Anda di halaman 1dari 2

AENG

Karya: Putu Wijaya

DI RUANG ISOLASI. ALIMIN TERPIDANA MATI SEDANG BERBARING MERENUNG.

Kematian saling bercengkerama di panggung hidup dan akan berakhir setelah setelah
berseminya cinta. Dan sekarang gagak-gagak sudah berkeliling di kepalaku (DUDUK). (SUARA
DETAK WAKTU) Tik, tok, tik, tok, tik, tok, tik, tok ... Tiap detik sekarang kita berhitung. Aku
kecap detak waktu kenyang-kenyang tak ada lagi yang bisa menahannya untukku. Bahkan
Tuhan juga sudah menampikku. Sebentar lagi mereka akan datang dan menuntunku ke
lapangan tembak. Mataku akan dibalut kain hitam dan sesudah itu seluruh hidupku jadi hitam.
Aku akan terkulai di situ berlumuran darah. Jadi onggokkan daging bekas.

Ketika aku mulai melihat, yang pertama kali aku lihat adalah kejahatan. Makku dihajar habis
oleh suaminya yang kesetanan. Ketika pertama kali aku berbuat, yang aku lalukan adalah dosa.
Kudorong anak gadis itu ke tengah semak (MENCABULI ANAK GADIS). Sejak saat itu mereka
namakan aku bajingan (TERTAWA). Mula-mula aku marah, karena nama itu diciptakan untuk
membuangku. Tetapi kemudian ketika aku terbiasa memakainya, banyak orang mengaguminya.
Mereka datang Kepada aku hendak berguru. Aku dinobatkan jadi pahlawan...pahlawan.

Sementara dunia terus berjalan dan kehidupan melenggang seperti tak kekurangan apa-apa
tanpa aku. Sekarang kesempatan yang terakhir untuk menunjukkan arti hidup. Mengisi kembali
puluhan tahun di belakang yang sudah aku lompati dengan terlalu cepat. Apa? Apa? Apa? Apa
yang bisa dilakukan dalam waktu pendek tetapi dahsyat? Melawan? (KETAWA) Kamu
menghasutku untuk melakukan perlawanan? (KETAWA) Tidak bisa. Manusia bisa kamu lawan.
Tapi dinding beku ini tidak. Tidak ada gunanya melawan.

(DUDUK DAN MENOLEH KE SAMPING TIBA-TIBA KAGET MELIHAT SESUATU) Nensi! Apakah itu
kau? Rupanya kamu yang dari tadi melotot di situ. Sedang apa kamu sekarang? Kenapa
lipstikmu belepotan? Ada hansip yang memperkosa kamu? Jangan diam saja, Sayang. Kemari!
Apa kabar sayang? Masih ingat pada aku kan? (MENDUDUKKAN DI DEKATNYA) Aku bukan
orang yang dulu lagi, Sayang. Kau pun tidak. Tetapi kita pernah membuat sejarah, dan itu dia
bisa dihapuskan begitu saja. Sekeping dari diri kamu masih tetap dalam tubuhku dan bagian
dari punyaku masih tersimpan pada kamu. Kita bisa berbohong tapi itu tidak menolong.
Nampaknya kau sangat kelelahan sayang. Sedikit pijatan untuk kenangan. Tapi kenapa
kemudian kau lari dengan lelaki bajingann itu. Kau hamil dan dengan lelaki itu. Dasar sundal!
Tenang, tenang, tenanglah sayang (MENGGOROK LEHER NENSI) Karena dengan ini nensi, kau
akan jadi milikku selamanya.
(DUDUK MENUNDUKKAN KEPALA) Yang Mulia Hakim yang saya hormati. Saya tak akan
membela apa yang sudah saya lakukan. Bahwa memang benar saya melakukan semua itu.
Wanita itu saya gorok lehernya, karena saya rasa itu yang paling tepat untuk dia. Saya lakukan
itu dalam keadaan yang tenang. Pikiran saya waras. Tapi mengapa? (MELOTOT) Seorang wanita
yang tercabik-cabik lehernya mendapat perhatian yang begitu besar, sementara leher saya dan
jutaan orang lain yang dicabik-cabik tak pernah diperhatikan.

Apa arti kematian seorang pelacur dibandingkan dengan kematian kita semua. Di depan Anda
semua ini saya menuntut. Berikanlah saya hukuman yang pantas. Tetapi jangan lupa berikan
juga hukuman kepada orang yang telah mencabik leher kami itu dengan setengah pantas saja.
Dengan harapan Anda semua akan teringat bahwa leher kamipun sudah dicabik-cabik dengan
cara yang sama. Dan semoga ingatan itu diikuti pula pada hukuman yang bersangkutan. Kalau
sudah begitu apapun yang dijatuhkan kepada saya akan saya terima. Dua kali mati sekalipun
akan saya jalani dengan rela.

Selamat tinggal di dinding bisu dengan semua suara yang kamu simpan. Selamat tinggal jendela
yang selalu memberiku matahari dan bulan. Selamat tinggal sipir penjaga yang marahnya tak
habis-habis pada dunia. Selamat tinggal segala yang kubenci dan kucintai. Janjiku sudah lunas

Anda mungkin juga menyukai