Anda di halaman 1dari 6

7. Terapi apa yang akan dilakukan pada penderita?

Jawaban :

Berdasarkan Advanced Trauma Life Support, dalam manajemen trauma perlu mengingat prinsip
penilaian ABCDEs, primum noncere (first, do no harm), dan mengatasi cedera yang mengancam jiwa
saat masih dalam periode emas (golden periode). Untuk mengatasi jejas yang mengancam jiwa, maka
sebelum melakukan tatalaksana definitif perlu dilakukan primary survey dan secondary survey, serta
diikuti dengan monitoring dan evaluasi ulang setelah tindakan resusitasi seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya (Deliverska dan Stefanov, 2013).

Terapi definitif yang dapat dilakukan pada kasus Fraktur Zigoma terkait dengan segmen frakturnya dapat
dikategorikan menjadi terapi konservatif dan pembedahan.

1. Terapi Konservatif
Pada fraktur zigoma tanpa atau disertai sedikit displacement dari segmen fraktur, maka terapi
konservatif dapat dilakukan. Pada keadaan ini, pasien dapat dipulangkan terlebih dahulu, sambil
menunggu edema mereda, dengan memberikan KIE bahwa pasien diminta untuk kontrol ulang
setelah 2 minggu untuk dilakukan pemeriksaan ada tidaknya displacement dan enoftalmus,
karena merupakan indikasi untuk melakukan tindakan reduksi. Pasien juga diminta untuk
memakan makanan yang lunak selama 6 minggu (Lee, et al. 2010).
2. Tindakan pembedahan
Tindakan pembedahan dilakukan dengan tujuan memperbaiki bentuk dan fungsi dari
tulang zigoma (Bergeron and Raggio, 2019). Perbaikan pada fraktur sebaiknya dilakukan segera,
(setidaknya dalam 7-10 hari) sebelum terbentuk jaringan parut maupun sebelum terjadi proses
penyembuhan tulang. Indikasi dilakukan tindakan pembedahan adalah apabila terdapat
displacement, perubahan pada kontur wajah, gangguan membuka mulut, maloklusi, gangguan
penglihatan, gangguan persarafan nervus infraorbital (Starch-Jensen, Linnebjerg, dan Jensen,
2018). Namun, pembedahan tidak diindikasikan apabila terdapat kecurigaan adanya globe
injury. Metode yang dapat dilakukan berupa reduksi tertutup atau reduksi terbuka (ORIF/Open
Reduction Internal Fixation) (Bergeron and Raggio, 2019). Reduksi tertutup, seperti metode
Gillies, dapat dilakukan pada fraktur zigomatik yang bukan tipe kominutif, dan dengan
periosteium yang intak (Lee, et al. 2010). Sedangkan, reduksi terbuka (ORIF) dilakukan untuk
fraktur kominutif atau yang cenderung tidak stabil setelah dilakukan reduksi (Bergeron and
Raggio, 2019).
Pemberian antibiotik profilaksis untuk fraktur kraniofasial masih menjadi perdebatan.
Ada sumber yang mengatakan bahwa tidak terdapat bukti yang kuat terkait pentingnya
pemberian antibiotik pada fraktur zigomatik (Bergeron dan Raggio, 2019). Namun, berdasarkan
Australian therapeutic guidelines, pemberian antibiotik dapat diberikan pada tindakan yang
melibatkan insisi pada mukosa oral, nasal, faring, esofagus, atau pada tindakan yang akan
memasukkan bahan prostetik, dimana rekomendasi ini juga digunakan pada salah satu rumah
sakit bagian maksilofasial di Australia. Pemberian antibiotik profilaksis dapat diberikan single
dose, namun dapat diberikan dosis kedua apabila operasi lebih dari 3 jam sejak pemberian dosis
pertama. Antibiotik yang direkomedasikan adalah Cephazolin intravena 1g, atau pada orang
dewasa dengan berat badan 80 kg atau lebih dapat diberikan 2g, dan pada anak-anak diberikan
dosis 25 mg/kg hingga 1 g (Huang, Lynham, dan Wullschleger, 2015). Selain itu, sumber lain
mengatakan pemberian antibiotik biasanya tergantung dari pengalaman dokter bedah yang
akan menangani kasus tersebut, dapat diberikan pada pre, peri (kurang dari 60 menit sebelum
dilakukan operasi), maupun post operasi (Mundinger et al., 2015). Di sumber lain, selama 3 hari
setelah operasi dapat diberikan salep antibiotik pada garis insisi bekas operasi (Bergeron dan
Raggio, 2019).

8. Jika terapi pembedahan, sebutkan 2 metode pembedahan dan sebutkan untung


ruginya.

Jawaban :

a. Reposisi (Gillies)
Merupakan suatu teknik reduksi fraktur zygoma dan arcus zigomaticus melalui insisi
pada regio temporal di atas garis rambut. Dikatakan berhasil jika simetris antara kanan
dan kiri,serta dikatakan stabil jika tidak terjadi impresi lagi pada penekanan ringan.

b. Platting/ Interosseus wiring


Teknik ini dapat digunakan jika setelah dilakukan reposisi dengan gillies tidak berhasil
atau berhasil namun tidak stabil.

Fraktur zygomatik biasanya diobati dengan cara open reduction dan internal mini-plate
fixation. Pemilihan metode pembedahan dipengaruhi oleh anatomi terjadinya fraktur, defisit
fungsional, tingkat kerusakan fraktur dan hasil estetik yang diharapkan. Terdapat banyak metode
yang bisa digunakan pada fraktur zygomatik sesuai dengan maisng – masing indikasi yang ada.

Metode Indikasi Keuntungan Kerugian


Gillies Jika terjadi fraktur Meninggikan situs Membutuhkan
pada bagian medial, jauh dari situs sayatan kulit
dan fraktur lengkung fiksasi. sehingga akan
zygomatik. memberikan bekas
operasi pada pasien,
mungkin berkhasiat
pada pasien botak.

Dingman Jika terjadi fraktur Menggunakan Luka sulit untuk


pada bagian medial. sayatan kulit umum dijahit dan diangkat
untuk akses secara bersamaan,
frontozygomatic selain itu sayatan
bisa menjadi melar.
Powsillo Hook Jika terjadi fraktur Keunggulan Titik akses kait
pada bagian mekanik yang baik, menonjol pada
posterior dan bukan cepat, hanya tonjolan pipi lateral
fraktur lengkung. diperlukan satu dan mungkin
jahitan. terlihat.

Keen Jika fraktur terjadi Metode ini dapat Bisa terjadi


pada bagian medial menghindari bekas kontaminasi
dan adanya fraktur luka kulit. mikroorganisme
lengkung. oral, memerlukan
pertimbangan yang
baik tentang jahitan
yang sulit pada
frontozigomatik.

Coronal Jika fraktur Satu-satunya Paparan bedah yang


lengkung yang pendekatan untuk luas.
tergeser secara fraktur langka.
lateral.

9. Komplikasi apa saja yang bisa terjadi pada pembedahan?

Jawaban :

-infeksi
-perdarahan
-diplopia
-enoftalmus
-wajah asimetri
-gangguan neurosensoris pada saraf infaorbita
-penjepitan otot ekstra okuli
-depresi tulang pipi
-maloklusi dan luas gerak mandibular yang terbatas (Farber et.al., 2016).

10. Bagaimana rehabilitasi pada penderita? Diet dsb.

Jawaban :

Kelainan yang dapat timbul akibat adanya fraktur dan/atau imobilisasi, yaitu dapat berupa nyeri,
keterbatasan gerak sendi tulang-tulang terkait, atrofi dan kelemahan otot, gangguan proses
makan, gangguan psikososial, dll. Prinsip utama yang perlu diingat pasca operative fraktur
zygoma adalah kewajiban untuk meminimalisir adanya kontraksi berlebihan pada TMJ, atau
dikenal dengan masa immobilisasi. Berikut beberapa tatalaksana rehabilitative yang dapat
dilakukan selama masa post-operative:

1. Post-operative positioning, head trunk up. Trauma maksilofasial tidak jarang juga disertai
dengan trauma kepala, dan dengan dilakukannya head trunk up dapat membantu untuk
menurunkan tekanan intrakranial. Selain itu juga dapat membantu untuk meredakan
hematoma yang ada. Minimal dilakukan pada fase akut hingga wound healing, atau
sekitar 10-14 hari.
2. Terapi farmakologis. Pemberian analgesic, antibiotik dan steroid umum diberikan untuk
mengurangi intensitas nyeri yang dirasakan pasien dan juga mencegah adanya resiko
infeksi yang mungkin terjadi selama proses operasi dilakukan. Seringkali juga diberikan
muscle relaxan, untuk menghindari adanya kekakuan otot dan kontraksi yang berlebihan.
Modalitas fisik yang dapat digunakan berupa terapi panas atau dingin.
3. Oral Hygiene. Perawatan lokal perioral dan oral (disinfektan) wajib dilakukan sesjak dini
(dimulai sejak masa immobilisasi) untuk mencegah munculnya faktor komorbid yang
lain. Pasien dengan fraktur zygoma post-operative umum diberikan pasta gigi halus
Chlorhexidine/H2O2.
4. Terapi perilaku dengan diet lunak, menghindari gerakan rahan yang berlebihan, latihan-
latihan relaksasi. Dengan adanya fiksasi rahang maka penderita akan mengalami
gangguan makan dan minum. Biasanya masalah ini teratasi dengan menggunakan
sedotan. Apabila penderita tidak dapat mengatasi masalah dengan menggunakan sedotan
dapat diberikan feeding therapy yang mencakup edukasi, latihan gerak dan koordinasi
otototot oromotor dan latihan menelan.
5. Menghindari perilaku Nose Blowing, sebagai upaya untuk mencegah adanya tekanan
tinggi yang dapat memperparah kondisi healing.
6. Untuk menghindari terjadinya kontraktur maka terapi untuk mobilisasi sendi TMJ
diberikan sedini mungkin setelah masa immobilisasi atau setelah fiksasi dilepas.

11. Perlu berapa lama proses penyembuhannya?

Jawaban :

Perbaikan dari fraktur harus dilakukan secepatnya sebelum timbulnya scar, dan penyembuhan
dari fragmen tulang dimulai. Adanya edema di wajah dapar menyamarkan adanya deformitas.
Perbaikan fraktur idealnya dilakukan dalam 7 hingga 10 hari setelah cidera awal. Perbaikan
fraktur yang dilakukan 2 hingga 6 minggu pasca cidera masih mungkin dapat dilakukan, tetapi
biasanya lebih sulit karena fibrosis dan jaringan parut yang terjadi. Perbaikan fraktur lebih dari 6
minggu dari cidera awal sangat tidak dianjurkan (Bergeron and Raggio, 2019).

Perawatan dan pemulihan pasca operasi bervariasi tergantung pada tingkat cidera dan
metode/ tindakan yang diambil untuk perbaikan fraktur tersebut. Pasien harus disarankan untuk
menahan diri dari aktivitas berat selama setidaknya 2 minggu untuk penyembuhan dari memar
dan berkurangnya bengkak. Selain itu pada 10 hari pertama pasca cidera pasien juga dilarang
untuk meniup hidung karena dapat menyebabkan bengkak pada sekitar mata. Pasien harus diikuti
secara ketat pasca operasi untuk setiap potensial terjadinya komplikasi. kunjungan biasanya
dilakukan 1 minggu posca operasi dan dilanjutkan beberapa minggu sesudanya sampai fraktur
tampak stabil dan segara komplikasi dikesampingkan. Pasien juga disarankan untuk control foto
tiap bulannya sampai tulang menjadi union. Untuk penyembuhan soft tissue terjadi selama 2
minggu hingga 2 bulan. Plat juga dapat diangkat setelah 3 bulan dan juga setelah penyembuhan
dari tulangnya (Bergeron and Raggio, 2019).

Refferensi :

Bergeron, J. and Raggio, B., 2019. Zygomatic Arch Fracture. [online] Ncbi.nlm.nih.gov.


Available at: <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549898/> [Accessed 10 June
2020].

Deliverska, E.G., Stefanov, L.P., 2013. Maxillofacial Trauma Management in Polytraumatized


Patients – The Use of Advanced Trauma Life Support (ATLS) Principle. Journal of
IMAB, 19, pp. 282-285. [online] Available at: < https://www.journal-imab-bg.org/issue-
2013/book2/JofIMAB2013vol19b2p282-285.pdf> [Accessed 9 June 2020].
Dhingra, P., Dhingra, S. and Dhingra, D., 2014. Diseases Of Ear, Nose And Throat & Head And
Neck Surgery. 6th ed. New Delhi, India: Elsevier, pp.183-184.

Emedicine.medscape.com. 2020. Zygomatic Arch Fractures Treatment & Management: Medical


Therapy, Surgical Therapy, Preoperative Details. [online] Available at:
<https://emedicine.medscape.com/article/1283924-treatment#d14> [Accessed 9 June
2020].
Farber, S. J., Nguyen, D. C., Skolnick, G. B., Woo, A. S., & Patel, K. B. (2016). Current
Management of Zygomaticomaxillary Complex Fractures: A Multidisciplinary Survey
and Literature Review. Craniomaxillofacial trauma & reconstruction, 9(4), 313–322.
https://doi.org/10.1055/s-0036-1592093.
Huang, W., Lynham, A., Wullschleger M., 2015. Orbitozygomatic Fracture Repairs: Are
Antibiotics Necessary?. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction, 8, pp. 271-276.
[online] Available at: <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4631552/>
[Accessed 10 June 2020].
Lee, E.I., Mohan, K., Koshy, J.C., dan Hollier, L.H., 2010. Optimizing the Surgical Management
of Zygomaticomaxillary Complex Fracture. Seminars in Plastic Surgery, 24 (4) pp.389-
397. [online] Available at: <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3324220/>
[Accessed 9 June 2020].
Medicinaoral.com.2020.
[online]Availableat:<http://www.medicinaoral.com/pubmed/medoralv22_i5_p636.pdf>
[Accessed 9 June 2020].
Modabber, A., Rana, M., Ghassemi, A., Gerressen, M., Gellrich, N., Holzle, F., Rana, M. (2013).
Three-dimensional evaluation of postoperative swelling in treatment of zygomatic bone
fractures using two different cooling therapy methods: a randomized, observer-blind,
prospective study. Trials, 14(1), p. 238
Mundinger, G.S., Borsuk, D.E., Okhah, Z., Christy, M.R., Bojovic, B., Dorafshar, A.H.,
Rodriguez, E.D., 2015. Antibiotics and Facial Fractures: Evidence-Based
Recommendations Compared with Experience-Based Practice. Craniomaxillofac Trauma
Reconstruction, 8(1), pp. 64-78. [online] Available at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4329036/> [Accessed 10 June 2020].
Pustaka.unpad.ac.id. 2020. [online] Available at: <http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2011/04/peranan_rehabilitasi_medik_pasca_fraktur_rahang.pdf>
[Accessed 9 June 2020].
Starch-Jensen, T., Linnebjerg L.B., Jensen, J.D., 2018. Treatment of Zygomatic Complex
Fractures with Surgical or Nonsurgical Intervention: A Retrospective Study. The Open
Dentistry Journal, 12, pp. 377-387. [online] Available at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6129990/pdf/TODENTJ-12-377.pdf>
[Accessed 9 June 2020].
Watkinson, John C.dan Clarke, Raymond W. 2018. Scott – Browns Othorhinolaryngology Head
and Neck Surgery Eight Edition Volume 1. New York : CRC Press.

Anda mungkin juga menyukai