Tanda tangan:
JOURNAL READING
Pembimbing:
dr. Metra Syahar, Sp. U
Disusun Oleh:
Dian Roshita (11.2016.288)
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Bedah RSAU Dr. Esnawan Antariksa periode 28 Agustus 2017 – 4 November 2017
Disusun oleh:
Dian Roshita
(11.2016.288)
Telah diterima dan disetujui olehdr. Metra Syahar, Sp.U selaku dokter pembimbing
Departemen Ilmu Bedah RSAU Dr. Esnawan Antariksa
NIM 11.2016.288
Skor
Aspek yang dinilai
1 2 3 4 5
Kemampuan analisis
Penguasaan teori
Referensi
Cara penyajian
Total
Nilai %=(Total/20)x100%
Keterangan : 1 = sangat kurang (20%), 2 = kurang (40%), 3 = sedang (60%), 4 = baik (80%),
dan 5 =sangat baik(100%)
Komentar penilai
ABSTRAK
Tujuan
Hasil
Prevalensi varikokel pada remaja mirip dengan prevalensi varikokel pada dewasa. Sementara
ini ultrasound adalah metode yang paling sensitif untuk menentukan volume testis,
pengukuran denganorchidometer juga cukup untuk menentukan ketidaksesuaian ukuran yang
signifikan. Hipotrofi yang signifikan dari testis yang terkena dengan volume testis yang
buruk dapat dijadikan indikasi adanya testis yang berisiko dan memerlukan perbaikan dengan
operasi. Temuan serupa telah ditandaiterkait dengan aliran vena retrograde tinggi. Hipotrofi
testis sering kembali normal setelah dilakukan operasi tapi juga bisa membaik secara spontan
jika diobservasi sampai masa remaja. Nyeri skrotum berkelanjutan meskipun ada dukungan
yang memadai atau serial analisis semen abnormal stadium Tanner V pada anak-anak
merupakan indikasi untuk dilakukannya varicocelectomy. Teknik sparing arteri dan saluran
limfatik (mikroskopik subinguinal atau laparoskopi) dikaitkan dengan risiko terendah
terjadinya kekambuhan dan komplikasi.
Kesimpulan
Overtreatment dan undertreatment mahal secara medis dan finansial. Analisis semen serial
abnormal dengan atau tanpa hipotrofi testis merupakan indikasi perbaikan varikokel. Jika
observasi tetap dilakukan sebagai tatalaksana, urologi dewasa harus didorong hingga
kesuburan tercapai.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 EMBRIOLOGI
Secara embriologi, prostat yang merupakan organ kompleks yang terdiri dari unsur
kelenjar, stroma, dan otot polos atau fibromioglandular mulai terbentuk pada kehamilan
minggu ke-12 dengan pengaruh hormone androgen yang berasal dari testis fetus. Sebagian
besar kompleks prostat berasal dari sinus urogenitalis, tetapi mungkin sebagian dari ductus
ejaculatorius, sebagian verumontanum dan sebagian dari bagian asiner prostat (zona sentral)
berasal dari ductus Wolfii.4,5,6
Prostat berbentuk seperti piramid terbalik dan merupakan organ kelenjar
fibromuskuler yang mengelilingi uretra pars prostatica. Panjang prostat sekitar 3 cm (1¼
inchi) dan terletak di antara collum vesika urinaria di atas dan diaphragma urogenitalis di
bawah. Prostat dikelilingi oleh kapsula fibrosa. Di luar kapsul terdapat selubung fibrosa, yang
merupakan bagian dari lapisan visceral fascia pelvis. Prostat mempunyai basis prostatae yang
terletak di superior berhadarapan dengan collum vesicae; dan apex prostatae yang terletak di
inferior dan berhadapan dengan diaphragma urogenitale. Kedua ductus ejaculatorius
menembus bagian atas facies posterior prostatae untuk bermuara ke uretra pars prostatica
pada pinggir lateral utriculus prostaticus.7
2.5 PENDARAHAN
Arteri yang memperdarahi prostat berasal dari cabang a. vesicalis inferior dan a.
rectalis media. Vena membentuk pleksus venosus prostaticus yang terletak antara kapsula
prostat dan selubung fibrosa. Plexus venosus prostaticus menerima dari v. dorsalis profundus
penis dan banyak v. vesicalis, dan selanjutnya dialirkan ke v. iliaca interna. Sementara,
pembuluh limfe dari prostat mengalirkan cairan limfe ke nodi limfatici iliaca interna.7
7
2.6 PERSARAFAN
Prostat manusia mendapat dua macam persarafan yaitu parasimpatik (kolinergik) dan
simpatik (nor adrenergic) melalui plexus otonomik yang terletak didekat prostat. Plexus ini
mendapat masukan parasimpatetik dari medulla spinalis setinggi S2-S4 dan serat-serat
simpatetik dari nervus hipogastrikus presacralis (T10-L2).5,9,10
Kedua sistem persarafan itu dalam prostat membentuk jaringan persarafan yang
terjadi dari gabungan yang bersifat cholinergic dan nor adrenergic serta mempunyai
reseptor-reseptor di dalam otot polos prostat.10 Saraf-saraf otonom yang mempersarafi prostat
dan juga vesikula seminalis, uretra, dan corpora cavernosa berasal dari plexus pelvicus yang
bersama pembuluh darah membentuk kompleks saraf dan pembuluh darah (neuro vascular
bundle) dan komplek ini berjalan di bagian posterior prostat dari cranial menuju apex prostat
dan umumnya sejajar dengan dinding rectum.5,8,11
Menurut Gosling, persarafan prostat mempersarafi otot polos yang ada didalam
prostat dan yang bersifat kolinergik juga mempersarafi kapsul prostat, sedangkan acinus juga
menerima persarafan dari kolinergik sehingga perangsangan parasimpatik akan menambah
sekresi sedangkan perangsangan simpatik akan menyebabkan kontraksi vesicular seminalis
sehingga terjadi ejakulasi.5,11
3.1 DEFINISI
Pembesaran Prostat Jinak (BPH, Benign Prostatic Hyperplasia) adalah pertumbuhan
jinak kelenjar prostat, yang menyebabkan prostat membesar.13
3.2 EPIDEMIOLOGI
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum
usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir
sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia
akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi. 14
Pembesaran prostat jinak merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di
Indonesia setelah batu saluran kemih. Penyakit ini seirng juga dikenal sebagai hipertrofi
prostat, meskipun sebenarnya yang terjadi ialah hiperplasia dari kelenjar periuretral, sedang
jaringan prostat asli terdesak ke perifer menjadi kapsul bedah. Angka kejadian (insidens)
yang pasti untuk pembesaran prostat jinak di Indonesia belum pernah diteliti, tetapi sebagai
gambaran “hospital prevalence” di RSCM ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak
selama tiga tahun (September 1994-Agustus 1997) dan di RS.Sumber Waras 617 dalam
periode yang sama. Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna.14-15
Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria
yang berusia 80 tahun. Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan
kepustakaan luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan
memerlukan pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang jelas prevalensi sangat tergantung
pada golongan umur. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran prostat
sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopoik yang kemudian
bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian baru
manifes dengan gejala klinik. Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada
prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30 - 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus
berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka
kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka
tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.14-15
a) Teori dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron (DHT) adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosterone di dalam sel prostat oleh
enzim 5-alfa reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk
berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan
selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel
prostat.1-3
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda
dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5-alfa reduktase
dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat
pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.1-3
2. Tanda Klinis
Lakukan pemeriksaan fisik pada umumnya dan tentukan pula status urologisnya.
Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada pemeriksaan
colok dubur/ digital rectal examination (DRE). Ukuran dan konsistensi prostat juga perlu
diketahui, walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak berhubungan dengan
derajat obstruksi. Pada BPH, prostat teraba membesar dengan konsistensi kenyal. Apabila
teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan
keganasan. Sedangkan jika didapatkan nyeri tekan, maka dapat dicurigai sebagai
prostatitis.4,9-11
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium:
a. Stadium I
Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
b. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak
sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria
dan menjadi nocturia.
c. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flowin kontinen).4,9-11
Status Urologis
Ginjal Inspeksi, palpasi bimanual jika membesar
ballottement, nyeri ketok
Vesica Urinaria Jika penuh: inspeksi, palpasi, perkusi
Genitalia Externa Inspeksi dan palpasi pada penis, OUE,
testis, epididymis, vas deferens
DRE (digital rectal examination) Tonus sphincter ani, prostat, tonjolan,
konsistensi, pole atas, nodul, asimetris,
perkiraan besar
Gambar 12. Pemeriksaan colok dubur/ rectal toucher10
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini:10
Rectal Gradding10
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong:
- Grade 0: Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum
- Grade 1: Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum
- Grade 2: Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum
- Grade 3: Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum
- Grade 4: Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum
Clinical Gradding10
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu
kemudian dipasang kateter.
- Normal: Tidak ada sisa
- Grade I: sisa 0-50 cc
- Grade II: sisa 50-150 cc
- Grade III: sisa >150 cc
- Grade IV: pasien sama sekali tidak bisa kencing
2. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran
urin ini dapat diperiksa dengan uroflowmeter. Jumlah urine yang cukup untuk mendapatkan
flowmetrogram yang representatif paling sedikit 150 ml dan maksimal 400 ml, yang ideal
antara 200-300 ml.1,2
Penilaian hasil :1
Flow rate maksimal : 15 ml/detik : non obstuktif
10-15 ml/detik : border line
10 ml/detik : obstruktif
Walaupun ada beberapa prosedur untuk mendiagnosis BPH, uroflowmetri merupakan
cara terbaik dan paling tidak invasif dalam mendeteksi adanya obstruksi traktus urinarius
bagian bawah.1
3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
Perkembangan teknik pemeriksaan ultrasonogarfi (USG) membawa manfaat yang
besar bagi evaluasi penderita BPH. Selain itu dengan USG ini dapat pula diperiksa buli-buli,
misalnya ada batu buli-buli, tumor buli-buli, divertikel. Juga dapat diperiksa jumla residual
urine. Terdapat beberapa macam tranducer untuk pemeriksaan prostat yaitu suprapubic
(abdominal), transrektal dan transuretral.2,3
Pemeriksaan rontgenologik yaitu pyelografi intravena (IVP) sekarang tidak lagi
merupakan pemeriksaan rutin untuk evaluasi penderita BPH tetapi hanya dikerjakan secara
selektif. 2,3
4. Pemeriksaan Panendoskopi:
Dengan pemeriksaan panendoskopi dapat ditentukan secara review:
Keadaan uretra anterior, misalnya adanya striktur uretra. Keadaan uretra prostatika, bagian
prostat mana yang membesar, panjangnya uretra yang obstruktif karena pembesaran prostat.
Keadaan didalam buli-buli yaitu ada tidaknya tumor, batu, hipertropi dari detrusor, ada
tidaknya selulae atau divertikel dan keadaan muara ureter dan mengetahui kapasitas buli-
buli.2.3
3.6 PATOFISIOLOGI
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan maka efek
perubahannya juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran
prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih
tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat
seperti balok yang disebut trabekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar
diantara serat detrusor. Tonjolan serat yang kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar
dinamakan divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding.
Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksin sehingga terjadi retensi urin.1-3
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir
miksi masih ditemukan sisa urin dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada
akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut maka pada suatu saat akan terjadi kemacetan total
sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka vesika
tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat dan dapat
terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter,
hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal.
Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita
terus mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu
terbentuk sisa urin terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu juga dapat menimbulkan sistitis
dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.1-3
3.7 DIAGNOSIS
Diagnosa ditegakkan dari anamnesa yang meliputi keluhan dari gejala dan tanda
obstruksi dan iritasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk merasakan/meraba
kelenjar prostat. Dengan pemeriksaan ini bisa diketahui adanya pembesaran prostat, benjolan
keras (menunjukkan kanker) dan nyeri tekan (menunjukkan adanya infeksi).1,2
2. Prostatitis
Gejala dan tanda prostatitis akut terdiri dari demam dengan suhu yang tinggi, kadang
dengan gigilan, neri peineal atau pinggang rendah, sakit sedang atau berat, mialgia, antralgia.
Karena pembengkan prostat biasanya ada disuria, kadang sampai retensi urin. Kadang
didapatkan pengeluaran nanah pada colok dubur setelah masase prostat. Sedangkan pada
prostatitis kronis gejala dan tanda tidak khas. Gambaran klinik sangat variabel, kadang
dengan keluhan miksi, kadang nyeri perineum atau pinggang. Dan diagnosa dapat ditegakan
dengan diketemukan adanya leukosit dan bakteria dalam sekret prostat. Jadi hal-hal yang
perlu sekali kita perhatikan agar dapat membedakan dengan BPH yaitu adanya nyeri perineal,
demam, disuri, polaksiuri, retensi urin akut, rectal toucher: jika ada abses didapatkan
fluktuasi (+)
3. Neurogenik Bladder
Adapun gejala dan tanda yang kita peroleh berupa lesi sakral 2-4, rest urine (+),
inkontinensia urin.
4. Striktura Uretrha
Sumbatan pada uretrha dan tekanan kandung kemih yang tinggi dapat menyebabkan
imbibisi urin keluar kandung kemih atau uretra proksimal dari striktura. Gejala khas adalah
pancaran urin yang kecil dan bercabang. Gejala lain adalah iritasi dan infeksi seperti
frekuensi, urgensi, disuri, kadang-kadang dengan infiltat, abses, fistel. Gejala lanjut adalah
retensi urin.
Watchful waiting
Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan
penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ditujukan untuk
pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu
aktivitas sehari-hari. Beberapa guidelines masih menawarkan watchful waiting pada pasien
BPH bergejala dengan skor sedang (IPSS 8-19). Pasien dengan keluhan sedang hingga berat
(skor IPSS > 7), pancaran urine melemah (Qmax < 12 mL/detik), dan terdapat pembesaran
prostat > 30 gram tentunya tidak banyak memberikan respon terhadap watchful waiting.16-17
Pada watchful waiting, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi
penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya
(1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2)
kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi atau
cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat parasimpatolitik yang mengandung
fenilpropanolamin, dekongestan (4) kurangi makanan pedas dan asin, dan (5) jangan
menahan kencing terlalu lama (5) bila terjadi kemunduran segera ambill tindakan. Setiap 3
sampai 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentang
perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine, maupun volume
residual urine. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu
difikirkan untuk memilih terapi yang lain. 16-17
Medikamentosa
Pada saat BPH mulai menyebabkan perasaan yang mengganggu, apalagi
membahayakan kesehatannya, direkomendasikan pemberian medikamentosa Sebagai patokan
jika skoring >7 berarti pasien perlu mendapatkan terapi medikamentosa atau terapi lain.
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi resistensi otot polos
prostat sebagai komponen dinamik atau (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen
statik. Jenis obat yang digunakan adalah: 14-16
1. Antagonis adrenergik reseptor α yang dapat berupa:
a. preparat non selektif: fenoksibenzamin
b. preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan indoramin
c. preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin, terazosin, dan tamsulosin
2. Inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride
3. Fitofarmaka14-16
Inhibitor 5 α-redukstase
Finasteride adalah obat inhibitor 5-α reduktase pertama yang dipakai untuk mengobati
BPH. Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari
testosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5 α- redukstase di dalam sel-sel prostat. Beberapa uji
klinik menunjukkan bahwa obat ini mampu menurunkan ukuran prostat hingga 20-30%,
meningkatkan skor gejala sampai 15% atau skor AUA hingga 3 poin, dan meningkatkan
pancaran urine. Efek maksimum finasteride dapat terlihat setelah 6 bulan. Pada penelitian
yang dilakukan oleh McConnell et al (1998) tentang efek finasteride terhadap pasien BPH
bergejala, didapatkan bahwa pemberian finasteride 5 mg per hari selama 4 tahun ternyata
mampu menurunkan volume prostat, meningkatkan pancaran urine, menurunkan kejadian
retensi urine akut, dan menekan kemungkinan tindakan pembedahan hingga 50%.
Finasteride digunakan bila volume prostat >40 cm3. Efek samping yang terjadi pada
pemberian finasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi impotensia, penurunan libido,
ginekomastia, atau timbul bercak-bercak kemerahan di kulit. Finasteride dapat menurunkan
kadar PSA sampai 50% dari harga yang semestinya sehingga perlu diperhitungkan pada
deteksi dini kanker prostat. 14-16
Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki gejala
akibat obstruksi prostat, tetapi data-data farmakologik tentang kandungan zat aktif yang
mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai: antiestrogen, antiandrogen, menurunkan kadar sex
hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast growth factor (bFGF) dan
epidermal growth factor (EGF), mengacaukan metabolisme prostaglandin, efek
antiinflammasi, menurunkan outflow resistance, dan memperkecil volume prostat. Di antara
fitoterapi yang banyak dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis
rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya. 14-16
Minimal invasive
Pada terapi ini meliputi TUBD, prostat stent, terapi termal.17-18
1) TUBD (Transurethral Balloon Dilatation)
Dengan menggunakan balon kateter yang berkapasitas antara 75F-110F dengan
tekanan antara 3-5 atmosfir, uretra prostatika di dilatasi selama 10-30 menit. Terapi ini
dikerjakan untuk BPH yang kecil dan tanpa pembesaran dari lobus medius. Terdapat
perbaikan keluhan dan flowmetrik sampai 3-6 bulan sesudah tindakan walaupun secara
sitoskopik ternyata tidak ada perbedaan di daerah uretra prostatika pra dan pasca tindakan. 17-
18
2) Prostat Stent
Stent dibuat dari bahan kawat yang dianyam hingga berbentuk tabung. Stent dipasang
di uretra prostatika untuk mencegah berdempetnya prostat. 18
Pembedahan (operatif)
Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi,
diantaranya adalah: (1) retensi urine karena BPO, (2) infeksi saluran kemih berulang karena
BPO, (3) hematuria makroskopik karena BPE, (4) batu buli-buli karena BPO, (5) gagal ginjal
yang disebabkan oleh BPO, dan (6) divertikulum bulibuli yang cukup besar karena BPO. Di
beberapa negara juga menyebutkan bahwa terapi pembedahan diindikasikan pada BPH yang
telah menimbulkan keluhan sedang hingga berat, tidak menunjukkan perbaikan setelah
pemberian terapi non bedah, dan pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa.
Terdapat tiga macam teknik pembedahan yang direkomendasikan di berbagai negara, yaitu
prostatektomi terbuka, insisi prostat transuretra (TUIP), dan reseksi prostat transuretra
(TURP). Prostatektomi digolongkan dalam 2 golongan yaitu prostatektomi tertutup dan
prostatektomi terbuka. 14,17-18
1. Prostatektomi tertutup
Pemilihan prosedur pembedahan biasanya tergantung kepada beratnya gejala serta
ukuran dan bentuk kelenjar prostat.
a. TURP (Trans Urethral Resection of the Prostate)
Gambar 13. Tindakan TURP
TURP merupakan pembedahan BPH yang paling sering dilakukan. Endoskopi
dimasukkan melalui penis (uretra). Keuntungan dari TURP adalah tidak dilakukan sayatan
sehingga mengurangi resiko terjadinya infeksi. 88% penderita yang menjalani TURP
mengalami perbaikan yang berlangsung selama 10-15 tahun. Impotensi terjadi pada 13,6%
penderita dan 1% mengalami inkontinensia uri.18
2. Prostatektomi Terbuka
Sebuah sayatan bisa dibuat di perut (melalui struktur di belakang tulang
kemaluan/retropubik dan diatas tulang kemaluan/suprapubik atau di daerah perineum (dasar
panggul yang meliputi skrotum sampai anus). Pendekatan melalui perineum saat ini jarang
digunakan lagi karena angka kejadian impotensi setelah pembedahan mencaai 50%.
Pembedahan ini memerlukan waktu dan biasanya penderita harus dirawat selama 5-10 hari.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah impotensi (16-32%, tergantung kepada pendekatan
pembedahan) dan inkontinensia urine (kurang dari 1%).18
Dikenal 3 cara:
a. Prostatektomi suprapubik transvesikalis (Freyer)
Balfied tahun 1887 pertama kali melakukan pembedahan cara ini, kemudian oleh Sir
Peter Freyer dari London dilaporkan pada kongres SIU di Paris tahun 1900.
b. Prostatektomi retropubik (Terence Millin)
Tahun 1945 dikenalkan oleh Terence Millin dari Inggris
Keuntungan : Sumber perdarahan jelas dan apeks prostat lebih mudah dicapai.
Operasi terbuka ini dianjurkan pada BPH dengan berat lebih dari 50 gram atau yang
diperkirakan tidak dapat reseksi dengan sempurna dalam waktu satu jam. BPH yang
disertai penyulit, misalnya batu buli-buli yang diameternya lebih dari 2,5 cm atau
multipel dan bila tidak tersedia fasilitas untuk melakukan TUR Prostat baik sarana
maupun tenaga ahlinya.
c. Prostatektomi perinealis (Young)
Dalam pendekatan ini, ahli bedah menghilangkan prostat melalui sayatan di kulit
antara skrotum dan anus. Saraf-sparing lebih sulit untuk dicapai, dan pendekatan ini
mungkin kurang efisien jika kelenjar getah bening perlu dihilangkan atau diperiksa
sebelum prostat akan diangkat.
3.10 PENCEGAHAN
Pencegahan pada BPH berdasarkan dengan factor risiko yang dimiliki oleh pasien.
Adapun factor risiko yang memperberat adalah obesitas, diabetes, konsumsi daging merah,
susu, lemak. Faktor yang memperingan adalah olahraga, sayuran (tomat, wortel), buah-
buahan. Penggunaan selenium, vitamin E dan vitamin C terbukti memiliki menfaat yang
sangat sedikit selama penelitian 7 tahun, sementara untuk pencegahan kanker prostat telah
terbukti tidak menurnukan risiko dalam penelitian selama 8 tahun terakhir.
3.11 KOMPLIKASI
Seiring dengan makin beratnya BPH, komplikasi yang sering terjadi adalah obstruksi
saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi
saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal.17
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen
yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis
urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonephritis.17
3.12 PROGNOSIS
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu
walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki
prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat. Menurut penelitian,
kanker prostat merupakan kanker pembunuh nomor 2 pada pria setelah kanker paru-paru.
BPH yang telah diterapi juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan
bagi penderita. 17
BAB IV
KESIMPULAN
Pasien BPH biasa datang ke dokter dengan keluhan terjadinya perubahan dalam
berkemih, tidak bisa berkemih, sampai keluhan yang lebih berat karena komplikasi yang
terjadi akibat BPH. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dengan skor IPPS, pemeriksaan
fisik dengan bantuan digital rectal touche, serta pendekatan melalui pemeriksaan penunjang
yang turut berfungsi sebagai kontrol terhadap terapi yang diberikan melalui USG prostat, atau
PSA marker. Penentuan terapi yang tepat paling sering didapatkan dari hasil IPSS. Pilihan
terapi medikamentosa dapat berupa penghambat adrenergik a-1, penghambat enzim 5a
reduktase, dan fitoterapi diberikan pada pasien dengan skor IPPS 8-19. Tindakan invasif
seperti prostatektomi terbuka, TURP, TUIP, TULP, TUMT, HIFU, stent uretra, TUNA, dan
ILC yang dipilih sesuai dengan indikasi dan keadaan umum pasien dan pada gejala berat
(skor IPPS >20). Pada gejala yang ringan (skor IPSS <7), penderita BPH tidak diberikan
terapi apapun melainkan hanya menjalankan program watchful waiting dengan pemantauan
IPSS secara berkala untuk menentukan terapi selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA