Anda di halaman 1dari 32

`Nilai:

Tanda tangan:

REFERAT
CROHN’S DISEASE

Pembimbing:
dr.Agoes Tino,sp.B

Disusun Oleh:
Dian Roshita (11.2016.288)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA dr. ESNAWAN ANTARIKSA
PERIODE 28 AGUSTUS 2017 – 4 NOVEMBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Referat dengan judul :

Crohn’s Disease

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
RSAU Dr. Esnawan Antariksa periode 28 Agustus 2017 – 4 November 2017

Disusun oleh:
Dian Roshita
(11.2016.288)

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Agoes Tino,sp.B selaku dokter pembimbing
Departemen Ilmu Bedah RSAU Dr. Esnawan Antariksa

Jakarta, November 2017

dr. Agoes Tino, Sp.B


LEMBAR PENILAIAN

Nama Dokter Muda  Dian Roshita


NIM  11.2016.288
Tanggal   November 2017
Judul Referat  Crohn’s Disease
Skor
Aspek yang dinilai
1 2 3 4 5
Kemampuan analisis          
Penguasaan teori          
Referensi          
Bentuk referat tertulis          
Cara penyajian          
Total  
Nilai %=(Total/25)x100%  

Keterangan : 1 = sangat kurang (20%), 2 = kurang (40%), 3 = sedang (60%), 4 =


baik (80%), dan 5 =sangat baik(100%)

Komentar penilai
 

Nama Penilai dr.Agoes Tino Sp.B Paraf/Stempel


BAB I
PENDAHULUAN

Inflammatory bowel disease (IBD) menggambarkan kondisi peradangan saluran cerna


kronik dan idiopatik. Secara umum dibagi atas kolitis ulseratif (KU), penyakit Crohn (PC)
dan IBD type unclassified (IBDU, dulu dikenal sebagai indeterminate colitis). 1
Etiopatogenesis IBD belum sepenuhnya dimengerti. Faktor genetik dan lingkungan dalam
saluran cerna seperti perubahan bakteri usus dan peningkatan permeabilitas epitel saluran
cerna diduga berperan dalam gangguan imunitas saluran cerna yang berujung pada kerusakan
saluran cerna.1
Insidens IBD sejak akhir Perang Dunia ke-II di negara Barat sampai dasawarsa 90-an
selalu meningkat dan cenderung terjadi pada kelompok kulit putih, sosial ekonomi tinggi,
bukan perokok, pemakai kontrasepsi oral dan diet rendah. 4 Gambaran klinis kedua entitas
IBD dapat berbentuk ringan, dalam arti mencapai remisi tanpa penggunaan obat-obatan
dalam jangka lama atau dalam bentuk kronik aktif yakni pasien mengalami remisi hanya jika
mengonsumsi obat-obatan dalam jangka lama.
Mengingat patofisiologi IBD yang diterima luas berupa adanya respons imun
berlebihan pada saluran cerna maka secara umum terapi IBD saat ini lebih banyak berupa
anti-inflamasi atau imunosupresan.2 Dalam beberapa waktu terakhir, kemajuan pesat terjadi
dalam hal pengobatan IBD, khususnya terapi biologi. Penatalaksanaan IBD sejatinya tidak
hanya berupa terapi medis melainkan harus melalui tiga pendekatan yakni rencana
diagnostik, rencana Terapeutik dan rencana edukasional.
Gambaran klinis kedua entitas IBD dapat berbentuk ringan, dalam arti mencapai
remisi tanpa penggunaan obat-obatan dalam jangka lama atau dalam bentuk kronik aktif
yakni pasien mengalami remisihanya jika mengonsumsi obat-obatan dalam jangka lama.

1.1 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan referat ini, yaitu untuk mengetahui definisi, angka kejadian, etiologi,
klasifikasi, gambaran klinik, pemeriksaan, diagnosis, etiologi dan faktor risiko terjadinya
crohn’s disease, mengetahui penatalaksanaan yang terbaik untuk crohn’s disease.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Chron’s Disease

Crohn’s Disease merupakan salah satu Inflammatory Bowel Diseases (IBD), yaitu
penyakit peradangan granulomatosa kronik yang mengenai traktus gastrointestinal, mulai dari
mulut hingga anus. Namun, lebih sering mengenai bagian ileum terminalis sampai colon
bagian awal. Crohn’s disease menyebabkan tiga pola penyakit yaitu penyakit inflamasi,
striktur, dan fistula.1
Penyakit ini melibatkan segmen-segmen oleh karena proses inflamasi granuloma
nonspesifik. Tanda patologi yang paling penting dari CD adalah transmural, melibatkan
seluruh lapisan daripada usus, tidak hanya mukosa dan submukosa, dimana jika mukosa dan
submukosa saja merupakan ciri daripada UC.1 Selain itu, CD tidak berkesinambungan, dan
memiliki skip area antara satu atau lebih dari area yang terkena penyakit.
Jika penyakit ini berlanjut, mukosa akan tampak seperti batu bulat (cobblestone) oleh
karena ulserasi yang dalam dan longitudinal pada mukosa yang normal. Tiga pola mayor dari
keterlibatan terhadap CD adalah penyakit pada ileum dan ceccum (40%), penyakit terbatas
pada usus halus (30%) dan terbatas pada kolon (25%).
Rectal sparing khas terjadi pada CD, tetapi tidak selalu terjadi. Namun, komplikasi
anorektal seperti fistula dan abses sering terjadi. Walaupun jarang terjadi, CD dapat
melibatkan bagian saluran pencernaan yang lebih proksimal, seperti mulut, lidah, esofagus,
lambung dan duodenum.

2.2 Anatomi Saluran Pencernaan

Pencernaan  terdiri dari saluran pencernaan  yaitu saluran panjang yang merentang
dari mulut sampai anus, dan organ – organ aksesoris seperti gigi, lidah, kelenjar saliva, hati,
kandung empedu, dan pancreas.1

Proses pencernaan melibatkan enzim – enzim sekretorik yang spesifik untuk berbagai
makanan dan bekerja untuk menguraikan karbohidrat menjadi gula sederhana, lemak menjadi
asam lemak bebas dan monogliserida, serta protein menjadi asam amino.1
Gambar 1 Saluran Pencernaan

Sistem pencernaan makanan pada manusia terdiri dari beberapa organ, berturut-turut
dimulai dari 1. Rongga Mulut, 2. Esofagus, 3. Lambung, 4. Usus Halus, 5. Usus Besar, 6.
Rektum, 7. Anus.

1.   Mulut ( oris)

Gambar 2. Mulut

Rongga mulut dibatasi oleh beberapa bagian, yaitu sebelah atas oleh tulang rahang
dan langit-langit (palatum), sebelah kiri dan kanan oleh otot-otot pipi, serta sebelah bawah
oleh rahang bawah.1

a.   Gigi(dentis)

-     Fungsi : Berperan dalam proses mastikasi (pengunyahan).

-     Bagian-bagian gigi adalah sebagai berikut:


•      Mahkota Gigi : dilapisi oleh email dan di dalamnya terdapat dentin (tulang gigi).

•      Tulang Gigi ; terletak di bawah lapisan email.

•      Rongga gigi ; berada di bagian dalam gigi. Di dalamnya terdapat pembuluh darah,
jaringan ikat, dan jaringan saraf.

b.    Lidah (lingua)

Lidah berfungsi untuk membantu mengunyah makanan yakni dalam hal membolak-
balikkan makanan dalam rongga mulut, membantu dalam menelan makanan, sebagai indera
pengecap, dan membantu dalam berbicara.

2.   Esofagus (Kerongkongan)

Esofagus merupakan saluran sempit berbentuk pipa yang menghubungkan faring


dengan lambung (gaster). Yang panjang kira – kira 25 cm, diameter 2,5 cm. pH cairannya 5 –
6.2

-      Fungsi : menggerakkan makanan dari faring ke lambung melalui gerak peristalsis.

3.   Lambung (gaster)

     

Gambar 3. Lambung

Lambung merupakan organ berbentuk J  yang terletak di bawah rusuk terakhir sebelah
kiri. Yang panjangnya 20 cm, diameternya 15 cm, pH lambung 1 – 3,5. Lambung tediri atas
kardiak, fundus, badan lambung, antrum, kanal pylorus, dan pylorus.
4.   Usus halus (Intestinum tenue)

Usus halus adalah tempat berlangsungnya sebagian besar pencernaan dan penyerapan
yang panjangnya sekitar 6 m berdiameter sekitar 2,5 cm. sedangkan pHnya 6,3 – 7,6. Dinding
usus halus terdiri atas tiga lapis, yaitu tunica mucosa, tunica muscularis, dan tunika serosa.
Tunica muscularis merupakan bagian  yang menyebabkan  gerakan  usus halus.2,3

Fungsi usus halus :

1.  Mengakhiri proses pencernaan makanan. Proses ini diselesaikan oleh enzim usus dan
enzim pangkreas serta dibantu empedu dalam hati.

2.  Usus halus secara selektif mengabsorbsi produk digesti.

Usus halus dibedakan menjadi tiga bagian,yaitu:

a.    Deudenum (usus dua belas jari). Deudenum  panjangnya sekitar 25 cm, diameternya 5
cm.

b.    Jejunum (usus kosong). Panjangnya sekitar 1 m sampai 1,5 m, diameternya 5 cm.

c.    Ileum (usus belit/ usus penyerapan). Panjangnya sekitar 2 m sampai 2,5 m, diameternya
2,5 cm.

5.    Usus Besar (colon)

  Usus besar adalah saluran yang berhubung dengan bagian usus halus ( ileum ) dan
berakhir dengan anus. Yang panjangnya sekitar  1,5 m dan diameternya kurang lebih 6,3 cm.
pH nya 7,5 – 8,0.2,3

 Fungsi dari usus besar adalah :

1.  Mengabsorbsi 80 %  sampai 90 % air dan elektrolit dari kimus yang tersisa dan mengubah
kimus dari cairan menjadi massa semipadat.

2.  Memproduksi mucus

3.  Mengeksresikan zat sisa dalam bentuk feses.


      Usus besar dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu :

a.    Coecum. Merupakan pembatas antara ileum dengan kolon.

b.    Kolon. Pada  kolon  terjadi  gerakan  mencampur isi kolon dengan gerakan mendorong.

Pada kolon ada tiga divisi yaitu :

 Kolon asendens yang merentang dari coecum sampai ke tepi bawah hati
disebelah kanan dan membalik secara horizontal pada fleksura hepatica.
 Kolon transversum ; merentang menyilang abdomen ke bawah hati dan
lambung s ampai ke tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar ke bawah pada
fleksura spienik.
 Kolon desendens; merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi
kolon sigmoid berbentuk S yang bermuara di rectum.

c.    Rectum. Merupakan tempat penampungan sementara feses sebelum dibuang melalui


anus. Yang panjangnya 12 – 13 cm.

6.   Anus

Anus  merupakan  lubang  pada  ujung saluran pencernaan. Pada anus terdapat dua
macam otot yaitu:2,3

a.     Sfingter anus internus; bekerja tidak menurut kehendak.

b.    Sfingter anus eksterus; bekerja menurut kehendak.

Proses pengeluaran feses di sebut defekasi. Setelah retum terenggang karena terisi penuh,
timbul keinginan untuk defekasi.

2.3 Anatomi dan Histologi Ileum

Ileum adalah bagian dari intestinum tenue (usus halus), setelah duodenum dan jejunum.
Ileum adalah sebuah saluran yang befungsi untuk pencernaan makanan,absorpsi zat makanan,
cairan dan elektrolit.
Gambar 4. histologi ileum
Secara histologis dinding ileum terdiri dari 4 lapisan, yaitu tunika mukosa, tunika
submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa. Tunika mukosa ileum melipat ke lumen
dan membentuk struktur vili yang tinggi dan banyak mengandung sel goblet. 3 Di antara vili-
vili terbentuk Kripta Lieberkuhn, yang di dasarnya terdapat kelenjar intestinal atau Sel Paneth

Gambar 5. Mikroskopis usus halus


Anatomi Histologi Ileum pada Crohn Disease (Patologi)

Gambar 6. Makroskopis Crohn’s Disease


Gambaran makroskopis Crohn’s disease di atas menunjukkan bagian tengah dengan
penebalan dinding dan mukosa kehilangan lipatan-lipatan mukosanya. Tampak gambaran
Cobblestone Appearance.3 Salah satu komplikasi Crohn’s disease adalah pembentukan
fistula. Tampak fistula meluas dari mukosa menuju submukosa sampai muskularis.Fistula
dapat terbentuk antara usus dengan usus, kandung kemih dan kulit.Bila mengenai usus besar
dapat terjadi fistula peri-rektal.

Gambar 7. Mikroskopis Crohn’s Disease

2.4 Etiologi

Etiologi dari Crohn’s disease masih belum diketahui. Terdapat beberapa penyebab
potensial yang diperkirakan secara bersama-sama menimbulkan Crohn’s disease, yang paling
mungkin adalah infeksi, imunologis, dan genetik. 3 Kemungkinan lain adalah faktor
lingkungan, diet, merokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan psikososial.

2.3.1 Faktor Infeksi


Meskipun terdapat beberapa agen-agen infeksi yang diduga merupakan penyebab
potensial Crohn’s disease, namun terdapat dua agen infeksi yang paling menarik perhatian
yaitu mycobacteria, khususnya Mycobacterium paratuberculosis dan virus measles. Infeksi
lain yang diperkirakan menjadi penyebab Crohn’s disease adalah Chlamydia, Listeria
monocytogenes, Pseudomonas sp, dan retrovirus.

2.3.2 Faktor Imunologis


Kelainan-kelainan imunologis yang telah ditemukan pada pasien-pasien dengan
Crohn’s disease mencakup reaksi-reaksi imunitas humoral dan seluler yang menyerang sel-
sel saluran cerna, yang menunjukkan adanya proses autoimun. Faktor-faktor yang diduga
berperanan pada respons inflamasi saluran cerna pada Crohn’s disease mencakup sitokin-
sitokin, seperti interleukin (IL)-1, IL-2, IL-8, dan TNF (tumor necroting factor). 3 Peranan
respons imun pada Crohn’s disease masih kontroversial, dan mungkin timbul sebagai akibat
dari proses penyakit dan bukan merupakan penyebab penyakit .

2.3.3 Faktor Genetik Faktor


Genetik tampaknya memegang peranan penting dalam patogenesis Crohn’s disease,
karena faktor risiko tunggal terkuat untuk timbulnya penyakit ini adalah adanya riwayat
keluarga dengan Crohn’s disease.3 Sekitar 1 dari 5 pasien dengan Crohn’s disease (20%)
mempunyai setidaknya satu anggota keluarga dengan penyakit yang sama. Pada berbagai
penelitian didapatkan bahwa Crohn’s disease berhubungan dengan kelainan pada gen-gen
HLA-DR1 dan DQw5.3

2.3.4 Faktor-faktor Lain


Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI merupakan faktor proteksi
terhadap timbulnya Crohn’s disease. Merokok dan penggunaan kontrasepsi oral
meningkatkan risiko timbulnya Crohn’s disease dan resiko ini meningkat sejalan dengan
lamanya penggunaan.

2.5 Patofisiologi

Stadium dini Crohn’s disease ditandai dengan limfedema obstruktif dan pembesaran
folikel-folikel limfoid pada perbatasan mukosa dan submukosa. Ulserasi mukosa yang
menutupi folikel-folikel limfoid yang hiperplastik menimbulkan pembentukkan ulkus aptosa.
Pada pemeriksaan mikroskopis, ulkus aptosa terlihat sebagai ulkus-ulkus kecil yang berbatas
tegas dan tersebar, dengan diameter sekitar 3 mm dan dikelilingi oleh daerah eritema.4
Sebagai tambahan, lapisan mukosa menebal sebagai akibat dari inflamasi dan edema, dan
proses inflamasi tersebut meluas hingga melibatkan seluruh lapisan usus. Ulkus aptosa
cenderung membesar atau saling bersatu, menjadi lebih dalam dan sering menjadi bentuk
linear. Sejalan dengan makin buruknya penyakit, dinding usus menjadi semakin menebal
dengan adanya edema dan fibrosis, dan cenderung menimbulkan pembentukkan striktura.
Karena lapisan serosa dan mesenterium juga mengalami inflamasi, maka lengkungan-
lengkungan usus menjadi saling menempel. Akibatnya, ulkus-ulkus yang telah meluas hingga
keseluruhan dinding usus akan membentuk fistula antar lengkungan usus yang saling
menempel.3
Tetapi lebih sering terjadi saluran sinus yang berakhir buntu ke dalam suatu cavitas abses
di dalam ruang peritoneal, mesenterium, atau retroperitoneum. Jalur akhir daripada
patofisiologi IBD adalah inflamasi pada mukosa traktus intestinal menyebabkan ulserasi,
edema, perdarahan, kemudian hilangnya air dan elektrolit. Banyak mediator inflamasi yang
telah diidentifikasi pada IBD, dimana mediatormediator ini memiliki peranan penting pada
patologi dan karakteristik klinik penyakit ini.
Sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag karena respon daripada berbagai rangsangan
antigenik, berikatan dengan reseptor-reseptor yang berbeda, kemudian menghasilkan
efekefek autokrin, parakrin, dan endokrin. Sitokin juga akan mendiferensiasikan limfosit
menjadi berbagai tipe sel T. Sel T helper tipe 1 (TH-1) berhubungan dengan CD, sedangkan
TH-2 berhubungan dengan UC. Respon imun inilah yang akan merusak mukosa intestinal
dan menyebab proses inflamasi yang kronis.4

Gambar 8 . Gambaran Patologis IBD


2.6 Diagnosa

2.5.1 Anamnesis
Gambaan klinis umum pada Crohn’s disease adalah demam, nyeri abdomen, diare,
dan penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen merupakan gejala utama keterlibatan
colon. Perdarahan per rectal lebih jarang terjadi. Keterlibatan usus halus dapat berakibat nyeri
yang menetap dan terlokalisasi pada kuadran kanan bawah abdomen.4
Manifestasi IBD umumnya tergantung pada area mana yang terlibat di saluran
pencernaan. Pasien-pasien dengan IBD dapat pula mengalami Irritable Bowel Syndrome
(IBS), dimana akan terjadi kram perut, kebiasaan buang air besar yang tidak teratur, dan
keluarnya mukus tanpa darah atau pus. Gejala sistemik yang dapat terjadi adalah demam,
berkeringat, merasa lemas, dan nyeri sendi.
Demam ringan merupakan tanda pertama yang harus diwaspadai, kemudian pasien
dapat merasa kelelahan yang berhubungan dengan nyeri, inflamasi, dan anemia. Rekurensi
dapat terjadi oleh karena faktor stres emosional, infeksi atau berbagai penyakit akut lainnya,
kehamilan, penyimpangan pola makan, penggunaan cathartic atau antibiotik, ataupun
penghentian penggunaan obat-obatan antiinflamasi atau steroid. Berak berdarah, terkadang
dengan tenesmus, khas terjadi pada UC, namun pada CD kadang-kadang juga dapat terjadi. 4
Sebagian besar pasien dengan CD dapat mengalami penyakit perianal seperti fistula dan
abses, kadang-kadang dapat juga mengalami nyeri perut kanan bawah akut dan demam, mirip
apendisitis dan obstruksi intestinal.
Tidak jarang pasien didiagnosa dengan IBS sebelum terdiagnosa IBD.Kehilangan
berat badan lebih sering terjadi pada CD daripada UC karena terjadinya malabsorpsi yang
berhubungan dengan penyakit pada usus halus. Pasien bisa tidak mau makan karena ingin
mengurangi gejala yang terjadi. Biasanya, diagnosis dapat ditegakkan hanya setelah beberapa
tahun mengalami nyeri perut berulang, demam, dan diare.

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, demam, takikardi, dan dehidrasi dapat terjadi pada pasien
dengan IBD. Pasien dapat tampak pucat, merupakan tanda anemia. Faktor-faktor inilah yang
menjadi patokan untuk menentukan keparahan dari penyakit.Nyeri tekan pada abdomen dapat
terjadi sebagai tanda dari peritonitis lokal. Pasien dengan megakolon toksik tampak terlihat
sepsis, yang ditandai dengan demam tinggi, letargi, menggigil, takikardi, meningkatnya nyeri
pada abdomen, dan distensi abdomen.
Pasien dengan CD mungkin dapat ditemukan massa pada kuadran perut kanan bawah.
Pemeriksaan rektum sering ditemukan berak darah pada pemeriksaan makroskop atau
hemoccult.

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

Studi laboratorium dapat membantu dalam penatalaksanaan IBD namun sedikit membantu
dalam penegakkan diagnosis. Kultur darah dapat positif jika peritonitis maupun colitis
fulminan terjadi. Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan sebagai penanda adanya
inflamasi, menentukan status nutrisi sehingga dapat melihat defisiensi vitamin dan mineral
yang penting. Pemeriksaan serologi dapat membantu dalam penegakkan diagnosis IBD dan
dapat membedakan CD dari UC.5
(I) Pemeriksaan feses

Sebelum membuat diagnosis definitif IBD idiopatik, lakukan kultur feses untuk
mengevaluasi adanya leukosit, ova, maupun parasit, kemudian kultur bakteri patogen, dan
titer Clostridium difficile. Minimal pemeriksaan untuk toksin C difficile dilakukan pada
pasien dengan colitis yang meluas. Amebiasis biasanya susah diidentifikasi dengan
pemeriksaan feses, lebih baik dengan pemeriksaan serologi.
50-80% kasus ileitis terminal akut disebabkan oleh infeksi Yersiniaenterocolitis, yang
nanti gambarannya adalah pseudoappendicitis. Yersiniosis juga memiliki frekuensi tinggi
terjadinya manifestasi sekunder, seperti eritema nodosum dan monoarticular arthritis, yang
mirip dengan IBD.

(II) Pemeriksaan Darah Lengkap

Komponen darah lengkap yang diperiksa berguna sebagai indikator aktivitas daripada
penyakit dan adanya defisiensi vitamin maupun zat besi. Peningkatan jumlah sel darah putih
umum pada pasien dengan penyakit inflamasi yang aktif, dan bukan selalu mengindikasikan
terjadinya infeksi.5 Anemia sering terjadi, baik anemia oleh karena penyakit kronis (biasanya
dengan mean corpuscular volume [MCV] yang normal) ataupun anemia defisiensi besi
(dengan MCV yang rendah).
Anemia dapat terjadi oleh karena kehilangan darah yang akut maupun kronik atau karena
malabsorpsi (zat besi, folat, vitamin B12) atau karena penyakit kronis. 5 Umumnya jumlah
platelet normal, dapat sedikit meningkat jika terjadi inflamasi aktif, khususnya jika terjadi
perdarahan pada saluran pencernaan.5 Laju endap darah (LED) merupakan penanda
terjadinya inflamasi, dimana jika terdapat inflamasi akan terjadi peningkatan nilai LED di
atas normal. LED dapat digunakan untuk menentukan apakah IBD aktif sedang berlangsung
atau tidak. Pasien dengan striktur cicatrix tidak mengalami peningkatan LED.

(III) Pemeriksaan Histologi

Kebanyakan perubahan mukosa yang terlihat pada pasien IBD sifatnya nonspesifik,
karena dapat terlihat pada sistem organ manapun yang terjadi proses inflamasi aktif. UC
utamanya melibatkan mukosa dan submukosa, dengan pembentukan abses crypt dan ulserasi
mukosa. Mukosa secara tipikal terlihat granular dan rapuh. Pada kasus yang lebih parah,
terbentuk pseudopolip, yang terdiri dari area dengan pertumbuhan hiperplastik dengan
pembengkakan mukosa dikelilingi oleh mukosa yang terinflamasi dengan ulkus yang
dangkal.
Pada UC yang parah, inflamasi dan nekrosis dapat meluas di bawah lamina propia untuk
melibatkan submukosa dan otot-otot sirkuler dan longitudinal, walaupun ini sangat jarang
terjadi.6 Inflamasi pada UC hampir selalu melibatkan rektum dan berkesinambungan, hampir
tanpa perluasan pada daerah kolon. Pengecualian dapat terjadi jika inflamasi awal terlihat
patchy pada colonoscopy yang dilakukan di awal terjadinya proses UC.
Inflamasi intestinal pada UC hanya melibatkan kolon saja, sisanya tidak mengalami
inflamasi. Biopsi dapat memperlihatkan adanya infiltrasi neutrofil diikuti dengan abses crypt
dan distorsi crypt. Tidak terjadi granuloma pada UC.1Pada CD, yang terlibat adalah seluruh
dinding intestinal tidak hanya mukosa dan submukosa seperti yang terjadi pada UC. Pada
biopsi biasanya terlihat adanya granuloma, yang biasanya dapat membantu untuk
menegakkan diagnosis.6
Karena spesimen biopsi biasanya hanya diambil pada jaringan mukosa superficial,
sehingga sering sulit menegakkan diagnosis hanya dengan pemeriksaan histologi saja.
Namun, penyebab lain dari inflamasi dapat diperkirakan dengan pemeriksaan ini.

(IV) Pemeriksaan Serologi

Perinuclear antineutrophyl cytoplasmic antibodies (pANCA) dapat ditemukan pada


beberapa pasien dengan UC, dan anti-Saccharomyces cerevisiae antibodies (ASCA) dapat
ditemukan pada pasien CD. Kemudian, pada pasien dengan seronegatif terlihat memiliki
insiden yang lebih rendah untuk mengidap penyakit yang resisten. Namun saat ini,
markermarker tersebut sudah tidak cukup sensitive lagi untuk digunakan sebagai screening
test untuk IBD dan menegakkan diagnosis berdasarkan pemeriksaan serologi saja tidak
dibenarkan.

( V ) X-ray

Peranan x-foto polos dalam mengevaluasi Crohn’s disease adalah terbatas. Dua
keunggulan utama x-foto polos adalah (1) untuk memastikan adanya obstruksi usus dan (2)
untuk mengevaluasi adanya pneumoperitoneum sebelum dilakukannya pemeriksaan
radiologis lanjutan. Melalui x-foto polos dapat pula diketahui adanya sacroiliitis atau batu
ginjal oksalat yang mungkin terjadi pada penderita Crohn’s disease 5,6.
Pemeriksaan barium enema kontras ganda bermanfaat dalam mendiagnosis penyakit
inflamasi usus dan untuk membedakan antara Crohn’s disease dengan colitis ulcerativa,
khususnya pada tahap dini penyakit. Pada pemeriksaan kontras ganda, Crohn’s disease tahap
dini ditandai dengan adanya ulkus aptosa yang tersebar, yang terlihat sebagai bintik-bintik
barium yang dikelilingi oleh edema yang radiolusen. Ulkus-ulkus aptosa seringkali terpisah
oleh jaringan usus yang normal dan terlihat sebagai skip lesions. 6

Gambar 9. Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada Crohn’s disease menunjukkan
sejumlah ulkus aptosa

Gambar 10. Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada Crohn’s disease menunjukkan
ulserasi, inflamasi, dan penyempitan lumen colon.
Sejalan dengan makin parahnya penyakit, ulkus-ulkus yang kecil akan membesar,
lebih dalam, dan saling berhubungan menjadi ulkus-ulkus yang berbentuk seperti bintang,
berpinggiran tajam, atau linear. Ulkus-ulkus ini paling sering terlihat di daerah ileum terminal
disepanjang perbatasan mesenterium. Gambaran ini patognomonik dari Crohn’s disease.
Sebagaimana inflamasi menembus lapisan submukosa dan muskularis, ulkus-ulkus tersebut
terpisah satu sama lain oleh edema pada dinding usus dan pada pemeriksaan dengan kontras
terlihat gambaran pola-pola “cobblestone” atau nodular, yaitu pengisian kontras pada lekukan
ulkus yang terlihat radioopaque dikelilingi mukosa usus yang radiolusen. 7

Gambar 11. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis
memperlihatkan ulserasi linear, longitudinal dan transversal yang membentuk
“cobblestone appearance”.

Kadang-kadang terjadi inflamasi transmural yang berakibat pengecilan diameter lumen usus
dan distensinya menjadi terbatas. Hal ini tampak sebagai “string sign” .7
Gambar 12. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis
memperlihatkan beberapa penyempitan dan striktura, yang memberikan
gambaran “string sign”.

Gambar 13. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis
memperlihatkan gambaran “string sign”.

Ulkus Aptoid dapat terdeteksi melalui pemeriksaan barium enema pada 25 – 50%
pasien dengan Crohn’s disease. Secara umum, didapatkan hasil negatif palsu sebanyak 18 –
20% kasus. Akan tetepi, barium enema mempunyai akurasi sebesar 95% dalam membedakan
antara Crohn’s disease dengan colitis ulserativa 6.
( VI )CT-SCAN

Peranan pencitraan CT dalam evaluasi Crohn’s disease telah diterima secara luas.
Kemampuan CT untuk mencitrakan keterlibatan usus dan patologi ekstraluminal (misalnya,
abses, obstruksi, fistula) membuatnya menjadi cara pencitraan yang penting. Hasil pencitraan
CT pada Crohn’s disease tahap dini adalah penebalan dinding usus, yang biasanya
melibatkan usus halus bagian distal dan colon, meskipun setiap segmen pada saluran cerna
dapat terlibat. Biasanya, penebalan dinding usus mencapai 5 – 15 mm 6,9.

Gambar 14. Gambaran CT Scan pada pasien dengan Crohn’s disease, tampak penebalan
dinding ileum dan inflamasi mesenterium.

Ulserasi pada mukosa dapat terdeteksi pada potongan tipis CT. dapat pula terlihat
adanya lilitan mesenterium, penebalan lapisan lemak mesenterium, adenopati lokal, fistula,
dan abses 6,9.

Gambar 15. CT scan pada Crohn’s disease menunjukkan penebalan dinding usus halus, dan
inflamasi dan adenopati pada mesenterium.

Edema atau inflamasi jaringan lemak mesenterium menimbulkan peningkatan


hilangnya densitas lemak, yang disebut “hazy fat” pada CT. Inflammasi atau fibrosis jaringan
lemak yang lebih besar menimbulkan menghilangnya densitas pita linear jaringan lunak yang
melintasi mesenterium. Pada CT, sebuah massa yang berbatas kabur dengan densitas
campuran dapat menunjukkan adanya flegmon atau tahap dini pembentukan abses.
Pembesaran kelenjar limfe biasanya terlihat proksimal terhadap dinding usus disepanjang sisi
mesenterium 6,9.

Pada CT scan, abses-abses terlihat sebagai massa berbentuk bulat atau oval dengan
densitas rendah, berbatas jelas, dan seringkali multilokus. Terlihatnya gambaran gelembung-
gelembung gas menunjukkan adanya hubungan fistula dengan usus atau, lebih jarang, timbul
dari infeksi oleh mikroorganisme yang menghasilkan gas 2.

Gambar 16. CT scan pada Crohn’s disease menunjukkan penebalan dinding colon kanan
dengan inflamasi pada jaringan lemak mesenterium yang berhubungan.

Gambar 17. CT scan pada Crohn’s disease fase kronis menunjukkan penebalan dinding colon
kanan tanpa inflamasi pada jaringan lemak mesenterium yang berhubungan,
dan sejumlah besar proliferasi lemak disekeliling colon kanan yang
memisahkan colon dari keseluruhan usus, sehingga disebut “creeping fat”.

CT Scan merupakan prosedur radiologis pilihan pertama pada pasien-pasien dengan


gejala-gejala akut Crohn’s disease. Kemampuan CT Scan dalam mencitrakan dinding usus,
organ-organ abdomen yang lokasinya berdekatan dengan usus, mesenterium dan
retroperitoneum membuatnya lebih unggul terhadap pemeriksaan radiologi konvensional
dengan kontras barium dalam mendiagnosis komplikasi-komplikasi yang menyertai Crohn’s
disease. CT Scan dapat secara langsung menunjukkan penebalan dinding usus, edema
mesenterika, limfadenopati, phlegmon dan abses. Sensitivitas CT Scan untuk Crohn’s disease
adalah sekitar 71%. 6

CT tidak hanya merupakan prosedur diagnostik terpilih, tetapi dapat pula digunakan
dalam penatalaksanaan abses, yaitu melalui prosedur CT-guided percutaneous abscess
drainage, yang telah menampakkan hasil yang sangat memuaskan. 2

( VII ) MRI

Secara tradisional, MRI hanya memberikan manfaat yang terbatas dalam pemeriksaan
abdomen karena banyaknya artefak yang bergerak. Dengan adanya peningkatan gradien dan
pencitraan dengan menahan napas telah memungkinkan pencitraan MRI terhadap abdomen
dan pelvis pada sebagian besar pasien.Sebagai tambahan, untuk mencapai pencitraan yang
optimal dengan MRI seringkali membutuhkan penggunaan sejumlah besar volume zat
kontras positif atau negatif yang diberikan baik secara oral atau melalui selang nasojejunal
atau rectal.

Akan tetapi, pasien dengan penyakit akut mungkin tidak dapat men-toleransi
pemberian sejumlah besar cairan per oral. Jika terjadi distensi usus suboptimal, akan terjadi
gangguan dalam mendeteksi segmen-segmen usus yang ter-inflamasi. 6Secara tradisional,
MRI dapat mengevaluasi komplikasi-komplikasi anorectal Crohn’s disease dengan baik. MRI
dengan teknik regular fast spin-echo,dapat mendeteksi adanya fistula, saluran sinus, dan
abses pada regio anorectal.8

Saluran sinus dan fistula sering terlihat hiperintense pada pencitraan T1-weighted dan
hiperintense pada T2-weighted karena kandungan cairannya. Dengan supresi lemak, sinyal
cairan dapat di-intensifikasi dan dengan mudah terlihat hiperintense pada pencitraan T2-
weighted. Suatu abses sering terlihat sebagai pengumpulan yang terisolasi dari daerah-daerah
dengan intensitas sinyal tinggi (high-signal-intensity areas) pada pencitraan T2-weighted,
khususnya pada fossa ischioanal . 6
Parameter-parameter penyakit aktif mencakup penebalan dinding, proliferasi fibrosa
dan lemak, dan enhancement dinding usus dengan zat kontras gadolinium-based. Selama fase
inflamasi aktif, enhancement gadolinium dinding usus dapat pula terlihat pada pencitraan T2-
weighted, dan dapat dengan mudah dibedakan dari usus yang normal. Pola enhancement
dideskripsikan oleh Koh et al sebagai “berlapis-lapis” dan spesifik untuk Crohn’s disease. 2

Gambar 18. Pencitraan MRI pada pasien dengan Crohn’s disease menunjukkan penebalan
dinding colon kanan dengan peningkatan sinyal intramural pada
pencitraan T1-weighted. Hal ini dipercaya sebagai gambaran adanya
deposisi lemak intramural.

Gadolinium-enhanced spoiled gradient-echo MRI mempunyai sensitivitas sekitar 85 –


89%, spesifisitas sekitar 96 – 94%, dan akurasi sekitar 94 – 91% untuk mendeteksi penyakit
akut. Sementara single-shot fast spin-echo MRI mempunyai sensitivitas sekitar 51 – 52%,
spesifisitas sekitar 98 – 96%, dan akurasi sekitar 83 – 84%. Hasil positif palsu paling sering
terjadi jika terdapat enhancement gadolinium tanpa adanya penebalan usus. Hasil negatif
palsu paling sering terjadi jika terdapat distensi usus yang suboptimal 8

( VIII ) USG
Hasil pemeriksaan USG mempunyai variabilitas yang tinggi, yang tergantung pada
keahlian pemeriksa dalam mendeteksi perubahan-perubahan pada dinding usus.USG dapat
menjadi alternatif dari CT Scan dalam mengevaluasi manifestasi-manifestasi intra dan ekstra
luminal dari Crohn’s disease. Dinding saluran cerna yang normal terlihat sebagai 5 konsentris
dari lapisan-lapisan echogenic dan hypoechoic yang berseang-seling; gambaran ini dikenal
sebagai “the gut signature”. Dinding saluran cerna yang normal mempunyai ketebalan kurang
dari 5 mm. 6

Pada kasus Crohn’s disease aktif, ketebalan dinding usus berkisar antara 5 mm hingga
2 cm dengan gambaran lapisan-lapisan yang menghilang sebagian atau seluruhnya, yang
merefleksikan adanya edema transmural, inflamasi, atau fibrosis. Jika terjadi inflamasi yang
hebat, dinding usus akan tampak hypoechoic merata dengan garis hyperechoic ditengahnya
yang berhubungan dengan penyempitan lumen. Gerakan peristalsis menurun atau
menghilang, dan segmen usus yang sakit tidak dapat dikompresi dan kaku dengan hilangnya
haustra. 6
Gambar 19. A dan B, hasil pencitraan USG pada pasien dengan Crohn’s disease, terlihat
adanya penebalan dinding usus yang hypoechoic, hilangnya “gut
signature”, dan garis hyperechoic yang menunjukkan penyempitan lumen
usus.

USG dapat mencitrakan adanya “ballooning” dari segmen-segmen yang tidak terlibat,
yang terlihat sebagai kantung-kantung fokal. Hasil pemeriksaan ini merefleksikan “skip
lesions” pada Crohn’s disease. Akurasi USG dapat ditingkatkan dengan menggunakan
pencitraan berwarna Doppler, yang dapat bermanfaat dalam mendeteksi dinding usus yang
hiperemis atau terinflamasi selama fase aktif penyakit 8.

Dengan adanya inflamasi transmural, terjadilah edema and fibrosis dari mesenterium
yang berhubungan, berakibat adanya proyeksi jaringan lemak mesenterium yang terlihat
seperti jari-jari yang mencengkram permukaan serosa usus. Pada ultrasonogram, gambaran
ini tampak sebagai massa yang hyperechoic, yang secara klasik terlihat pada batas cephalic
ileum terminal. Dengan penyakit yang telah berlangsung lama, gambaran ini akan terlihat
lebih heterogen atau bahkan hypoechoic.8

(IX ) RADIONUKLIR

Leukosit yang diberi penanda technetium-99m-HMPAO atau indium-111 dapat


digunakan untuk menentukan inflamasi aktif usus pada inflammatory bowel disease.
111 99m
Dibandingkan dengan penanda In, penanda Tc HMPAO mempunyai karakteristik
pencitraan yang lebih baik dan dapat lebih cepat dicitrakan segera setelah injeksinya. Akan
tetapi, biasanya pencitraan harus dilakukan dalam waktu beberapa jam setelah injeksi leukosit
99m
berlabel Tc HMPAO sebagaimana telah terjadi ekskresi normal ke usus, tidak seperti
leukosit berlabel 111In, yang tidak mempunyai ekskresi ke usus.9

99m
Molnar dkk menemukan bahwa pencitraan leukosit berlabel Tc HMPAO pada
Crohn’s disease yang aktif mempunyai sensitivitas 76,1% dan spesifisitas 91,0%, dan lebih
baik dalam mendeteksi aktivitas inflamasi segmental dibandingkan dengan CT Scan,
sementara CT Scan lebih unggul dalam mendeteksi adanya komplikasi.9

Positif palsu dapat terlihat pada perdarahan saluran cerna, tertelannya leukosit
(misalnya, dari uptake yang berhubungan dengan sinusitis atau nasogastric tubes), atau
aktivitas yang berhubungan dengan pelepasan enteric tubes. Sebagai tambahan, uptake
leukosit tidak spesifik untuk Crohn’s disease dan akan terlihat pada sebagian besar proses-
proses infeksius atau inflamasi usus.6

Derajat Keparahan Crohn’s Disease


1. Ringan – Sedang, yaitu pasien masih dapat mentoleransi makanan per oral, tidak ada
manifestasi dehidrasi maupun toksisitas (seperti demam tinggi, kaku, lemas), tidak
ada nyeri perut, massa yang nyeri, obstruksi, atau penurunan berat badan > 10%.

2. Sedang – Berat, yaitu pasien yang gagal merespon terapi atau pasien dengan gejala-
gejala yang lebih menonjol, yaitu demam, penurunan berat badan yang signifikan,
nyeri perut, mual atau muntah intermiten (tanpa tanda-tanda obstruksi), atau anemia
yang signifikan.

3. Berat – Fulminan, yaitu pasien dengan gejala yang menetap walaupun dengan terapi
steroid, atau pasien dengan gejala demam tinggi, muntah persisten, ada tanda
obstruksi intestinal, nyeri “rebound”, cachexia, atau ditemukannya abses.

4. Remisi, yaitu pasien yang asimtomatik atau tanpa sequealae inflamasi, juga pasien
yang respon terhadap intervensi medis akut atau telah melakukan pembedahan dengan
reseksi tanpa ditemukannya gejala sisa, dan pasien juga tidak tergantung terhadap
steroid untuk mempertahankan kondisinya yang membaik.

2.6 Diagnosis Banding


Menurut Guideline World Gastroenterology Organization tahun 2010
direkomendasikan untuk mengeksklusi schistosomiasis kronik dan amebiasis dalam diagnosis
banding UC. Untuk diagnosis banding CD, yang perlu dieksklusi adalah amebiasis kronik,
infeksi Yersinia kronik, limfogranuloma venereum, aktinomikosis, diverticulitis kronis,
Behcet disease, nonsteroidal anti-inflammatory drug (NSAID) enteropathy.5,6,7

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan IBD dapat dengan terapi obat-obatan, pembedahan, maupun kombinasi


keduanya (lebih sering kombinasi). Pendekatan terapi farmakologi pada pasien IBD yaitu
terapi berdasarkan gejala dan pendekatan secara step-wise dengan obat-obatan sampai respon
yang diharapkan tercapai.1,2 Terapi simtomatis karena biasanya pasien IBD memiliki gejala
seperti diare, spasme atau nyeri, ketidaknyamanan epigastrium, maka diberikan obat-obatan
seperti antidiare, antispasmodic, pereda asam lambung, dan lain-lain. 1,2,5,6,7

I. Loperamide dan kombinasi antara diphenoxylate dan atropine berguna untuk penyakit
yang ringan dengan tujuan mengurangi pergerakan usus dan urgensi rektum.

II. Cholestyramine mengikat garam empedu sehingga berguna untuk mengurangi diare
pada pasien dengan CD yang sudah direseksi ileumnya. Terapi antikholinergik
dicyclomide dapat membantu mengurangi spasme intestinal.1,2

Obat-obatan ini bukan tanpa komplikasi, dan harus hati-hati penggunaannya. Antidiare
dan antikholinergik harus dihindari untuk penyakit akut yang parah, karena obat- obat ini
dapat mencetuskan terjadinya megakolon toksik. Hindari juga penggunaan narkotik dalam
waktu jangka panjang untuk penatalaksanaan nyerinya. Suplemen zat besi perlu ditambahkan
jika terdapat perdarahan rektum yang signifikan.1,2,6

III. Terapi Step-Wise

Pendekatan secara step-wise digunakan dengan cara memakai obat yang paling ringan
(atau sementara) terlebih dahulu, jika obat itu gagal, obat-obatan pada tahap berikutnya yang
digunakan.
1. Step I Aminosalisilat
Aminosalisilat digunakan untuk menangani perluasan IBD dan mempertahankan remisi.
Tidak ada aminosalisilat yang dibuktikan memiliki efikasi yang lebih baik untuk pengobatan
UC maupun CD dibandingkan terapi lainnya. Terapi dengan obat ini lebih efektif pada pasien
dengan UC dibandingkan CD, namun dapat mencegah rekurensi pada pasien CD yang sudah
ditangani dengan pembedahan.1,2

2. Step II Antibiotik
Metronidazole dan ciprofloxacin merupakan antibiotik tersering yang digunakan pada
pasien IBD. Pada beberapa penelitian, terapi antituberkulosis, makrolid, fluoroquinolone dan
rifaximin (monoterapi maupun kombinasi) dapat menginduksi remisi pada CD maupun UC
yang aktif.biasanya pasien dengan UC menggunakan antibiotik untuk perioperatif, sedangkan
pada CD antibiotik digunakan pada berbagai indikasi, paling sering adalah penyakit perianal.
Bisa juga untuk fistula, masa inflamatorik pada abdomen, dan ileitis. Antibiotik ini banyak
memiliki berbagai efek samping yang potensial seperti mual, diare, anoreksia, infeksi
monolial (candida), dan neuropati Uperifer.1,2

3. Step II Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan agen anti inflamasi yang bekerja dengan cepat dan indikasinya
untuk IBD yaitu pada penyakit dengan perluasan akut saja, tidak untuk mempertahankan
remisi. Penggunaan kortikosteroid dibatasi oleh karena berbagai efek sampingnya, terutama
pada penggunaan jangka panjang. Komplikasi potensial dari penggunaan kortikosteroid
antara lain abnormalitas keseimbangan cairan dan elektrolit, osteoporosis, nekrosis aseptik,
ulkus peptikum, katarak, disfungsi neurologi dan endokrin, komplikasi infeksius, dan
gangguan psikiatri (termasuk psikosis).1,2,6 Rute administrasi kortikosteroid yaitu:

a. Intravena, contohnya methylprednisolone, hydrocortisone. Biasanya digunakan untuk


pasien dengan sakit yang parah dengan dosis awal biasanya 40 mg setiap 6 jam untuk
methylprednisolone, atau 100 mg tiap 8 jam untuk hidrokortison, kemudian dosis
selanjutnya di-tappering. 1

b. Oral, contohnya prednisone, prednisolone, budesonide, deksametason. Dosisnya


bervariasi, yang sering adalah prednisone 10-40 mg per hari untuk perluasan IBD
sedang. Budesonide merupakan kortikosteroid sintetik yang digunakan untuk CD
dengan keterlibatan pada ileum maupun ileoceccum. Preparat ini tidak efektif untuk
UC.1,2

c. Topikal (enema, supositoria, preparat foam) Preparat ini digunakan pada pasien
dengan penyakit pada kolon distal, untuk penyakit yang aktif, dan sedikit peranannya
untuk mempertahankan remisi. Preparat ini efektif untuk IBD ringan sampai sedang
dengan keterlibatan pada kolon distal. Cortenema, Cortifoam, dan suposituria Anusol-
HC digunakan untuk penyakit pada bagian distal seperti proctitis dan
proctosigmoiditis.1

5. Step III Immune modifier

19 6-MP dan azathioprine digunakan pada pasien IBD dengan remisi yang sulit
dipertahankan hanya dengan aminosalisilat saja. Terapi ini bekerja dengan menyebabkan
reduksi jumlah limfosit sehingga onsetnya menjadi lebih lambat (dua sampai tiga bulan).
Preparat ini digunakan paling sering untuk pasien dengan penyakit yang refraktorius, terapi
primer untuk fistula, dan mempertahankan remisi.sebelum memulai terapi ini, pasien
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan genotip atau fenotip thiopurine methyltransferase
(TPMT) karena resiko terjadinya leukopenia yang parah (menyebabkan komplikasi sepsis),
juga diperlukan monitoring terhadap parameter darah setiap bulannya, dan tes fungsi hati
juga perlu secara intermiten.1,2,6

6. Step IV Terapi eksperimental

Terapi eksperimental yang digunakan pasien dengan CD yaitu methotrexate, thalidomide,


dan IL-11. Sedangkan untuk UC yang digunakan cyclosporine A, nicotine patch, butyrate
enema, dan heparin. Terapi oksigen hiperbarik dapat juga membantu terapi IBD yang tidak
responsive dengan terapi lain.1,2

IV.Intervensi Pembedahan

Pendekatan dengan terapi pembedahan pada IBD bervariasi tergantung pada penyakitnya.
Yang terpenting, UC merupakan penyakit yang dapat disembuhkan dengan pembedahan
karena terbatas pada kolon. Sedangkan CD yang dapat melibatkan seluruh segmen saluran
pencernaan dari mulut sampai anus, pembedahan dengan reseksi bukan merupakan terapi
yang kuratif. Perlu diingat juga, intervensi pembedahan yang berlebihan dapat menyebabkan
crippling short bowel syndrome.1,2,5,7

2.8 Komplikasi Inflammatory Bowel Disease


Banyak komplikasi yang berhubungan dengan IBD yang dapat terjadi baik pada UC
maupun pada CD. Komplikasi ekstraintestinal dapat terjadi kira-kira 20% dari pasien dengan
IBD. Pada beberapa kasus, komplikasi tersebut dapat lebih menjadi masalah dibandingkan
penyakitnya sendiri. Komplikasi intestinal yang dapat terjadi adalah striktur, fistula dan
abses, perforasi, megakolon toksik, dan keganasan.1,6
Komplikasi ekstraintestinalnya yaitu crippling osteoporosis, hiperkoagulasi, anemia,
batu empedu, cholangitis sklerotik primer, aphtous ulcer, iritis (uveitis), episkleritis, dan
komplikasi pada kulit seperti pyoderma gangrenosum dan eritema nodosum. 1,6,7 Banyak
pasien mengalami lebih dari satu Prognosis Inflammatory Bowel Disease UC dan CD
memiliki angka mortalitas yang hampir sama. Walaupun mortalitas UC menurun dalam 40-
50 tahun terakhir ini, namun kebanyakan studi menyatakan bahwa adanya peningkatan
mortalitas yang berhubungan dengan IBD.
Penyebab tersering kematian pada pasien IBD adalah penyakit primer, yang diikuti
dengan keganasan, penyakit tromboemboli, peritonitis dengan sepsis, dan komplikasi
pembedahan.1,6 Pasien dengan IBD akan lebih mudah menuju ke arah keganasan. Pasien
dengan CD memiliki angka yang lebih tinggi untuk terjadinya keganasan pada usus halus.
Pasien dengan pancolitis, khususnya UC, akan beresiko lebih tinggi berkembang menjadi
komplikasi ekstraintestinal.
Faktor resiko mengalami komplikasi adalah riwayat keluarga dan fase aktif dari
penyakit CD saja. Tidak ada faktor resiko yang signifikan untuk pasien dengan UC. 1,7
malignansi kolon setelah 8-10 tahun. Standar terkini untuk screening adalah mendeteksi
dengan colonoscopy dalam interval 2 tahun saat pasien mengidap penyakit tersebut.1
Morbiditas jangka panjang dapat terjadi akibat dari komplikasi terapi obat-obatan, khususnya
penggunaan steroid jangka panjang.1

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Crohn’s disease merupakan penyakit inflamasi kronis transmural pada saluran cerna
dengan etiologi yang tidak diketahui. Crohn’s disease dapat melibatkan setiap bagian dari
saluran cerna mulai dari mulut hingga anus tetapi paling sering menyerang usus halus dan
colon.
Teknik pemeriksan radiologi kontras merupakan pemeriksaan diagnostik pada IBD
yang saling melengkapi dengan endoskopi. Barium kontras ganda dapat memperlihatkan
striktur, fistula, mukosa yang irregular, gambaran ulkus dan polip, ataupun perubahan
distensibilitas lumen kolon berupa penebalan dinding usus dan hilangnya haustrae.
Interpretasi radiologik tidak berkorelasi dengan aktivitas penyakit.
Pemeriksaan radiologi merupakan kontraindikasi pada colitis ulseratif berat karena
dapat mencetuskan megakolon toksik. Foto polos abdomen secara sederhana dapat
mendeteksi adanya dilatasi toksik yaitu tampak lumen usus yang melebar tanpa material feses
di dalamnya. Untuk menilai keterlibatan usus halus dapat dipakai metode enterocolytis yaitu
pemasangan kanul nasogastrik sampai melewati ligamentum Treitz sehingga barium dapat
dialirkan secara kontinyu tanpa terganggu oleh kontraksi pylorus. Peran CT scan dan
ultrasonografi lebih banyak ditujukan pada PC mendeteksi adanya abses dalam ataupun
fistula.

3.2 Saran

Apabila seorang pasien dicurigai mengalami crohn’ disease, maka pemeriksaan


penunjang yang dirasa tepat adalah pemeriksaan radiologis dengan X – Foto, USG atau CT
Scan. USG dapat dijadikan sebagai pencitraan awal, karena selain non invasif dan tidak ada
bahaya radiasi, juga dapat melihat penebalan dinding colon. Sedangkan CT Scan dapat
dilakukan sebagai pencitraan radiologi selanjutnya karena memberikan keuntungan dalam
mengevaluasi adanya abses ; fistula.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Rowe WA. Inflammatory Bowel Disease. Available at: http://emedicine.medscape.com.

Last update: June 30, 2011. Accessed at: September 28 , 2017.

2. Talley NJ, Abreu MT, Achkar JP, Bernstein CN, Dubinsky MC, Hanauer SB, Kane SV,

Sandborn WJ, Ullman TA, Moayyedi P. An Evidence-Based Systemic Review on Medical

Therapies for Inflammatory Bowel Disease. Am J Gastroenterol 2011; 106:S2 – S25.

3. Sartor RB. Mechanism of Disease: pathogenesis of Crohn’s disease and ulcerative colitis.

NCP Gast Hep 2006; 3(7):390-407.

4. Abraham C. Mechanism of Disease: Inflammatory Bowel Disease. N Engl J Med 2009;

361:2066-78.

5. Kefalides PT, Hanauer SB. Ulcerative Colitis: diagnosis and management. Available at:

www.turner-white.com. Last Update: 2002. Accessed at: September 28, 2017.

6. Longmore M, Wilkinson IB, Turmezei T, Cheung CK. Oxford Handbook of Clinical

Medicine. 7th ed. New York: Oxford United Press Inc; 2007: p.264-267.

7. Hanauer SB, Sandborn W. Management of Crohn’s disease in Adults. Am J Gastroenterol

2001; 96:635-643.

8. de Saussure P, Soravia C. Crohn’s Disease. N Engl J Med 2005; 352:21.

9. Sanchez W, Loftus EV. Fistulizing Crohn’s Disease. N Engl J Med 2002; 347(6):416.

Anda mungkin juga menyukai