1910723007
TEORI SASTRA
SASTRA INDONESIA A
Plato menganggap Idea yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan
sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Idea merupakan dunia ideal yang
terdapat pada manusia. Idea oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio,tidak
mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan panca indra. Idea bagi Plato adalah hal yang
tetap atau tidak dapat berubah, misalnya idea mengenai bentuk segitiga, ia hanya satu
tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat dari kayu dengan
jumlah lebih dari satu . Idea mengenai segitiga tersebut tidak dapat berubah, tetapi
segitiga yang terbuat dari kayu bisa berubah (Bertnens1979:13).
Pandangan Plato tentang karya seni dipengaruhi oleh pandangannya tentang ide.
Sikapnya terhadap karya seni sangat jelas dalam bukunya Politeia (Republik). Plato
memandang negatif karya seni. Ia menilai karya seni sebagai mimesis mimesos. Menurut
Plato, karya seni hanyalah tiruan dari realita yang ada. Realita yang ada adalah tiruan
(mimesis) dari yang asli. Yang asli itu adalah yang terdapat dalam ide. Ide jauh lebih
unggul, lebih baik, dan lebih indah daripada yang nyata ini. sedangkan aristoteles
memandang sebaliknya bahwa seniman dan sastrawan yang melakukan mimesis tidak
semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan
kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan
indrawi
Aristoteles dalam bukunya yang berjudul poetika, yang yang ditulisnya sekitar
tahun 340 SM di Athena meletakkan dasar yang sangat kuat untuk menggangap karya
sastra sebagai struktur yang otonom. Masalah karya sastra dibicarakannya dalam rangka
pembahasan tragedi. Menurut pandangan Aristoteles dalam tragedi action, tindakan,
bukan character, watak, yang terpenting. Efek tragedi dihasilkan oleh oleh aksi plotnya,
dan untuk menghasilkan efek yang baik harus mempunyai keseluruhan, wholeness; untuk
itu harus dipenuhi empat syarat dalam terjemahan bahasa inggris disebut order,
amplitude, atau complexity, unity and connection atau coherence.
b. Kekurangan minat untuk struktur karya sastra pada abad ke sembilan belas
Pendekatan yang diutamakan dalam ilmu sastra pada abad ke-19 itu ialah sejarah
sastar yang juga sering mengabaikan karya sastra sebagai keseluruhan makna: pada
waktu segala bidang ilmu kemanusiaan berorientasi sejarah: bentuk bahasa purbalah
dilacak. Dengan sendirinya ilmu bahasa menjadi cukup atomis, lebih memperhatikan
sejarah unsur-unsur bahsa (bunyi, awalan atau akhiran, etimologi kata
tertentu)daripada bahasa sebagai totalitas. Yang populer dalam abad ke-19 ialah
pendekatan yang melihat sastra pertama-tama sebagai sarana untuk memahami aspek-
aspek kebudayaan yang lebih luas, terutama agama, sejarah atau asdpek
kemasyarakatan.
Di barat dapat dilihat perubahan haluan yang berngsur-angsur dalam ilmu sastra
dalam abad ke-20. pergeseranyang umum dapat lihat dari ilmu-ilmu kemanusiaan ilah
pergeseran dari pendekatan historik atau diakronik ke pendekatan sinkronik, dan
sekaligus dapat disaksikan secara khas pergeseran dari pendekatan sastra sebagai
sarana untuk pengetahuan lain ke arah sastra se bagai bidang kebudayaan yang
otonom. Ferdinand De Saussure yang membawa , perputaran perspektif yang cukup
radikal dari pendekatan diakronik kependekatran sinkronik: penelitian bahasa
menurut pendapat ini harus mendahulukan bahasa segabagai sistem yang sinkronik;
makna dan fungsi unsur-unsurnya hanya dapat da[pat diphami dalam keterkaitannya
dengan unsur-unsur lain
.
d. Aliran formalis di Rusia
Di bidang ilmu sastra penelitian struktural dirintis jalanya oleh kelompok peneliti
rusia 1915-1930. mereka disebut kaum formalis, dengan tokoh utama Jakobson,
Shklovsky, Eichenbaum, Tynjanov dan lain-lain. Kemudian sesudah tahun 1930
dilarang oleh Joseph Stalin karena pendekiatan formalis bertentangan dengan ajaran
marxis.
Pada awalnya para formalis pertama-tama ingin membebaskan ilmu sastra dari
kungkungan ilmu lain, misal psikologi, sejarah atau penelitian kebudayaan. Mereka
mencari ciri khas yang membedakan sastra dari ungkapan bahasa lain: ciri itu disebut
literariness: “the material of poetry is neither images not emotions, buts words…..
Poetry is verbal act (bahan puisi bukanlah imaji atau emosi, melainkan kata-kata…
Puisi adalah tindak bahasa aatau kata). Puisi adalah pemakain bahasa yang sign-
oriented, terarah ke tanda-tanda, bukan ke kenyataan. Jakobson mengatakan “poetry,
which simply an utteranceoriented towards the mode of expression, is governed by
immanent laws (puisi yang sebenarnya hanya merupakan pengutaraan yang terarah ke
ragam ekspresi, dikuasai oleh hukum-hukum imanen). Yang penting menurut kaum
formalis ialah dalam bahasa Rusia Priem, devices, prosede atau sarana-sarana yang
secara distinktif dimanfaatkan oleh penyair di bidang bunyi (rima, irama, aliterasi dan
asonansi), tetapi pula di bidang morfologi, sintaksis dan semantik.
Teori-teori para formalis diuraikan agak lengkap, sebab teori ini pada prinsipnya
dianut puka, dalam garis utamanya, oleh berbagai aliran ilmu sastra yang dapat dapat
disimpulkan dengan sebutan strukturalis, formalis ataupun gerakan otonomi, jadi
yang meneliti karya sastra dalam otonominya, lepas dari latar belakang sosial,
sejarah, biografik dan lainnya.aliran strukturalis berkembang terus di dunia Slavia
dengan kelompok yang kuat di Praha ( Mukarovsky, voieka, dan laian-lain) kemudian
berkembang lagi dengan nama yang lebih modern, yaitu semiotik, di Rusia dengan
Jurij Lotman sebagai wakil yang terkemuk.di Prancis analis teks sastra menyeluruh
dan struktural sudah berkembang dan umum dilakukan sejak awal abad ini dalam
dunia pendidikan denagan istilah explication de textes.
3. Sebutkan tiga gagasan pokok teori strukturalisme otonom dan apa kelemahan teori
ini. Jelaskan!
Strukturalisme otonom memusatkan pada perhatiannya pada otonomi sastra sebagai
karya fiksi. Artinya menyerahkan pemberian makna karya sastra tersebut terhadap
eksistensi karya sastra itu sendiri tanpa mengaitkan unsur yang adas di luar struktur
signifikasinya.
Strukturalisme berpendapat bahwa untuk menanggapi karya sastra secara objektif
haruslah berdasarkan teks karya sendiri (Sayuti, 2001: 66-69). Pengkajian terhadapnya
hendaknya diarahkan pada bagian-bagian karya yang menyangga keseluruhan, dan
sebaliknya bahwa keseluruhan itu merupakan bagian-bagian. Pandangan ini merupakan
reaksi dari pandangan mimesis dan romantik yang menekankan karya sebagai tiruan
objek-objek di luarnya, dan oleh karena itu, penilaian lebih menekankan pada aspek
ekspresifitas. Maksudnya, lebih menekankan pada biografi pengarang dan sejarah karya
sastra.
Terdapat tiga gagasan pokok yang termuat dalam teori struktur
Pertama
Gagasan keseluruhan (wholeness) yang dapat diartikan sebagai bagian-bagian
atau analisirnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan
baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya.
Kedua
Ketiga
Gagasan mandiri (self regulation), yaitu tidak memerlukan hal-hal yang berasal
dari luar dirinya untuk mempertahankan transformasinya.
Suatu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya
anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang
otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur
pembangunnya yang saling berjalinan (Pradopo dalam Suwondo, 2001: 55). Pendapat ini
mengisyaratkan bahwa untuk memahami makna, karya sastra harus terlepas dari latar
belakang sejarah,niat penulis, dan lepas dari efek pembacanya.
Strukturalisme adalah cara berfikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi
dan deskripsi struktur (Hawks dalam Suwondo, 2001: 55-56). Pada hakikatnya dunia ini
lebih tersusun dari hubungan-hubungan daripada benda-bendanya. Dalam kesatuan
hubungan tersebut, setiap unsur atau analisirnya tidak memiliki maknanya sendiri-sendiri,
kecuali hubungan dengan analisir lain sesuai dengan posisinya di dalam struktur.
Dalam perkembangannya pendekatan ini dirasa kurang valid dalam pemberian
makna terhadap karya sastra. Apabila sastra hanya dipahami dari unsur intrinsiknya saja,
maka karya sastra dianggap lepas dari konteks sosialnya. Padahal pada hakikatnya sastra
selalu berkaitan dengan masyarakat dan sejarah yang melingkupi penciptaan karya
tersebut. Oleh karena itu pendapat kaum strukturalisme murni/ otonom banyak mendapat
kritikan oleh penganut strukturalisme genetik.
Kelemahannya
1. Karya sastera tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur yang berada di luar teksnya
karana karya sastera bukanlah sesuatu yang bersifat otonom iaitu keadaan lepas dari
lingkungan sosialnya dan objektif.
2. tidak berusaha menemukan pengarang dan latar belakang karya sastera.