Anda di halaman 1dari 14

Tugas Teknologi Pelayanan Kebidanan

Blue Light Therapy dan Sistim Rujukan BPJS

Kelompok 2

Ely Nur Fauziyah 195401426227


Else Septiani
Yusriyani Hosabuan
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Kelahiran bayi dengan BBLR masih mejadi satu masalah kesehatan yang penting
dinegara-negara berkembang. Hal ini disebabkan karena angka kejadian, angka kesakitan
dan angka kematian yang masih tinggia (Gumilar, 2010). Kuning atau sering juga disebut
dengan istilah ikterus, merupakan kondisi klinis bayi yang ditandai pewarnaan kuning pada
kulit dan sklera mata akibat peningkatan bilirubin.  Ikterus pada bayi usia  2-3 hari pertama
kehidupan, merupakan hal yang normal (fisiologis) tetapi dapat juga ditemukan kondisi
yang  tidak normal (non fisiologis).  Angka kejadian ikterus fisiologis cukup tinggi. 
Frekuensi pada bayi cukup bulan 50-60% dan kurang bulan 80%.  Pada usia 1 minggu
pertama, lebih dari 85% bayi cukup bulan kembali dirawat karena kondisi ini (suraiyah,
2014).
Ikterus terjadi akibat penumpukan bilirubin dalam darah, dan akan tampak pada jelas
pada kulit bila kadar bilirubin antara 5-7 mg/dL. Cara visual untuk menentukan ikterus
dilakukan dengan menekan kulit secara ringan memakai jari tangan kemudian lepaskan. 
Warna kulit dinilai dibawah penerangan yang cukup sehingga tampak jelas.  Ikterus sulit
dinilai bila penerangan kurang, terutama pada bayi dengan warna kulit gelap.  Amati warna
kulit dan tentukan luasnya daerah ikterus pada anggota tubuh.  Pemeriksaan bilirubin serum
harus tetap dilakukan karena meskipun cara visual mudah dan praktis tetapi hasilnya kurang
akurat (suraiyah, 2014).
Waktu terjadinya ikterus juga mempunyai arti yang penting dalam menentukan 
kemungkinan diagnosis, faktor penyebab, dan tata laksana (suraiyah, 2014). Hal ini meliputi
produksi, transportasi, konjugasi dan ekskresi bilirubin.  Ada 2 jenis bilirubin yaitu bilirubin
indirek (bilirubin tak terkonjugasi) dan direk (bilirubin terkonjugasi). Produksi bilirubin
berasal dari degradasi heme hemoglobin dari sel darah merah (eritrosit) dalam sirkulasi.
Satu gram hemoglobin menghasilkan sekitar 35 mg bilirubin indirek, bilirubin ini
tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak.  Pembentukan bilirubin dimulai dengan proses
oksidasi yang menghasilhan biliverdin. Biliverdin mengalami reduksi menjadi bilirubin
indirek.  Di dalam darah bilirubin indirek berikatan dengan albumin dan di transfer
(transportasi) ke sel hati.  Dengan bantuan beberapa enzim di dalam sel hati, terjadi proses
konjugasi sehingga berubah menjadi bilirubin direk. Bilirubin direk ini larut dalam air dan
dieksresikan ke sistem empedu, dan selanjutnya kedalam saluran cerna (usus halus). 
Bilirubin direk dengan bantuan flora normal usus diubah menjadi urobilinogen dan
sebagian kecil di hidrolisis dengan bantuan enzim β glukoronidase menjadi bilirubin indirek
dan di reabsorbsi ke sel hati (siklus enterohepatis).  Metabolisme akhir urobilinogen menjadi
sterkobilin yang nantinya akan memberi warna kuning pada feses.
Hiperbilirubinemia adalah tingginya kadar bilirubin di dalam darah yang didapat dari
pemeriksaan laboratorium.  Faktor penyebab tingginya bilirubin pada bayi baru lahir karena
tingginya eritrosit bayi dengan masa hidup yang lebih pendek (70-90 hari), belum
matangnya fungsi hati dan meningkatnya reabsorbsi  bilirubin indirek dari usus (siklus
enterohepatis).  Tingginya kadar bilirubin ini terjadi pada bayi usia 2-3 hari pertama,
mencapai puncaknya pada hari ke 5-7.
Pada hiperbilirubinemia fisiologis, kadar biliriubin akan turun kembali pada hari ke
10-14.  Batasan kadar bilirubin yang aman pada bayi dapat dilihat pada tabel sesuai
American Academy of Pediatric (AAP) tetapi secara umum dipakai batasan tidak > 10
mg/dL untuk untuk bayi kurang bulan dan tidak > 15 mg/dL pada bayi cukup bulan
(suraiyah, 2014).
Ikterus  dianggap fisiologis bila memenuhi kriteria sebagai berikut: ikterus timbul pada usia
2-3 hari dengan kadar bilirubin indirek pada usia tersebut tidak > 15 mg/dL  (bayi cukup
bulan) dan tidak > 10 mg/dL (bayi  kurang bulan).  Kecepatan peningkatan kadar bilirubin
tidak > 5 mg/dL per 24 jam, dengan kadar bilirubin direk > 1 mg/dL.  Ikterus hilang pada 10
hari pertama dan tidak terbukti berhubungan dengan keadaan non fisiologis.
Ada beberapa cara untuk menentukan derajat ikterus yang merupakan faktor resiko
terjadinya kerniterus, misalnya kadar bilirubin bebas, kadar bilirubin 1 dan 2, atau secara
klinis diakukan dibawah sinar biasa atau day light (Hindryawati, 2011 dalam Bunyaniah,
2013).
Terapi sinar (blue light) bertujuan untuk mengendalikan kadar bilirubin serum agar
tidak mencapai nilai yang membahayakan sampai terjadi bilirubin ensefalopati maupun
kern-ikterus.  Blue light bertujuan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air
untuk dikeluarkan melalui empedu atau air seni.  Pada saat bilirubin menyerap cahaya, maka
terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi sehingga terjadi konversi ireversibel menjadi
isomer kimia lainnya yaitu lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari plasma melalui
empedu.  Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat foto terapi. 
Sejumlah kecil bilirubin indirek diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang dikeluarkan 
lewat air seni.  Foto isomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara
langsung bisa dikeluarkan  melalui empedu ke dalam usus untuk dibuang bersama feses
tanpa proses konjugasi oleh Hati, karena hanya produk foto oksidan saja yang bisa
dikeluarkan melalui air seni (suraiyah, 2014).
Blue light bekerja memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas tinggi (a
bound of flourescent light bulbs or bulbs in theblue light spcetrum) akan menurunkan
bilirubin dalam kulit. Blue light menurunkan kadar bilirubin dengan cara memfasilitasi
eksresi bilirubin tak terkonjugasi (Klaus, Fanarof, 1998 dalam Gumilar 2010).

B.   Tujuan
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa mengerti konsep blue light.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui derajat ikterik pada bayi baru lahir sebelum  dilakukan blue light.
b. Untuk mengetahui derajat ikterik pada bayi baru lahir setelah    dilakukan blue light..
c. Untuk mengetahui pengaruh blue light.terhadap derajat ikterik pada bayi baru lahir.
C. Manfaat
Menurunkan kadar bilirubin darah pada neonatus dengan hiperbilirubinemia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Definisi 
Blue Light merupakan terapi pilihan pertama yang dilakukan terhapa bayi  baru lahir
dengan hiperbilirubinemia (Kumar et al, 2010 dalam Shinta, 2015). Blue light merupakan
penatalaksanaan hiperbilirubinemia yang bertujuan untuk menurunkan konsentrasi
bilirubin dalam sirkulasi atau mencegah peningkatan kadar bilirubin.
Blue light merupakan terapi dengan menggunakan sinar yang dapat dilihat untuk
pengobatan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. Keefektifan suatu blue light ditentukan
oleh intensitas sinar. Adapun faktor yang mempengaruhi intensitas sinar ini adalah jenis
sinar, panjang gelombang sinar, jarak sinar ke pasien yang disinari, luas permukaan tubuh
yang terpapar dengan sinar serta penggunaan media pemantulan sinar.
Bayi dengan ikterus perlu diamati apakah fisiologis atau akan berkembang menjadi ikterus
patologis. Anamnesis kehamilan dan kelahiran sangat membantu pengamatan klinik dan
dapat menjadi petunjuk untuk melakukan pemeriksaan yang tepat. Early feeding yaitu
pemberian makanan dini pada bayi dapat mengurangi terjadinya ikterus fisiologik pada
bayi.
Sistem blue light mampu menghantarkan sinar melalui bolam lampu fluorcent, lampu
quartz, halogen, emisi dioda lampu dan matres optik fiber. Keberhasilan pelaksanaan blue
light tergantung dari efektifitas dan minimnya komplikasi yang terjadi (Stokowski, 2006
dalam Shinta, 2015).
B.   Indikasi Blue light atau Fototerapi
Blue light atau fototerapi direkomendasikan apabila :
1.    Kadar bilirubin total 5-8 mg/dl pada bayi dengan berat badan <1500 gram.
2.    Kadar 8-12 mg/dl pada bayi dengan berat badan 1500-1999 gram.
3.    Kadar 11-14mg/dl pada bayi dengan berat badan 2000-2499 gram.
(wong et al., 2009).

C. Dampak Blue light akan meningkat jika kadar bilirubin di kulit makin tinggi.
Blue light mengubah bilirubin di kapiler superfisial dan jaringan interstitial dengan
reaksi fotokimia dan fotooksidasi menjadi isomer (isomerisasi struktural dan konfigurasi)
secara cepat, yang larut dalam air dan dapat diekskresi melalui hepar tanpa proses konjugasi
sehingga mudah diekskresi dan tidak toksik. Penurunan bilirubin total paling besar terjadi
pada 6 jam pertama.
Faktor yang mengurangi efikasi terapi sinar adalah paparan kulit tidak adekuat,
sumber cahaya terlalu jauh dari bayi (radiasi menurun secara terbalik dengan kuadrat jarak),
lamu flouresens yang terlalu panas menyebabkan perusakan fosfor secara cepat dan emisi
spektrum dari lampu yang tidak tepat. Idealnya, semua ruang perawatan perinatologi
memiliki peralatan untuk melakukan terapi sinar intensif (Giyatmo, 2011).

D. Evektivitas Blue light atau Fototerapi


1.    Jenis Cahaya
Cahaya biru (fluoresens biru) dengan spektrum 460-490 nm merupakan cahaya yang
paling efektif dalam blue light karena dapat menembus jaringan dan diabsorbsi oleh
bilirubin (bilirubin menyerap lebih kuar pada cahaya biru dengan spektrum 460 nm ini).
2.    Saluran energi atau  imadiance sumber cahaya
Imadiance diukur dengan radiometer  atau spektroradiometer dalam satuan watt/cm¬¬2
atau µ watt/cm¬¬2nm. Sebagai contoh, sumber cahaya (tipe konvensional atau standar) 
yang diletakkan ±20 cm diatas bayi dapat menghantarkan spektrum imadiance, berkisar
8-10 µ watt/cm¬¬2 nm pada panjang gelombang cahaya 430-490 nm.
Adapun cahaya flourenens biru dapat menghantarkan spektrum imadiance berkisar 30-
40  µ watt/cm¬¬2nm.
American academy of pediatriks mendefinisikan intensif fototerapi sebagai
fototerapi dengan spektrum imadiance berkisar 30-40 µ watt/cm¬¬2 nm yang dapat
menjangkau permukaan tubuh bayi dengan lebih luas. (Maisels & McDonagh, 2008).
3. Jarak antara bayi dengan sumber cahaya dan luasnya area kulit yang terpajan
Jarak antara bayi dengan sumber cahaya tidak boleh kurang dari 45 cm. Penelitian
terkontrol menyebutkan bahwa semakin luas daerah kulit yang terpajan, semakin besar
reduksi kadar bilirubin total. (Wong et al., 2009).
Efektivitas fototerapi tergantung pada kualitas cahaya yang dipancarkan lampu
(panjang gelombang), intensitas cahaya (iridasi), luas permukaan tubuh, ketebalan kulit
dan pigmentasi, lama paparan cahaya, kadar bilirubuin total saat awal fototerapi
(Sakundarno,2008).
E. Prosedur
1. Persiapan Lingkungan
Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar ditempatkan, bila perlu sampai
suhu di bawah lampu antara 38ºC sampai 30ºC.

2.   Persiapan Alat

a. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari
biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight
fluorescent tubes .
 b.  Menggunakan panjang gelombang 425-475 nm.

c.  Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-12 mwatt/cm2 per nm.

d.  Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi.

e. Nyalakan mesin dan pastikan semua tabung fluoresens berfungsi


dengan baik.

f. Ganti tabung/lampu fluoresens yang telah rusak atau berkelip-kelip


(flickering):
1) Catat tanggal penggantian tabung dan lama penggunaan tabung
tersebut.
2) Ganti tabung setelah 2000 jam penggunaan atau setelah 3
bulan,walaupun tabung masih bisa berfungsi.

g. Gunakan linen putih pada basinet atau inkubator, dan tempatkan tirai putih
di sekitar daerah unit terapi sinar ditempatkan untuk memantulkan cahaya
sebanyak mungkin kepada bayi.

3. Prosedur Kerja
a. Tempatkan bayi di bawah sinar terapi sinar.

1) Bila berat bayi 2 kg atau lebih, tempatkan bayi dalam keadaan telanjang
pada basinet. Tempatkan bayi yang lebih kecil dalam inkubator.
2) Letakkan bayi sesuai petunjuk pemakaian alat dari pabrik.
b. Tutupi mata bayi dengan penutup mata, pastikan lubang hidung bayi tidak
ikut tertutup. Jangan tempelkan penutup mata dengan menggunakan
selotip.
c. Balikkan bayi setiap 3 jam.
d. Pastikan bayi diberi makan:

e. Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI ad libitum, paling


kurang setiap 3 jam: Selama menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi
sinar dan lepaskan penutup mata
f. Pemberian suplemen atau mengganti ASI dengan makanan atau cairan lain
(contoh: pengganti ASI, air, air gula, dll) tidak ada gunanya.
g. Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa (ASI
perah), tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per
hari selama bayi masih diterapi sinar .
h. Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT, jangan
pindahkan bayi dari sinar terapi sinar.
i. Perhatikan: selama menjalani terapi sinar, konsistensi tinja bayi bisa
menjadi lebih lembek dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak
membutuhkan terapi khusus.
j. Teruskan terapi dan tes lain yang telah ditetapkan:
k. Pindahkan bayi dari unit terapi sinar hanya untuk melakukan prosedur
yang tidak bisa dilakukan di dalam unit terapi sinar .
l. Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan sinar terapi sinar sebentar
untuk mengetahui apakah bayi mengalami sianosis sentral (lidah dan
bibir biru)
m. Ukur suhu bayi dan suhu udara di bawah sinar terapi sinar setiap 3 jam. Bila
suhu bayi lebih dari 37,5 0C, sesuaikan suhu ruangan atau untuk
sementara pindahkan bayi dari unit terapi sinar sampai suhu bayi antara
36,5ºC -37,5ºC.
n. Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam, kecuali kasus-kasus khusus:
o. Hentikan terapi sinar bila kadar serum bilirubin < 13mg/dL
p. Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfusi
tukar, persiapkan kepindahan bayi dan secepat mungkin kirim bayi ke
rumah sakit tersier atau senter untuk transfusi tukar. Sertakan contoh darah
ibu dan bayi.
q. Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa, hentikan terapi sinar setelah 3
hari.
r. Setelah terapi sinar dihentikan:
s. Observasi bayi selama 24 jam dan ulangi pemeriksaan bilirubin serum bila
memungkinkan, atau perkirakan keparahan ikterus menggunakan metode
klinis.
t. Bila ikterus kembali ditemukan atau bilirubin serum berada di atas nilai
untuk memulai terapi sinar , ulangi terapi sinar seperti yang telah dilakukan.
Ulangi langkah ini pada setiap penghentian terapi sinar sampai bilirubin
serum dari hasil pemeriksaan atau perkiraan melalui metode klinis berada di
bawah nilai untuk memulai terapi sinar.
u. Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan dengan baik
dan tidak ada masalah lain selama perawatan, pulangkan bayi.
v. Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasihat untuk membawa
kembali bayi bila bayi bertambah kuning.

4. Hal Yang Diperhatikan

a. Usahakan agar seluruh tubuh bayi terkena sinar dengan membuka baju
bayi.

b. Kedua mata dan gonad ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan
cahaya.

c. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak
terbaik untuk mendapat energi optimal.

d. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam.

e. Suhu bayi diukur secara berkala tiap 4-6 jam

f. Kadar bilirubin diperiksa setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya samanya


sekali dalam 24 jam

g. Hemoglobin juga diperiksa berkala terutama pada penderita dengan


hemolisis.

h. Perhatikan hidrasi bayi, bila perlu konsumsi cairan dinaikkan

i. Lamanya terapi sinar dicatat.

F. Hal-hal yang harus diperhatikan

1. Toksisitas cahaya terhadap retina bayi yang imatur sehingga selama pemberian blue light,
penutup mata harus terpasang (Maisels & McDonagh, 2008).

2. Gunakan diapers selama pemberian blue light untuk melindungi genetalia bayi (Wong et al.,
2009).

G. Durasi Blue light


Lamanya durasi blue light selah satunya ditentukan oleh nilai total serum bilirubin saat
mulai fototerapi dan fototerapi dihentikan jika nilai total serum bilirubin mencapai nilai
kurang dari 12 mg/dl (Moeslihchan et al, 2004 dalam Rahmah et al, 2013).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hiperbilirubinemia dapat terjadi pada bayi cukup bulan sehat yang menyusui.
Hiperbilirubinemia yang berhubungan dengan pemberian ASI dapat berupa breastfeeding
jaundice (BFJ) dan breastmilk jaundice (BMJ). Penyebab BFJ adalah kekurangan asupan
ASI, biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu ASI belum banyak.
B. Saran
The American Academy of Pediatrics (AAP) tidak menganjurkan penghentian
ASI dan merekomendasikan pemberian ASI terus menerus (minimal 8-10 kali dalam 24
jam). Jadi untuk ibu diharapkan untuk tetap memberikan ASI kepada bayi.
DAFTAR PUSTAKA

Bunyaniah, Dahru. 2013. Pengaruh Fototerapi Terhadap Derajat  Ikterik Pada Bayi Baru Lahir
Di RSUD DR. Moewardi Surakarta. Diunduh11 oktober 2015.

Gumilar, Hairul. 2010. Pemberian Fototerapi Dengan Penurunan Kadar Bilirubin Dalam


Darah Pada Bayi BBLR Dengan Hiperbilirubinemia. Diakses11oktober 2015.

Kosim, M,S., Soetandio, Robert. M Sakundaro. 2008. Dampak Lama Fototerapi Terhadap


Penurunan Kadar Bilirubin Total Pada Hiperbilirubinemia Neontal. Diakses 12 oktober 2015.

Rahmah., Yetti, K., Besral. 2013. Pemberian ASI Efektif Mempersingkat Durasi Pemberian
Fototerapi. Diakses 11 oktober 2015.

Shinta P, Tina. 2015. Pengaruh Perubahan Posisi Tidur Pada Bayi Baru Lahir
Hiperbilirubinemia Dengan Total Fototerapi Terhadap Kadar Bilirubin Total. Diakses 12
oktober 2015.

Suraiyah. 2014. http://www.rspermatacibubur.com/hiperbilirubinemia/. Diakses 10 oktober


2015.

Yuhanidz, H., Saryono., Giyatmo. 2011. Efektivitas Fototerapi 24 Jam Dan 36 Jam Terhadap
Penurunan Bilirubin Indirect Pada Bayi Ikterus Neonatorum.  Diakses 10 oktober 2015.

Anda mungkin juga menyukai