Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

HIDROSEFALUS

I. Konsep Kebutuhan Istirahat dan Tidur


1.1 Definisi
Hidrosefalus merupakan keadaan yang disebabkan gangguan
keseimbangan antara produksi dan absorpsi cairan serebrospinal
dalam sistem ventrikel otak. Jika produksi CSS lebih besar daripada
absorpsi, CSS akan terakumulasi dalam sistem ventrikel, dan
biasanya peningkatan tekanan akan menghasilkan dilatasi pasif
ventrikel (Wong,2009).
Hidrocephalus adalah kelainan dimana terjadi peningkatan jumlah
cairan cerebrospinal dalam rongga otak dan atau spinal (Mansjoer,
2008).
Hidrosefalus merupakan keadaan patologis otak yang
mengakibatkan bertmbahnya cairan serebro spinalis tanpa atau
pernah dengan tekanan intracranial yang meninggi sehingga terdapat
pelebaran ruangan tempat mengalirnya cairan serebro spinal
(Ngastiyah,2007).
Hidrosefalus merupakan sindroma klinis yang dicirikan dengan
dilatasi yang progresif pada system ventrikuler cerebral dan
kompresi gabungan dari jaringan – jaringan serebral selama produksi
CSF berlangsung yang meningkatkan kecepatan absorbsi oleh vili
arachnoid. Akibat berlebihannya cairan serebrospinalis dan
meningkatnya tekanan intrakranial menyebabkan terjadinya
peleburan ruang – ruang tempat mengalirnya liquor (Mualim, 2010).

1.2 Etiologi
Penyebab pasti terjadinya kelainan bawaan sampai sekarang masih
belum jelas. Biasanya terjadi pada kehamilan yang si ibu masih
muda usianya, dan disebabkan oleh:
1) Kekurangan oksigen (hipoksia)
2) Radiasi
3) Kekurangan nutrisi
4) Radang atau infeksi
5) Cedera atau trauma
6) Obat-obatan
7) Hormonal
Pada hidrosefalus, pengumpulan cairan otak yang berlebihan dalam
ruangan otak dapat terjadi karena:
1) Produksi cairan otak yang berlebihan
2) Gangguan aliran cairan otak
3) Gangguan proses penyerapan (absorbsi) cairan otak
Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi
dan anak ialah: 
a. Kelainan Bawaan (Kongenital)
1) Stenosis akuaduktus Sylvii
Merupakan penyebab yang terbanyak pada hidrosefalus bayi
dan anak (60-90%). Insidensinya berkisar antara 0,5-1
kasus/1000 kelahiran. Stenosis ini bukan berasal dari tumor.
Ada tiga tipe stenosis :
(a) Gliosis akuaduktus: berupa pertumbuhan berlebihan dari
glia fibriler yang menyebabkan konstriksi lumen.
(b) Akuaduktus yang berbilah (seperti garpu) menjadi kanal-
kanal yang kadang dapat tersumbat.
(c) Obstruksi akuaduktus oleh septum ependim yang tipis
(biasanya pada ujung kaudal).
Akuaduktus dapat merupakan saluran buntu sama sekali atau
abnormal lebih sempit dari biasa. Umumnya gejala
hidrosefalus terlihat sejak lahir atau progresif dengan cepat
pada bulan-bulan pertama setelah lahir. Stenosis ini bisa
disebabkan karena kelainan metabolisme akibat ibu
menggunakan isotretionin (Accutane) untuk pengobatan acne
vulgaris. Oleh karena itu penggunaan derivat retinol (vitamin
A) dilarang pada wanita hamil. Hidrosefalus iatrogenik ini
jarang sekali terjadi, hal ini dapat disebabkan oleh
hipervitaminosis A yang akut atau kronis, di mana keadaan
tersebut dapat mengakibatkan sekresi likuor menjadi
meningkat atau meningkatnya permeabilitas sawar darah
otak. Stenosis ini biasanya dapat bersamaan dengan
malformasi lain seperti: malformasi Arnold chiari,
ensefalokel oksipital (Lott et al, 1984).
2) Spina bifida dan kranium bifida
Hidrosefalus pada kelainan ini biasanya berhubungan dengan
sindrom Arnold-Chiari akibat tertariknya medula spinalis
dengan medula oblongata dan serebelum letaknya lebih
rendah dan menutupi foramen magnum sehingga terjadi
penyumbatan sebagian atau total. Anomali Arnold-chiari ini
dapat timbul bersama dengan suatu meningokel atau suatu
meningomielokel.
3) Sindrom Dandy-Walker
Malformasi ini melibatkan 2-4% bayi baru lahir dengan
hidrosefalus. Etiologinya tidak diketahui. Malformasi ini
berupa ekspansi kistik ventrikel IV dan hipoplasi vermis
serebelum. Kelainan berupa atresia kongenital foramen
Luschka dan Magendie dengan akibat hidrosefalus obstruktif
dengan pelebaran sistem ventrikel terutama ventrikel IV yang
dapat sedemikian besarnya hingga merupakan suatu kista
yang besar di daerah fosa posterior. Hidrosefalus yang terjadi
diakibatkan oleh hubungan antara dilatasi ventrikel IV dan
rongga subarakhnoid yang tidak adekuat, dan hal ini dapat
tampil pada saat lahir, namun 80% kasusnya biasanya tampak
dalam tiga bulan pertama. Kasus semacam ini sering terjadi
bersamaan dengan anomali lainnya seperti: agenesis korpus
kalosum, labiopalatoskisis, anomali okuler, anomali jantung,
dan sebagainya.
4) Kista araknoid
Dapat terjadi kongenital tetapi dapat juga timbul akibat
trauma sekunder suatu hematoma.
5) Anomali pembuluh darah
Dalam kepustakaan dilaporkan terjadinya hidrosefalus akibat
aneurisma arterio-vena yang mengenai arteria serebralis
posterior dengan vena Galeni atau sinus transversus dengan
akibat obstruksi akuaduktus.
b. Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen sehingga dapat
terjadi obliterasi ruangan subaraknoid. Pelebaran ventrikel pada
fase akut meningitis purulenta terjadi bila aliran CSS terganggu
oleh obstruksi mekanik eksudat purulen di akuaduktus Sylvii
atau sisterna basalis. Lebih banyak hidrosefalus terdapat pasca
meningitis. Pembesaran kepala dapat terjadi beberapa minggu
sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitisnya.
Secara patologis terlihat penebalan jaringan piamater dan
araknoid sekitar sisterna basalis dan daerah lain. Pada meningitis
serosa tuberkulosa, perlekatan meningen terutama terdapat di
daerah basal sekitar sisterna kiasmatika dan interpedunkularis,
sedangkan pada meningitis purulenta lokalisasinya lebih tersebar.
Selain karena meningitis, penyebab lain infeksi pada sistem saraf
pusat adalah karena toxoplasmosis (Ngoerah, 1991). Infeksi
toxoplasmosis sering terjadi pada ibu yang hamil atau penderita
dengan imunokompeten (Pohan, 1996). Penularan toxoplasmosis
kepada neonatus didapat melalui penularan transplasenta dari ibu
yang telah menderita infeksi asimtomatik. Dalam bentuk infeksi
subakut, tetrade yang menyolok adalah perkapuran intraserebral,
chorioretinitis, hidrosefalus atau mikrosefalus, dan gangguan
psikomotor dan kejang-kejang (Pribadi, 1983).
c. Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap
tempat aliran CSS. Pengobatan dalam hal ini ditujukan kepada
penyebabnya dan apabila tumor tidak mungkin dioperasi, maka
dapat dilakukan tindakan paliatif dengan mengalirkan CSS
melalui saluran buatan atau pirau. Pada anak yang terbanyak
menyebabkan penyumbatan ventrikel IV atau akuaduktus Sylvii
bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal dari
serebelum, sedangkan penyumbatan bagian depan ventrikel III
biasanya disebabkan suatu kraniofaringioma.
d. Perdarahan
Telah banyak dibuktikan bahwa perdarahan sebelum dan sesudah
lahir dalam otak, dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen
terutama pada daerah basal otak, selain penyumbatan yang
terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri. Hal tersebut juga
dapat dipicu oleh karena adanya trauma kapitis (Hassan et al,
1985).
Selanjutnya hidrosefalus dengan penyebab pertama tersebut
diatas dikelompokan sebagai hidrosefalus kongenitus, sedangkan
penyebab kedua sampai ke empat dikelompokkan sebagai
hidrosefalus akuisita. Sebab-sebab prenatal merupakan faktor
yang bertanggung jawab atas terjadinya hidrosefalus kongenital
yang timbul in-utero dan kemudian bermanifestasi baik in-utero
ataupun setelah lahir. Sebab-sebab ini mencakup malformasi
(anomali perkembangan sporadis), infeksi atau kelainan
vaskuler. Pada sebagian besar pasien banyak yang etiologinya
tidak dapat diketahui, dan untuk ini diistilahkan sebagai
hidrosefalus idiopatik. Dari bukti eksperimental pada beberapa
spesies hewan mengisyaratkan infeksi virus pada janin terutama
parotitis dapat sebagai faktor etiologi (Ngoerah, 1991).

1.3 Tanda gejala


Hidrosefalus dapat menyebabkan kerusakan otak permanen, jadi
penting bagi kita untuk mengenali gejala kondisi ini dan mencari
pertolongan medis sesegera mungkin. Perlu dicatat bahwa kondisi ini
lebih umum pada anak-anak, tetapi bisa terjadi pada usia berapa pun.
Gejala yang mungkin terjadi antara lain:
a. Sakit kepala (sering bertambah buruk ketika berbaring atau saat
bangun tidur)
b. Mual/muntah
c. Masalah dengan keseimbangan
d. Sulit berjalan
e. Koordinasi lemah
f. Inkontinensia
g. Perubahan kepribadian
h. Linglung
i. Masalah memori
j. Dementia
k. Koma hingga kematian.
Pada bayi, gejala yang mungkin terjadi yaitu:
a. Perkembangan yang lambat
b. Kehilangan hasil perkembangan - tidak mampu lagi melakukan
kegiatan yang sebelumnya bisa mereka lakukan
c. Bulging fontanelle (titik lembut pada kepala)
d. Lingkar kepala besar

1.4 Patofisiologi
Jika terdapat obstruksi pada system ventrikuler atau pada ruangan
subarachnoid, ventrikel serebral melebar, menyebabkan permukaan
ventrikuler mengkerut dan merobek garis ependymal. White mater
dibawahnya akan mengalami atrofi dan tereduksi menjadi pita yang
tipis. Pada gray matter terdapat pemeliharaan yang bersifat selektif,
sehingga walaupun ventrikel telah mengalami pembesaran gray
matter tidak mengalami gangguan. Proses dilatasi itu dapat
merupakan proses yang tiba – tiba / akut dan dapat juga selektif
tergantung pada kedudukan penyumbatan. Proses akut itu
merupakan kasus emergency. Pada bayi dan anak kecil sutura
kranialnya melipat dan melebar untuk mengakomodasi peningkatan
massa cranial. Jika fontanela anterior tidak tertutup dia tidak akan
mengembang dan terasa tegang pada perabaan.Stenosis aquaductal
(Penyakit keluarga / keturunan yang terpaut seks) menyebabkan titik
pelebaran pada ventrikel lateral dan tengah, pelebaran ini
menyebabkan kepala berbentuk khas yaitu penampakan dahi yang
menonjol secara dominan (dominan Frontal blow). Syndroma dandy
walkker akan terjadi jika terjadi obstruksi pada foramina di luar pada
ventrikel IV. Ventrikel ke IV melebar dan fossae posterior menonjol
memenuhi sebagian besar ruang dibawah tentorium. Klein dengan
type hidrosephalus diatas akan mengalami pembesaran cerebrum
yang secara simetris dan wajahnya tampak kecil secara
disproporsional.
Pada orang yang lebih tua, sutura cranial telah menutup sehingga
membatasi ekspansi masa otak, sebagai akibatnya menujukkan
gejala : Kenailkan ICP sebelum ventrikjel cerebral menjadi sangat
membesar. Kerusakan dalam absorbsi dan sirkulasi CSF pada
hidrosephalus tidak komplit. CSF melebihi kapasitas normal sistim
ventrikel tiap 6 – 8 jam dan ketiadaan absorbsi total akan
menyebabkankematian.
Pada pelebaran ventrikular menyebabkan robeknya garis ependyma
normal yang pada didning rongga memungkinkan kenaikan absorpsi.
Jika route kolateral cukup untuk mencegah dilatasi ventrikular lebih
lanjut maka akan terjadi keadaan kompensasi.

1.5 Pemeriksaan penunjang


a. Scan temografi komputer (CT-Scan) mempertegas adanya
dilatasi ventrikel dan membantu dalam mengidentifikasi
kemungkinan penyebabnya (neoplasma, kista, malformasi
konginetal atau perdarahan intra kranial)
b. Pungsi ventrikel kadang digunakan untuk mengukur tekanan
intra kranial, mengambil cairan serebrospinal untuk kultur
(aturan ditentukan untuk pengulangan pengaliran).
c. EEG: untuk mengetahui kelainan genetik atau metabolik
d. Transluminasi: untuk mengetahui adanya kelainan dalam kepala
e. MRI (Magnetik Resonance Imaging): memberi informasi
mengenai struktur otak tanpa kena radiasi

I.6 Komplikasi
Komplikasi Hidrosefalus (Whaley and Wong, 2009)
a. Peningkatan TIK
b. Pembesaran kepala
c. kerusakan otak
d. Meningitis, ventrikularis, abses abdomen
e. Ekstremitas mengalami kelemahan, inkoordinasi, sensibilitas
kulit menurun
f. Kerusakan jaringan saraf
g. Proses aliran darah terganggu
I.7 Penatalaksanaan
a. Pencegahan
Untuk mencegah timbulnya kelainan genetic perlu dilakukan
penyuluhan genetic, penerangan keluarga berencana serta
menghindari perkawinan antar keluarga dekat. Proses
persalinan/kelahirandiusahakan dalam batas-batas fisiologik
untuk menghindari trauma kepala bayi. Tindakan pembedahan
Caesar suatu saat lebih dipilih dari pada menanggung resiko
cedera kepala bayi sewaktu lahir.
b. Terapi
1) Terapi medikamentosa
Ditujukan untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui
upaya mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid atau
upaya meningkatkan resorbsinya. Dapat dicoba pada pasien
yang tidak gawat, terutama pada pusat kesehatan dimana
sarana bedah saraf tidak ada. Obat yang sering digunakan
adalah:
(a) Asetasolamid
Cara pemberian dan dosis; Per oral 2-3 x 125 mg/hari,
dosis ini dapat ditingkatkan sampai maksimal 1.200
mg/hari
(b) Furosemid
Cara pemberian dan dosis; Per oral, 1,2 mg/kgBB 1x/hari
atau injeksi iv 0,6 mg/kgBB/hari Bila tidak ada
perubahan setelah satu minggu pasien diprogramkan
untuk operasi.
2) Lumbal pungsi berulang (serial lumbar puncture)
Mekanisme pungsi lumbal berulang dalam hal menghentikan
progresivitas hidrosefalus belum diketahui secara pasti. Pada
pungsi lumbal berulang akan terjadi penurunan tekanan CSS
secara intermiten yang memungkinkan absorpsi CSS oleh vili
arakhnoidalis akan lebih mudah.
Indikasi : umumnya dikerjakan pada hidrosefalus
komunikan terutama pada hidrosefalus yang terjadi setelah
perdarahan subarakhnoid, periventricular intraventrikular dan
meningitis TBC. Diindikasikan juga pada hidrosefalus
komunikan dimana shunt tidak bisa dikerjakan atau
kemungkinan akan terjadi herniasi (impending herniation)
Cara:
(a) LP dikerjakan dengan memakai jarum ukuran 22, pada
interspace L2-3 atau L3-4 dan CSS dibiarkan mengalir di
bawah pengaruh gaya gravitasi.
(b) LP dihentikan jika aliran CSS terhenti. Tetapi ada juga
yang memakai cara setiap LP CSS dikeluarkan 3-5 ml.
(c) Mula-mula LP dilakukan setiap hari, jika CSS yang
keluar kurang dari 5 ml, LP diperjarang (2-3
hari).Dilakukan evaluasi dengan pemeriksaan CT scan
kepala setiap minggu.
(d) LP dihentikan jika ukuran ventrikel menetap pada
pemeriksaan CT scan 3 minggu berturut-turut.
(e) Tindakan ini dianggap gagal jika :
(1) Dilatasi ventrikel menetap
(2) Cortical mantel makin tipis
(3) Pada lokasi lumbal punksi terjadi sikatriks
(4) Dilatasi ventrikel yang progresif
Komplikasi : herniasi transtentorial atau tonsiler, infeksi,
hipoproteinemia dan gangguan elektrolit.
3) Terapi Operasi
Operasi biasanya langsung dikerjakan pada penderita
hidrosefalus. Pada penderita gawat yang menunggu operasi
biasanya diberikan : Mannitol per infus 0,5-2 g/kgBB/hari
yang diberikan dalam jangka waktu 10-30 menit.
(a) “Third Ventrikulostomi”/Ventrikel III
Lewat kraniotom, ventrikel III dibuka melalui daerah
khiasma optikum, dengan bantuan endoskopi.
Selanjutnya dibuat lubang sehingga CSS dari ventrikel III
dapat mengalir keluar.
(b) Operasi pintas/”Shunting”
Ada 2 macam :
(1) Eksternal
CSS dialirkan dari ventrikel ke luar tubuh, dan
bersifat hanya sementara. Misalnya: pungsi lumbal
yang berulang-ulang untuk terapi hidrosefalus
tekanan normal.
(2) Internal
- CSS dialirkan dari ventrikel ke dalam anggota
tubuh lain.
 Ventrikulo-Sisternal, CSS dialirkan ke sisterna
magna (ThorKjeldsen)
 Ventrikulo-Atrial, CSS dialirkan ke atrium
kanan.
 Ventrikulo-Sinus, CSS dialirkan ke sinus
sagitalis superior
 Ventrikulo-Bronkhial, CSS dialirkan ke
Bronkhus
 Ventrikulo-Mediastinal, CSS dialirkan ke
mediastinum
 Ventrikulo-Peritoneal, CSS dialirkan ke
rongga peritoneum
- “Lumbo Peritoneal Shunt”
CSS dialirkan dari Resessus Spinalis Lumbalis ke
rongga peritoneum dengan operasi terbuka atau
dengan jarum Touhy secara perkutan.
1.8 Patway
II. Rencana Asuhan Klien dengan Gangguan Hidrosefalus
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat Keperawatan
a. Riwayat Penyakit/Keluahan Utama
Muntah, gelisah nyeri kepala, lethargi, lelah apatis,
penglihatan ganda, perubahan pupil, kontriksi penglihatan
perifer.
b. Riwayat Perkembangan
1) Kelahiran : Lahir dengan pertolongan, pada waktu
lahir menangis keras atau tidak.
2) Kekejangan : Mulut dan perubahan tingkah laku.
3) Apakah pernah terjatuh dengan kepala terbentur.
4) Keluhan sakit perut.

2.1.2 Pemeriksaan Fisik: Data Fokus


a. Inspeksi
1) Anak dapat melihat keatas atau tidak.
2) Pembesaran kepala.
3) Dahi menonjol dan mengkilat. Sertas pembuluh dara
terlihat jelas.
b. Palpasi:
1) Ukur lingkar kepala : Kepala semakin membesar.
2) Fontanela : Keterlamabatan penutupan fontanela
anterior sehingga fontanela tegang, keras dan sedikit
tinggi dari permukaan tengkorak.
c. Pemeriksaan Mata
1) Akomodasi.
2) Gerakan bola mata.
3) Luas lapang pandang
4) Konvergensi.
5) Didapatkan hasil : alis mata dan bulu mata keatas,
tidak bisa melihat keatas.
6) Stabismus, nystaqmus, atropi optic.
2.1.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Scan temografi komputer (CT-Scan) mempertegas
adanya dilatasi ventrikel dan membantu dalam
mengidentifikasi kemungkinan penyebabnya
(neoplasma, kista, malformasi konginetal atau
perdarahan intra kranial)
b. Pungsi ventrikel kadang digunakan untuk mengukur
tekanan intra kranial, mengambil cairan serebrospinal
untuk kultur (aturan ditentukan untuk pengulangan
pengaliran).
c. EEG: untuk mengetahui kelainan genetik atau metabolik
d. Transluminasi: untuk mengetahui adanya kelainan dalam
kepala
e. MRI (Magnetik Resonance Imaging): memberi informasi
mengenai struktur otak tanpa kena radiasi

2.2 Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


a. Nyeri akut b/d dilatasi ventrikel otak
b. Hambatan mobilitas fisik b/d pembesaran kepala
c. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan b/d penurunan
fungsi neurologis
d. Risiko perubahan integritas kulit kepala b/d ketidakmampuan
bayi dalam mengerakan kepala akibat peningkatan ukuran dan
berat kepala
e. Resiko tinggi terjadi cidera b/d peningkatan tekanan intra kranial

Diagnosa 1: Nyeri akut

2.2.1 Definisi
Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian
rupa (international association for the study of pain) awitan
yang tiba – tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga
berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi
dan berlangsung <6 bulan.
2.2.2 Batasan Karakteristik
a. Perubahan selera makan
b. Perubahan tekanan darah
c. Perubahan frekuensi janutng
d. Perubahan frekuensi pernapasan
e. Perilaku distraksi (mis., berjalan mondar mandir, mencari
orang lain dan atau aktivitas lain, aktivitas yang berulang)
f. Mengekspresikan perilaku (mis., gelisah, merengek,
menangis, waspada, iritabilitas, mendesah)
g. Masker wajah (mis., mata kurang bercahaya, tampak
kacau, gerakan mata berpencar atau tetap pada satu fokus,
meringis)
h. Laporan isyarat
i. Diaforesis
j. Sikap melindungi area nyeri
k. Fokus menyempit (mis.., gangguan persepsi nyeri,
hambatan proses berpikir, penurunan interaksi dengan
orang dan lingkungan)
l. Indikasi nyeri yanh dapat diamati
m. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
n. Sikap tubuh melindungi
o. Dilatasi pupil
p. Melaporkan nyeri secara verbal
q. Fokus pada diri sendiri
r. Gangguan tidur.

2.2.3 Faktor yang Berhubungan


Agens cedera (mis., biologis, zat kimia, fisik, psikologis)

Diagnosa 2: Hambatan mobilitas fisik (Intoleransi aktivitas)

2.2.4 Definisi
Ketidakcukupan energy psikologis atau fisiologis untuk
melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-
hari yang harus atau yang ingin dilakukan
2.2.5 Batasan Karakteristik
a. Respons tekanan darah abnormal terhadap aktivitas
b. Respon frekuensi jantung abnormal terhadap aktivitas
c. Perubahan EKG yang mencerminkan aritmia
d. Perubahan EKG yang mencerminkan iskemia
e. Ketidaknyamanan setelah beraktifitas
f. Dispnea setelah beraktifitas
g. Menyatakan merasa letih
h. Menyatakan merasa lemah

2.2.6 Faktor yang Berhubungan


a. Tirah baring
b. Kelemahan umum
c. Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
d. Imobilitas
e. Gaya hidup monoton

2.3 Perencanaan
Diagnosa 1: Nyeri Akut
2.3.1 Tujuan dan Kiteria Hasil
Setelah diberikan asuhan keperawatan asuhan keperawatan
selama …x 2 jam, nyeri yang dirasakan klien berkurang
dengan criteria hasil :
NOC label : Pain Control
a. Klien melaporkan nyeri berkurang
b. Klien dapat mengenal lamanya (onset) nyeri
c. Klien dapat menggambarkan faktor penyebab
d. Klien dapat menggunakan teknik non farmakologis
e. Klien menggunakan analgesic sesuai instruksi

Pain Level

a. Klien melaporkan nyeri berkurang


b. Klien tidak tampak mengeluh dan menangis
c. Ekspresi wajah klien tidak menunjukkan nyeri
d. Klien tidak gelisah
2.3.2 Intervensi Keperawatan dan Rasional

Intervensi Rasional
NIC Label : Pain Management NIC Label : Pain Management
1. Kaji secara komprehensip 1. Untuk mengetahui tingkat
terhadap nyeri termasuk lokasi, nyeri pasien
karakteristik, durasi, frekuensi, 2. Untuk mengetahui tingkat
kualitas, intensitas nyeri dan ketidaknyamanan
faktor presipitasi dirasakan oleh pasien
2. Observasi reaksi ketidaknyaman 3. Untuk mengalihkan
secara nonverbal perhatian pasien dari rasa
3. Gunakan strategi komunikasi nyeri
terapeutik untuk mengungkapkan 4. Untuk mengetahui apakah
pengalaman nyeri dan nyeri yang dirasakan klien
penerimaan klien terhadap respon berpengaruh terhadap
nyeri yang lainnya
4. Tentukan pengaruh pengalaman 5. Untuk mengurangi factor
nyeri terhadap kualitas yang dapat memperburuk
hidup( napsu makan, tidur, nyeri yang dirasakan klien
aktivitas,mood, hubungan sosial) 6. Pemberian “health
5. Tentukan faktor yang dapat education” dapat
memperburuk nyeriLakukan mengurangi tingkat
evaluasi dengan klien dan tim kecemasan dan membantu
kesehatan lain tentang ukuran klien dalam membentuk
pengontrolan nyeri yang telah mekanisme koping
dilakukan terhadap rasa nyer
6. Berikan informasi tentang nyeri 7. Untuk mengurangi tingkat
termasuk penyebab nyeri, berapa ketidaknyamanan yang
lama nyeri akan hilang, antisipasi dirasakan klien.
terhadap ketidaknyamanan dari 8. Agar nyeri yang dirasakan
prosedur klien tidak bertambah.
7. Control lingkungan yang dapat 9. Agar klien mampu
mempengaruhi respon menggunakan teknik
ketidaknyamanan klien( suhu nonfarmakologi dalam
ruangan, cahaya dan suara) memanagement nyeri
8. Hilangkan faktor presipitasi yang yang dirasakan.
dapat meningkatkan pengalaman 10. Pemberian analgetik dapat
nyeri klien( ketakutan, kurang mengurangi rasa nyeri
pengetahuan) pasien
9. Ajarkan cara penggunaan terapi
non farmakologi (distraksi, guide
imagery,relaksasi)
10. Kolaborasi pemberian analgesic

Diagnosa 2: Intoleransi aktivitas


2.3.3 Tujuan dan Kriteria Hasil
Setelah dilakukan intervensi selama  3 x24 jam diharapkan
kondisi klien stabil saat aktivitas dengan KH:
Activity Tolerance
a. Saturasi O2 saat aktivitas dalam batas normal (95-100%)
b. Nadi saat aktivitas dalam batas normal (60-100x/mnt)
c. RR saat aktivitas dalam batas normal (12-20x/mnt)
d. Tekanan darah systole saat aktivitas dalam batas normal
(100-120mmHg)
e. Tekanan darah diastole saat aktivitas dalam batas normal
(60-80mmHg)
f. Hasil EKG dalam batas normal

Fatigue Level

a. Tidak nampak kelelahan


b. Tidak nampak lesu
c. Tidak ada penurunan nafsu makan
d. Tidak ada sakit kepala
e. Kualitas tidur dan istirahat dalam batas nor

2.3.4 Intervensi Keperawatan dan Rasional

Intervensi Rasional
Activity Therapy Activity Therapy
1. Kolaborasi dengan tim 1. Mengkaji setiap aspek klien
kesehatan lain untuk terhadap terapi latihan yang
merencanakan , monitoring dierencanakan.
program aktivitasi klien. 2. Aktivitas yang teralau berat dan
2. Bantu klien memilih tidak sesuai dengan kondisi
aktivitas yang sesuai dengan klian dapat memperburuk
kondisi. toleransi terhadap latihan.
3. Bantu klien untuk 3. Melatih kekuatan dan irama
melakukan aktivitas/latihan jantung selama aktivitas.
fisik secara teratur. 4. Mengetahui setiap
4. Monitor status perkembangan yang muncul
emosional, fisik dan social segera setelah terapi aktivitas.
serta spiritual klien terhadap 5. EKG memberikan gambaran
latihan/aktivitas. yang akurat mengenai konduksi
5. Monitor hasil jantung selama istirahat maupun
pemeriksaan EKG klien saat aktivitas.
istirahat dan aktivitas (bila 6. Pemberian obat antihipertensi
memungkinkan dengan tes digunakan untuk
toleransi latihan). mengembalikan TD klien dbn,
6. Kolaborasi pemberian obat digitalis untuk mengkoreksi
obat antihipertensi, obat- kegagalan kontraksi jantung
obatan digitalis, diuretic dan pada gambaran EKG, diuretic
vasodilator. dan vasodilator digunakan untuk
Energy Management mengeluarkan kelebihan cairan.
7. Tentukan pembatasan Energy Management
aktivitas fisik pada klien 7. Mencegah penggunaan energy
8. Tentukan persepsi yang berlebihan karena dapat
klien dan perawat mengenai menimbulkan kelelahan.
kelelahan. 8. Memudahkan klien untuk
9. Tentukan penyebab mengenali kelelahan dan waktu
kelelahan (perawatan, nyeri, untuk istirahat.
pengobatan) 9. Mengetahui sumber asupan
10. Monitor efek dari energy klien.
pengobatan klien 10.  Mengetahui etiologi kelelahan,
11. Monitor intake nutrisi apakah mungkin efek samping
yang adekuat sebagai obat atau tidak.
sumber energy. 11. Memastikan kecukupan energi
12. Anjurkan klien dan 12. Menyamakan persepsi perawat-
keluarga untuk mengenali klien mengenai tanda-tanda
tanda dan gejala kelelahan kelelahan dan menentukan
saat aktivitas. kapan aktivitas klien dihentikan.
13. Anjurkan klien untuk 13. Mencegah timbulnya sesak
membatasi aktivitas yang akibat aktivitas fisik yang terlalu
cukup berat seperti berjalan berat.
jauh, berlari, mengangkat 14. Mengetahui efektifitas terapi O2
beban berat, dll. terhadap keluhan sesak selama
14. Monitor respon terapi aktivitas.
oksigen klien. 15. Menciptakan lingkungan yang
15. Batasi stimuli kondusif untuk klien
lingkungan untuk relaksasi beristirahat.
klien. 16. Memfasilitasi waktu istirahat
16. Batasi jumlah klien untuk memperbaiki kondisi
pengunjung klien.
III. Daftar Pustaka

Doenges M.E. 1999. Rencana Asuhan keperawtan : pedoman untuk


perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta:EGC

Lynda Juall Carpenito. 2000. Buku Saku : Diagnosa Keperawatan, Ed.8,


EGC, Jakarta

Mansjoer, A. 2008. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3 jilid 2. Jakarta :


Media Aesculopius

Meddoy, R, and Newell,S. 2007. Lecture Note Pediatrik. Jakarta: EMS

Mc Closky & Bulechek. (2002). Nursing Intervention Classification


(NIC). United States of America:Mosby.

Meidian, JM. (2002). “Nursing Outcomes Classification (NOC).United


States of America:Mosby.

NANDA International. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi, Dan


Klasifikasi 2012-2014/Editor, T. Heather Herdman; Alih Bahasa,
Made Sumarwati, Dan Nike Budhi Subekti ; Editor Edisi Bahasa
Indonesia, Barrah Bariid, Monica Ester, Dan Wuri Praptiani. Jakarta;
EGC.

Nursalam. 2005. Asuhan Keperawatan BAyi dan Anak (untuk perawat dan
bidan). Jakarta: Salemba Medika.

Price,Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi;Konsep klinis proses-proses


penyakit,Jakarta;EGC.

Riyadi. 2009. Asuhan Keperawatan pada Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu

Vanneste JA. Diagnosis and management of normal-pressure


hydrocephalus. J. Neurol, 2000 ; 247 : 5-14.

Soetomenggolo,T.S . Imael .S. 1999. Neorologi anak, Ikatan Dokter


Indonesia, Jakarta

Whaley and Wong. 1995. Nursing Care of infants and children, St.Louis :
Mosby year Book

Wong, D. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Edisi 6 Vol 2. Jakarta:


EGC
Banjarmasin, 31 Oktober 2019

Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

(...........................) (...........................)

Anda mungkin juga menyukai