Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Defini Pekerjaan Kefarmasian

Pekerjaan kefarmasian menurut UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yaitu meliputi

pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan

dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta

pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Apotek sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan perlu mengutamakan kepentingan

masyarakat dan berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi

yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin. Apotek dapat diusahakan oleh lembaga atau

instansi pemerintah dengan tugas pelayanan kesehatan di pusat dan daerah, perusahaan milik

negara yang ditunjuk oleh pemerintah dan apoteker yang telah mengucapkan sumpah serta

memperoleh izin dari Suku Dinas Kesehatan setempat.

B. Apoteker Pengelola Apotek (APA)

Menurut Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan

telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak

melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker. Setiap profesi harus

disertifikasi secara resmi oleh lembaga keprofesian untuk tujuan diakuinya keahlian pekerjaan

keprofesiannya dan proses ini sering dikenal dengan kompetensi Apoteker. Kompetensi Apoteker

menurut International Pharmaceutical Federation (IPF) adalah kemauan individu farmasis untuk

melakukan praktek kefarmasian sesuai syarat legal minimum yang berlaku serta mematuhi

standar profesi dan etik kefarmasian.


C. Kompetensi Apoteker

Kompetensi adalah kemampuan manusia yang merupakan sejumlah karakteristik, baik

berupa bakat, motif, sikap, keterampilan, pengetahuan, perilaku yang membuat seorang pegawai

berhasil dalam pekerjaannya. Dengan kata lain, yang dapat membedakan pegawai yang memiliki

kinerja rata-rata dengan pegawai yang memiliki kinerja unggul (kinerja lebih baik) dengan secara

efektif membantu dan membedakan kinerja dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Dari

kompetensi serta peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan sebelumnya, Apoteker di

apotek memiliki 3 (tiga) peranan, terutama yang berkaitan langsung dengan pasien, yaitu sebagai

profesional, manager, dan retailer

1. Peranan Apoteker Sebagai Profesional

Apoteker memiliki kemampuan dalam melaksanakan kegiatan pelayanan kefarmasian

yang bermutu dan efisien yang berasaskan pharmaceutical care di apotek. Adapun standar

pelayanan kefarmasian di apotek telah diatur melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/I X/2004. Tujuan dari standar pelayanan ini

adalah:

a. Melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak professional

b. Melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar

c. Pedoman dalam pengawasan praktek Apoteker

d. Pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1027/Menkes/SK/IX/2004, terutama pada BAB III, bahwa pelayanan kefarmasian meliputi :

1) Pelayanan Resep

2) Promosi dan Edukasi


Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, Apoteker harus memberikan edukasi apabila

masyarakat ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi) untuk penyakit ringan dengan

memilihkan obat yang sesuai dan apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam

promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain

dengan penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lain.

3) Pelayanan Residensial (Home Care)

Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan

kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lanjut usia dan

pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini Apoteker harus

membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).

2. Peranan Apoteker Sebagai Manager

Manajemen secara formal diartikan sebagai perencanaan, pengorganisasian,


pengarahan dan pengendalian, terhadap penggunaan sumber daya untuk mencapai
tujuan. Fungsi manajemen adalah untuk :
a. Mencapai tujuan.
b. Menjaga keseimbangan di antara tujuan-tujuan yang saling
bertentangan.
c. Mencapai efisiensi dan efektivitas.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/Menkes/SK/IX/2004, pada BAB II, bahwa pengelolaan sumber daya di apotek
meliputi:
1) Pengelolaan Sumber Daya Manusia
Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh seorang
Apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan apotek, Apoteker senantiasa
harus memiliki kemampuan:
a) Menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik.
b) Mengambil keputusan yang tepat.
c) Mampu berkomunikasi antar profesi.
d) Menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner.
e) Kemampuan mengelola SDM secara efektif.
f) Selalu belajar sepanjang karier.
g) Membantu memberi pendidikan.
h) Memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
2) Pengelolaan Sarana dan Prasarana
Apoteker di apotek berperan dalam mengelola dan menjamin bahwa:
a) Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh
masyarakat.
b) Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata
apotek.
c) Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat.
d) Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah
dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna
untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi
resiko kesalahan penyerahan obat.
e) Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh
Apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling.
f) Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas
dari hewan pengerat dan serangga. Apotek memiliki suplai listrik
yang konstan, terutama untuk lemari pendingin.
g) Apotek harus memiliki:
 Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien
 Tempat untuk menyediakan informasi bagi pasien, termasuk penempatan
brosur/ materi informasi.
 Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan
meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien.
 Ruang racikan.
 Tempat pencucian alat atau keranjang sampah yang tersedia untuk staf
maupun pasien.
 Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan
obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari
debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada
kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan.

3) Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan lainnya


Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya
dilakukan sesuai ketentuan perundangan-undangan yang berlaku meliputi:
perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. Pengeluaran obat
memakai sistim FIFO (First In First Out) dan FEFO (First Expire First Out).
a) Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu
diperhatikan:
 Pola penyakit
 Kemampuan masyarakat
 Budaya masyarakat
b) Pengadaan
Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan
sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
c) Penyimpanan
 Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah
lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis
informasi yang jelas pada wadah.
 Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
 Wadah sekurang kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan tanggal
kadaluarsa.
 Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan
menjamin kestabilan bahan.
d) Administrasi
Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan
kegiatan administrasi yang meliputi:
1. Administrasi Umum: pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika,
psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Administrasi Pelayanan: pengarsipan resep, pengarsipan catatan
pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.
3. Peranan Apoteker Sebagai Retailer

Apotek merupakan tempat pengabdian profesi kefarmasian. Namun tidak


dapat dipungkiri di sisi lain bahwa apotek adalah salah satu model badan usaha
retail, yang tidak jauh berbeda dengan badan usaha retail lainnya. Apotek sebagai
badan usaha retail, bertujuan untuk menjual komoditinya, dalam hal ini obat dan
alat kesehatan, sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan profit. Profit memang
bukanlah tujuan utama dan satu-satunya dari tugas keprofesian apoteker, tetapi
tanpa profit apotek sebagai badan usaha retail tidak dapat bertahan.
Oleh karena itu, segala usaha untuk meningkatkan profit perlu dilaksanakan,
di antaranya mencapai kepuasan pelanggan. Pelanggan merupakan sumber profit.
Oleh karena itu, sebagai seorang retailer berkewajiban mengidentifikasi apa yang
menjadi kebutuhan pelanggan, menstimulasi kebutuhan pelanggan agar menjadi
permintaan dan memenuhi permintaan tersebut sesuai bahkan melebihi harapan
pelanggan.
D. Fungsi dan Tugas Apoteker Sesuai Dengan Kompetensi Apoteker Indonesia di Apotek

menurut APTFI (Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia)

Kompetensi Apoteker menurut APTFI (Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia)

adalah:

1. Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Lainnya


Kompetensi yang diharapkan adalah Apoteker mampu melaksanakan
pengelolaan obat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Pelayanan Obat dan Perbekalan kesehatan Lainnya
Kompetensi yang diharapkan adalah Apoteker mampu memberikan pelayanan
obat/untuk penderita secara profesional dengan jaminan bahwa obat yang diberikan
kepada penderita akan tepat, aman, dan efektif. Termasuk di dalamnya adalah
pelayanan obat bebas dan pelayanan obat dengan resep dokter yang obatnya dibuat
langsung oleh apotek.

3. Pelayanan Konsultasi, Informasi, dan Edukasi


Kompetensi yang diharapkan adalah apoteker mampu melaksanakan fungsi pelayanan
konsultasi, informasi dan edukasi yang berkaitan dengan obat dan perbekalan
kesehatan lainnya kepada penderita, tenaga kesehatan lain atau pihak lain yang
membutuhkan.
Tujuan konsultasi obat terhadap pasien adalah (Siregar, 2004) :
a. Menciptakan hubungan yang baik dengan penderita sehingga
mempermudah proses pengobatan.
b. Mengumpulkan informasi yang dibutuhkan mengenai sejarah
pengobatan penderita.
c. Memberikan pendidikan pada penderita mengenai cara penggunaan
obat yang benar.
d. Memberi dukungan dan keyakinan pada penderita mengenai proses
pengobatan yang dijalankan.
Edukasi dan konseling yang dilakukan Apoteker merupakan bagian dari
pharmaceutical care dengan tujuan untuk meningkatkan hasil terapi. Edukasi terhadap
pasien berhubungan dengan suatu tingkat dari perubahan perilaku pasien.
Kegagalan pengobatan dapat disebabkan banyak faktor, salah satunya adalah
kurangnya edukasi yang berkaitan dengan terapi sampai pada hambatan
financial yang menghalangi pengadaan obat. Tujuan edukasi obat adalah agar
pasien akan mengetahui betul tentang obatnya, meningkatkan kepatuhan
pasien, pasien lebih teliti dalam menggunakan dan menyimpan obat, pasien
mengerti akan obat yang diresepkan dan akhirnya menghasilkan respon
pengobatan yang lebih baik.
4. Pencatatan dan Pelaporan
Kompetensi yang diharapkan adalah Apoteker mampu melaksanakan
pencatatan dan pelaporan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Apoteker bertanggung jawab terhadap setiap kegiatan di apotek termasuk
pencatatan, administrasi pembelian, penjualan, pelaporan keuangan dan laporan
penggunaan narkotika/psikotropika (Kepmenkes RI No.
1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Jakarta,
2001).
5. Partisipasi Monitoring Obat
Kompetensi yang diharapkan adalah Apoteker mampu berpartisipasi aktif dalam
program monitoring keamanan penggunaan obat. Apoteker berpartisipasi
dalam program monitoring obat terutama monitoring reaksi obat merugikan
6. Partisipasi Promosi Kesehatan
Kompetensi yang diharapkan adalah Apoteker mampu berpartisipasi secara aktif
dalam program kesehatan di masyarakat lingkungannya, terutama yang berkaitan
dengan obat.
7. Fungsi/Tugas Lain (terkait dengan pengelolaan keuangan, Sumber Daya Manusia)
Kompetensi yang diharapkan adalah Apoteker mampu melaksanakan tugas dan
fungsi lain sebagai pimpinan di apotek, seperti pengelolaan keuangan yang salah
satunya terkait dengan target yang ingin dicapai apotek, dan sumber daya manusia
yang bertujuan untuk mendukung program yang dilaksanakan di apotek serta
terlaksananya pelayanan yang berkualitas terhadap pasien. Pengembangan apotek
dapat dilakukan dengan tujuan memperluas dunia usaha serta pelayanan kepada mas

E. Peran Apoteker di Masyarakat


Apoteker adalah bagian dari tenaga kesehatan yang memiliki kewenangan dan
kewajiban untuk melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana tercantum dalam PP No.
51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian pasal 1 mengatakan bahwa Pekerjaan
Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Apoteker di apotek umumnya
secara langsung berhubungan dengan masyarakat, fungsinya adalah memberi nasihat
mengenai bidangnya kepada dokter dan memberikan penyuluhan mengenai obat kepada
masyarakat atau pasien (Bogadenta, 2012).
Pelayanan kefarmasian salah satunya adalah swamedikasi. Swamedikasi harus
dilakukan sesuai dengan penyakit yang diderita, pelaksanaannya sedapat mungkin harus
memenuhi kriteria penggunaan obat yang rasional dan tepat. Kriteria obat rasional antara
lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis obat, tidak adanya efek samping, tidak
adanya kontraindikasi, tidak adanya interaksi obat, dan tidak adanya polifarmasi. Pada
pelaksanaan swamedikasi sendiri sering terjadi kesalahan pengobatan (medication error)
yang disebabkan karena keterbatasan pengetahuan masyarakat terhadap obat, penggunaan
obat dan informasi obat. Padahal masyarakat pada umumnya tidak begitu mengetahui
informasi yang lengkap tentang obat yang akan mereka konsumsi. Dalam melaksanakan
swamedikasi, masyarakat berhak memperoleh informasi yang tepat, benar, lengkap,
objektif dan tidak menyesatkan agar masyarakat mampu melakukan pengobatan sendiri
secara aman dan efektif. Oleh karena itu, apoteker mempunyai peranan penting didalam
melakukan swamedikasi (Zeenot, 2013).
Swamedikasi merupakan kegiatan yang paling sering dilakukan di apotek.
Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan saat ini semakin tinggi dan
menyebabkan upaya swamedikasi atau pengobatan sendiri semakin sering dilakukan oleh
masyarakat. Hal ini menuntut keberadaan apotek di tengah-tengah masyarakat menjadi
semakin penting dan informasi yang diberikan oleh para tenaga kefarmasian di apotek
sangat diperlukan oleh masyarakat guna upaya meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat khususnya dalam peningkatan rasionalitas penggunaan obat (Zeenot, 2013).
Informasi-informasi yang harus diberikan oleh tenaga kefarmasian yang ada di
apotek meliputi khasiat obat, efek samping obat, cara pemakaian obat, dosis obat, waktu
pemakaian obat, lama pemakaian obat, kontra indikasi obat, hal yang harus diperhatikan
sewaktu minum obat, hal yang harus dilakukan jika lupa meminum obat, cara
penyimpanan obat yang baik, cara memperlakukan obat yang masih tersisa dan cara
membedakan obat yang masih baik dan yang sudah rusak.
F. Peran dan Tanggung Jawab Farmasi Berhubungan dengan IPE
Kolaborasi antar profesi mengharuskan semua profesi memiliki persepsi yang sama

terhadap ranah masing-masing profesi termasuk ranah keterlibatan apoteker Salah satu bentuk

keterlibatan apoteker dalam kolaborasi antar profesi adalah terselenggaranya kewenangan

apoteker. Berdasarkan jurnal Ilmanita dan M.Rifqi (2014) menunjukkan bahwa mahasiswa yang

sudah mendapat IPE cenderung lebih menerima keterlibatan apoteker dalam IPC. Fakta tersebut

mendukung bahwa pemberian IPE kepada mahasiswa kesehatan akan meningkatkan pengetahuan

dan sikap mahasiswa kesehatan, termasuk pengetahuan dan sikap terhadap peran profesi

kesehatan lain (Remington et al., 2006 ; Vrontos et al., 2011) Meskipun banyak penelitian yang

menyatakan bahwa IPE akan meningkatkan rata-rata persepsi, pengetahuan, dan sikap mahasiswa

terhadap peran profesi kesehatan lain, sedikit bukti yang menyatakan bahwa perubahan positif

tersebut akan berlangsung dalam jangka waktu lama (Remington et al., 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Presiden RI. (2009). Undang-Undang RI No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta: Lembaran Negara
RI tahun 2009 No.144.

Menteri Kesehatan RI. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004


Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Saragi, S., dan Fransiscus, C.K. (2004).Layanan Apotek Kimia Farma Berorientasi Pasien yang Berdasarkan
Good Pharmacy Practice.Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Bidang Apotek GP Farmasi
Indonesia, Jakarta, 4 Maret 2004.

Bogadenta, Aryo. 2012. Manajemen Pengelolaan Apotek. Yogyakarta: D-Medika.

Zeenot, S. (2013). Pengelolaan dan Penggunaan Obat Wajib Apotek. Yogyakarta: D-Medika

Ilmanita, D., & Rokhman, M. R. (2014). Peran Interprofessional Education Terhadap Persepsi

Keterlibatan Apoteker Dalam Kolaborasi Antar Profesi. JURNAL MANAJEMEN DAN PELAYANAN

FARMASI (Journal of Management and Pharmacy Practice), 4(3), 166-174.

Remington, T.L., Foulk, M., Williams, B.C., 2006, Evaluation of Evidence for Interprofessional Education,

American journal of pharmaceutical education, 70(3), 66.

Vrontos, E.B., Kuhn, C.H., Brittain, K.L., 2011, Impact of Interprofessional Activities on Health Professions

Students’ Knowledge of Community Pharmacists’ Role and Services, American journal of

pharmaceutical education, 75(8): 1-6.

Anda mungkin juga menyukai