya.
Pengukuran beda tinggi dengan cara sipat
Tinggi titik pertama (h1) dapat di definisikan, datar dapat memberikan hasil lebih baik
sebagai koordinat lokal ataupun terikat dibandingkan dengan cara-cara
dengan titik yang lain yang telah diketahui trigonometris dan barometris, maka titik-titik
tingginya, Sedangkan selisih tinggi atau kerangka dasar vertikal diukur dengan sipat
lebih dikenal dengan beda tinggi (h) dapat datar.
Pengukuran sipat datar kerangka dasar
vertikal maksudnya adalah pembuatan
serangkaian titik-titik di lapangan yang
informasi tinggi pada daerah yang tercakup
layak untuk diolah sebagai informasi yang
layak kompleks.
Tujuan pengukuran sipat datar kerangka
Tinggi permukaan air laut direkam pada
dasar vertikal adalah untuk memperoleh
interval waktu tertentu dengan bantuan
informasi tinggi yang relatif akurat di
pelampung baik dalam kondisi air laut
lapangan sedemikian rupa sehingga
pasang maupun surut.
Pengamatan permukaan air laut pada
interval tertentu kemudian diolah dengan
bantuan ilmu statistik sehingga diperoleh
informasi mengenai tinggi muka air laut rata-
91
rata atau sering dikenal dengan istilah Mean
Sea Level (MSL).
MSL ini berdimensi meter dan merupakan
referensi ketinggian bagi titik-titik lain di
darat.
Gambar 67. Proses pengukuran
Rambu Belakang Rambu Muka
Arah Pengukuran
Gambar 68. Arah pengukuran
4.2 Peralatan, bahan, dan
formulir pengukuran sipat
datar kerangka dasar vertikal
4.2.1 Peralatan yang digunakan :
1. Alat sipat datar optis
Pada dasarnya alat sipat datar
terdiri dari bagian utama
sebagai berikut:
a. Teropong berfungsi untuk membidik
rambu (menggunakan garis bidik) dan
memperbesar bayangan rambu.
b. Nivo tabung diletakan pada teropong
berfungsi mengatur agar garis bidik
mendatar. Terdiri dari kotak gelas
yang diisi alkohol. Bagian kecil kotak
tidak berisi zat cair sehingga kelihatan
ada gelembung. Nivo akan terletak
teg te
ak lurus
n
pada gari
s tengah g
vertikal a
bid
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal h
ang singg
bi
ung di titik
d
ang
lengkung atas dalam nivo mendatar.
Gambar 69. Alat sipat datar
gerakan teropong kekanan/ kiri).
2. Rambu ukur 2 buah
e. Lensa okuler (untuk memperjelas Rambu ukur dapat terbuat dari kayu,
benang). campuran alumunium yang diberi skala
memperjelas benda/ objek). panjang antara 3m-5m pembacaan
membidik sasaran). desimeter, sentimeter, dan milimeter.
h. Vizir (untuk mencari/ membidik kasar
objek).
Gambar 70. Rambu ukur
93
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
4. Unting-Unting
Unting-unting terbuat dari besi atau
kuningan yang berbentuk kerucut
dengan ujung bawah lancip dan di
ujung atas digantungkan pada seutas
tali. Unting-unting berguna untuk
memproyeksikan suatu titik pada pita
ukur di permukaan tanah atau
sebaliknya.
Gambar 71. Cara menggunakan rambu
ukur di lapangan
3. Statif
Gambar 73. Unting-unting
Statif merupakan tempat dudukan alat
dan untuk menstabilkan alat seperti 5. Patok
Sipat datar. Alat ini mempunyai 3 kaki Patok dalam ukur tanah berfungsi
yang sama panjang dan bisa dirubah untuk memberi tanda batas jalon,
ukuran ketinggiannya. Statif saat dimana titik setelah diukur dan akan
didirikan harus rata karena jika tidak diperlukan lagi pada waktu lain. Patok
rata dapat mengakibatkan kesalahan biasanya ditanam didalam tanah dan
saat pengukuran. yang menonjol antara 5 cm - 10 cm,
dengan maksud agar tidak lepas dan
tidak mudah dicabut. Patok terbuat
dari dua macam bahan yaitu kayu dan
besi atau beton.
Patok Kayu
Patok kayu yang terbuat dari kayu,
berpenampang bujur sangkar dengan
ukuran 50mm x 50mm, dan bagian
Gambar 72. Statif atasnya diberi cat.
94
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
Patok Beton atau Besi 7. Payung
Patok yang terbuat dari beton atau Payung ini digunakan atau memiliki
besi biasanya merupakan patok tetap fungsi sebagai pelindung dari panas
yang akan masih dipakai diwaktu lain. dan hujan untuk alat ukur itu sendiri.
Karena bila alat ukur sering
kepanasan atau kehujanan, lambat
laun alat tersebut pasti mudah rusak
(seperti; jamuran, dll).
Gambar 74. Patok kayu dan beton/ besi
6. Pita ukur (meteran) Gambar 76. Payung
Pita ukur linen bisa berlapis plastik
atau tidak, dan kadang-kadang 4.2.2 Bahan Yang Digunakan :
diperkuat dengan benang serat. Pita 1. Peta wilayah study
Kelebihan dari alat ini bisa digulung pengukuran
Gambar 75. Pita ukur
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal I 3 mm
4.3. Prosedur pengukuran sipat
II 6 mm
datar kerangka dasar
III 8 mm tik l
Ketentuan-ketentuan pengukuran Kerangka
Dasar Vertikal adalah sebagai berikut :
a. Pengukuran dilakukan dengan cara
sipat datar.
b. Panjang satu slag pengukuran.
c. Pengukuran antara dua titik, sekurang-
kurangnya diukur 2 kali (pergi dan
Gambar 77. Cat dan kuas pulang).
3. Alat tulis
Alat tulis digunakan untuk
mencatat hasil pengkuran di
lapangan.
4.2.3 Formulir Pengukuran
Formulir pengukuran digunakan
untuk mencatat kondisi di lapangan
dan hasil perhitungan-perhitungan/
pengukuran di lapangan (terlampir).
D = Jarak antara dua titik yang
diukur dalam satuan kilometer
Berikut ini diberikan contoh harga K untuk
bermacam tingkat pengukuran sipat datar :
95
Tabel 3. Tingkat Ketelitian Pengukuran Sipat Datar
d. Perbedaan hasil ukuran pergi dan
pulang tidak melebihi angka toleransi
yang ditetapkan.
Khusus mengenai angka toleransi
pengukuran sipat datar, dapat dijelaskan Contoh :
sebagai berikut : Dari A ke B sejauh 2 km, harus diukur
T= K D dengan ketelitian tingkat III. Ini berarti
Dimana : perbedaan ukuran beda tinggi pergi dan
T = toleransi dalam satuan pulang tidak boleh melebihi 8 2 = 11 mm.
milimeter
Apabila beda tinggi ukuran pergi dan pulang
K = konstanta yang menunjukan
11 mm, ukuran tersebut diterima sebagai
tingkat ketelitian pengukuran
ukuran tingkat III, Bila > 11 mm ukuran
dalam satuan milimeter
harus diulangi.
yang dibutuhkan serta mengambil peta
dan batas-batas pengukuran di
laboratorium. Lalu menyerahkannya
pada laboran.
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal 3. Ketua tim memeriksa kelengkapan alat,
lalu anggota tim membawanya ke
lapangan.
Dari pengalaman menunjukkan bahwa titik- 4. Survei ke daerah yang akan dipetakan
titik kerangka dasar vertikal yang akan pada jalur batas pemetaan.
digunakan harus diukur lebih teliti. 5. Menentukan lokasi-lokasi patok atau
merencanakan lokasi-lokasi patok
Pengukuran sipat datar kerangka dasar
sehingga jumlah slag itu genap.
vertikal harus diawali dengan
mengidentifikasi kesalahan sistematis dalam
hal ini kesalahan garis bidik alat sipat datar
optis melalui suatu pengukuran sipat datar
dalam posisi 2 stand (2 kali berdiri alat).
Kesalahan garis bidik adalah kemungkinan
terungkitnya garis bidik teropong ke arah
atas atau bawah diakibatkan oleh
keterbatasan pabrik membuat alat ini betul-
betul presisi.
Langkah-langkah dalam pengukuran sipat
datar kerangka dasar vertikal adalah
sebagai berikut :
1. Siswa akan menerima peta dan batas-
batas daerah pengukuran.
2. Ketua tim menandai semua peralatan
rupa sehingga garis bidiknya (sumbu II)
sejajar dengan bidang nivo melalui
upaya mengetengahkan gelembung
nivo yang terdapat pada nivo kotak.
96 Bidang nivo sendiri merupakan bidang
equipotensial yaitu bidang yang
mempunyai energi potensial yang sama.
6. Setelah selesai merencanakan lokasi- 9. Sebelum pembacaan dilakukan adalah
lokasi patok (menggunakan Cat) lalu mengatur agar sumbu I (sumbu yang
menandainya di lapangan. tegak lurus garis bidik) benar-benar
7. Melakukan pengukuran kesalahan garis tegak lurus dengan sumbu II melalui
bidik. Hal ini dilakukan dengan cara upaya mengetengahkan gelembung
mendirikan rambu diantara 2 titik (patok) nivo tabung. Setelah sama, langkah
dan dirikan statif serta alat sipat datar selanjutnya kedua nivo yaitu nivo kotak
optis kira-kira di tengah antara 2 titik dan nivo tabung diatur, barulah kita
tersebut. Yang perlu diperhatikan melakukan pembacaan rambu. Rambu
pengukuran itu tidak harus dilaksanakan yang dibaca harus benar-benar tegak
jauh dari laboratorium. lurus terhadap permukaan tanah.
8. Sebelum digunakan, alat sipat datar 10. Ketengahkan gelembung nivo dengan
harus terlebih dahulu diatur sedemikian prinsip perputaran 2 sekrup kaki kiap
dan 1 sekrup kaki kiap. Setelah
Kemudian alat digeser sedikit (slag 2)
lakukan hal yang sama sampai slag
akhir pengukuran selesai.
14. Setelah pengukuran selesai, lalu
Dengan menempatkan alat ukur penyipat
datar di atas titik B. Tinggi a garis bidik (titik
tengah teropong) di atas titik B diukur
97
dengan mistar. Dengan gelembung
ditengah–tengah, garis bidik diarahkan ke
mistar yang diletakkan di atas titik lainnya,
Kesalahan sistematis berupa kesalahan ialah titik A. Pembacaan pada mistar
garis bidik kita konversikan ke dalam
dimisalkan b, maka angka b ini menyatakan
pembacaan benang tengah mentah yang
jarak angka b itu dengan alas mistar. Maka
akan menghasilkan benang tengah setiap
beda tinggi antara titik A dan titik B adalah t
slag yang telah dikoreksi dan merupakan
= b –a.
fungsi dari jarak muka atau belakang
dikalikan dengan koreksi garis bidik. Alat ukur penyipat datar diletakkan antara
titik A dan titik B, sedang di titik–titik A dan B
4.2.2 Penentuan beda tinggi antara dua ditempatkan dua mistar. Jarak dari alat ukur
titik penyipat datar ke kedua mistar ambillah
kira–kira sama, sedang alat ukur penyipat
Penentuan beda tinggi anatara dua titik
datar tidaklah perlu diletakkan digaris lurus
dapat dilakukan dengan tiga cara
yang menghubungkan dua titik A dan B.
penempatan alat ukur penyipat datar,
Arahkan garis bidik dengan gelembung di
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
tengah–tengah ke mistar A (belakang) dan
ke mistar B (muka), dan misalkan
pembacaaan pada dua mistar berturut-turut
ada b (belakang) dan m (muka).
Bila selalu diingat, bahwa angka – angka
pada rambu selalu menyatakan jarak antara Gambar 78. Pengukuran sipat datar
angka dan alas mistar, maka dengan
mudahlah dapat dimengerti, bahwa beda
tinggi antara titik–titik A dan B ada t = b – m.
Alat ukur penyipat datar ditempatkan tidak
diantara titik A dan B, tidak pula di atas
salah satu titik A atau titik B, tetapi di
sebelah kiri titik A atau disebelah kanan titik
B, jadi diluar garis AB. Pembacaan yang
dilakukan pada mistar yang diletakkan di
atas titik A dan B sekarang adalah berrturut-
turut b dan m lagi, sehingga digambar
didapat dengan mudah, bahwa beda tinggi
t = b –a m.
b. Kesalahan Instrumen.
Disebabkan oleh petugas.
Disebabkan oleh rambu.
c. Kesalahan Alami.
98 Disebabkan pengaruh sinar
matahari langsung.
Pengaruh refraksi cahaya.
4.2.3 Kesalahan–kesalahan pada sipat Pengaruh lengkung bumi.
datar Disebabkan pengaruh posisi
instrument sifat datar dan rambu-
a. Kesalahan petugas.
Disebabkan oleh observer. rambu.
Disebabkan oleh rambu.
4.2.4 Pengukuran Sipat Datar
99
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
stand (dua kali alat berdiri). a Eliminasi kesalahan sistematis karena
kondisi alam. Eliminasi kesalahan
sistematis karena kondisi alam dapat
dikoreksi dengan membuat jarak
belakang dan jarak muka hampir sama.
b. Jumlah slag pengukuran harus genap.
Peluang untuk meng-koreksi kesalahan
di slag ganjil dan genap lebih besar.
Keterangan : Pembagian kesalahan setiap slag lebih
rata.
BT benang tengah yang dianggap benar
BT = benang tengah yang dibaca dari c. Cara meng-koreksi kesalahan acak
teropong (random error):
Dilapangan kita peroleh bacaan BA,
Koreksi = - kesalahan
BT, BB pada setiap slag (misalnya)
I = Kgb = sudut
n = genap.
BT BT BT BT Dari lapangan kita peroleh jarak
tan kgb kgb
limkgb 0 d d belakang
x jarak muka.
Gambar 79. Pengukuran sipat datar rambu ganda
100
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
Gambar 80. Pengukuran sipat datar di luar slag rambu
Gambar 80. Pengukuran sipat datar di luar slag rambu
4
P
e
n
g
uk
ur
an Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
101
Gambar 81. Pengukuran sipat datar dua rambu
Gambar 82. Pengukuran sipat datar menurun
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
G
ambar 83. Pengukuran sipat datar menaik
102
Gambar 84. Pengukuran sipat datar tinggi bangunan
2. Mencari nilai kesalahan garis bidik.
3. Menghitung BT koreksi (BTk) di setiap
slag.
4. Menghitung beda tinggi ( H) di setiap
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
slag dari bacaan benang tengah
koreksi belakang dan muka.
Beda tinggi awal suatu slag diperoleh
4.4 Pengolahan data sifat datar melalui pengurangan benang tengah
kerangka dasar vertikal
belakang koreksi dengan benang
tengah muka koreksi. Beda tinggi
Hasil yang diperoleh dari praktek
pengukuran sipat datar dan pengolahan
data lapangan adalah tinggi pada titik-titik
(patok-patok) yang diukur untuk keperluan
penggambaran dalam pemetaan.
Perhitungan meliputi :
Mengoreksi hasil ukuran
Mereduksi hasil ukuran, misalnya
mereduksi jarak miring menjadi jarak
mendatar dan lain-lain
Menghitung azimuth pengamatan
matahari
Menghitung koordinat dan ketinggian
setiap titik.
Langkah-langkah dalam pengolahan data
adalah sebagai berikut:
1. Menuliskan nilai BA, BT, BB, jarak
belakang dan jarak muka.
pengukuran dengan menjumlahkan
semua jarak slag.
7. Menghitung bobot koreksi setiap slag
dengan membagi jarak slag dengan total
103
jarak pengukuran.
Sebagai bobot koreksi kita menggunakan
setiap slag harus memenuhi syarat beda jarak setiap slag yang merupakan
tinggi sama dengan nol jika jalur penjumlahan jarak muka dan belakang.
pengukur berawal dan berakhir pada titik Total bobot adalah jumlah jarak semua
yang sama. Penjumlahan beda tinggi slag. Koreksi tinggi setiap slag dengan
awal setiap slag merupakan kesalahan demikian diperoleh melalui negatif
acak beda tinggi yang harus dikoreksikan kesalahan acak beda tinggi dikalikan
kepada setiap slag berdasarkan bobot dengan jarak slag tersebut dan dibagi
tertentu. dengan total jarak seluruh slag.
5. Menghitung jarak ( d) setiap slag dengan 8. Menghitung tinggi titik-titik pengukuran
menjumlahkan jarak belakang dan jarak (Ti) dengan cara menjumlahkan tinggi titik
muka. sebelumnya dengan tinggi titik koreksi
yang hasilnya akan sama dengan nol.
6. Menghitung total jarak ( ( d)) jalur
BTm = Benang Tengah Muka
BTbk = Benang Tengah Belakang
BTmk = Benang Tengah Muka
H = Beda Tinggi
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal Hk = Beda tinggi koreksi
d = Total jarak per-slag
( d) = Total Jarak dari penjumlahan d
9. Jika tidak sama dengan nol maka dm = Jarak muka
pengolahan data harus diulangi dan db = Jarak belakang
diidentifikasi kembali letak Bobot = Koreksi slag dengan membagi
kesalahannya. Jika tinggi titik awal jarak slag dengan total jarak
diketahui, maka tinggi titik-titik koreksif pengukuran
diperoleh dengan cara menjumlahkan Ti = Tinggi titik-titik pengukuran.
tinggi titik awal terhadap beda tinggi
koreksi slag secara berurutan.
d
Bobot =
( d )
Hk = H–( H . bobot)
Ti = Ti awal + H
Dimana :
BTb = Benang Tengah Belakang
praktikum Ilmu Ukur Tanah, direferensikan
kertas yang digunakan adalah berukuran A2,
A1 dan A0. Setelah diperoleh berupa
perbandingan luas cakupan wilayah di
104 lapangan dengan di ukuran kertas yang ada,
kemudian tentukan skala dari peta yang akan
digambarkan.
4.5 Penggambaran sipat datar Dengan penggambaran digital, skala bukan
kerangka dasar vertikal menjadi masalah tetapi yang dipentingkan
adalah masalah koordinat titik-titik dan
penggunaan koordinat itu untuk
Penggambaran (pemetaan) dapat dilakukan
dalam bentuk konvensional (manual) dan mengintegrasikan berbagai macam peta/
digital. gambar yang akan ditetapkan.
Dengan penggambaran konvensional Penggambaran digital lebih menguntungkan
(manual), harus terlebih dahulu menentukan karena pada skala berapa pun peta/gambar
luas cakupan daerah yang akan dipetakan, digital dapat dikeluarkan tidak bergantung
kemudian dibandingkan dengan luas pada skala serta revisi data dari peta/ gambar
lembaran yang tersedia. Apakah itu A0, A1, digital lebih mudah dibandingkan dengan
A2 dan sebagainya. Dalam hal ini untuk tugas peta/ gambar konvensional. Konsep yang
pertama kali mendekati untuk penyajian peta/
penyajiannya.
4. Jika perlu melakukan revisi mudah
dilakukan dan tidak
perlu
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal mengeluarkan banyak biaya.
5. Dapat melakukan analisis spasial
(keruangan) secara mudah.
gambar digital adalah konsep CAD
Unsur-unsur yang harus ada dalam
(Computer Aided Design) atau suatu
penggambaran hasil pengukuran dan
database grafis yang menyimpan
pemetaan adalah :
koordinat-koordinat kemudian disajikan
dalam bentuk grafis, kemudian dikenal Legenda
Peta-peta/ gambar dalam bentuk digital
dapat disajikan dalam bentuk hard copy
atau cetakan print out dari hasil-hasil file
komputer, soft copy atau dalam bentuk
file serta dalam bentuk penyajian peta/
gambar digital di layar komputer.
Untuk dapat membayangkan tinggi
rendahnya permukaan bumi, maka
digunakan garis-garis tinggi atau tranches
105
atau kontur yang menghubungkan titik-
titik yang tingginya sama di atas
permukaan bumi.
mengenai isi gambar. Legenda memiliki
ruang di luar muka peta dan dibatasi oleh Muka peta
garis yang membentuk kotak-kotak. Yaitu ruang yang digunakan untuk
menyajikan informasi bentuk permukaan
Tanda-tanda atau simbol-simbol yang bumi baik informasi vertikal maupun
digunakan adalah untuk menyatakan
horizontal. Muka peta sebaiknya memiliki
bangunan-bangunan yang ada di atas
ukuran panjang dan lebar yang
bumi seperti jalan raya, kereta api,
proporsional agar memenuhi unsur
sungai, selokan, rawa atau kampung.
estetik.
Juga untuk bermacam-macam keadaan
dan tanam-tanaman misalnya ladang, Skala peta
padang rumput, atau alang-alang, Yaitu simbol yang menggambarkan
perkebunan seperti: karet, kopi, kelapa, perbandingan jarak di atas peta dengan
untuk tiap macam pohon diberi tanda jarak sesungguhnya di lapangan. Skala
Orientasi arah utara
Yaitu simbol berupa panah
yang
biasanya mengarah ke arah sumbu Y
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
positif muka peta dan menunjukkan
orientasi arah utara. Orientasi arah
utara ini dapat terdiri dari: arah utara
peta terdiri dari: skala numeris, skala
geodetik, arah utara magnetis, dan
perbandingan, dan skala grafis.
arah utara grid koordinat proyeksi.
1 0.5 0
1 2 3 4
Kilometer
Instalasi dan simbol
pembesaran dan perkecilan peta serta
Instalasi dan simbol yang memberikan
muai susut bahan peta.
pekerjaan dan melaksanakan pekerjaan
Sumber gambar yang dipetakan pengukuran dan pembuatan peta.
Untuk mengetahui secara terperinci Instalasi dan simbol instalasi ini akan
Ukuran Panjang Lebar
proses dan prosedur pembuatan peta. memberikan informasi mengenai
Kertas (milimeter) (milimeter)
Sumber peta akan memberikan tingkat karakteristik tema yang biasanya
A0 1189 841
akurasi dan kualitas peta yang dibuat.
A1 841 594 diperlukan bagi instalasi yang
A2 594 420 bersangkutan.
Tim pengukuran yang membuat peta
A3 420 297
A4 297 210
A5 210 148
107
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
Ukuran kertas untuk penggambaran hasil Penggambaran sipat datar kerangka dasar
pengukuran dan pemetaan terdiri dari : vertikal akan menyajikan unsur unsur: jarak
mendatar antara titik-titik penggambaran,
Tabel 4. Ukuran kertas untuk penggambaran
hasil pengukuran dan pemetaan tinggi titik-titik dan garis hubung antara satu
titik ikat dengan titik ikat yang lain.
Penggambaran secara manual pada sipat
datar kerangka dasar vertikal memiliki
karakteristik, yaitu : skala jarak mendatar
A1
kurang dari skala tinggi, karena jangkauan
jarak mendatar memiliki ukuran yang
signifikan berbeda dengan jangkauan
tingginya.
Ukuran kertas yang digunakan untuk
A3 A2
pencetakkan peta biasanya Seri A. Dasar Peralatan yang harus disiapkan untuk
ukuran adalah A0 yang luasnya setara menggambar sipat datar kerangka dasar
dengan 1 meter persegi. Setiap angka
A4 vertikal meliputi :
setelah huruf A menyatakan setengah 1. Lembaran kertas milimeter dengan
ukuran dari angka sebelumnya. Jadi, A1 ukuran tertentu.
adalah setengah A0, A2 adalah 2. Penggaris 2 buah (segitiga atau lurus).
seperempat dari A0 dan A3 adalah 3. Pensil.
seperdelapan dari A0. Perhitungan yang 4. Penghapus.
lebih besar dari SA0 adalah 2A0 atau dua 5. Tinta.
kali ukuran A0.
Prosedur penggambaran untuk sipat datar
kerangka dasar vertikal secara manual,
sebagai berikut :
1. Menghitung kumulatif jarak horizontal
pengukuran sipat datar kerangka dasar
vertikal.
2. Menghitung range beda tinggi
pengukuran sipat datar kerangka dasar
vertikal.
3. Menentukan ukuran kertas yang akan
dipakai.
Gambar 85. Pembagian kertas seri A
108
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
109
Contoh Hasil Pengukuran Sipat Datar Kerangka Vertikal :
Dari lapangan didapat ;
HASIL PENGOLAHAN DATA
Diketahui, sipat datar Kerangka Dasar Vertikal (KDV) tertutup dengan 8 slag, titik 1
merupakan titik awal dengan ketinggian +905 meter MSL.
Titik 1 : BTb = 0,891 ; BTm = 1,675 ; db = 11 ; dm = 14
Titik 2 : BTb = 1,417 ; BTm = 1,385 ; db = 13 ; dm = 13
Titik 3 : BTb = 1,406 ; BTm = 1,438 ; db = 12 ; dm = 12
Titik 4 : BTb = 1,491 ; BTm = 0,625 ; db = 15 ; dm = 31
Titik 5 : BTb = 2,275 ; BTm = 1,387 ; db = 29 ; dm = 26
Titik 6 : BTb = 1,795 ; BTm = 0,418 ; db = 13 ; dm = 14
Titik 7 : BTb = 0,863 ; BTm = 1,801 ; db = 8 ; dm = 7
Titik 8 : BTb = 0,753 ; BTm = 2,155 ; db = 8 ; dm = 12
TITIK 1 4. d = db+dm
Diketahui : BTb = 0,891 = 14+11
BTm = 1,675 = 25
db = 11 , dm = 14 d
5. Bobot =
Kgb = -0,00116 ( d )
( d) = 238
25
H = 0,02380 =
238
Jawab :
= 0,10504
1. BTbk = BTb - (Kgb . db)
6. Hk = H-( H.bobot)
= 0,891 -(-0,00116.11)
= -0,78748-(0,02380.
= 0.90376
0,10504)
2. BTmk = BTm-(Kgb.dm)
= -0,78998
= 1,675-(-0,00116.14)
7. Ti = 905
= 1,69124
3. H = BTbk-BTmk
= 0.90376 - 1,69124
= - 0,78748
Diketahui : g
b
=
Tm=1,385 -
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal 0,
b=13 , dm= 0
13 0
TITIK 2 1
16
( d)= 238
H=0,02380
Jawab :
8. BTbk = BTb-(Kgb.db) 110
= 1,147 -(-0,00116.13)
= 1,43208
9. BTmk = BTm-(Kgb.dm) TITIK 3
= 1,385 -(-0,00116.13) Diketahui : BTb=1,406
= 1,69124 BTm=1,438 ;
10. H = BTbk-BTmk db=12 , dm=12
= 1,43208 - 1,69124 Kgb=-0,00116
= -0,78748 ( d)= 238
11. d = db+dm H=0,02380
= 13+13 Jawab :
= 26 15. BTbk = BTb-(Kgb.db)
= 1,406 -(-0,00116.12)
= 1,41992
16. BTmk = BTm-(Kgb.dm)
= 1,438 -(-0,00116.12)
= 1,45192
17. H = BTbk-BTmk
= 1,41992 -1,45192
= - 0,03200
18. d = db+dm
= 12+12
= 24
d d
12. Bobot = 19. Bobot =
( d ) ( d )
26 24
= =
238 238
= 0,10924 = 0,10084
13. Hk = H-( H.bobot)
= -0,78748- (0,02380. 0,10924) 20. Hk = H-( H.bobot)
= 0,02940 = - 0,03200-(0,02380.
0,10084)
14. Ti = Ti1 + Hk1 = -0,03440
= 905 - 0,02940 21. T i = Ti2+ Hk2
= 904,21002 = 904,21002-0,03440
= 904,23942
Diketahui : g
b
=
Tm=0,625 -
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal 0,
b=15 , dm=3 0
1 0
TITIK 4 1
16
( d)= 238
H=0,02380
Jawab :
22. BTbk = BTb-(Kgb.db) 111
= 1,491-(-0,00116.15)
= 1,50840
23. BTmk = BTm-(Kgb.dm) TITIK 5
= 0,625-(-0,00116.31) Diketahui : BTb=2,275
= 0,66096 BTm=1,387
24. H = BTbk-BTmk db=29 , dm=26
= 1,50840-0,66096 Kgb=-0,00116
= 0,84744 ( d)= 238
25. d = db+dm H=0,02380
= 15 +31 Jawab :
= 46 29. BTbk = BTb-(Kgb.db)
= 2,275-(-0,00116.29)
= 2,30864
30. BTmk = BTm-(Kgb.dm)
= 1,387-(-0,00116.26)
= 1,41716
31. H = BTbk-BTmk
= 2,30864-1,41716
= 0,89148
32. d = db+dm
= 29+26
= 55
d d
26. Bobot = 33. Bobot =
( d ) ( d )
46 55
= =
238 238
= 0,19328 = 0,23109
27. Hk = H-( H.bobot) 34. Hk = H-( H.bobot)
= 0,84744-(0,02380 .0,19328) = 0,89148-(0,02380.
= 0,84284 0,23109)
28. Ti = Ti3+ Hk4 = 0,88598
= 904,23942+0,84284 35. Ti = Ti4+ Hk5
= 904,20502 = 904,20502+0,88598
= 905,04786
Diketahui : g
b
=
Tm=0,418 -
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal 0,
b=13 , dm=1 0
4 0
TITIK 6 1
16
( d)= 238
H=0,02380
Jawab :
36. BTbk = BTb-(Kgb.db) 112
= 1,795 - (-0,00116.13)
= 1,81008
37. BTmk = BTm-(Kgb.dm) TITIK 7
= 0,418 -(-0,00116.14) Diketahui : BTb = 0,863
= 0,43424 BTm=1,801
38. H = BTbk-BTmk db=8 , dm=7
= 1,81008-0,43424 Kgb=-0,00116
= 1,37584 ( d)= 238
39. d = db+dm H = 0,02380
= 13+14 Jawab :
=27 43. BTbk = BTb-(Kgb.db)
= 0,863 -(-0,00116.8)
= 0,87228
44. BTmk = BTm-(Kgb.dm)
= 1,801 -(-0,00116.7)
= 1,80912
45. H = BTbk-BTmk
= 0,87228- 1,80912
= -0,93684
46. d = db+dm
= 8+7
= 15
d d
40. Bobot = 47. Bobot =
( d ) ( d )
27 15
= =
238 238
= 0,11345 = 0,06303
41. Hk = H-( H.bobot) 48. Hk = H-( H.bobot)
= 1,37584- (0,02380. = -0,93684-(0,02380.
0,11345) 0,06303)
= 1,37314 = -0,93834
42. Ti = Ti5+ Hk6 49. Ti = Ti6+ Hk 7
= 905,04786+1,37314
= 905,93384+(-0,93834)
= 905,93384
= 907,30698
T
m
=
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal 2,
1
5
TITIK 8 5
Diketahui : BTb=0,793
b=8 , dm=12
Kgb=-0,00116
( d)= 238
H=0,02380
Jawab : 113
50. BTbk = BTb-(Kgb.db)
= 0,793-(-0,00116.8)
= 0,80228
51. BTmk = BTm-(Kgb.dm)
= 2,155 -(-0,00116.12)
= 2,16892
52. H = BTbk-BTmk
= 0,80228 - 2,16892
= -1,36664
53. d = db+dm
= 8+12
= 20
d
54. Bobot =
( d )
20
=
238
= 0,08403
55. Hk = H-( H.bobot)
= -1,36664-(0,02380.
0,08403)
= -1,36864
56. Ti = Ti7+ Hk8
= 907,30698+(-1,36864)
= 906,3686
114
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
Tabel 5. Formulir pengukuran sipat datar
PENGUKURAN SIPAT DATAR
Laboratorium Ilmu Ukur Tanah Jurusan Teknik Bangunan
Laboratorium Ilmu Ukur Tanah Jurusan Teknik Bangunan No.Lembar
No.Lembar dari
dari
Pengukuran
Pengukuran Cuaca
Cuaca
Lokasi
Lokasi Alat Ukur
Alat Ukur
Diukur Oleh
Diukur Oleh Tanggal
Tanggal Instruktur
Instruktur
Bacaan Benang
Bacaan Benang Jarak
Jarak Beda Tinggi
Beda Tinggi
Belakang Muka Tinggi
Tinggi
Stand Belakang Muka Ket
Stand
Titik
Ket 115
Atas Atas
Tengah
Tengah
Atas
Bawah
Tengah
Tengah
Atas
Bawah
Belakang
Belakang Muka
Muka Total
Total +
+ -- Titik
Bawah Bawah
1 0.891 0.946 1.675 1.745 11 14 25 0.78748 905
0.836 1.605
2 1.417 1.482 1.385 1.450 13 13 26 0.03200 904.21002
1.352 1.320
3 1.406 1.466 1.438 1.498 12 12 24 0.03200 904.23942
1.346 1.378
4 1.491 1.566 0.625 0.780 15 31 46 0.84744 904.20502
1.416 0.470
5 2.275 2.420 1.387 1.517 29 26 55 0.89148 805.04786
2.130 1.257
6 1.795 1.860 0.418 0.488 13 14 27 1.37584 905.93384
1.730 0.348
7 0.863 0.903 1.801 1.836 8 7 15 0.93684 907.30698
0.823 1.766
8 0.793 0.833 2.155 2.215 8 12 20 1.36664 906.36864
0.753 2.095
238
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
Tabel 6. Formulir pengukuran sipat datar
PENGUKURAN SIPAT DATAR
116
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
Model DiagramModel Diagram Alir
Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
PENGU
KURAN
KERAN
GKADA
SARVE
RTIKAL
PRAKTIKI DR.IR.DR
MUDAPUR
PENGUKU FAKULTASPEND
LMUUKUR S.H.ISKA
WAAMIJA
UNIVERSITASP
IDIKANTEKNOL
GEDUNGO RANKERA
JUDULG
ENDIDIKANIND
OGIDAN
DASARVE TANAH MATAKU NDAR
YA,MT ONESIAPENDIDIKANTE
LAHRAGA NGKA SIPATDAT
BACAANB
POHON
BATASJAL KNIKSIPIL-S1
RTIKAL AMBAR LIAH LEGEND
AN ENANG AROPTIS INSTITU CATATA
LOKASI DOSEN
TS241 A KEJURUAN
2007
SI N
Gambar 86. Pengukuran kerangka dasar vertikal
lir
Il
m
u
U
ku
r T
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal an
ah
P
er
te
m
uan ke-04
Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
Dosen Penanggung Jawab : Dr.Ir.Drs.H.Iskandar Muda Purwaamijaya, MT
Maksud :
Pembuatan serangkaian titik-titik di lapangan yang diukur
ketinggiannya melalui pengukuran beda tinggi untuk pengikatan
117
ketinggian titik-titik lain yang lebih detail dan banyak
Tujuan :
Memperoleh informasi tinggi yang akurat untuk menyajikan informasi
yang lebih kompleks (garis kontur)
Referensi tinggi :
diperoleh dengan cara pengamatan pasut pada selang waktu tertentu
di tepi pantai untuk memperoleh tinggi muka air laut rata-rata atau
mean sea level (MSL)
Eliminasi kesalahan sistematis :
Pengukuran Melakukan pengukuran sipat datar dalam posisi 2 stand (2 kali berdiri
Sipat Datar alat) untuk memperoleh nilai kesalahan garis bidik (kemungkinan
Kerangka terungkitnya garis bidik ke atas/bawah akibat keterbatasan pabrik
Dasar Vertikal membuat alat betul-betul presisi)
Pengaturan awal alat sipat datar :
Mengatur garis bidik // sumbu II teropong dengan mengetengahkan
gelembung nivo kotak (menggerakkan 2 sekrup kaki kiap ke dalam/
luar dan 1 sekrup kaki kiap ke kanan/kiri) ; Mengatur sumbu I tegak
lurus sumbu II teropong dengan mengetengahkan gelembung nivo
tabung. Rambu ukur diatur tegak lurus permukaan tanah dan dibaca.
Pengukuran di lapangan :
Persiapan sketsa/peta jalur pengukuran dan rencana pematokan
dengan jumlah slag genap. Persiapan patok-patok pengukuan. Survei
awal dan pematokan. Rambu ukur didirikan di atas patok-patok
pengukuran. Alat sipat datar didirikan sekitar tengah-tengah slag atau
dibuat jumlah jarak belakang ~ jumlah jarak muka. Pembacaan
rambu ukur belakang dan muka. Pengukuran jarak belakang & muka.
Pengolahan Data :
Koreksi bacaan benang tengah dengan hasil kali koreksi garis bidik dan jarak.
Perhitungan beda tinggi koreksi kesalahan sistematis. Perhitungan bobot koreksi
dari rasio jarak slag terhadap total jarak pengukuran. Perhitungan kesalahan acak.
Distribusi kesalahan acak ke setiap slag dengan bobot koreksi. Perhitungan beda
tinggi dan tinggi definitif yang telah dikoreksi kesalahan acak. Penggambaran
jalur pengukuran dengan skala vertikal > skala horisontal.
Gambar 87. Diagram alir pengukuran sipat datar kerangka dasar vertikal
118
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
Rangkuman
Berdasarkan uraian materi bab 4 mengenai pengukuran sipat datar kerangka dasar
vertikal, maka dapat disimpulkan sebagi berikut:
1. Pengukuran menggunakan sipat datar optis adalah pengukuran tinggi garis bidik alat
sipat datar di lapangan melalui rambu ukur.
3. Tujuan pengukuran sipat datar kerangka dasar vertikal adalah untuk memperoleh
informasi tinggi yang relatif akurat di lapangan sedemikian rupa sehingga informasi
tinggi pada daerah yang tercakup layak untuk diolah sebagai informasi yang layak
kompleks.
5. Peralatan yang digunakan pada pengukuran sipat datar optis adalah :
a. alat sipat datar optis. e. patok.
b. rambu ukur 2 buah. f. pita ukur
c. statif. g. payung.
d. unting-unting.
119
4 Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal
Soal Latihan
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di abwah ini !
1. Jelaskan peralatan dan bahan-bahan apa sajakah yang digunakan pada pengukuran
sipat datar kerangka dasar vertikal!
2. Jelaskan bagaimana prosedur pengukuran sipat datar kerangka dasar vertikal !
3. Apa sajakah keuntungan-keuntungan dari penggambaran dalam bentuk digital !
4. Jelaskan bagaimana prosedur pengolahan data pada pengukuran sipat datar kerangka
dasar vertikal !
5. Diketahui pengukuran sipat datar dengan 4 slag (A, B, C dan D) dan tinggi titik Ti (awal) =
+ 777 meter HSL.
Slag : 1 ( A –B) BTb = 1,568 Slag : 1 db = 25,08
BTm = 1,658 dm = 25,5
Slag : 2 ( B –C) BTb = 1,775 Slag : 1 db = 32,5
BTm = 1,886 dm = 34,5
Slag : 3 ( C –D) BTb = 1,675 Slag : 1 db = 27,5
BTm = 1,558 dm = 26,95
Slag : 4 ( D –A) BTb = 1,890 Slag : 1 db = 26,5
BTm = 1,780 dm = 25,55
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
120
5. Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
ellipsoid WGS-84 adalah 6.378.137 m
5.1. Proyeksi peta dengan kegepengan 1/298.257, maka rasio
penyimpangan terbesar ini adalah
Proyeksi peta adalah teknik-teknik yang 1/100.000. Indonesia, seperti halnya negara
digunakan untuk menggambarkan sebagian lainnya, menggunakan ukuran ellipsoid ini
atau keseluruhan permukaan tiga dimensi untuk pengukuran dan pemetaan di
yang secara kasaran berbentuk bola ke Indonesia. WGS-84 "diatur, diimpitkan"
permukaan datar dua dimensi dengan sedemikian rupa diperoleh penyimpangan
distorsi sesedikit mungkin. Dalam proyeksi terkecil di kawasan Nusantara RI. Titik impit
peta diupayakan sistem yang memberikan WGS-84 dengan geoid di Indonesia dikenal
hubungan antara posisi titik-titik di muka sebagai datum Padang (datum geodesi
bumi dan di peta. relatif) yang digunakan sebagai titik
reference dalam pemetaan nasional.
Bentuk bumi bukanlah bola tetapi lebih
menyerupai ellips 3 dimensi atau ellipsoid. Sebelumnya juga dikenal datum Genuk di
Istilah ini sinonim dengan istilah spheroid daerah sekitar Semarang. Untuk pemetaan
yang digunakan untuk menyatakan bentuk yang dibuat Belanda, menggunakan ER
bumi. Karena bumi tidak uniform, maka yang sama yaitu WGS-84. Sejak 1995
digunakan istilah geoid untuk menyatakan pemetaan nasional di Indonesia
tetapi dengan bentuk muka yang sangat 95. Dalam sistem datum absolut ini, pusat
tidak beraturan. ER berimpit dengan pusat masa bumi.
Untuk menghindari kompleksitas model Sistem proyeksi peta dibuat untuk
matematik geoid, maka dipilih model mereduksi sekecil mungkin distorsi tersebut
ellipsoid terbaik pada daerah pemetaan, dengan:
Tujuan Sistem Proyeksi Peta dibuat dan
dipilih untuk:
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
permukaan bumi ke dalam sistem
koordinat bidang datar yang nantinya
bisa digunakan untuk perhitungan jarak
dan arah antar titik.
Menyajikan secara grafis titik-titik pada
permukaan bumi ke dalam sistem
koordinat bidang datar yang selanjutnya 121
bisa digunakan untuk membantu studi
dan pengambilan keputusan berkaitan
dengan topografi, iklim, vegetasi, hunian Pembagian Sistem Proyeksi Peta
dan lain-lainnya yang umumnya
Secara garis besar sistem proyeksi peta
berkaitan dengan ruang yang luas.
bisa dikelompokkan berdasarkan
pertimbangan ekstrinsik dan intrinsik.
Pertimbangan Ekstrinsik
Bidang proyeksi yang digunakan:
Proyeksi azimutal / zenital: Bidang
proyeksi bidang datar.
Proyeksi kerucut: Bidang proyeksi
bidang selimut kerucut.
Proyeksi silinder: Bidang proyeksi bidang
selimut silinder.
Persinggungan bidang proyeksi dengan bola
bumi:
Cara proyeksi peta bisa dipilih sebagai:
Proyeksi Tangen: Bidang proyeksi
Proyeksi langsung (direct projection): bersinggungan dengan bola bumi.
yaitu dari ellipsoid langsung ke bidang Proyeksi Secant: Bidang Proyeksi
proyeksi.
berpotongan dengan bola bumi.
Proyeksi tidak langsung (double Proyeksi "Polysuperficial": Banyak
projection): yaitu proyeksi yang bidang proyeksi.
dilakukan menggunakan "bidang" antara,
ellipsoid ke bola dan dari bola ke bidang Posisi sumbu simetri bidang proyeksi
terhadap sumbu bumi:
proyeksi. KELAS
Proyeksi Normal: Sumbu simetri bidang
Pemilihan sistem proyeksi peta ditentukan
1. Bid. Proyeksi Bid. Datar Bid. Kerucut Bid. Silinder
Pertimbangan proyeksi berimpit dengan sumbu bola
berdasarkan pada:
2. Persinggungan Tangent bumi.
Secant Polysuperficial
EKSTRINSIK
Ciri-ciri tertentu atau asli yang ingin Proyeksi Miring: Sumbu simetri bidang
dipertahankan 3. sesuai
Posisi dengan Normal
tujuan Oblique/Miring Transversal
proyeksi miring terhadap sumbu bola
pembuatan / pemakaian peta.
Pertimbangan 4. Sifat Ekuidistan bumi.
Ekuivalen Konform
Ukuran dan bentuk daerah yang akan
INTRINSIK
dipetakan.
5. Generasi Geometris Matematis Semi Geometris
Letak daerah yang akan dipetakan.
Proyeksi Transversal: Sumbu simetri
bidang proyeksi terhadap sumbu bola
bumi.
Pertimbangan Intrinsik
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
Sifat asli yang dipertahankan:
pada peta dipertahankan sama dengan
sudut-sudut di muka bumi.
Proyeksi Ekuidistan: Jarak antar titik di Proyeksi Matematis: Semuanya
peta setelah disesuaikan dengan skala diperoleh dengan hitungan matematis.
peta sama dengan jarak asli di muka Proyeksi Semi Geometris: Sebagian
bumi. peta diperoleh dengan cara proyeksi dan
sebagian lainnya diperoleh dengan cara
Cara penurunan peta:
matematis.
Pertimbangan dalam pemilihan proyeksi
peta untuk pembuatan peta skala besar
adalah:
Distorsi pada peta berada pada batas-
batas kesalahan grafis.
Sebanyak mungkin lembar peta yang
bisa digabungkan.
Perhitungan plotting setiap lembar
sesederhana mungkin.
Plotting manual bisa dibuat dengan cara
semudah-mudahnya.
Menggunakan titik-titik kontrol sehingga
posisinya segera bisa diplot.
Proyeksi Geometris: Proyeksi perspektif
atau proyeksi sentral.
Tabel 7. Kelas proyeksi peta
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran iring
angent
Normal
Transversal
123
Azimut
Gambar 88. Jenis bidang proyeksi dan kedudukannya terhadap bidang datum
Bidang datum dan bidang proyeksi: b. Kegepengan ( flattening ) - f = (a - b)/b,
Bidang datum adalah bidang yang akan (Gambar dapat dilihat pada Gambar 89).
digunakan untuk memproyeksikan titik- c. Garis geodesic adalah kurva terpendek
titik yang diketahui koordinatnya (j ,l ). yang menghubungkan dua titik pada
Bidang proyeksi adalah bidang yang permukaan elipsoid.
d. Garis Orthodrome adalah proyeksi garis
akan digunakan untuk memproyeksikan
geodesic pada bidang proyeksi. (Dapat
titik-titik yang diketahui koordinatnya
dilihat pada Gambar 91).
(X,Y).
e. Garis Loxodrome (Rhumbline) adalah
Ellipsoid: garis (kurva) yang menghubungkan titik-
a. Sumbu panjang (a) dan sumbu titik dengan azimuth yang tetap.
pendek (b).
(Dapat dilihat pada Gambar 90).
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
ba
r 9
1.
Gambar 89. Geometri ellipsoid Oo
rth
od
ro
e d
an
lo
xo
dr
o
Gambar 90. Rhumbline atau loxodrome menghubungkan titik-titik
m
e p
ad
a proyeksi gnomonis dan proyeksi mercator
124
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
125
Proyeksi Polyeder
Sistem proyeksi kerucut, normal, tangent
dan konform
Gambar 92. Proyeksi kerucut: bidang datum dan bidang proyeksi
Gambar 93. Proyeksi polyeder: bidang datum dan bidang proyeksi
Proyeksi ini digunakan untuk daerah 20
x
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
20 (37 km x 37 km), sehingga bisa
memperkecil distorsi. Bumi dibagi dalam
jalur-jalur yang dibatasi oleh dua garis
paralel dengan lintang sebesar 20 atau tiap
jalur selebar 20 diproyeksikan pada kerucut 126
tersendiri. Bidang kerucut menyinggung
pada garis paralel tengah yang merupakan
paralel baku - k = 1. Meridian tergambar sebagai garis lurus yang
konvergen ke arah kutub, ke arah KU untuk
daerah di sebelah utara ekuator dan ke arah
KS untuk daerah di selatan ekuator. Paralel-
paralel tergambar sebagai lingkaran
konsentris. Untuk jarak-jarak kurang dari 30
km, koreksi jurusan kecil sekali sehingga
bisa diabaikan. Konvergensi meridian di tepi
bagian derajat di wilayah Indonesia
maksimum 1,75 .
Gambar 94. Lembar proyeksi peta polyeder di bagian lintang utara dan lintang selatan
Gambar 95. Konvergensi meridian pada proyeksi polyeder
jarak hasil ukuran di muka bumi dan jarak
lurusnya di bidang proyeksi mendekati sama
atau bisa dianggap sama.
Proyeksi polyeder di Indonesia digunakan
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
untuk pemetaan topografi dengan cakupan:
94° 40’ BT - 141° BT, yang dibagi sama tiap
20 atau menjadi 139 bagian,
Secara praktis, pada kawasan 20 x 20 ,
11° LS - 6° LU, yang dibagi tiap 20 atau
menjadi 51 bagian. Penomoran dari barat ke
timur: 1, 2, 3,..., 139, dan penomoran dari
LU ke LS: I, II, III, ..., LI.
Penerapan Proyeksi Polyeder di Indonesia
127
Sistem penomoran bagian derajat proyeksi
polyeder
Peta dengan proyeksi polyeder dibuat di lurus sumbu X di titik tengah bagian
Indonesia sejak sebelum perang dunia II, derajatnya. Sehingga titik tengah setiap
meliputi peta-peta di pulau Jawa, Bali dan bagian derajat mempunyai koordinat O.
Sulawesi.
Koordinat titik-titik lain seperti titik triangulasi
Wilayah Indonesia dengan 94° 40’ BT - 141 dan titik pojok lembar peta dihitung dari titik
BT dan 6 LU - 11 LS dibagi dalam 139 x LI pusat bagian derajat masing-masing bagian
derajat. Koordinat titik-titik sudut (titik pojok)
bagian derajat, masing-masing 20 x 20 .
geografis lembar peta dihitung berdasarkan
Tergantung pada skala peta, tiap lembar skala peta, misal 1 : 100.000, 1 : 50.000, 1 :
bisa dibagi lagi dalam bagian yang lebih 25.000 dan 1 : 5.000.
kecil.
Pada skala 1 : 50.000, satu bagian derajat
Cara menghitung pojok lembar peta proyeksi polyeder (20 x 20 ) tergambar
proyeksi polyeder
dalam 4 lembar peta dengan penomoran
Setiap bagian derajat mempunyai sistem lembar A, B, C dan D. Sumbu Y adalah
koordinat masing-masing. Sumbu X berimpit meridian tengah dan sumbu X adalah garis
dengan meridian tengah dan sumbu Y tegak tegak lurus sumbu Y yang melalui
perpotongan meridian tengah dan paralel
tengah. Setiap lembar peta mempunyai
sistem sumbu koordinat yang melalui titik
tengah lembar dan sejajar sumbu (X,Y) dari
sistem koordinat bagian derajat.
Keuntungan dan kerugian sistem proyeksi
polyeder
Keuntungan proyeksi polyeder: karena
perubahan jarak dan sudut pada satu
bagian derajat 20 x 20 , sekitar 37 km x 37
km bisa diabaikan, maka proyeksi ini baik
untuk digunakan pada pemetaan teknis
skala besar.
b. Grid kurang praktis karena dinyatakan
dalam kilometer fiktif.
c. Tidak praktis untuk peta skala kecil
dengan cakupan luas.
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran d. Kesalahan arah maksimum 15 m untuk
jarak 15 km.
128
Bidang silinder memotong bola bumi
pada dua buah meridian yang disebut
meridian standar dengan faktor skala 1.
Lebar zone 6° dihitung dari 180° BB
dengan nomor zone 1 hingga ke 180°
BT dengan nomor zone 60. Tiap zone
mempunyai meridian tengah sendiri.
Perbesaran di meridian tengah =
0,9996.
Batas paralel tepi atas dan tepi bawah
adalah 84° LU dan 80° LS.
Pada Gambar 96 berikut ditunjukkan
perpotongan silinder terhadap bola bumi
dan gambar XYZ menujukkan
penggambaran proyeksi dari bidang datum
ke bidang proyeksi.
Gambar 96. Kedudukan bidang proyeksi silinder terhadap bola bumi pada proyeksi UTM
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
G
a
mbar 97. Proyeksi dari bidang datum ke bidang proyeksi
129
Gambar 98. Pembagian zone global pada proyeksi UTM
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
130
Pada kedua gambar tersebut, ekuator Garis tebal dan garis putus-putus pada
tergambar sebagai garis lurus dan meridian- gambar menunjukkan proyeksi lingkaran-
meridian tergambar sedikit melengkung. lingkaran melalui I, II, III dan IV yang tidak
Karena proyeksi UTM bersifat konform, mengalami distorsi setelah proyeksi.
maka paralel-paralel juga tergambar agak
Konvergensi Meridian
melengkung sehingga perpotongannya
dengan meridian membentuk sudut siku. Ukuran lembar peta dan cara menghitung
Ekuator tergambar sebagai garis lurus dan titik sudut lembar peta UTM
dipotong tegak lurus oleh proyeksi meridian Susunan sistem koordinat
tengah yang juga terproyeksi sebagai garis
Ukuran satu lembar bagian derajat adalah
lurus melalui titik V dan VI. Kedua garis ini
6° arah meridian 8° arah paralel (6° x 8°)
digunakan sebagai sumbu sistem koordinat
atau sekitar (665 km x 885 km).
(X,Y) proyeksi pada setip zone.
Pusat koordinat tiap bagian lembar derajat
Sistem grid pada proyeksi UTM terdiri dari adalah perpotongan meridian tengah
garis lurus yang sejajar meridian tengah. dengan "paralel" tengah. Absis dan ordinat
Lingkaran tempat perpotongan silinder semu di (0,0) adalah + 500.000 m, dan + 0
dengan bola bumi tergambar sebagai garis m untuk wilayah di sebelah utara ekuator
lurus. Pada daerah I, V, II dan III, VI, IV atau +10.000.000 m untuk wilayah di
gambar proyeksi mengalami pengecilan, sebelah selatan ekuator.
sedangkan pada daerah IA, IIB, IIIC dan IVD
mengalami perbesaran.
Gambar 99. Konvergensi meridian pada proyeksi UTM
Gambar 101. Grafik faktor skala proyeksi peta UTM
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
Gambar 99 dan 100 menunjukkan sistem
koordinat dan faktor skala pada setiap
lembar peta. Perhatikan pada absis antara
320.000 m – 500.000 m dan 680.000 m –
500.000 m terjadi pengecilan faktor skala
dari 1 ke 0,9996. Sedangkan pada selang
diluar kedua daerah ini terjadi perbesaran
faktor skala.
Gambar 100. Sistem koordinat proyeksi peta UTM
Misalnya, pada tepi zone atau sekitar 300
km di sebelah barat dan timur meriadian
tengah, untuk jarak 1.000 m pada meridian
tengah akan tergambar 1.000.070 x 1.000 m
131
= 1.000.070.000 m, atau terjadi distorsi
sekitar 70 cm / 1 000 m.
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
132
Lembar Peta UTM Global a. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 100.000
adalah 30° x 30°.
Penomoran setiap lembar bujur 6° dari 180°
b. Satu lembar peta skala 1 : 250.000
BB – 180° BT menggunakan angka Arab 1 –
dibagi menjadi 6 bagian lembar peta
60.
skala 1 : 100.000.
Penomoran setiap lembar arah paralel 80° c. Angka Arab 1 – 94 untuk penomoran
LS – 84° LU menggunakan huruf latin besar bagian lembar setiap 30° pada arah
dimulai dengan huruf C dan berakhir huruf X 94° BT – 141° BT.
dengan tidak menggunakan huruf I dan O. d. Angka Arab 1 - 36 untuk penomoran
Selang seragam setiap 8° mulai 80° LS – bagian lembar setiap 30° pada arah
72° LU atau C – W. 6° LU – 12° LS.
Menggunakan cara penomoran seperti itu, Lembar peta UTM skala 1 : 50.000 di
secara global pada proyeksi UTM, wilayah Indonesia
Indonesia di mulai pada zone 46 dengan
a. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 50.000
meridian sentral 93° BT dan berakhir pada
adalah 15° x 15°.
zone 54 dengan meridian sentral 141° BT,
b. Satu lembar peta skala 1 : 100.000
serta 4 satuan arah lintang, yaitu L, M, N
dibagi menjadi 4 bagian lembar peta
dan P dimulai dari 15° LS – 10° LU.
skala 1 : 50.000.
Lembar peta UTM skala 1 : 250.000 di
c. Penomoran menggunakan angka
Indonesia
Romawi I, II, III dan IV dimulai dari pojok
a. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 250.000 kanan atas searah jarum jam.
adalah 1½° x 1°. Sehingga untuk satu
bagian derajat 6° x 8° terbagi dalam 4 x Lembar peta UTM skala 1 : 25.000 di
8 = 32 lembar. Indonesia
b. Angka Arab 1 - 31 untuk penomoran a. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 25.000
bagian lembar setiap 1½° pada arah adalah 7½° x 7½ °.
94½° BT – 141° BT. b. Satu lembar peta skala 1 : 50.000 dibagi
c. Angka Romawi I – XVII untuk menjadi 4 bagian lembar peta skala 1 :
penomoran bagian lembar setiap 1° 25.000.
pada arah 6° LU – 11° LS. c. Penomoran menggunakan huruf latin
Lembar peta UTM skala 1 : 100.000 di kecil a, b, c dan d dimulai dari pojok
Indonesia kanan atas searah jarum jam.
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
1. Peta–peta khusus
133
Gambar 102. Peta kota Bandung
Gambar 103. Peta Geologi
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
Gambar 104. Peta statistik
134
Gambar 105. Peta sungai
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
a
m
ba
r 1
07.
Pe
ta
du
ni
a
Gambar 106. Peta jaringan
2. Peta Dunia
Peta dunia skalanya lebih kecil dari 1 :
1.000.000 yang berisikan pulau dan
benua.
135
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
136
Kebaikan Proyeksi UTM
5.2. Aturan kuadran
a. Proyeksi simetris selebar 6° untuk setiap
zone. Koordinat proyeksi peta dapat didekati
b. Transformasi koordinat dari zone ke dengan aturan diatas atau ditetapkan oleh
zone dapat dikerjakan dengan rumus surveyor secara pendekatan lokal jika belum
yang sama untuk setiap zone di seluruh tersedia Bencmark disekitar lokasi
dunia. pengukuran. Sistem kuadran yang
c. Distorsi berkisar antara - 40 cm/ 1.000 digunakan pada pengukuran dan pemetaan
m dan 70 cm/ 1.000 m. berbeda dengan sistem koordinat matematis
(trigonometri). Sistem kuadran matematis
Proyeksi TM-3
bertambah besar ke arah berlawanan jarum
Sistem proyeksi peta TM-3° adalah sistem jam. Alasan dari aturan kuadran ilmu ukur
proyeksi Universal Tranverse Mercator tanah yang searah jarum jam adalah karena
dengan ketentuan faktor skala di meridian peralatan pengukuran sudut menggunakan
sentral = 0,9999 dan lebar zone = 3°. Sistem bantuan magnet bumi yang nilainya
proyeksi ini, sejak tahun 1997 digunakan bertambah besar searah jarum jam.
oleh bekas Badan Pertanahan Nasional
Sistem kuadran koordinat geometrik
(BPN) sebagai sistem koordinat nasional
berbeda dengan kuadran trigonometrik
menggunakan datum absolut DGN-95.
karena alat-alat Ilmu Ukur Tanah arahnya
dari utara dan searah jarum jam.
Ketentuan sistem proyeksi peta TM-3° :
a. Proyeksi: TM dengan lebar zone 3°. Untuk menentukan suatu titik terhadap titik
b. Sumbu pertama (Y): Meridian sentral yang lainnya dipergunakan sistem koordinat.
dari setiap zone. Sistem koordinat yang dipergunakan adalah
II. ab - ba = 180 (dua sudut jurusan dari
c. Sumbu kedua (X) : Ekuator. koordinat siku-siku (kartesien) dan koordinat
d. Satuan : Meter. polar.
e. Absis semu (T) : 200.000 meter + X.
Menurut teori, sudut jurusan adalah sudut
f. Ordinat semu (U) : 1.500.000 meter + Y.
yang dimulai dari arah utara geografis, maka
g. Faktor skala pada meridian sentral :
arah utara diambil sebagai suatu salib
0,9999.
sumbu. Pada waktu kaki bergerak OP:
Berhimpit dengan sb, yang positif = 90
Berhimpit dengan sb, yang positif = 180
Berhimpit dengan sb, yang positif = 270
Berhimpit dengan sb, yang positif = 360
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
Dengan demikian kaki yang bergerak OP
melalui daerah-daerah 0-90, 90-180, 180-
270, 270-300, dimana daerah-daerah
tersebut disebut dengan:
Kuadran I : 0 – 90
137
Kuadran II : 90 – 180
Kuadran III : 180 – 270
Kuadran IV : 270 – 360
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
Gambar 108. Sistem koordinat geografis
Beberapa ketentuan yang berhubunga
n
dengan pemodelan bumi sebagai spheroi
d
adalah:
Meridian dan meridian utama.
Paralel dan paralel NOL atau ekuator.
138
Kuadran II : 90 – 1800
Kuadran III : 180 – 2700
Bujur (longitude - j), bujur barat (0° -
180° BB) dan bujur timur (0° - 180° BT).
Gambar 109. Bumi sebagai spheroid
Lintang ( latitude - l ), lintang utara (0° -
Kuadran
90° LU) dan lintang selatan (0° – 90°
I II III IV
Trigonometris
LS).
Sin kearah selatan dari titik O bertanda
negatif.
Cos
Untuk menentukan jarak dab dapat
Tan menggunakan Teorema Phytagoras:
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
Pengukuran tempat titik – titik
Menggunakan garis lurus
Apabila titik – titik tersebut terdapat
pada satu garis lurus, dengan titik dasar
0 dimana sebelah kanan dari titik nol
bertanda positif dan sebelah kiri dari titik
nol bertanda negatif.
Menggunakan sumbu koordinat
Apabila terdapat dua titik tidak pada
satu garis lurus, dengan titik O sebagai
pusat dari perpotongan garis mendatar
X (Absis) dan garis tegak lurus Y
(Ordinat). Dimana pada sumbu X
kesebelah kanan dari titik O bertanda
positif dan sebelah kiri dari titik O
bertanda negatif. Pada sumbu Y kearah
utara dari titik O bertanda positif dan
Segala suatu yang telah dipelajari pada Ilmu
Ukur Sudut mengenai Sinus, Cosinus, dan
Tangen berfungsi dengan penuh pada Ilmu
Geodesi.
139
Tabel 8. Aturan kuadran trigonometris
Ilmu Ukur Sudut dari kanan ke kiri dan pada
Ilmu Geodesi dari kiri ke kanan tapi daerah
kuadran pada dua ilmu itu menyatakan
daerah yang sama ialah:
Kuadran I : 00 – 900
0
0 Untuk menentukan besarnya atau lebih
Kuadran IV : 2700 – 3600
tepat di kuadran manakah sudut jurusan di
dab = ( X b X a )2 (Y b Ya )2
letakkan, digunakan rumus:
Xb Xa
tg ab
5.4. Menentukan Sudut Jurusan Yb Ya
Dasar–dasar perhitungan ini adalah
Seperti telah dijelaskan sebelumnya sudut
geometri analitik yaitu goniometri-
jurusan adalah sudut yang dibentuk dari
trigonometri adalah sebagai berikut :
arah utara geografis kemudian diputar
x y x
searah jarum jam dan berhenti pada garis Sin ; Cos ; Tgn
r r y
yang telah ditentukan.
Meskipun membagi kuadran pada ilmu ukur Xb Xa
Tg ab
sudut dan pada ilmu geodesi, yaitu pada Yb Ya
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
140
B (X b ,Y b )
d ab
ab
C
A (X a ,Y a )
Gambar 110. Sudut jurusan
d ab
Dari gambar di atas dapat dicari jarak
menggunakan aturan sinus dan cosinus :
Y r
cos ab
Yb Ya d a b
Yb Ya
d ab
cos ab
X X b X a
sin ab
r d ab
X b X a Gambar 111. Aturan kuadran geometris
d ab
sin ab Alir Ilmu Ukur Alir
Koordinat, Peta
Untuk menentukan luas pengukuran dengan
menggunakan sistem koordinat : “Metode
Sarus”
Metode Sarus
Apabila terdapat beberapa variabel X dan Y.
Misalnya X1, X2, X3,..., Xn dan Y1, Y2, Y3,...,
Yn. Maka kedua variabel tersebut dikali
silang kemudian dibagi 2.
Gambar 112. Aturan kuadran trigonometris
(X1 Y2 X2 Y3 X3 Y1 ) (Y1 X2 Y2 X3 Y3 X1)
2
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
141
Model Diagram Model DiagramTanah Pertemuan ke-05
Sistem koordinat, Proyeksi peta dan Aturan Kuadran
Dosen Penanggung Jawab : Dr.Ir.Drs.H.Iskandar Muda Purwaamijaya, MT
Sistem Koordinat Permukaan Bumi
(dalam Degree / Derajat)
(Koordinat Geodetik : Longitude dan Latitude)
(Bujur dan Lintang)
Lingkaran-Lingkaran yang melalui Lingkaran-Lingkaran yang tegak lurus
Kutub Utara dan Selatan Garis Bujur/Meridian/Longitude
(Garis Bujur/Meridian/Longitude) (Garis Lintang/Paralel/Latitude)
Nol Derajat Meridian di Kota Nol Derajat Paralel di Garis
Greenwich Inggris Equator/Khatulistiwa
Distorsi
Bidang Bola / Ellipsoida
ilind
(Perubahan Bentuk)
Informasi jarak, sudut
er/
dan luas)
ylind Bidang
rical Perantara
Datar/
Zenithal
Proyeksi Peta : Proses
memindahkan informasi
dari bidang lengkung ke
Kerucut/
bidang datar melalui bidang
perantara Conical
Posisi Sumbu Putar Bumi terhadap
Garis Normal Bidang Perantara
Transversal/ Normal/Berhimpit/
Sejajar
Gambar 113. Diagram alir sistem koordinat, proyeksi peta dan aturan kuadran
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
142
Rangkuman
Berdasarkan uraian materi bab 5 mengenai sistem koordinat, proyeksi peta, dan
aturan kuadran, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Proyeksi peta adalah teknik-teknik yang digunakan untuk menggambarkan sebagian
atau keseluruhan permukaan tiga dimensi yang secara kasaran berbentuk bola ke
permukaan datar dua dimensi dengan distorsi sesedikit mungkin.
2. Sistem proyeksi peta dibuat untuk mereduksi sekecil mungkin distorsi. Tujuan Sistem
Proyeksi Peta dibuat dan dipilih untuk menyatakan dan menyajikan secara grafis posisi
titik-titik pada permukaan bumi ke dalam sistem koordinat bidang datar.
3. Cara proyeksi peta dapat dilakukan dengan cara proyeksi langsung (direct projection)
Tegak Lurus Oblique/Miring
dan proyeksi tidak langsung (double projection). Secara garis besar sistem proyeksi peta
bisa dikelompokkan berdasarkan pertimbangan ekstrinsik dan intrinsik.
4. Bidang datum adalah bidang yang akan digunakan untuk memproyeksikan titik-titik yang
diketahui koordinatnya (j ,l ). Sedangkan bidang proyeksi adalah bidang yang akan
digunakan untuk memproyeksikan titik-titik yang diketahui koordinatnya (X,Y).
5. UTM merupakan sistem proyeksi silinder, konform, secant, transversal.
6. Sistem proyeksi peta TM-3° adalah sistem proyeksi Universal Tranverse Mercator
dengan ketentuan faktor skala di meridian sentral = 0,9999 dan lebar zone = 3°.
7. Sudut jurusan adalah sudut yang dimulai dari arah utara geografis, maka arah utara
diambil sebagai suatu salib sumbu.
8. Meskipun membagi kuadran pada ilmu ukur sudut dan pada ilmu geodesi berjalan
berlawanan, ialah pada Ilmu Ukur Sudut dari kanan ke kiri dan pada Ilmu Geodesi dari
kiri ke kanan tapi daerah kuadran pada dua ilmu itu menyatakan daerah yang sama.
Oleh karena itu, alat-alat Ilmu Ukur Tanah arahnya dari utara dan searah jarum jam.
9. Untuk menentukan luas pengukuran dengan menggunakan sistem koordinat dapat
menggunakan metode Sarus. Metode Sarus dapat digunakan apabila terdapat beberapa
variabel X dan Y. Misalnya X1, X2, X3,..., Xn dan Y1, Y2, Y3,..., Yn. Maka kedua variabel
tersebut dikali silang kemudian dibagi 2.
5 Sistem Koordinat, Proyeksi Peta, dan Aturan Kuadran
143
Soal Latihan
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini!
1. Jelaskan pengertian dan tujuan proyeksi peta ?
2. Apa yang dimaksud dengan bidang datum dan bidang proyeksi ?
3. Keuntungan dan kerugian apa saja pada sistem proyeksi polyeder ?
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan sistem proyeksi peta TM-3 , serta ketentuan-
ketentuannya ?
5. Jelaskan mengapa aturan kuadran Ilmu Ukur Tanah searah jarum jam ?
6. Sebutkan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan permodelan bumi sebagai
spheroid ?
7. Apa yang dimaksud dengan sudut jurusan ?
Lampiran : A
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (1983). Ukur Tanah 2. Jurusan Hasanudin, M. dan kawan-kawan. 2004.
Teknik Sipil PEDC. Bandung Survai dengan GPS. Pradnya Paramita.
Jakarta.
Barus, B dan U.S. Wiradisastra. 2000.
Sistem Informasi dan Geografis. Hendriatiningsih, S. 1990. Engineering
Bogor. Survey. Teknik geodesi FPTS ITB.
Bandung.
Budiono, M. dan kawan-kawan. 1999. Ilmu
Ukur Tanah. Angkasa. Bandung. Standar Kompetensi Nasional Bidang
SURVEYING. Bagian Proyek Sistem
Darmaji, A. 2006. Aplikasi Pemetaan Digital Pengembangan. Jakarta.
dan Rekayasa Teknik Sipil dengan
Autocad Development. ITB. Bandung. Gayo, Yusuf., dan kawan-kawan. 2005.
Pengukuran Topografi dan Teknik
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pemetaan. PT. Pradjna Paramita.
1999. Kurikulum Sekolah Menengah
Kejuruan. Depdikbud. Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional RI. 2003.
Hayati, S. 2003. Aplikasi Geographical Jurusan Diktekbang FPTK UPI.
Information System untuk Zonasi Bandung.
Kesesuaian Lahan Perumahan di
Kabupaten Bandung. Lembaga Kusminingrum, N. dan G. Gunawan. 2003.
Penelitian UPI. Bandung. Evaluasi dan Strategi Pengendalian
Pencemaran Udara di Kota-Kota Besar
Jurusan Pendidikan Teknik Bangunan. di Indonesia. Jurnal Litbang Jalan
2005. Struktur Kurikulum Program Studi Volume 20 No.1 Departemen Pekerjaan
Pendidikan Teknik Sipil FPTK UPI. Umum. Bandung.
Jakarta.
Lanalyawati. 2004. Pengkajian Pengelolaan
Gumilar, I. 2003. Penggunaan Computer Lingkungan Jalan di Kawasan Hutan
Aided Design (CAD) pada Biro Arsitek. Lindung (Bedugul Bali). Jurnal Litbang
Jurusan Pendidikan Teknik Bangunan Jalan Volume 21 No.2 Juli. Departemen
FPTK UPI. Bandung. Pekerjaan Umum. Bandung.
Gunarta, I.G.W.S. dan A.B. Sailendra. 2003. Marina, R. 2002. Aplikasi Geographical
Penanganan Masalah Jalan Tembus Information System untuk Evaluasi
Hutan secara Terintegrasi : Kajian Kemampuan Lahan di Kabupaten
terhadap Kebutuhan Kelembagaan Sumedang.
Stakeholders. Jurnal Litbang Jalan
Volume 20 No.3 Oktober. Departemen Masri, RM. 2007. Kajian Perubahan
Pekerjaan Umum. Bandung. Lingkungan Zona Buruk untuk
Perumahan. SPS IPB. Bogor.
Gunarso, P. dan kawan-kawan. 2004. Modul
Pelatihan SIG. Pemkab Malinau Mira, S. 1988. Poligon. Teknik Geodesi
FTSP ITB. Bandung.
A-1
Lampiran : A
Mira, S. R.M. 1988. Ukuran Tinggi Teliti. Bandung Jawa Barat). Sekolah
Teknik Geodesi FTSP ITB. Bandung. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Purworaharjo,U. 1986. Ilmu Ukur Tanah Seri
Melani, D. 2004. Aplikasi Geographical A Pengukuran Tinggi. Teknik Geodesi
Information System untuk Zonasi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Kesesuaian Lahan Perumahan di Institut Teknologi Bandung.
Kabupaten Sumedang. Jurusan
Pendidikan Teknik Bangunan FPTK Purworaharjo,U. 1986. Ilmu Ukur Tanah Seri
UPI. Bandung. B Pengukuran Horisontal. Teknik
Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan
Mulyani, S.Y.R dan Lanalyawati. 2004. Perencanaan Institut Teknologi
Kajian Kebijakan dalam Pengelolaan Bandung.
Lingkungan Jalan di Kawasan Sensitif.
Jurnal Litbang Jalan Volume 21 No.1 Purworaharjo,U. 1986. Ilmu Ukur Tanah Seri
Maret. Departemen Pekerjaan Umum. C Pemetaan Topografi. Teknik Geodesi
Bandung. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Bandung.
Parhasta, E. 2002. Tutorial Arcview SIG
Informatika. Bandung. Purworaharjo,U. 1982. Hitung proyeksi
Geodesi (Proyeksi Peta). Teknik
Purwaamijaya, I.M. 2006. Ilmu Ukur Tanah Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan
untuk Teknik Sipil. FPTK UPI. Bandung. Perencanaan Institut Teknologi
Bandung.
Purwaamijaya, I.M. 2005a. Analisis
Kemampuan Lahan di Kecamatan- Kecamatan yang Dilalui Jalan
Soekarno-Hatta di Kota Bandung Jawa Staf Ukur Tanah. 1982. Petunjuk
Barat. Jurnal Permukiman ISSN : 0215- Penggunaan Planimeter. Pusat
0778 Volume 21 No.3 Desember 2005. Pengembangan Penataran Guru
Departemen Pekerjaan Umum. Badan Teknologi. Bandung.
Penelitian dan Pengembangan.
Supratman, A.. 2002. Geometrik Jalan
Raya. FPTK IKIP. Bandung.
Bandung.
Supratman, A.,dan I.M Purwaamijaya. 1992.
Purwaamijaya, I.M. 2005b. Analisis Pengukuran Horizontal. Bandung.:
Kemampuan Lahan sebagai Acuan FPTK IKIP.
Penyimpangan Gejala Konversi Lahan
Sawah Beririgasi Menjadi Lahan Supratman, A.,dan I.M Purwaamijaya.
Perumahan di Koridor Jalan Soekarno- (1992). Modul Ilmu Ukur Tanah. FPTK
Hatta Kota Bandung. Jurnal Informasi IKIP. Bandung.
Teknik ISSN : 0215-1928 No.28 – 2005.
Departemen Pekerjaan Umum. Badan Susanto dan kawan-kawan. (1994). Modul :
Penelitian dan Pengembangan. Pemindahan Tanah Mekanis. FPTK
Penelitian dan Pengembangan IKIP. Bandung.
Sumberdaya Air. Balai Irigasi. Bekasi.
Wongsotjitro. 1980. Ilmu Ukur Tanah.
Purwaamijaya, I.M. 2005c. Pola Perubahan Kanisius .Yogyakarta.
Lingkungan yang Disebabkan oleh
Prasarana dan Sarana Jalan (Studi Yulianto, W. 2004. Aplikasi AUTOCAD 2002
Kasus : Jalan Soekarno-Hatta di Kota untuk Pemetaan dan SIG. Gramedia.
Jakarta.
A-2
Lampiran : B
GLOSARIUM
Absis : Posisi titik yang diproyeksikan terhadap sumbu X yang arahnya
horizontal pada bidang datar.
Analog : Sistem penyajian peta secara manual.
Astronomis : Ilmu yang mempelajari posisi relatif benda-benda langit terhadap
benda-benda langit lainnya.
Automatic level : Sipat datar optis yang mirip dengan tipe kekar tetapi dilengkapi
dengan alat kompensator untuk membuat garis bidik mendatar
dengan sendirinya.
Azimuth : Sudut yang dibentuk dari garis arah utara terhadap garis arah
suatu titik yang besarnya diukur searah jarum jam.
Barometri : Alat atau metode untuk mengukur tekanan udara yang
diaplikasikan untuk menghitung beda tinggi antara beberapa
titik di atas permukaan bumi yang berkategori gunung (slope >
40 %).
Benchmark : Titik ikat di lapangan yang ditandai oleh patok yang dibuat dari
beton dan besi dan telah diketahui koordinatnya hasil
pengukuran sebelumnya.
Bowditch : Metode koreksi absis dan ordinat pada pengukuran polygon yang
bobotnya adalah perbandingan antara jarak resultante terhadap
total jarak resultante.
BPN : Badan Pertanahan Nasional (Kantor Agraria / Pertanahan).
CAD : Computer Aided Design. Penyajian gambar secara digital
menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak komputer.
Cassini : Metode pengikatan ke belakang (alat berdiri di atas titik yang
ingin diketahui koordinatnya) yang menggunakan bantuan 2 titik
penolong dan dua buah lingkaran.
Collins : Metode pengikatan ke belakang (alat berdiri di atas titik yang
ingin diketahui koordinatnya) yang menggunakan bantuan 1 titik
penolong dan satu buah lingkaran.
Coordinate Set : Pengaturan koordinat peta analog agar sesuai dengan koordinat
pada sistem koordinat peta digital yang titik-titik ikat acuannya
adalah titik-titik di peta analog yang memiliki nilai-nilai
koordinat.
Cosinus : Besar sudut yang dihitung dari perbandingan sisi datar
terhadap sisi miring.
Cross hair : Benang silang diafragma yang tampak pada lensa objektif
teropong sebagai acuan untuk membaca ketinggian garis bidik
pada rambu ukur.
Cross Section : Profil melintang. Penampang pada arah lebar yang
menggambarkan turun naiknya permukaan suatu bentuk objek.
Datum : Titik perpotongan antara ellipsoid referensi dengan geoid (datum
relatif). Pusat ellipsoid referensi berimpit dengan pusat bumi
(datum absolut).
Digital : Sistem penyajian informasi (grafis atau teks) secara biner
elektronis.
B-1
Lampiran : B
Digitizer : Alat yang digunakan untuk mengubah peta-peta analog menjadi
peta-peta digital dengan menelusuri detail-detail peta satu
persatu.
Distorsi : Perubahan bentuk atau perubahan informasi geometrik yang
disajikan pada bidang lengkung (bola/ellipsoidal) terhadap
bentuk atau informasi geometrik yang disajikan pada bidang
datar.
DGN : Datum Geodesi Nasional, datum sistem koordinat nasional.
Dumpy level : Sipat datar optis tipe kekar, sumbu tegak menjadi satu dengan
teropong.
Ellipsoid : Bentuk 3 dimensi dari ellips yang diputar pada sumbu pendeknya
dan merupakan bentuk matematis bumi. Spheroid persamaan
kata ellipsoid.
Equator : Garis khatulistiwa yaitu garis yang membagi bumi bagian utara
dan bumi bagian selatan sama besar.
Flattening : Kegepengan. Nilai yang diperoleh dari pembagian selisih radius
terpendek dengan radius terpanjang ellipsoida terhadap radius
terpendek.
Fokus : Ketajaman penampakan objek pada teropong dan dapat diatur
dengan tombol fokus.
Fotogrametri : Ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempelajari mengenai
geometris foto-foto udara yang diperoleh dari pemotretan
menggunakan pesawat terbang.
Geodesi : Ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempelajari dan
menyajikan informasi bentuk permukaan bumi dengan
memperhatikan kelengkungan bumi.
Geodesic : Kurva terpendek yang menghubungkan dua titik pada permukaan
ellipsoida.
Geoid : Bentuk tidak beraturan yang mewakili permukaan air laut di
bumi dan memiliki energi potensial yang sama.
Geometri : Ilmu yang mempelajari bentuk matematis di atas permukaan
bumi.
Gradien : Besarnya nilai perbandingan sisi muka terhadap sisi samping
yang membentuk sudut tegak lurus (90o)
Grafis : Penyajian hasil pengukuran dengan gambar.
Greenwich : Kota di Inggris yang dilewati oleh garis meridian
(longitude/bujur) 0o.
Grid : Bentuk empat persegi panjang yang merupakan referensi posisi
absis dan ordinat yang diletakkan di muka peta yang panjang dan
lebarnya bergantung pada unit posisi X dan Y yang ditetapkan oleh
pembuat peta berdasarkan kaidah kartografi (pemetaan).
Hexagesimal : Sistem besaran sudut yang menyajikan sudut dengan sebutan
derajat, menit, second. Satu putaran = 360o. 1o=60’. 1’=60”.
Higragirum : Hg, air raksa yang dipakai sebagai cairan penunjuk nilai tekanan
udara pada alat barometer.
Horisontal : Garis atau bidang yang tegak lurus terhadap garis atau bidang
yang menjauhi pusat bumi.
Indeks : Garis kontur yang penyajiannya lebih tebal atau lebih ditonjolkan
dibandingkan garis-garis kontur lain setiap selang ketinggian
tertentu.
B-2
Lampiran : B
Interpolasi : Metode perhitungan ketinggian suatu titik di antara dua titik
yang dihubungkan oleh garis lurus.
Intersection : Nama lain dari pengikatan ke muka, yaitu pengukuran titik
tunggal dari dua buah titik yang telah diketahui koordinatnya
dengan menempatkan alat theodolite di atas titik-titik yang telah
diketahui koordinatnya.
Galat : Selisih antara nilai pengamatan dengan nilai sesungguhnya.
GIS : Geographical Information System. Suatu sistem informasi yang
mampu mengaitkan database grafis dengan data base tekstualnya
yang sesuai.
GPS : Global Positioning System. Sistem penentuan posisi global
menggunakan satelit buatan Angkatan Laut Amerika Serikat.
Gravitasi : Gaya tarik bumi yang mengarah ke pusat bumi dengan nilai +
9,8 m2/detik.
GRS-1980 : GeodeticReference System tahun 1984, adalah ellipsoid terbaik
yang memiliki penyimpangan terkecil terhadap geoid (lihat
istilah geoid).
Hardcopy : Dokumentasi peta-peta digital dalam bentuk lembaran-lembaran
peta yang dicetak dengan printer atau plotter.
Hardware : Perangkat keras computer yang terdiri CPU (Central Processing
Unit), keyboard (papan ketik), printer, mouse.
Informasi : Sesuatu yang memiliki makna atau manfaat.
Inklinasi : Sudut vertical yang dibentuk dari garis bidik (dinamakan juga
sudut miring).
Interpolasi : Suatu rumusan untuk mencari ketinggian suatu titik yang diapit
oleh dua titik lain dengan konsep segitiga sebangun.
Jalon : Batang besi seperti lembing berwarna merah dan putih dengan
panjang + 1,5 meter sebagai target bidikan arah horizontal.
Jurusan : Sudut yang dihitung dari selisih absis dan ordinat dengan acuan
sudut nolnya arah sumbu Y positif searah jarum jam.
Kalibrasi : Suatu prosedur untuk mengeliminasi kesalahan sistematis pada
peralatan pengukuran dengan menyetel ulang komponen-
komponen dalam peralatan.
Kartesian : Sistem koordinar siku-siku.
Kompas : Alat yang digunakan untuk menunjukkan arah suatu garis
terhadap utara magnet yang dipengaruhi magnet bumi.
Kontrol : Upaya mengendalikan data hasil pengukuran di lapangan agar
Memenuhi syarat geometrik tertentu sehingga kesalahan hasil
pengukuran di lapangan dapat memenuhi syarat yang ditetapkan
dan kesalahan-kesalahan acaknya telah dikoreksi.
Kontur : Garis khayal di permukaan bumi yang menghubungkan titik-titik
dengan ketinggian yang sama dari permukaan air laut rata-rata
(MSL). Garis di atas peta yang menghubungkan titik-titik dengan
ketinggian yang sama dari permukaan air laut rata-rata dan
kerapatannya bergantung pada ukuran lembar penyajian (skala
peta).
Konvergensi : Serangkaian garis searah yang menuju suatu titik pertemuan.
Konversi : Proses mengubah suatu besaran (sudut/jarak) dari suatu sistem
menjadi sistem yang lain.
Koordinat : Posisi titik yang dihitung dari posisi nol sumbu X dan posisi nol
sumbu Y.
B-3
Lampiran : B
Koreksi : Nilai yang dijumlahkan terhadap nilai pengamatan sehingga
diperoleh nilai yang dianggap benar. Nilai koreksi = - kesalahan.
Kuadran : Ruang-ruang yang membagi sudut satu putaran menjadi 4
ruang yang pusat pembagiannya adalah titik 0.
Kuadrilateral : Bentuk segiempat dan diagonalnya yang diukur sudut-sudut dan
jarak-jaraknya untuk menentukan koordinat titik di lapangan.
Latitude : Nama lain garis parallel. Garis-garis khayal yang tegak lurus
garis meridian dan melingkari bumi. Paralel nol berada di
equator atau garis khatulistiwa.
Leveling head : Bagian yang terdiri dari tribach dan trivet, disebut juga kiap.
Logaritma : Nilai yang diperoleh dari kebalikan fungsi pangkat.
Longitude : Nama lain garis meridian. Garis-garis khayal di permukaan bumi
yang menghubungkan kutub utara dan kutub selatan bumi.
Meridian nol berada di Kota Greenwich, Inggris.
Long Section : Profil memanjang. Penampang pada arah memanjang yang
menggambarkan turun naiknya permukaan suatu bentuk objek.
Loxodrome : Nama lain adalah Rhumbline. Garis (kurva) yang
menghubungkan titik-titik dengan azimuth yang tetap.
Mapinfo : Desktop Mapping Software. Perangkat lunak yang digunakan
untuk pembuatan peta digital berinformasi yang dibuat dengan
spesifikasi teknis perangkat keras untuk pemakai tunggal dan
dibuat oleh perusahaan Mapinfo Corporation yang berdomisili di
Kota New York Amerika Serikat.
MSL : Mean Sea Level (permukaan air laut rata-rata yang diamati
selama periode tertentu di pinggir pantai). Sebagai acuan titik nol
pengukuran tinggi di darat.
Mistar : Papan penggaris berukuran 3 meter yang dapat dilipat dua
sebagai target pembacaan diafragma teropong untuk mengukur
tinggi garis bidik (benang atas, benang tengah, benang bawah).
Meridian : Garis-garis khayal di permukaan bumi yang menghubungkan
kutub utara dan kutub selatan bumi. Meridian nol berada di Kota
Greenwich, Inggris.
Nivo : Gelembung udara dan cairan yang berada pada tempat berbentuk
bola atau silinder sebagai penunjuk bahwa teropong sipat datar
atau theodolite telah sejajar dengan bidang yang memiliki energi
potensial yang sama.
Normal : Proyeksi peta yang sumbu putar buminya berimpit dengan garis
normal bidang perantara (datar, kerucut, silinder).
Oblique : Proyeksi peta yang sumbu putar buminya membentuk sudut
tajam (< 90o) dengan garis normal bidang perantara (datar,
kerucut, silinder).
Offset : Metode pengukuran menggunakan alat-alat sederhana (prisma,
pita ukur, jalon).
Ordinat : Posisi titik yang diproyeksikan terhadap sumbu Y yang arahnya
vertical pada bidang datar.
Orientasi : Pengukuran untuk mengetahui posisi absolute dan posisi relative
Objek-objek di atas permukaan bumi.
Orthodrome : Proyeksi garis geodesic pada bidang proyeksi.
Overlay : Suatu fungsi pada analisis pemetaan digital dan GIS yang
Menumpangtindihkan tema-tema dengan jenis pengelompokkan
yang berbeda.
B-4
Lampiran : B
Pantograph : Alat yang digunakan untuk memperbesar atau memperkecil
objek gambar.
Paralel : Garis-garis khayal yang tegak lurus garis meridian dan
melingkari bumi. Paralel nol berada di equator atau garis
khatulistiwa.
Pegas : Gulungan kawat berbentuk spiral yang dapat memanjang dan
memendek karena gaya tekan atau tarik yang digunakan pada
alat sipat datar.
Pesawat : Istilah untuk alat ukur optis waterpass atau theodolite.
Phytagoras : Ilmuwan yang menemukan rumusan kuadrat garis terpanjang di
suatu segitiga dengan salah satu sudutnya 90o adalah sama
dengan perjumlahan kuadrat 2 sisi yang lain.
Planimeter : Alat untuk menghitung koordinat secara konvensional.
Planimetris : Bidang datar (2 dimensi) yang dinyatakan dalam sumbu X dan Y
Point Set : Pengaturan koordinat peta analog agar sesuai dengan koordinat
pada sistem koordinat peta digital yang titik-titik ikat acuannya
adalah titik-titik di peta analog yang identik dengan titik-titik di
peta digital yang telah ada.
Polar : Sistem koordinat kutub (sudut dan jarak).
Polyeder : Sistem proyeksi dengan bidang perantara kerucut, sumbu putar
bumi berimpit dengan garis normal kerucut, informasi geometric
yang dipertahankan sama adalah sudut (conform) dan tangent.
Polygon : Serangkaian garis-garis yang membentuk kurva terbuka atau
Tertutup untuk menentukan koordinat titik-titik di atas
permukaan bumi.
Profil : Potongan gambaran turun dan naiknya permukaan tanah baik
memanjang atau melintang.
Proyeksi peta : Proses memindahkan informasi geometrik dari bidang lengkung
(bola/ellipsoidal) ke bidang datar melalui bidang perantara
(bidang datar, kerucut, silinder).
Radian : Sistem besaran sudut yang menyajikan sudut satu putaran =
2 radian. = 22/7 = 3,14……
RAM : Random Acces Memory. Bagian dalam komputer yang
digunakan sebagai tempat menyimpan dan memroses fungsi-
fungsi matematis untuk sementara waktu.
Raster : Penyajian peta atau gambar secara digital menggunakan unit-unit
terkecil berbentuk bujur sangkar. Ketelitian unit-unit terkecil
dinamakan dengan resolusi.
Remote Sensing : Penginderaan jauh. Pemetaan bentuk permukaan bumi
menggunakan satelit buatan dengan ketinggian tertentu yang
direkam secara digital dengan ukuran-ukuran kotak tertentu yang
dinamakan pixel.
Resiprocal : Salah satu metode pengukuran beda tinggi dengan menggunakan
2 alat sipat datar dan rambunya yang dipisahkan oleh halangan
alam berupa sungai atau lembah dan dilakukan bolak-balik untuk
meningkatkan ketelitian hasil pengukuran.
Reversible level : Sipat datar optis tipe reversi yang teropongnya dapat diputar
pada sumbu mekanis dan disangga oleh bagian tengah yang
mempunyai sumbu tegak.
Rotasi : Perubahan posisi suatu objek karena diputar pada suatu sumbu
putar tertentu.
B-5
Lampiran : B
Sarrus : Orang yang menemukan rumusan perhitungan luas dengan nilai-
nilai koordinat batas kurva.
Scanner : Alat yang mengubah gambar-gambar atau peta-peta analog
Menjadi gambar-gambar/peta-peta digital dengan cara
mengkilas.
Sentisimal : Sistem besaran sudut yang menyajikan sudut dengan sebutan grid,
centigrid, centicentigrid. Satu putaran = 400g, 1g=100c, 1c=100cc.
Simetris : Bagian yang dibagi sama besar oleh suatu garis diagonal.
Sinus : Besar sudut yang dihitung dari perbandingan sisi muka terhadap
sisi miring.
Skala : Nilai perbandingan besaran jarak atau luas di atas kertas terhadap
Skala di meridian sentral adalah 0,9999 dan lebar zone = 3 .
jarak dan luas di lapangan.
Softcopy : Dokumentasi peta-peta digital dalam bentuk file-file digital.
Software : Perangkat lunak computer untuk berbagai macam kepentingan.
Stadia : Benang tipis berwarna hitam yang tampak di dalam teropong
alat.
Statif : Kaki tiga untuk menyangga alat waterpass atau theodolite optis.
Tachymetri : Metode pengukuran titik-titik detail menggunakan alat theodolite
yang diikatkan pada pengukuran kerangka dasar vertikal dan
horisontal.
Tangen : Besar sudut yang dihitung dari perbandingan sisi muka terhadap
sisi miring.
Tilting level : Sipat datar optis tipe jungkit yang sumbu tegak dan teropong
Dihubungkan dengan engsel dan sekrup pengungkit.
TM-3 : Sistem proyeksi Universal Transverse Mercator dengan faktor
o
Topografi : Peta yang menyajikan informasi di atas permukaan bumi baik
unsur alam maupun unsur buatan manusia dengan skala sedang
dan kecil.
Total Station : Alat ukur theodolite yang dilengkapi dengan perangkat elekronis
untuk menentukan koordinat dan ketinggian titik detail secara
otomatis digital menggunakan gelombang elektromagnetis.
Trace : Serangkaian garis yang merupakan garis tengah suatu bangunan
(jalan, saluran, jalur lintasan).
Transit : Metode koreksi absis dan ordinat pada pengukuran polygon yang
bobotnya adalah perbandingan antara jarak proyeksi pada sumbu
X atau Y terhadap total jarak proyeksi pada sumbu X atau Y.
Transversal : Proyeksi peta yang sumbu putar buminya tegak lurus
(membentuk sudut 90o) dengan garis normal bidang perantara
(datar, kerucut, silinder).
Triangulasi : Serangkaian segitiga yang diukur sudut-sudutnya untuk
Menentukan koordinat titik-titik di lapangan.
Triangulaterasi : Serangkaian segitiga yang diukur sudut-sudut dan jarak-jaraknya di
lapangan untuk menentukan koordinat titik-titik di lapangan.
Tribach : Penyangga sumbu kesatu dan teropong.
Trigonometri : Bagian dari ilmu matematika yang diaplikasikan untuk
Menghitung beda tinggi antara beberapa titik di atas permukaan
bumi yang berkategori bermedan bukit (8%< slope < 40 %).
Trilaterasi : Serangkaian segitiga yang diukur jarak-jaraknya untuk
Menentukan koordinat titik-titik di lapangan.
B-6
Lampiran : B
Trivet : Bagian terbawah dari alat sipat datar dan theodolite yang dapat
dikuncikan pada
statif.
Unting-unting : Bentuk silinder-kerucut terbuat dari kuningan yang digantung di
bawah alat waterpass atau theodolite sebagai penunjuk arah titik
nadir atau pusat bumi yang mewakili titik patok.
UTM : Universal Transverse Mercator. Sistem proyeksi peta global yang
memiliki lebar zona 6o sehingga jumlah zona UTM seluruh dunia
adalah 60 zona. Bidang perantara yang digunakan adalah silinder
dengan posisi transversal (sumbu putar bumi tegak lurus
terhadap garis normal silinder), informasi geometrik yang
dipertahankan sama adalah sudut (konform) dan secant.
Vektor : Penyajian peta atau gambar secara digital menggunakan garis,
titik dan kurva. Ketelitian unit-unit terkecil dinamakan dengan
resolusi.
Vertikal : Garis atau bidang yang menjauhi pusat bumi.
Visual : Penglihatan kasat mata.
Waterpass : Alat atau metode yang digunakan untuk mengukur tinggi
garis bidik di atas permukaan bumi yang berkategori bermedan
datar (slope < 8 %).
WGS-84 : World Geodetic System tahun 1984, adalah ellipsoid terbaik yang
Memiliki penyimpangan terkecil terhadap geoid (lihat istilah
geoid).
Zenith : Titik atau garis yang menjauhi pusat bumi dari permukaan bumi.
Zone : Kurva yang dibatasi oleh batas-batas dengan kriteria tertentu.
B-7
Lampiran : C
DAFTAR TABEL
1 Ketelitian posisi horizontal (x,y) 30 Formulir pengukuran titik detail 366
titik triangulasi 14 31 Formulir pengukuran titik detail
2 Tingkat Ketelitian Pengukuran posisi 1 367
Sipat Datar 60 32 Formulir pengukuran titik detail
3 Tingkat Ketelitian Pengukuran posisi 2 368
Sipat Datar 95 33 Formulir pengukuran titik detail
4 Ukuran kertas untuk posisi 3 369
penggambaran hasil 34 Formulir pengukuran titik detail
pengukuran dan pemetaan 107 posisi 4 370
5 Formulir pengukuran sipat 35 Formulir pengukuran titik detail
datar 114 posisi 5 371
6 Formulir pengukuran sipat 36 Formulir pengukuran titik detail
datar 115 posisi 6 372
7 Kelas proyeksi peta 122 37 Formulir pengukuran titik detail
8 Aturan kuadran trigonometris 139 posisi 7 373
9 Cara Sentisimal ke cara 38 Formulir pengukuran titik detail
seksagesimal 147 posisi 8 374
10 39 Bentuk muka tanah dan
Cara Sentisimal ke cara radian 148
interval kontur. 382
11 Cara seksagesimal ke cara
40 Tabel perhitungan galian dan
radian 149
timbunan 422
12 Cara radian ke cara sentisimal 150 41 Daftar load factor dan
13 Cara seksagesimal ke cara procentage swell dan berat dari
radian 151 berbagai bahan 424
14 Buku lapangan untuk 42 Daftar load factor dan
pengukuran sudut dengan procentage swell dan berat dari
repitisi. 183 berbagai bahan 425
15 Metode perhitungan perbedaan 43 Keunggulan dan kekurangan
sudut ganda dan perbedaan pemetaan digital dengan
observasi 183 konvensional 435
16 Arti dari perbedaan sudut 44 Contoh keterangan warna
ganda dan perbedaan gambar 458
observasi. 184 45 Keterangan koordinat 458
17 Buku lapangan sudut vertikal. 184 46 Kelebihan dan kekurangan
18 Daftar Logaritma 200 pekerjaan GIS dengan
19 Hitungan dengan cara manual/pemetaan Digital 470
logaritma 204 47 Pendigitasian Konvensional di
20 Hitungan cara logaritma 225 banding pendigitasian GPS 486
21 Ukuran Kertas Seri A 276 48 Beberapa fungsi tetangga
sederhana 497
22 Bacaan sudut 280
49 Perbandingan Bentuk Data
23 Jarak 280 Raster dan Vektor 499
24 Formulir pengukuran poligon 1 296
25 Formulir pengukuran poligon 2 297
26 Formulir pengukuran poligon 3 298
27 Contoh perhitungan garis bujur
ganda 312
28 format daftar planimeter tipe 1 319
29 format daftar planimeter tipe 2 319
C-1
Lampiran : D
No Teks Hal
DAFTAR GAMBAR
37 Kesalahan Skala Nol Rambu 42
No Teks Hal 38 Bukan rambu standar 43
39 Sipat Datar di Suatu Slag 47
1 Anggapan bumi 2 40 Rambu miring 54
2 Ellipsoidal bumi 3 41 Kelengkungan bumi 55
3 Aplikasi pekerjaan 42 Kelengkungan bumi 55
pemetaan pada
43 Refraksi atmosfir 56
bidang teknik sipil 6
44 Model diagram alir teori
4 Staking out 6 kesalahan 57
5 Pengukuran sipat datar optis 7 45 Pengukuran sipat datar optis 61
6 Alat sipat datar 9 46 Keterangan pengukuran sipat
7 Pita ukur 9 datar 63
8 Rambu ukur 9 47 Cara tinggi garis bidik 63
9 Statif 9 48 Cara kedua pesawat di tengah-
tengah 65
10 Barometris 10
49 Keterangan cara ketiga 65
11 Pengukuran Trigonometris 10
50 Cotoh pengukuran resiprokal 67
12 Pengukuran poligon 12
51 Sipat datar tipe jungkit 67
13 Jaring-jaring segitiga 15
52 Contoh pengukuran resiprokal 68
14 Pengukuran pengikatan ke
muka 16 53 Dumpy level 72
15 Pengukuran collins 17 54 Tipe reversi 73
16 Pengukuran cassini 18 55 Dua macam tilting level 74
17 Macam – macam sextant 18 56 Bagian-bagian dari tilting level 75
18 Alat pembuat sudut siku cermin 19 57 Instrumen sipat datar otomatis 76
19 Prisma bauernfiend 19 58 Bagian-bagian dari sipat datar
otomatis 76
20 Jalon 19
59 Rambu ukur 78
21 Pita ukur 19
60 Contoh pengukuran
22 Pengukuran titik detail
trigonometris 79
tachymetri 21
61 Gambar koreksi trigonometris 80
23 Diagram alir pengantar survei
dan pemetaan 22 62 Bagian-bagian barometer 81
24 Kesalahan pembacaan rambu 26 63 Barometer 82
25 Pengukuran sipat datar 27 64 Pengukuran tunggal 84
26 Prosedur Pemindahan Rambu 27 65 Pengukuran simultan 85
27 Kesalahan Kemiringan Rambu 28 66 Model diagram alir pengukuran
kerangka dasar vertikal 87
28 Pengaruh kelengkungan bumi 29
67 Proses pengukuran 91
29 Kesalahan kasar sipat datar 30
68 Arah pengukuran 91
30 Kesalahan Sumbu Vertikal 31
69 Alat sipat datar 92
31 Pengaruh kesalahan kompas
theodolite 36 70 Rambu ukur 92
32 Sket perjalanan 37 71 Cara menggunakan rambu
33 Gambar Kesalahan Hasil ukur di lapangan 93
Survei 37 72 Statif 93
34 Kesalahan karena penurunan 73 Unting-unting 93
alat 39 74 Patok kayu dan beton/ besi 94
35 Pembacaan pada rambu I 40 75 Pita ukur 94
36 Pembacaan pada rambu II 41 76 Payung 94
D-1
Lampiran : D
D-2
Lampiran : D
D-3
Lampiran : D
D-4
Lampiran : D
D-5
Lampiran : D
No 3
33
D-6
Lampiran : D
Rambu ukur
No 392
Hasil Fo
to Udar
Teks Hal No Te Hal
a yang
ks
413 421
393 Stake out pada bidang datar 413 dilakukan di daerah Nangroe
394 Stake out pada bidang yang Aceh Darussalam yang
berbeda ketinggian 414 dilakukan pasca Tsunami,
395 Stake out beberapa titik untuk keperluan Infrastruktur
sekaligus 414 Rehabilitasi dan Konstruksi 445
396 Volume cara potongan 422 Contoh Hasil pemetaan Digital
melintang rata-rata 415 Menggunakan AutoCAD 453
397 Volume cara jarak rata-rata 423 Contoh : Hasil pemetaan
415
Digital Menggunakan AutoCAD 453
398 Volume cara prisma 416 424 Hasil pemetaan Digital
399 Volume cara piramida kotak 416 Menggunakan AutoCAD 454
400 Volume cara dasar sama bujur 425 Hasil pemetaan Digital
sangkar 416 Menggunakan AutoCAD 454
401 Volume cara dasar sama – 426 Tampilan auto cad 455
segitiga 416 427 Current pointing device 456
402 volume cara kontur 417
428 Grid untuk pengujian digitizer 457
403 Penampang melintang jalan
ragam 1 421 429 Grid untuk peta skala 1:25.000. 459
404 Penampang melintang jalan 430 Bingkai peta dan grid UTM per
ragam 2 421 1000 m 460
405 Penampang melintang jalan 431 Digitasi jalan arteri dan jalan
ragam 3 422 lokal, (a) peta asli, (b) hasil
406 Penampang trapesium digitasi jalan, kotak kecil adalah
425
vertex (tampil saat objek
407 Penampang timbunan 426 terpilih). 461
408 Koordinat luas penampang 426 432 Perbesaran dan perkecilan 462
409 Volume trapesium 427 433 Model Digram Alir Pemetaan
410 Penampang galian 428 Digital 466
411 Penampang timbunan 429 434 Contoh : Penggunaan
412 Penampang galian dan Komputer dalam Pembuatan
timbunan 430 Peta 470
413 Penampang melintang galian 435 Contoh : Penggunaan
dan timbunan 431 Komputer dalam Pembuatan
414 Diagram alir perhitungan galian Peta 470
dan timbunan 432 436 Komputer sebagai fasilitas
pembuat peta 471
415 Perangkat keras 436
437 Foto udara suatu kawasan 471
416 Perangkat keras Scanner 436
438 Contoh : Peta udara Daerah
417 Peta lokasi 441 Propinsi Aceh 471
418 Beberapa hasil pemetaan 439 Data grafis mempunyai tiga
digital, yang dilakukan oleh elemen : titik (node), garis (arc)
Bakosurtanal 442 dan luasan (poligon) 472
419 Salah satu alat yang dipakai 440 Peta pemuktahiran pasca
dalam GPS type NJ 13 443 bencana tsunami 472
420 Hasil Foto Udara yang 441 Komponen utama SIG 474
dilakukan di daerah Nangroe
442 Perangkat keras 474
Aceh Darussalam yang
dilakukan pasca Tsunami, 443 Perangkat keras keyboard 475
untuk keperluan Infrastruktur 444 Perangkat keras CPU 475
Rehabilitasi dan Konstruksi 444 445 Perangkat keras Scanner 475
D-7
Lampiran : D
Hal No Hal
eks
466 492
447 Perangkat keras mouse 475 (Tahun 2004)
448 Peta arahan pengembangan 467 Peta perubahan penutupan
komoditas pertanian kabupaten lahan pulau Kalimantan 492
Ketapang, Kalimantan Barat 478 468 Peta infrastruktur di daerah
449 Peta Citra radar Tanjung Nangreo Aceh Darussalam 494
Perak, Surabaya 478 469 Garis interpolasi hasil program
450 Peta hasil foto udara daerah Surfer 505
Nangroe Aceh Darussalam 470 Garis kontur hasil interpolasi 505
Pasca Tsunami 479 471 Interpolasi Kontur cara taksiran 506
451 NPS360 for robotic Total 472 Mapinfo GIS 507
Station 479
473 Model Diagram Alir Sistem
452 NK10 Set Holder dan Prisma
Informasi Geografis 508
Canister 479
453 NK12 Set Holder dan Prisma 479
454 NK19 Set 479
455 GPS type NL 10 480
456 GPS type NL 14 fixed adapter 480
457 GPS type NJ 10 with optical
plummet 480
458 GPS type NK 12 Croth single
prism Holder Offset : 0 mm 480
459 GPS type CPH 1 A Leica
Single Prism Holder Offset : 0
mm 480
460 Peta digitasi kota Bandung
tentang perkiraan daerah
rawan banjir 481
461 Peta hasil analisa SPM
(Suspended Particular Matter) 481
462 Peta prakiraan awal musim
kemarau tahun 2007 di daerah
Jawa 481
463 Peta kedalaman tanah efektif di
daerah jawa barat Bandung 490
464 Peta Curah hujan di daerah
Jawa Barat-Bandung 490
465 Peta Pemisahan Data vertikal
dipakai untuk penunjukan
kawasan hutan dan perairan
Indonesia 491
D-8