Anda di halaman 1dari 41

Nilai:

Tanda tangan:

JOURNAL READING

PATOLOGI DAN TERAPI UNTUK


BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA

Pembimbing:
dr. Metra Syahar, Sp. U

Disusun Oleh:
Dian Roshita (11.2016.288)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA dr. ESNAWAN ANTARIKSA
PERIODE 28 AGUSTUS 2017 – 4 NOVEMBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
LEMBAR PENGESAHAN

Journal reading dengan judul :


Patologi dan Terapi untuk Benign Prostat Hiperplasia

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Bedah RSAU Dr. Esnawan Antariksa periode 28 Agustus 2017 – 4 November 2017

Disusun oleh:
Dian Roshita
(11.2016.288)

Telah diterima dan disetujui olehdr. Metra Syahar, Sp.U selaku dokter pembimbing
Departemen Ilmu Bedah RSAU Dr. Esnawan Antariksa

Jakarta, Oktober 2017

dr. Metra Syahar, Sp.U


LEMBAR PENILAIAN
Nama Dokter Muda  Dian Roshita

NIM  11.2016.288

Tanggal   Oktober 2017

Judul Kasus Patologi dan Terapi untuk Benign Prostat Hiperplasia

Skor
Aspek yang dinilai
1 2 3 4 5
Kemampuan analisis          

Penguasaan teori          

Referensi          

Cara penyajian          

Total  

Nilai %=(Total/20)x100%  

Keterangan : 1 = sangat kurang (20%), 2 = kurang (40%), 3 = sedang (60%), 4 = baik (80%),
dan 5 =sangat baik(100%)

Komentar penilai

Nama Penilai : dr. Metra Syahar, Sp. U Paraf/Stempel


Daftar Singkatan

AMH : Anti mullerian hormone


FSH : Follicle stimulating hormone
GnRH : Gonadotropin releasing hormone
LH : Luteinizing hormone
LTV : Left testicular hormone
RTV : Right testicular hormone
SA : Semen analysis
TMC : Total motile count
TTV : Total testicular volume
TV : Testicular volume
TVdiff : Testicular volume differential
BAB I
PENDAHULUAN

ABSTRAK
Tujuan

Bahan dan Metode


Sistematika tinjauan literatur untuk varikokel pada remaja dilakukan di Embase TM, PubMed®
dan Google ScholarTM. Artikel penelitian yang asli dan ulasan yang relevan diperiksa, dan
sinopsis dari data ini digunakan untuk tinjauan komprehensif tentang pengelolaan klinik
varikokel pada remaja.

Hasil
Prevalensi varikokel pada remaja mirip dengan prevalensi varikokel pada dewasa. Sementara
ini ultrasound adalah metode yang paling sensitif untuk menentukan volume testis,
pengukuran denganorchidometer juga cukup untuk menentukan ketidaksesuaian ukuran yang
signifikan. Hipotrofi yang signifikan dari testis yang terkena dengan volume testis yang
buruk dapat dijadikan indikasi adanya testis yang berisiko dan memerlukan perbaikan dengan
operasi. Temuan serupa telah ditandaiterkait dengan aliran vena retrograde tinggi. Hipotrofi
testis sering kembali normal setelah dilakukan operasi tapi juga bisa membaik secara spontan
jika diobservasi sampai masa remaja. Nyeri skrotum berkelanjutan meskipun ada dukungan
yang memadai atau serial analisis semen abnormal stadium Tanner V pada anak-anak
merupakan indikasi untuk dilakukannya varicocelectomy. Teknik sparing arteri dan saluran
limfatik (mikroskopik subinguinal atau laparoskopi) dikaitkan dengan risiko terendah
terjadinya kekambuhan dan komplikasi.

Kesimpulan
Overtreatment dan undertreatment mahal secara medis dan finansial. Analisis semen serial
abnormal dengan atau tanpa hipotrofi testis merupakan indikasi perbaikan varikokel. Jika
observasi tetap dilakukan sebagai tatalaksana, urologi dewasa harus didorong hingga
kesuburan tercapai.
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Latar Belakang


Benign Prostatic Hyperplasia dapat menyebabkan pembesaran kelenjar prostat yang
menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher vesical urinaria dan uretra yang dikenal dengan
Bladder Outlet Obstruction (BOO). Obstruksi ini dapat menyebabkan gejala yang sangat
megganggu aktifitas dan penurunan kualitas hidup penderitanya. Adapun gejala yang sangat
dikeluhkan sehingga pasien datang ke Unit Gawat Darurat berupa retensi urin atau bahkan
tidak berkemih sama sekali sehingga menimbulkan nyeri dan pembengkakkan pada perut
bagian bawah. Walaupun tidak mengancam nyawa, bila dibiarkan maka dapat menimbulkan
komplikasi.1-3
BPH sering terjadi pada pria diatas 50 tahun dan disebabkan multifaktoral, tetapi pada
dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang
masih berfungsi normal menghasilkan testosteron. Di samping itu, pengaruh hormon lain
(estrogen, prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga
berperan dalam proliferasi sel-sel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor
tersebut mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang
selanjutnya protein inilah yang berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar
prostat.1-3
Maka selanjutnya akan dibahas mengenai anatomi, fisiologi, etiologi, epidemiologi,
patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang, terapi serta komplikasi dari
BPH agar penemuan kasus BPH dini dapat ditangani dengan segera sehingga komplikasi
dapat dihindarkan.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan referat ini, yaitu untuk mengetahui definisi, angka kejadian, etiologi,
klasifikasi, gambaran klinik, pemeriksaan, diagnosis, etiologi dan faktor risiko terjadinya
BPH, mengetahui penatalaksanaan yang terbaik untuk BPH sesuai dengan macam dan derajat
BPH, serta mengetahui komplikasi, pencegahan, dan prognosis dari BPH.
BAB II
PROSTAT

2.1 EMBRIOLOGI
Secara embriologi, prostat yang merupakan organ kompleks yang terdiri dari unsur
kelenjar, stroma, dan otot polos atau fibromioglandular mulai terbentuk pada kehamilan
minggu ke-12 dengan pengaruh hormone androgen yang berasal dari testis fetus. Sebagian
besar kompleks prostat berasal dari sinus urogenitalis, tetapi mungkin sebagian dari ductus
ejaculatorius, sebagian verumontanum dan sebagian dari bagian asiner prostat (zona sentral)
berasal dari ductus Wolfii.4,5,6
Prostat berbentuk seperti piramid terbalik dan merupakan organ kelenjar
fibromuskuler yang mengelilingi uretra pars prostatica. Panjang prostat sekitar 3 cm (1¼
inchi) dan terletak di antara collum vesika urinaria di atas dan diaphragma urogenitalis di
bawah. Prostat dikelilingi oleh kapsula fibrosa. Di luar kapsul terdapat selubung fibrosa, yang
merupakan bagian dari lapisan visceral fascia pelvis. Prostat mempunyai basis prostatae yang
terletak di superior berhadarapan dengan collum vesicae; dan apex prostatae yang terletak di
inferior dan berhadapan dengan diaphragma urogenitale. Kedua ductus ejaculatorius
menembus bagian atas facies posterior prostatae untuk bermuara ke uretra pars prostatica
pada pinggir lateral utriculus prostaticus.7

Gambar 1. Tractus Urinarius dan Genitalia Pria7


Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, di depan
rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri, pada dewasa muda
berukuran 3-4 cm di bagian yang paling lebar dan panjang 4-6 cm dengan ketebalan 2-3 cm
cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan
glandular.5 Menurut klasifikasi Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior, posterior,
medial, lateral kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut Mc Neal yang menentukan
pembagian zona berdasarkan letak dan asal keganasan dari prostat, prostat dibagi atas 4
bagian utama:8
1. Bagian anterior atau ventral yang fibromuskular dan nonglandular. Ini merupakan
sepertiga dari keseluruhan prostat. Bagian prostat yang glandular dapat dibagi menjadi
3 zona (bagian 2,3 dan 4).
2. Zona perifer, yang merupakan 70 % dari bagian prostat yang glandular, membentuk
bagian lateral dan posterior atau dorsal organ ini. Secara skematik zona ini dapat
digambarkan seperti suatu corong yang bagian distalnya terdiri dari apex prostat dan
bagian atasnya terbuka untuk menerima bagian distal zona sentral yang berbentuk
baji. Saluran-saluran dari zona perifer ini bermuara pada uretra pars prostatika bagian
distal.
3. Zona sentral, yang merupakan 25 % dari bagian prostat yang glandular, dikenal
sebagai jaringan kelenjar yang berbentuk baji sekeliling duktus ejakulatorius dengan
apexnya pada verumontanum dan basisnya pada leher buli-buli. Saluran-salurannya
juga bermuara pada uretra prostatika bagian distal. Zona central dan perifer ini
membentuk suatu corong yang berisikan segmen uretra proximal dan bagianventralnya
tidak lengkap tertutup melainkan dihubungkan oieh stroma fibromuskular.
4. Zona transisional, yang merupakan bagian prostat glandular yang terkecil (5 %),
terletak tepat pada batas distal sfinkter preprostatik yang berbentuk silinder dan
dibentuk oleh bagian proximal uretra. Zona transisional dan kelenjar periuretral
bersama-sama kadang-kadang disebut sebagai kelenjar preprostatik.
Gambar 2. Skematik Pembagian Prostat Menurut McNeal8

2.2 BATAS-BATAS PROSTAT


Batas superior: basis prostat berhubungan dengan collum vesicae. Otot polos prostate
terus melanjut tanpa terputus dengan otot polos collum vesicae. Uretra masuk pada bagian
tengah basis prostatae. Batas inferior: apex prostat terletak pada facies diafragma urogenitalis.
Uretra meninggalkan prostat tepat diatas apex permukaan anterior.7
Batas anterior: facies anterior prostat berbatasan dengan simphisis pubis, dipisahkan
oleh lemak ekstraperitoneal yang terdapat pada cavum retropubica (cavum Retzius).
Selubung fibrosa prostat dihubungkan dengan permukaan posterior os pubis dan ligamentum
puboprostatica. Ligamentum ini terletak pada pinggir garis tengah (disamping kanan dan kiri
linea mediana) dan merupakan kondensasi (penebalan) fascia pelvis. Batas posterior:
permukaan posterior prostat berhubungan erat dengan permukaan anterior ampulla recti dan
dipisahkan dari rectum oleh septum retovesicalis (fascia Denonvillier). Septum ini dibentuk
pada masa janin oleh fusi dinding ujung bawah excavatio rectovesicalis peritonealis, yang
semula menyebar ke bawah menuju corpus perineale. Batas lateral: facies lateral prostat
difiksasi oleh serabut anterior m. levator ani saat serabut ini berjalan ke posterior dari os
pubis.7

Gambar 3. Potongan Sagital Pelvis Laki-laki (buku anatomi)7

2.3 STRUKTUR PROSTAT


Kelenjar prostat yang jumlahnya banyak tertanam di dalam campuran otot polos dan
jaringan ikat, dan ductusnya bermuara ke uretra pars prostatica. Prostat secara tak sempurna
dibagi dalam lima lobus. Lobus anterior atau isthmus, terletak di depan uretra dan tidak
mempunyai jaringan kelenjar. Lobus medius adalah kelenjar yang berbentuk baji yang
terletak antara uretra dan ductus ejaculatorius. Permukaan atasnya dibatasi oleh trigonum
vesicae, bagian ini mengandung banyak kelenjar. Lobus posterior terletak di belakang uretra
dan di bawah ductus ejaculatorius dan juga mengandung kelenjar. Lobus lateral dextra dan
sinistra terletak di samping uretra dan dipisahkan satu sama lain oleh alur vertikal dangkal
yang terdapat pada facies posterior prostat. Lobus lateral mengandung banyak kelenjar.7

2.4 FUNGSI PROSTAT


Fungsi prostat adalah menghasilkan cairan tipis seperti air susu yang mengandung
asam sitrat dan fosfatase asam. Cairan ini ditambahkan ke cairan semen pada saat ejakulasi.
Otot polos pada stroma dan kapsula berkontraksi, sekret yang berasal dari banyak kelenjar
diperas masuk ke uretra pars prostatica. Sekret prostat bersifat alkali yang membantu
menetralkan keasaman vagina.7

2.5 PENDARAHAN
Arteri yang memperdarahi prostat berasal dari cabang a. vesicalis inferior dan a.
rectalis media. Vena membentuk pleksus venosus prostaticus yang terletak antara kapsula
prostat dan selubung fibrosa. Plexus venosus prostaticus menerima dari v. dorsalis profundus
penis dan banyak v. vesicalis, dan selanjutnya dialirkan ke v. iliaca interna. Sementara,
pembuluh limfe dari prostat mengalirkan cairan limfe ke nodi limfatici iliaca interna.7
7

Gambar 4. Anatomi Genitalia Pria7

2.6 PERSARAFAN
Prostat manusia mendapat dua macam persarafan yaitu parasimpatik (kolinergik) dan
simpatik (nor adrenergic) melalui plexus otonomik yang terletak didekat prostat. Plexus ini
mendapat masukan parasimpatetik dari medulla spinalis setinggi S2-S4 dan serat-serat
simpatetik dari nervus hipogastrikus presacralis (T10-L2).5,9,10
Kedua sistem persarafan itu dalam prostat membentuk jaringan persarafan yang
terjadi dari gabungan yang bersifat cholinergic dan nor adrenergic serta mempunyai
reseptor-reseptor di dalam otot polos prostat.10 Saraf-saraf otonom yang mempersarafi prostat
dan juga vesikula seminalis, uretra, dan corpora cavernosa berasal dari plexus pelvicus yang
bersama pembuluh darah membentuk kompleks saraf dan pembuluh darah (neuro vascular
bundle) dan komplek ini berjalan di bagian posterior prostat dari cranial menuju apex prostat
dan umumnya sejajar dengan dinding rectum.5,8,11
Menurut Gosling, persarafan prostat mempersarafi otot polos yang ada didalam
prostat dan yang bersifat kolinergik juga mempersarafi kapsul prostat, sedangkan acinus juga
menerima persarafan dari kolinergik sehingga perangsangan parasimpatik akan menambah
sekresi sedangkan perangsangan simpatik akan menyebabkan kontraksi vesicular seminalis
sehingga terjadi ejakulasi.5,11

2.7 PROSES MIKSI


Seperti diketahui fungsi utama dari unit vesikouretra adalah menampung urin untuk
sementara, mencegah urin kembali ke arah ginjal dan pada saat-saat tertentu melakukan
ekspulsi urin. Unit vesikouretra terdiri dari buli-buli dan uretra posterior. Uretra posterior
terdiri dari uretra pars prostatika, yang bagian proksimalnya disebut sebagai leher buli-buli
dan uretra pars diafragma yang tidak lain adalah sphincter eksterna uretra. Unit vesikouretra
ini dipelihara oleh sistem saraf otonom yaitu parasimpatis dan simpatis untuk buli-buli dan
uretra proksimal dari diafragma serta saraf somatis melalui nervus pudendus untuk sphincter
eksterna. Sistem persarafan tersebut memungkinkan terjadinya proses miksi secara bertahap
(fase) yaitu:12
Fase Pengisian (Resting/ Filling Phase)
Fase ini terjadi setelah selesai miksi dan buli-buli mulai diisi lagi dengan urin dari
ginjal yang masuk melalui ureter. Pada fase ini tekanan di dalam buli-buli selalu rendah,
kurang dari 20 cmH2O. Sedangkan tekanan di uretra posterior selalu lebih tinggi antara 60-
100 cmH2O.
Fase Ekspulsi
Setelah buli-buli terisi urin sebanyak 200-300 ml dan mengembang, mulailah reseptor
“strechtí” yang ada pada mukosa buli-buli terangsang dan impuls dikirimkan ke sistem saraf
otonom parasimpatis di medula spinalis segmen 2 sampai 4 dan sistem saraf ini menjadi aktif
dengan akibat meningkatnya tonus buli-buli (muskulus detrusor). Meningkatnya tonus
detrusor ini dirasakan sebagai perasaan ingin kencing. Pada saat tonus detrusor meningkat
maka secara sinkron leher buli-buli dan uretra pars prostatika membuka, bentuknya berubah
seperti corong dan tekanannya menurun. Pada keadaan ini inkontinensia hanya dipertahankan
oleh sphincter eksterna yang masih tetap menutup. Bila yang bersangkutan telah
mendapatkan tempat yang dianggap konvivien untuk miksi barulah sphincter eksterna secara
sadar dan terjadi miksi. Pada saat tonus detrusor meningkat sampai terjadinya miksi tekanan
intravesikal mencapai 60-120 cmH2O.
Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan
ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra
posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi.
Cairan ini merupakan kurang lebih 25% dari volume ejakulat. Jika kelenjar ini mengalami
hiperplasi jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membuntu uretra posterior dan
mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.

Gambar 5. Prostat dan Organ Disekitarnya8


BAB III
BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA

3.1 DEFINISI
Pembesaran Prostat Jinak (BPH, Benign Prostatic Hyperplasia) adalah pertumbuhan
jinak kelenjar prostat, yang menyebabkan prostat membesar.13

Gambar 6. Gambaran Prostat Normal dan Pembesaran Prostat9


McNeal yakin bahwa pembesaran prostat jinak tidak terjadi pada zona peripheral dan
juga berpendapat bahwa sebagian besar karsinoma prostat yang berasal dari zona transisional,
biasanya jenis karsinoma dengan gradasi rendah (low grade).5,8

Gambar 7. Sel pada Prostat Normal dan Prostat yang Membesar9

3.2 EPIDEMIOLOGI
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum
usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir
sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia
akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi. 14
Pembesaran prostat jinak merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di
Indonesia setelah batu saluran kemih. Penyakit ini seirng juga dikenal sebagai hipertrofi
prostat, meskipun sebenarnya yang terjadi ialah hiperplasia dari kelenjar periuretral, sedang
jaringan prostat asli terdesak ke perifer menjadi kapsul bedah. Angka kejadian (insidens)
yang pasti untuk pembesaran prostat jinak di Indonesia belum pernah diteliti, tetapi sebagai
gambaran “hospital prevalence” di RSCM ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak
selama tiga tahun (September 1994-Agustus 1997) dan di RS.Sumber Waras 617 dalam
periode yang sama. Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna.14-15
Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria
yang berusia 80 tahun. Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan
kepustakaan luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan
memerlukan pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang jelas prevalensi sangat tergantung
pada golongan umur. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran prostat
sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopoik yang kemudian
bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian baru
manifes dengan gejala klinik. Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada
prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30 - 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus
berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka
kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka
tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.14-15

Gambar 8. Penderita BPH pada Usia Diatas 40 Tahun dan Akibatnya14


3.3 ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hyperplasia
prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostate rat kaitannya
dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (penuaan). Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat adalah: a) teori
dihidrotestosteron, b) adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, c) interaksi
antara sel stroma dan sel epitel prostat, d) berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan e) teori
stem sel.1-3

Gambar 9. Proses Terjadinya BPH1

a) Teori dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron (DHT) adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosterone di dalam sel prostat oleh
enzim 5-alfa reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk
berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan
selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel
prostat.1-3
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda
dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5-alfa reduktase
dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat
pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.1-3

Gambar 10. Zat-Zat yang Berperan Dalam Pertumbuhan Sel Prostat1

b) Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron


Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun sedangkan kadar estrogen
relative tetap, sehingga perbandingan antara estrogen dan testosterone relative meningkat.
Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel
kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan
hormone androgen, meningkatkan jumlah resptor androgen, dan menurunkan jumlah
kematian sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun
rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel
prostat yang ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat lebih besar.1-3

Gambar 11. Pengaruh Estrogen dan Testosteron terhadap Prostat2


c) Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat
secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor)
tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri
secara intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.1-3

d) Berkurangnya kematian sel prostat


Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologis untuk
mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan
fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh
sel-sel di sekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal,
terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi
pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru
dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi
meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat.1-3
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti factor-faktor yang
menghambat proses apoptosis. Diduga hormone androgen berperan dalam menghambat
proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian
sel kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan
factor pertumbuhan TGF-beta berperan dalam proses apoptosis. 1-3

e) Teori stem sel


Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru.
Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung seperti yang terjadi pada
kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH
dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang
berlebihan sel stroma maupun sel epitel. 1-3
3.4 GAMBARAN KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di
luar saluran kemih.4,9-11
1. Gejala Klinis
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH disebut sebagai sindroma prostatisme.
Walaupun begitu sindroma ini tidak patogomonik untuk BPH. Obstruksi intravesikal yang
lain dapat pula memberikan gejala klinis seperti sindroma prostatisme ini. Oleh karena itu
istilah ini belakangan sering diganti dengan Lower Urinary Tract Symptom (LUTS).
Sindroma prostatisme ini dibagi menjadi dua, yaitu gejala obstruktif dan gejala iritatif. 4,9-11
Gejala obstruksi, terdiri dari pancaran melemah, akhir buang air kecil belum terasa
kosong (incomplete emptying), menunggu lama pada permulaan buang air kecil (hesitancy),
harus mengedan saat buang air kecil (straining), buang air kecil terputus-putus
(intermittency), dan waktu buang air kecil memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan
terjadi inkontinen karena overflow.4,9-11
Gejala iritatif terdiri dari sering buang air kecil (frequency), tergesa-gesa untuk buang
air kecil (urgency), buang air kecil malam hari lebih dari satu kali (nocturia), dan sulit
menahan buang air kecil (urge incontinence). 4,9-11
Dari kedua macam gejala tersebut, gejala obstruktif biasanya lebih menonjol. Bila
terjadi gejala iritasi lebih menonjol harus dipikirkan penyebab lain selain BPH. Untuk
menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan penentuan jenis pengobatan
BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid
dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di antaranya Skor International Gejala
Prostat/ International Prostate Symptom Score (IPSS) yang diambil berdasarkan skor
American Urological Association (AUA). 4,9-11

Tabel 1. Skor Internasional Gejala Prostat4


SKOR INTERNASIONAL GEJALA PROSTAT
International Prostate Symptom Score (I-PSS)
Untuk pertanyaan nomor 1-6, jawaban dapat diberikan skor sebagai berikut:
0 = tidak pernah
1 = kurang dari sekali dari 5 kali kejadian
2 = kurang dari separuh kejadian
3 = kurang lebih separuh dari kejadian
4 = lebih dari separuh dari kejadian
5 = hampir selalu
Dalam satu bulan terakhir ini, berapa seringkah Anda:
1. Merasakan masih terdapat sisa urin sehabis kencing?
2. Harus kencing lagi padahal belum ada setegah jam yang lalu Anda
baru saja kencing?
3. Harus berhenti pada saat kencing dan segera mulai kencing lagi dan
hal ini dilakukan berkali-kali?
4. Tidak dapat menahan kenginan untuk kencing?
5. Merasakan pancaran urin yang lemah?
6. Harus mengejan dalam memulai kencing?
Untuk pertanyaan nomor 7, jawablah dengan skor dibawah ini:
0 = tidak pernah
1 = satu kali
2 = dua kali
3 = tiga kali
4 = empat kali
5 = lima kali
7. Dalam satu bulan terakhir ini, berapa kali Anda terbangun dari tidur
malam untuk kencing?
TOTAL SKOR (S)=
Pertanyaan nomor 8 adalah mengenai kualitas hidup sehubungan dengan
gejala diatas, jawablah dengan:
1 = sangat senang
2 = senang
3 = puas
4 = campuran antara puas dan tidak puas
5 = sangat tidak puas
6 = tidak bahagia
7 = buruk sekali
8. Dengan keluhan seperti ini, bagaimanakah Anda menikmati hidup ini?
Kesimpulan: S …, L …, Q …, R …, V …
(S = skor I-PSS, L = kualitas hidup, Q = pancaran urin dalam ml/detik, R =
sisa urin, V = volume prostat)
Skor International Gejala Prostat/ International Prostate Symptom Score (IPSS)
merupakan salah satu skor gejala prostat yang dikembangkan oleh The American Urological
Association (AUA) dan telah disetujui oleh WHO untuk dipakai secara luas. IPSS merupakan
kuesioner berisi 7 index gejala traktus urinarius bagian bawah yaitu 4 gejala obstruksi seperti
kecing tidak puas (incomplete emptying), kencing terputus-putus (intermittency, pancaran
kencing lemah (weak stream), dan kencing mengejan (straining) serta 3 gejala iritasi seperti
sering kencing (frequency), tidak dapat menunda kencing (urgency), dan kencing malam hari
(nocturia).4,9-11
IPSS mempunyai manfaat untuk menilai tingkat keparahan gejala, menentukan cara
penanganan, mengevaluasi perkembangan penyakit pada penderita yang menjalani
pengawasan, menilai hasil terapi, menilai pengaruh gejala yang dialami penderita terhadap
kualitas hidup, dan sebagai alat pengukuran yang konsisten dan telah teruji sehingga
memungkinkan untuk membandingkan satu penderita dengan penderita lain.4,9-11
Sistem skoring yang lain adalah skor Madsen-Iversen dan skor Boyarski1,2,5. Skor
Madsen-Iversen terdiri dari 6 pertanyaan yang berupa pertanyaan-pertanyaan untuk menilai
derajat obstruksi dan 3 pertanyaan untuk gejala iritatif. Total skor dapat berkisar skor < 10
(BPH bergejala ringan), skor 11-20 (BPH bergejala sedang), dan skor >20 (BPH bergejala
berat). Perbedaannya dengan skor AUA adalah dalam skor Madsen Iversen penderita tidak
menilai sendiri derajat keluhannya.4,9-11
Table 2. Skor Madsen-Iversen10
SKOR MADSEN-IVERSEN
Keterangan 0 1 2 3 4
Berubah-
Pancaran Normal Lemah Menetes
ubah
Mengejan saat
Tidak Ya
berkemih
Harus menunggu saat
Tidak Ya
akan berkemih
BAK terputus-putus Tidak Ya
Berubah- Tidak 1 kali >1 kali
BAK tidak lampias Tidak
ubah lampias retensi retensi
Inkontinensia Ya
BAK sulit ditunda Tidak Ringan Sedang Berat
BAK malam hari 0-1 2 3-4 >4
>3 jam Setiap 2-3 Setiap 1-2 <1 jam
BAK siang hari
sekali jam sekali jam sekali sekali

2. Tanda Klinis
Lakukan pemeriksaan fisik pada umumnya dan tentukan pula status urologisnya.
Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada pemeriksaan
colok dubur/ digital rectal examination (DRE). Ukuran dan konsistensi prostat juga perlu
diketahui, walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak berhubungan dengan
derajat obstruksi. Pada BPH, prostat teraba membesar dengan konsistensi kenyal. Apabila
teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan
keganasan. Sedangkan jika didapatkan nyeri tekan, maka dapat dicurigai sebagai
prostatitis.4,9-11
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium:
a. Stadium I
Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis. 
b. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak
sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria
dan menjadi nocturia.
c. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flowin kontinen).4,9-11

Menurut Smeltzer (2002) menyebutkan bahwa:


Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin
berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan
saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbling (urine terus menerus setelah berkemih), dan
retensi urine akut. 4,9-11
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum Tanda-tanda vital
- Kesadaran - Tekanan darah
- Gizi - Nadi
- Thorax - Frekuensi napas
- Abdomen - Suhu
- Extremitas

Status Urologis
Ginjal Inspeksi, palpasi bimanual jika membesar
 ballottement, nyeri ketok
Vesica Urinaria Jika penuh: inspeksi, palpasi, perkusi
Genitalia Externa Inspeksi dan palpasi pada penis, OUE,
testis, epididymis, vas deferens
DRE (digital rectal examination) Tonus sphincter ani, prostat, tonjolan,
konsistensi, pole atas, nodul, asimetris,
perkiraan besar
Gambar 12. Pemeriksaan colok dubur/ rectal toucher10
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini:10
Rectal Gradding10
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong:
- Grade 0: Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum
- Grade 1: Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum
- Grade 2: Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum
- Grade 3: Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum
- Grade 4: Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum 

Clinical Gradding10
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu
kemudian dipasang kateter.
- Normal: Tidak ada sisa
- Grade I: sisa 0-50 cc
- Grade II: sisa 50-150 cc
- Grade III: sisa >150 cc
- Grade IV: pasien sama sekali tidak bisa kencing

3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, elektrolit serum, perlu dikerjakan sebagai
dasar keadaan umum penderita. Pemeriksaan kadar gula juga perlu dikerjakan terutama untuk
mengetahui kemungkinan adanya neuropati diabetes yang dapat menyebabkan keluhan miksi.
Pemeriksaan urinalisa juga harus dikerjakan, termasuk pemeriksaan bakteriologiknya.
Adanya hematuria berarti perlu evaluasi lenjut secara lengkap.1-4, 9-11
Pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA), yang disintesis oleh sel epitel prostat
dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer specific, juga merupakan salah satu sarana
untuk meramalkan perjalanan penyakit BPH. Dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:
pertumbuhan volume prostat lebih cepat, keluhan akibat BPH/ laju pancaran urin lebih jelek,
dan lebih mudah terjadinya retensi urin akut.1 Hasil PSA yang normal merupakan salah satu
syarat yang harus dipenuhi sebelum memulai terapi medikamentosa BPH. Sebagai pegangan
penilaian PSA diinterpretasikan sebagai berikut: 1-4, 9-11

Nilai PSA dan interpretasinya1


0,5-4,0 ng/ml  Normal
4,0-10 ng/ml  Kemungkinan Ca 20% (perlu TRUS & biopsi)
> 10 ng/ml  Kemungkinan Ca 50% (perlu TRUS & biopsi)
Kenaikan > 20% per tahun  Segera rujuk untuk TRUS & biopsy

2. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran
urin ini dapat diperiksa dengan uroflowmeter. Jumlah urine yang cukup untuk mendapatkan
flowmetrogram yang representatif paling sedikit 150 ml dan maksimal 400 ml, yang ideal
antara 200-300 ml.1,2
Penilaian hasil :1
Flow rate maksimal : 15 ml/detik : non obstuktif
10-15 ml/detik : border line
10 ml/detik : obstruktif
Walaupun ada beberapa prosedur untuk mendiagnosis BPH, uroflowmetri merupakan
cara terbaik dan paling tidak invasif dalam mendeteksi adanya obstruksi traktus urinarius
bagian bawah.1
3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
Perkembangan teknik pemeriksaan ultrasonogarfi (USG) membawa manfaat yang
besar bagi evaluasi penderita BPH. Selain itu dengan USG ini dapat pula diperiksa buli-buli,
misalnya ada batu buli-buli, tumor buli-buli, divertikel. Juga dapat diperiksa jumla residual
urine. Terdapat beberapa macam tranducer untuk pemeriksaan prostat yaitu suprapubic
(abdominal), transrektal dan transuretral.2,3
Pemeriksaan rontgenologik yaitu pyelografi intravena (IVP) sekarang tidak lagi
merupakan pemeriksaan rutin untuk evaluasi penderita BPH tetapi hanya dikerjakan secara
selektif. 2,3

4. Pemeriksaan Panendoskopi:
Dengan pemeriksaan panendoskopi dapat ditentukan secara review:
Keadaan uretra anterior, misalnya adanya striktur uretra. Keadaan uretra prostatika, bagian
prostat mana yang membesar, panjangnya uretra yang obstruktif karena pembesaran prostat.
Keadaan didalam buli-buli yaitu ada tidaknya tumor, batu, hipertropi dari detrusor, ada
tidaknya selulae atau divertikel dan keadaan muara ureter dan mengetahui kapasitas buli-
buli.2.3

3.6 PATOFISIOLOGI
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan maka efek
perubahannya juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran
prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih
tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat
seperti balok yang disebut trabekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar
diantara serat detrusor. Tonjolan serat yang kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar
dinamakan divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding.
Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksin sehingga terjadi retensi urin.1-3
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir
miksi masih ditemukan sisa urin dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada
akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut maka pada suatu saat akan terjadi kemacetan total
sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka vesika
tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat dan dapat
terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter,
hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal.
Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita
terus mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu
terbentuk sisa urin terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu juga dapat menimbulkan sistitis
dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.1-3

Gambar 13. Patofisiologi BPH3

3.7 DIAGNOSIS
Diagnosa ditegakkan dari anamnesa yang meliputi keluhan dari gejala dan tanda
obstruksi dan iritasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk merasakan/meraba
kelenjar prostat. Dengan pemeriksaan ini bisa diketahui adanya pembesaran prostat, benjolan
keras (menunjukkan kanker) dan nyeri tekan (menunjukkan adanya infeksi).1,2

Gambar 14. Algoritma BPH3


Selain itu biasanya dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi ginjal dan
untuk penyaringan kanker prostat (mengukur kadar antigen spesifik prostat atau PSA). Pada
penderita BPH, kadar PSA meningkat sekitar 30-50%. Jika terjadi peningkatan kadar PSA,
maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan apakah penderita juga
menderita kanker prostat.1

3.8 DIAGNOSIS BANDING


Oleh karena proses miksi tergantung pada beberapa faktor maka faktor ini pula yang
dapat menjadi diagnosis banding BPH, yaitu:1-3
1. Kekuatan otot detrusor berkontraksi
Kelemahan detrusor dapat disebabkan oleh karena kelainan syaraf (neurogenik
bladder), misalnya pada lesi medulla spinalis, neuropathy diabeticum, sehabis operasi
radikal yang mengorbankan persyarafan didaerah pelvis, alkoholisme, penggunanan
obat penenang, ganglion blocking agent, dan obat parasimpatolitik (seperti obat yang
sering dikonsumsi penderita asma kronik).
2. Elastisitas leher vesika
Kekakuan leher vesika dapat disebabkan oleh proses fibrosis (bladder neck
contracture).
3. Resistensi uretra
Resistensi uretra dapat disebabkan oleh karena pembesaran prostat jinak atau ganas,
tumor dileher vesika, batu di uretra atau striktura uretra. Kelainan-kelainan tersebut
dapat dilihat bila dilakukan sistoskopi. Disamping itu, meskipun di Indonesia jarang
terjadi, obstruksi infravesikal dapat disebabkan oleh gangguan fungsi misalnya
dissynergia detrusor sfingter.
Maka setiap kesulitan miksi yang dialami penderita dapat disebabkan oleh ketiga
faktor tersebut.

Adapun penyakit-penyakit yang gejala-gejalanya menyerupai hipertofi prostat jinak


diantaranya adalah sebagai berikut berserta klinis dan pemeiksaan yang membedakan dengan
BPH:1-4
1. Ca Prostat
Keluhan sesuai gejala saluran kemih bagian bawah (Lower urinary tract symptoms =
LUTS), yaitu gejala obstuktif dan iritatif. Kecurigaan umumnya berawal dari ditemukan
nodul yang secara tidak segaja pada pemeriksaan rektal. Nodul yang irreguler dan keras harus
dibiopsi untuk menyingkirkan hal ini. Atau didapatkan jaringan yang ganas pada pemeriksaan
patologi dari jaringan prostat yang diambil akibat gejala BPH. Kanker ini jarang memberikan
gejala kecuali bila telah lanjut. Dapat terjadi hematuria, gejala-gejala obstruksi, gangguan
saraf akibat penekanan atau fraktur patologis pada tulang belakang. Atau secara singkat kita
anamnesa dan kita akan dapatkan sebagai berikut :
- Terjadi pada usia >60 tahun
- Nyeri pada lumbosakral menjalar ke tungkai
- Prostatismus dan hematuri
- Rectal toucher: permukaannya berbenjol, keras, fixed

2. Prostatitis
Gejala dan tanda prostatitis akut terdiri dari demam dengan suhu yang tinggi, kadang
dengan gigilan, neri peineal atau pinggang rendah, sakit sedang atau berat, mialgia, antralgia.
Karena pembengkan prostat biasanya ada disuria, kadang sampai retensi urin. Kadang
didapatkan pengeluaran nanah pada colok dubur setelah masase prostat. Sedangkan pada
prostatitis kronis gejala dan tanda tidak khas. Gambaran klinik sangat variabel, kadang
dengan keluhan miksi, kadang nyeri perineum atau pinggang. Dan diagnosa dapat ditegakan
dengan diketemukan adanya leukosit dan bakteria dalam sekret prostat. Jadi hal-hal yang
perlu sekali kita perhatikan agar dapat membedakan dengan BPH yaitu adanya nyeri perineal,
demam, disuri, polaksiuri, retensi urin akut, rectal toucher: jika ada abses didapatkan
fluktuasi (+)

3. Neurogenik Bladder
Adapun gejala dan tanda yang kita peroleh berupa lesi sakral 2-4, rest urine (+),
inkontinensia urin.

4. Striktura Uretrha
Sumbatan pada uretrha dan tekanan kandung kemih yang tinggi dapat menyebabkan
imbibisi urin keluar kandung kemih atau uretra proksimal dari striktura. Gejala khas adalah
pancaran urin yang kecil dan bercabang. Gejala lain adalah iritasi dan infeksi seperti
frekuensi, urgensi, disuri, kadang-kadang dengan infiltat, abses, fistel. Gejala lanjut adalah
retensi urin.

3.9 TATA LAKSANA


Penatalaksanaan terhadap BPH dibagi menjadi watchful waiting, medikamentosa,
minimal invasive, dan pembedahan (operatif). Hal ini dapat didasarkan pada skor IPSS yang
didapatkan dari penderita.16,17

Watchful waiting 
Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan
penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ditujukan untuk
pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu
aktivitas sehari-hari. Beberapa guidelines masih menawarkan watchful waiting pada pasien
BPH bergejala dengan skor sedang (IPSS 8-19). Pasien dengan keluhan sedang hingga berat
(skor IPSS > 7), pancaran urine melemah (Qmax < 12 mL/detik), dan terdapat pembesaran
prostat > 30 gram tentunya tidak banyak memberikan respon terhadap watchful waiting.16-17
Pada watchful waiting, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi
penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya
(1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2)
kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi atau
cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat parasimpatolitik yang mengandung
fenilpropanolamin, dekongestan (4) kurangi makanan pedas dan asin, dan (5) jangan
menahan kencing terlalu lama (5) bila terjadi kemunduran segera ambill tindakan. Setiap 3
sampai 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentang
perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine, maupun volume
residual urine. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu
difikirkan untuk memilih terapi yang lain. 16-17

Medikamentosa
Pada saat BPH mulai menyebabkan perasaan yang mengganggu, apalagi
membahayakan kesehatannya, direkomendasikan pemberian medikamentosa Sebagai patokan
jika skoring >7 berarti pasien perlu mendapatkan terapi medikamentosa atau terapi lain.
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi resistensi otot polos
prostat sebagai komponen dinamik atau (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen
statik. Jenis obat yang digunakan adalah: 14-16
1. Antagonis adrenergik reseptor α yang dapat berupa:
a. preparat non selektif: fenoksibenzamin
b. preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan indoramin
c. preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin, terazosin, dan tamsulosin
2. Inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride
3. Fitofarmaka14-16

Antagonis Reseptor Adrenergik-α


Pengobatan dengan antagonis adrenergik α bertujuan menghambat kontraksi otot
polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher buli-buli dan uretra.
Fenoksibenzamine adalah obat antagonis adrenergik-α non selektif yang pertama kali
diketahui mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi. Namun
obat ini tidak disenangi oleh pasien karena menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak
diharapkan, di antaranya adalah hipotensi postural dan menyebabkan penyulit lain pada
sistem kardiovaskuler. 14-16
Diketemukannya obat antagonis adrenergik- α1 dapat mengurangi penyulit sistemik
yang diakibatkan oleh efek hambatan pada-α2 dari fenoksibenzamin. Beberapa golongan obat
antagonis adrenergik α1 yang selektif mempunyai durasi obat yang pendek (short acting)
diantaranya adalah prazosin yang diberikan dua kali sehari, dan long acting yaitu, terazosin,
doksazosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari. 14-16
Dibandingkan dengan plasebo, antagonis adrenergik-α terbukti dapat memperbaiki
gejala BPH, menurunkan keluhan BPH yang mengganggu, meningkatkan kualitas hidup
(QoL), dan meningkatkan pancaran urine. Rata-rata obat golongan ini mampu memperbaiki
skor gejala miksi hingga 30-45% atau 4-6 poin skor IPSS dan Qmax hingga 15-30%
dibandingkan dengan sebelum terapi. Perbaikan gejala meliputi keluhan iritatif maupun
keluhan obstruktif sudah dirasakan sejak 48 jam setelah pemberian obat. Golongan obat ini
dapat diberikan dalam jangka waktu lama dan belum ada bukti-bukti terjadinya intoleransi
dan takhipilaksis sampai pemberian 6- 12 bulan. 14-16
Dibandingkan dengan inhibitor 5α reduktase, golongan antagonis adrenergik-α lebih
efektif dalam memperbaiki gejala miksi yang ditunjukkan dalam peningkatan skor IPSS, dan
laju pancaran urine. Dibuktikan pula bahwa pemberian kombinasi antagonis adrenergik-α
dengan finasteride tidak berbeda jika dibandingkan dengan pemberian antagonis adrenergik-α
saja. Sebelum pemberian antagonis adrenergik-α tidak perlu memperhatikan ukuran prostat
serta memperhatikan kadar PSA; lain halnya dengan sebelum pemberian inhibitor 5-α
reduktase. 14-16
Berbagai jenis antagonis adrenergik α menunjukkan efek yang hampir sama dalam
memperbaiki gejala BPH. Meskipun mempunyai efektifitas yang hampir sama, namun
masing masing mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap sistem kardiovaskuler yang
berbeda. Efek terhadap sistem kardiovaskuler terlihat sebagai hipotensi postural, dizzines,
dan asthenia yang seringkali menyebabkan pasien menghentikan pengobatan. Doksazosin dan
terazosin yang pada mulanya adalah suatu obat antihipertensi terbukti dapat memperbaiki
gejala BPH dan menurunkan tekanan darah pasien BPH dengan hipertensi. Sebanyak 5-20%
pasien mengeluh dizziness setelah pemberian doksazosin maupun terazosin, < 5% setelah
pemberian tamsulosin, dan 3-10% setelah pemberian plasebo. Hipotensi postural terjadi pada
2-8% setelah pemberian doksazosin atau terazosin dan kurang lebih 1% setelah pemberian
tamsulosin atau plasebo. Dapat dipahami bahwa penyulit terhadap sistem kardiovasuler tidak
tampak nyata pada tamsulosin karena obat ini merupakan antagonis adrenergik α yang
superselektif, yaitu hanya bekerja pada reseptor adrenergik-α 1A. Penyulit lain yang dapat
timbul adalah ejakulasi retrograd yang dilaporkan banyak terjadi setelah pemakaian
tamsulosin, yaitu 4,5-10% dibandingkan dengan plasebo 0-1%.14-16
Lepor menyebutkan bahwa efektifitas obat golongan antagonis adrenergik-α
tergantung pada dosis yang diberikan, yaitu makin tinggi dosis, efek yang diinginkan makin
nyata, namun disamping itu komplikasi yang timbul pada sistem kardiovaskuler semakin
besar. Untuk itu sebelum dilakukan terapi jangka panjang, dosis obat yang akan diberikan
harus disesuaikan dahulu dengan cara meningkatkannya secara perlahan-lahan (titrasi)
sehingga diperoleh dosis yang aman dan efektif. Dikatakan bahwa salah satu kelebihan dari
golongan antagonis adrenergik-α1A (tamsulosin) adalah tidak perlu melakukan titrasi seperti
golongan obat yang lain. Tamsulosin masih tetap aman dan efektif walaupun diberikan
hingga 6 tahun. 14-16

Inhibitor 5 α-redukstase
Finasteride adalah obat inhibitor 5-α reduktase pertama yang dipakai untuk mengobati
BPH. Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari
testosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5 α- redukstase di dalam sel-sel prostat. Beberapa uji
klinik menunjukkan bahwa obat ini mampu menurunkan ukuran prostat hingga 20-30%,
meningkatkan skor gejala sampai 15% atau skor AUA hingga 3 poin, dan meningkatkan
pancaran urine. Efek maksimum finasteride dapat terlihat setelah 6 bulan. Pada penelitian
yang dilakukan oleh McConnell et al (1998) tentang efek finasteride terhadap pasien BPH
bergejala, didapatkan bahwa pemberian finasteride 5 mg per hari selama 4 tahun ternyata
mampu menurunkan volume prostat, meningkatkan pancaran urine, menurunkan kejadian
retensi urine akut, dan menekan kemungkinan tindakan pembedahan hingga 50%.
Finasteride digunakan bila volume prostat >40 cm3. Efek samping yang terjadi pada
pemberian finasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi impotensia, penurunan libido,
ginekomastia, atau timbul bercak-bercak kemerahan di kulit. Finasteride dapat menurunkan
kadar PSA sampai 50% dari harga yang semestinya sehingga perlu diperhitungkan pada
deteksi dini kanker prostat. 14-16

Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki gejala
akibat obstruksi prostat, tetapi data-data farmakologik tentang kandungan zat aktif yang
mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai: antiestrogen, antiandrogen, menurunkan kadar sex
hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast growth factor (bFGF) dan
epidermal growth factor (EGF), mengacaukan metabolisme prostaglandin, efek
antiinflammasi, menurunkan outflow resistance, dan memperkecil volume prostat. Di antara
fitoterapi yang banyak dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis
rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya. 14-16

Minimal invasive
Pada terapi ini meliputi TUBD, prostat stent, terapi termal.17-18
1) TUBD (Transurethral Balloon Dilatation)
Dengan menggunakan balon kateter yang berkapasitas antara 75F-110F dengan
tekanan antara 3-5 atmosfir, uretra prostatika di dilatasi selama 10-30 menit. Terapi ini
dikerjakan untuk BPH yang kecil dan tanpa pembesaran dari lobus medius. Terdapat
perbaikan keluhan dan flowmetrik sampai 3-6 bulan sesudah tindakan walaupun secara
sitoskopik ternyata tidak ada perbedaan di daerah uretra prostatika pra dan pasca tindakan. 17-
18

2) Prostat Stent
Stent dibuat dari bahan kawat yang dianyam hingga berbentuk tabung. Stent dipasang
di uretra prostatika untuk mencegah berdempetnya prostat. 18

3) Terapi Termal , dibagi menjadi tiga macam antara lain14:


a. Hipertermi
Kelenjar prostat dipanasi 41-45° C, dan pemanasannya dikerjakan dengan
menggunakan “probe” baik transrektal ataupun transuretral. Pemanasan dilakukan beberapa
kali dengan frekwensi 1-2 kali/ minggu. Setiap kali pemanasan berlangsung kurang lebih satu
jam.
b. TUMT (Transurethral Microwave Thermotherapy)
Termoterapi adalah penyempurnaan dari terapi hipertermia. Dengan menggunakan
kateter 22F yang dihubungkan dengan sumber panas mikrowave 1296 MHZ, prostat
dipanaskan 45-60° C, sementara itu secara terus-menerus uretra didinginkan sehingga
mukosanya tidak rusak. Temperatur juga dipantau terus menerus. Dengan pemanasan yang
cukup tinggi tadi akan terjadi destruksi, koagulasi dan akhirnya nekrosis. Pada termoterapi
pemanasan dilakukan satu kali. Keuntungannya adalah tidak memerlukan anestesi umum
maupun regional, tetapi peralatannya relatif mahal.18
c. TUNA (Transurethral Needle Ablation)
Dengan menggunakan alat khusus yang dimasukkan ke kelenjar prostat, kemudian
dengan microwave prostat dipanaskan sampai 120°C. Hasil yang pernah dilakukan
menunjukkan perbaikan flow maksimal dari 9 ml/ deti menjadi 17 ml/ detik. Penelitian multi
senter terus dikerjakan agar mendapat kasus yang cukup banyak untuk dapat diambilk
kesimpulan guna generalisasi. 18

Pembedahan (operatif)
Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi,
diantaranya adalah: (1) retensi urine karena BPO, (2) infeksi saluran kemih berulang karena
BPO, (3) hematuria makroskopik karena BPE, (4) batu buli-buli karena BPO, (5) gagal ginjal
yang disebabkan oleh BPO, dan (6) divertikulum bulibuli yang cukup besar karena BPO. Di
beberapa negara juga menyebutkan bahwa terapi pembedahan diindikasikan pada BPH yang
telah menimbulkan keluhan sedang hingga berat, tidak menunjukkan perbaikan setelah
pemberian terapi non bedah, dan pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa.
Terdapat tiga macam teknik pembedahan yang direkomendasikan di berbagai negara, yaitu
prostatektomi terbuka, insisi prostat transuretra (TUIP), dan reseksi prostat transuretra
(TURP). Prostatektomi digolongkan dalam 2 golongan yaitu prostatektomi tertutup dan
prostatektomi terbuka. 14,17-18

1. Prostatektomi tertutup
Pemilihan prosedur pembedahan biasanya tergantung kepada beratnya gejala serta
ukuran dan bentuk kelenjar prostat.
a. TURP (Trans Urethral Resection of the Prostate)
Gambar 13. Tindakan TURP
TURP merupakan pembedahan BPH yang paling sering dilakukan. Endoskopi
dimasukkan melalui penis (uretra). Keuntungan dari TURP adalah tidak dilakukan sayatan
sehingga mengurangi resiko terjadinya infeksi. 88% penderita yang menjalani TURP
mengalami perbaikan yang berlangsung selama 10-15 tahun. Impotensi terjadi pada 13,6%
penderita dan 1% mengalami inkontinensia uri.18

b. TUIP (Trans Urethral Incision of the Prostate)


TUIP menyerupai TURP, tetapi biasanya dilakukan pada penderita yang memiliki
prostat relative kecil. Pada jaringan prostat dibuat sebuah sayatan kecil untuk melebarkan
lubang uretra dan lubang pada kandung kemih, sehingga terjadinya perbaikan laju aliran air
kemih dan gejala berkurang. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah perdarahan, infeksi,
penyempitan uretra, dan impotensi.18

c. TULP (Trans Urehral Laser Prostatectomy)


Kelenjar prostat pada suhu 600-650C akan mengalami koagulasi dan pada suhu yang
lebih dari 1000C mengalami vaporisasi. Pemakaian laser ternyata lebih sedikit menimbulkan
komplikasi dan penyembuhan lebih cepat, tetapi meningkatkan perbaikan gejala miksi tidak
sebaik TURP. Disamping itu terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun.18

2. Prostatektomi Terbuka
Sebuah sayatan bisa dibuat di perut (melalui struktur di belakang tulang
kemaluan/retropubik dan diatas tulang kemaluan/suprapubik atau di daerah perineum (dasar
panggul yang meliputi skrotum sampai anus). Pendekatan melalui perineum saat ini jarang
digunakan lagi karena angka kejadian impotensi setelah pembedahan mencaai 50%.
Pembedahan ini memerlukan waktu dan biasanya penderita harus dirawat selama 5-10 hari.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah impotensi (16-32%, tergantung kepada pendekatan
pembedahan) dan inkontinensia urine (kurang dari 1%).18
Dikenal 3 cara:
a. Prostatektomi suprapubik transvesikalis (Freyer)
Balfied tahun 1887 pertama kali melakukan pembedahan cara ini, kemudian oleh Sir
Peter Freyer dari London dilaporkan pada kongres SIU di Paris tahun 1900.
b. Prostatektomi retropubik (Terence Millin)
Tahun 1945 dikenalkan oleh Terence Millin dari Inggris
Keuntungan : Sumber perdarahan jelas dan apeks prostat lebih mudah dicapai.
Operasi terbuka ini dianjurkan pada BPH dengan berat lebih dari 50 gram atau yang
diperkirakan tidak dapat reseksi dengan sempurna dalam waktu satu jam. BPH yang
disertai penyulit, misalnya batu buli-buli yang diameternya lebih dari 2,5 cm atau
multipel dan bila tidak tersedia fasilitas untuk melakukan TUR Prostat baik sarana
maupun tenaga ahlinya.
c. Prostatektomi perinealis (Young)
Dalam pendekatan ini, ahli bedah menghilangkan prostat melalui sayatan di kulit
antara skrotum dan anus. Saraf-sparing lebih sulit untuk dicapai, dan pendekatan ini
mungkin kurang efisien jika kelenjar getah bening perlu dihilangkan atau diperiksa
sebelum prostat akan diangkat.

3.10 PENCEGAHAN
Pencegahan pada BPH berdasarkan dengan factor risiko yang dimiliki oleh pasien.
Adapun factor risiko yang memperberat adalah obesitas, diabetes, konsumsi daging merah,
susu, lemak. Faktor yang memperingan adalah olahraga, sayuran (tomat, wortel), buah-
buahan. Penggunaan selenium, vitamin E dan vitamin C terbukti memiliki menfaat yang
sangat sedikit selama penelitian 7 tahun, sementara untuk pencegahan kanker prostat telah
terbukti tidak menurnukan risiko dalam penelitian selama 8 tahun terakhir.
3.11 KOMPLIKASI
Seiring dengan makin beratnya BPH, komplikasi yang sering terjadi adalah obstruksi
saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi
saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal.17
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen
yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis
urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonephritis.17

3.12 PROGNOSIS
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu
walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki
prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat. Menurut penelitian,
kanker prostat merupakan kanker pembunuh nomor 2 pada pria setelah kanker paru-paru.
BPH yang telah diterapi juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan
bagi penderita. 17
BAB IV
KESIMPULAN

Pasien BPH biasa datang ke dokter dengan keluhan terjadinya perubahan dalam
berkemih, tidak bisa berkemih, sampai keluhan yang lebih berat karena komplikasi yang
terjadi akibat BPH. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dengan skor IPPS, pemeriksaan
fisik dengan bantuan digital rectal touche, serta pendekatan melalui pemeriksaan penunjang
yang turut berfungsi sebagai kontrol terhadap terapi yang diberikan melalui USG prostat, atau
PSA marker. Penentuan terapi yang tepat paling sering didapatkan dari hasil IPSS. Pilihan
terapi medikamentosa dapat berupa penghambat adrenergik a-1, penghambat enzim 5a
reduktase, dan fitoterapi diberikan pada pasien dengan skor IPPS 8-19. Tindakan invasif
seperti prostatektomi terbuka, TURP, TUIP, TULP, TUMT, HIFU, stent uretra, TUNA, dan
ILC yang dipilih sesuai dengan indikasi dan keadaan umum pasien dan pada gejala berat
(skor IPPS >20). Pada gejala yang ringan (skor IPSS <7), penderita BPH tidak diberikan
terapi apapun melainkan hanya menjalankan program watchful waiting dengan pemantauan
IPSS secara berkala untuk menentukan terapi selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Roehrborn CG, McConnell JD. Etiology, Pathophysiology, Epidemiology, and


Natural History of Benign Prostatic Hyperplasia. Dalam: Campbell’s Urology, edisi
ke-7. Editor: Walsh PC, Retik AB, Vaughan ED, dan Wein AJ. Philadelphia: WB
Saunders Co; 2000. p. 1297-330, 1429-52.
2. Chatelain CH, Denis L, Foo JKT, et al. Recommendations of The International
Scientific Committee: Evaluation and Treatment of Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS) in older man. Dalam: Chatelain Ch, Denis L, Foo JKT. Khoury S, McConnell
J (editors). Benign Prostatic Hyperplasia. 5th International Consultation on BPH.
London, Health Publication Ltd; 2000. p. 519-35.
3. Lee C, Cockett A, Cussenot O, Griflith K, Isaac W, Shalken J. Regulation of Prostatic
Growth. Dalam: Chatelain CH, Denis L, Foo KT, Khoury S, McConnell J (editors).
Benign Prostatic Hyperplasia. 5th International Consultation on BPH. London, Health
Publication Ltd; 2001. p.79-116.
4. Ramsey EW Elhilail M, Goldenberg SL, Nickel CJ, Norman R, Perreault JP et al.
Practice Patterns of Canadian Urologist in BPH and Prostate Cancer. J Urol 163;
2000. p. 499-502.
5. Narayan P. Neoplasma of The Prostate Gland inTanagho EA, Mc Annich JW (eds).
Smith’s General Urology. Appleton and Lange 1992; 13: p.378-9.
6. Rous SN. Anatomy of The Prostate in Rous SN (ed) Urology, A Core Textbook 2 nd
edition. Blackwell Science 1996: p. 186-8.
7. Snell R. Anatomi Klinik. Pelvis: Bagian II Cavitas Pelvis. In: Hartanto H, Listiawati
E, Suyono Y, Susilawati, Mahatmi T, Prawira J, et al, Editors. Anatomi Klinik. 6 th ed.
Jakarta: EGC; 2006. p. 350-2.
8. Mc Neal JE. Prostate and Prostatic Urethra: A Morphologic Study. J Urol
1972;107:1008.
9. Vaalsti A, Herronen A. Autonomic Innervation of The Human Prostate. Invest Urol
198;17: p.293.
10. Lepor H, Gregerman M, Crosby R et al. Precise Localization of The Autonomic
Nerves from The Pelvic Plexus to The Corpora Cavernosa: A Detailed Anatomical
Study of The Adult Male Prostate. J Urol 1985; 133: p. 207-12.
11. Dixon JS, Gosling JA. Macro Anatomy of The Prostate in Kirby R, McConnel JM,
Fitzpatrick J, Rochborn C, Boyle P (eds). Textbook of Benign Prostate Hyperplasia.
ISIS Medical Media Oxford 1996: p. 3-10.
12. Sherwood L. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Ed ke-2. Jakarta: EGC; 2001. p.
499-502.
13. Purnomo, Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar – dasar urologi., Edisi ke-2.
Jakarta: Sagung Seto. 2003. p. 69 – 85.
14. Kirby R, Christmas TJ. Benign Prostate Hyperplasia, 2nd ed. Mosby International,
1997: p. 1-6.
15. Rahardjo D, Birowo P. Karakteristik Penderita-Penderita Pembesaran Prostat Jinak di
RS.Sumber Waras dan RSCM. Submitted to MKI.
16. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Panduan Penatalaksanaan (Guidelines) Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) di Indonesia. Jakarta. 2003. p. 15-35.
17. Rahardjo D. Prostat: Kelainan-Kelainan Jinak, Diagnosis, dan Penanganan. Jakarta:
1999. p. 42-55.
18. Medicastore. [Internet] Pembesaran Prostat Jinak (BPH, Benign Prostatic
Hyperplasia). Available from: URL:
http://medicastore.com/penyakit/557/Pembesaran_Prostat_Jinak_BPH_Benign_Prosta
tic_Hyperplasia.html. Accessed on: 26 Januari 2017.

Anda mungkin juga menyukai