Anda di halaman 1dari 43

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Enkopresis berasal dari bahasa Yunani en- dan kopros, yang berarti

“feses”. Enkopresis adalah kurangnya kontrol terhadap keinginan buang air besar

pada anak-anak, yang bukan disebabkan oleh penyakit atau kelainan fisik.1

Menurut ICD-10 (World Health Organization, WHO, 2008) dan DSM-

IVTR (American Pscyhiatric Association, APA, 2000), enkopresis didefinisikan

sebagai pelepasan tinja secara langsung dan tidak langsung di tempar-tempat yang

kurang sesuai. 1 Pola harus ditemukan sekurangnya tiga bulan dan usia kronologis

anak harus sekurangnya 4 tahun, atau anak harus mempunyai tingkat

perkembangan anak berusia 4 tahun. Perilaku ini tidak disebabkan karena adanya

efek dari pengobatan (seperti laksatif) atau kondisi medis lainnya. 2

Pada PPDGJ – III disebutkan enkopresis mungkin disertai dengan perilaku

memoleskan tinja pada seluruh tubuh sendiri atau pada lingkungan sekitar.

Terkadang bisa juga terdapat perilaku mencongkel dubur dengan jari walau

perilaku seperti ini jarang terjadi. Tidak terdapat garis pemisah yang jelas antara

enkopresis yang disertai gangguan emosional / perilaku dan gangguan psikiatrik

lain dengah enkopresis sebagai gejala sampingan. Enkopresis ada kalanya timbul

menyusul suatu kondisi organik, seperti fisura ani atau infeksi gastrointestinal. 1

8
2.2 Etiologi

Pada pasien yang dicurigai enkopresis, perlu dicari faktor-faktor penyebab

nya seperti gangguan organic maupun retardasi mental. Selain itu penyebab

lainnya bisa juga dari:

- Latihan yang salah : Ibu yang tergesa-gesa melatih anaknya sebelum waktu

(sebelum umur 1 tahun seorang anak memang belum dapat mengontrol

sfingter ani nya), sehingga menjadi kebingungan dan takut. Bisa juga

dikarenakan anak kurang mendapat perhatian sehingga kurang nya toilet

training.

- Adanya gangguan emosional, misalnya rasa iri hati terhadap adik yang baru

lahir

Tidak adanya latihan toilet yang tepat atau latihan yang tidak adekuat dapat

memperlambat pencapaian kontinensia anak. Bukti-bukti menunjukkan bahwa

beberapa anak enkopretik menderita pengendalian sfingter yang tidak efisien dan

tidak afektif seumur hidup. Kedua faktor tersebut tetapi terutama kombinasi

keduanya memberikan kesempatan untuk pertandingan kekuatan antara anak dan

orang tua tentang masalah otonomi dan kontrol; dan peperangan tersebut sering

memperberat gangguan, sering kali menyebabkan kesulitan perilaku sekunder.

Tetapi , banyak anak enkopretik tidak memiliki masalah perilaku. Jika masalah

perilaku terjadi, itu adalah akibat social dari pengeluaran kotoran. 1

Anak enkopretik yang jelas mampu mengendalikan fungsi ususnya dengan

adekuat dan yang menampung feses dengan konsistensi yang relatif normal di

tempat yang abnormal biasanya memiliki kesulitan psikiatrik. Enkopresis

9
mungkin disertai dengan masalah perkembangan neurologi lain, termasuk

distraktibilitas yang mudah, rentang atensi yang pendek, toleransi frustrasi yang

rendah, hiperaktivitas dan koordinasi yang buruk. Kadang-kadang, anak memiliki

ketakutan khusus dalam menggunakan toilet. Enkopresis mungkin juga dicetuskan

oleh peristiwa kehidupan seperti kelahiran adik atau pindah ke rumah baru.

Enkopresis setelah periode inkontinensia fekal yang lama kadang-kadang tampak

merupakan suatu regresi stres tertentu seperti perpisahan dari orangtua (parental

separation), pindah rumah atau mulai sekolah. 2

Megakolon psikogenik. Banyak anak enkopresis juga menahan feses dan

menjadi konstipasi baik secara disengaja atau sekunder akibat defekasi yang sakit.

Pada kasus tersebut tersebut tidak ada bukti yang jelas menunjukkan bahwa

disfungsi anorektal yang telah ada sebelumnya berperan dalam konstipasi.

Distensi rektal kronis yang dihasilkan dari masa fekal yang besar dan keras dapat

menyebabkan hilangnya tonus dinding rektal dan desensitasi terhadap tekanan.

Jadi banyak anak menjadi tidak menyadari kebutuhan untuk defekasi dan

terjadinya enkopresis limpah (overflow encopresis), biasanya dengan sejumlah

kecil cairan atau feses lunak yang bocor ke luar. Akomodasi olfaktorius mungkin

menghilang atau menurunkan petunjuk sensorik.3

Terdapat etiologi lain yang mungkin mendasari terjadinya enkopresis yaitu :

- Stres

Anak yang mengalami beban pikiran yang tak terselesaikan, baik itu

masalah di sekolah atau dirumah akan lebih mudah untuk mengalami

encopresis.

10
- Kurang aktivitas fisik

Anak yang kurang melakukan aktivitas fisik berisiko mengalami enkopresis.

Sebaiknya di usia sekolah, anak diberi berbagai kegiatan. Tujuannya selain

untuk mengantisipasi terjadinya enkopresis, juga demi mengembangkan

kemampuan dan keterampilannya.

- Selalu menahan BAB

Ada beberapa anak yang selalu menahan BAB. Alasannya beragam.

Misalnya, anak yang terlalu asik melakukan suatu kegiatan atau merasa

jijik dengan toilet umum. Namun karena rangsangan untuk BAB begitu kuat

dan tak bisa ditahan lagi, akhirnya terjadilah enkopresis

- Makanan/Minuman

Enkopresis juga bisa dipicu oleh asupan makanan yang kurang baik yang

menyebabkan gangguan disaluran pencernaan. Misalnya makanan berlemak

tinggi, berkadar gula tinggi atau junkfood. Minuman yang mengandung

banyak gula dan soda juga bisa mencetuskan terjadinya encopresis.

- Trauma

Contohnya, akibat sembelit atau kesulitan mengeluarkan tinja karena keras.

Lama-kelamaan anak menjadi trauma karena setiap kali BAB merasa sakit.

Untuk menghindari rasa sakit itu, ia jadi sering menahan untuk tidak BAB

- Obat-obatan

Encopresis juga bisa terjadi karena efek obat-obatan yang bisa

menyebabkan terhambatnya pengeluaran kotoran. Misalnya, obat batuk

yang mengandung zat seperti codein.

11
- Kegagalan toilet training

Pengajaran atau pelatihan buang air (toilet training) yang dilakukan dengan

memaksa anak, cepat atau lambat akan menjadi tidak efektif. Begitu pula

kalau misalnya anak yang BAB dicelana lantas dimarahi orang tua

Kelainan organik sebagai penyebab konstipasi jarang terjadi, walaupun

demikian tetap harus dipertimbangkan sebagai suatu kelainan yang mendasari

kejadian konstipasi setiap kali menangani anak dengan konstipasi. Beberapa

kelainan organik yang sering dilaporkan sebagai penyebab konstipasi pada anak,

antara lain kelainan neurologis (penyakit Parkinson, multiple sclerosis, spinal cord

lesions, distrofia muskular, neuropati), endokrin (hipotiroid, diabetes), psikologis

(depresi, kesulitan makan), obat-obatan (narkotik, antikolinergik, antipsikosis,

calcium channel blockers, anti-parkinson, antikonvulsan, tricyclic antidepressants,

besi, calcium, aluminum antacids, sucralfate) dan metabolik (hiperkalsemia,

hipokalemia). Selain itu, gangguan pada kolon dan dasar pelvis seperti kelainan

struktur dan obstruksi perlu dipertimbangkan. 4

2.3 Epidemiologi

Berdasarkan hasil penelitian dari 13.111 orangtua dan anaknya di Amsertam

dan Belanda , didapatkan prevalensi enkopresis adalah 4,1% pada kelompok umur

5 sampai 6 tahun dan 1,6% pada kelompok usia 11 sampai 12 tahun. Enkopresis

lebih sering terjadi pada anak laki-laki dan anak-anak dari daerah kota dengan

tingkat ekonomi yang kurang. Frekuensi buang air besar kurang dari tiga kali per

minggu ditemukan pada 3,8% anak usia 5-6 tahun dan 10,1% anak usia 11-12

12
tahun dengan enkopresis. Hanya 37,7% anak usia 5-6 tahun dan 27,4% anak usia

11-12 tahun yang pernah menderita enkopresis pernah dibawa ke dokter untuk

masalah ini. Masalah psikososial jauh lebih umum (sering terjadi) di antara anak-

anak dengan enkopresis daripada di antara anak-anak normal.5

Berdasarkan semua studi berbasis populasi yang memeriksa prevalensi

enkopresis telah dilakukan di Amerika Utara dan Eropa. Dalam satu penelitian

tersebut dilakukan di Belanda, 4,1% dari anak usia 5-6 tahun dan 1,6% dari anak

usia 11-12 tahun mengalami enkopresis setidaknya sekali per bulan. Penelitian

yang dilakukan di Swedia dan Inggris melaporkan nomor yang sama. Pada

penelitian di Amerika Serikat, ditemukan prevalensi anak yang konstipasi adalah

22,6%, 4,4% untuk inkontinensia feses dan 10,5% untuk inkontinensia urin di

klinik perawatan primer AS. Anak-anak dengan konstipasi memiliki tingkat

prevalensi yang lebih tinggi untuk inkontinensia feses dan urin dibandingkan

anak-anak yang tidak mengalami konstipasi. Anak laki-laki dengan konstipasi

memiliki tingkat inkontinensia feses yang lebih tinggi daripada anak perempuan

dengan konstipasi. 5

Anak laki-laki jauh lebih sering terkena dibandingkan anak perempuan.

Dalam kebanyakan penelitian, sekitar 80% dari anak-anak yang terkena dampak

adalah anak laki-laki. 4 Enkopresis lebih sering terjadi pada laki-laki daripada

perempuan, sekitar 17% pada usia 3 tahunan dan 1% pada usia 4 tahunan.

Enkopresis jarang terjadi pada remaja usia pertengahan kecuali mereka yang

mengalami retardasi mental yang parah atau intens. Pada sebuah penelitian 4,4%

13
dari 482 anak yang berusia 4-17 tahun, dalam 6 bulan diobservasi dan didapatkan

setidaknya terjadi satu enkopresis setiap minggunya. 6

2.4 Klasifikasi

Menurut klasifikasi Rome-III, terdapat 2 jenis enkopresis yaitu enkopresis

dengan konstipasi dan enkopresis bukan konstipasi. Ciri- ciri enkopresis dengan

kostipasi adalah: 7

- Dua atau kurang defekasi di kamar mandi dalam satu minggu

- Sekurangnya 1 fekal inkontinensia dalam satu minggu

- Riwayat retensi tinja

- Riwayat pengeluaran tinja yang nyeri dan keras

- Adanya jumlah feses dalam kuantitas yang banyak di rektum

- Riwayat pengeluaran tinja yang berdiameter besar yang menyebabkan

obstruksi.

Jika terdapat dua atau lebih daripada ciri ini pada anak 4 tahun dan keatas

mengarahkan kepada kondisi ini.

Kriteria enkopresis bukan konstipasi adalah :

- Defekasi di tempat-tempat yang tidak sesuai sekurangnya sekali sebulan

- Tidak ada tanda inflamasi, anatomik, metabolik dan neoplastik untuk

menjelaskan penyebab simptom subjektif

- Tidak ada fekal inkontinensia.

Kriteria ini harus dipenuhi selama dua bulan dan harus terjadi pada umur 4

tahun.

14
Berdasarkan patofisiologis, konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi

konstipasi akibat kelainan struktural dan konstipasi fungsional. Konstipasi akibat

kelainan struktural terjadi melalui proses obstruksi aliran tinja, sedangkan

konstipasi fungsional berhubungan dengan gangguan motilitas kolon atau

anorektal. Konstipasi yang dikeluhkan oleh sebagian besar pasien umumnya

merupakan konstipasi fungsional. Pada awalnya beberapa istilah pernah

digunakan untuk menerangkan konstipasi fungsional, seperti retensi tinja

fungsional, konstipasi retentif atau megakolon psikogenik. Istilah tersebut

diberikan karena adanya usaha anak untuk menahan buang air besar akibat adanya

rasa takut untuk berdefekasi. Retensi tinja fungsional umumnya mempunyai dua

puncak kejadian, yaitu pada saat latihan berhajat dan pada saat anak mulai

bersekolah.

Konstipasi fungsional dapat dikelompokkan menjadi bentuk primer atau

sekunder bergantung pada ada tidaknya penyebab yang mendasarinya. Konstipasi

fungsional primer ditegakkan bila penyebab dasar konstipasi tidak dapat

ditentukan. Keadaan ini ditemukan pada sebagian besar pasien dengan

konstipasi.Konstipasi fungsional sekunder ditegakkan bila kita dapat menentukan

penyebab dasar keluhan tersebut. Penyakit sistemik dan efek samping pemakaian

beberapa obat tertentu merupakan penyebab konstipasi fungsional yang sering

dilaporkan. Klasifikasi lain yang perlu dibedakan pula adalah apakah keluhan

tersebut bersifat akut atau kronis. Konstipasi akut bila kejadian baru berlangsung

selama 1-4 minggu, sedangkan konstipasi kronis bila keluhan telah berlangsung

lebih dari 4 minggu.

15
2.5 Faktor Risiko

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko enkopresis:

- Laki-laki

Enkopresis ditemukan lebih sering pada anak laki-laki daripada perempuan

(3,7% berbanding 2,4%) dan lebih jarang pada anak usia 11 dan 12 tahun

dibandingkan anak berusia 5 dan 6 tahun (4,1% berbanding 1,6%). Pada

penelitian lain juga didapatkan kesimpulan bahwa pada enkopresis lebih

sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan, sekitar 17% pada usia 3

tahunan dan 1% pada usia 4 tahunan. Enkopresis jarang terjadi pada remaja

usia pertengahan kecuali mereka yang mengalami retardasi mental yang

parah atau intens. Pada sebuah penelitian 4,4% dari 482 anak yang berusia

4-17 tahun, dalam 6 bulan diobservasi dan didapatkan setidaknya terjadi

satu enkopresis setiap minggunya (Loening, 2010).

- Sembelit kronis (Kosntipasi)

Pada penelitian di Amerika Serikat, ditemukan prevalensi anak yang

konstipasi adalah 22,6%, 4,4% untuk inkontinensia feses dan 10,5% untuk

inkontinensia urin di klinik perawatan primer AS. Anak-anak dengan

konstipasi memiliki tingkat prevalensi yang lebih tinggi untuk inkontinensia

feses dan urin dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami konstipasi.

Anak laki-laki dengan konstipasi memiliki tingkat inkontinensia feses yang

lebih tinggi daripada anak perempuan dengan konstipasi.

- Status sosial ekonomi rendah

16
Enkopresis lebih umum terjadi di antara anak-anak dari daerah dengan

status ekonomi kurang daripada di antara anak-anak dari daerah dengan

status ekonomi tinggi. Perbedaan ini hanya signifikan setelah koreksi

dilakukan untuk faktor sosiodemografi lainnya.

- Tingkat pendidikan orang tua

Menurut penelitian dari Olaru et al, pendidikan orang tua dilaporkan sebagai

penanda kompetensi untuk toilet training dan sebagai faktor perlindungan

terhadap tekanan hidup dalam keluarga yang kurang mampu. Dalam

penelitian ini juga disebutkan anak-anak yang ibunya memiliki tingkat

pendidikan tinggi dilaporkan lebih sedikit memiliki episode enkopresis per

bulan

- Menggunakan obat-obatan yang dapat menyebabkan sembelit, seperti

penekan batuk

- Attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD)

- Gangguan spektrum autisme

- Cemas atau depresi

2.6 Patofisiologi

Mekanisme yang berperan dalam proses buang air besar sangat kompleks.

Buang air besar dirangsang oleh gerakan peristaltik akibat adanya masa tinja di

dalam rektum. Rangsangan sensori pada kanal anus akan menurunkan tonus

sfingter anus internus, sehingga terjadilah proses defekasi. Proses tersebut diawali

17
dengan adanya relaksasi otot puborektal yang menyebabkan sudut anorektal

melebar, diikuti oleh relaksasi otot levator yang menyebabkan pembukaan kanal

anus. Buang air besar terjadi akibat adanya bantuan dari tekanan intra-abdominal

yang meningkat akibat penutupan glottis, fiksasi diafragma, dan kontraksi otot

abdomen.

Frekuensi BAB mempunyai korelasi dengan waktu transit gastrointestinal.

Anak-anak dengan frekuensi BAB kurang dari 4 kali seminggu memiliki waktu

transit lebih dari 33 jam. Keadaan ini lebih rendah secara bermakna dibandingkan

dengan anak yang mempunyai pola BAB normal.

Frekuensi BAB pada anak menurun seiring dengan bertambahnya usia. Pada

minggu-minggu pertama kehidupan, bayi dapat BAB rata-rata lebih dari 4 kali

sehari, kemudian menurun menjadi 2 kali sehari pada usia 4 bulan dan 1 kali

sehari pada usia 4 tahun.6 Sembilan puluh lima persen anak berusia 1 sampai 4

tahun mengalami BAB 3 kali sehari hingga dua hari sekali atau tiga kali

seminggu. (SARI PEDIA)

Pengendalian usus berkembang secara bertahap selama periode waktu

tertentu. Latihan (toilet training) dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kapasitas

intelektual anak dan maturitas sosial, determinan kultural dan interaksi psikologis

antara anak dan orang tua. Urutan normal dari perkembangan pengendalian fungsi

khusus adalah perkembangan kontinensia fekal noktural dan perkembangan

kontinensia fekal diurnal.2

Menurut beberapa ahli, terdapat beberapa teori perkembangan yang

mungkin bisa menjadi salah satu penyebab terjadinya enkopresis. Teori yang

18
dikemukakan oleh Sigmund Freud adalah teori perkembangan berdasarkan

psikoseksual (teori naluri). Libido sebagai naluri adalah suatu daya yang

melambangkan naluri seksual. Libido ini berkembang sejak bayi sampai dewasa.

Pemilihan objek cinta serta hubungan cinta itu sendiri dan hubungan dengan

objek-objek lain dalam bidang-bidanglain sangat tergantung pada sifat dasar dan

mutu hubungan dengan objek-objek pada masa bayi dan kanak-kanak.

Perkembangan kepribadian itu menurut Freud dibagi atas beberapa fase yaitu :

1. Fase Oral (sampai 2 tahun)

Fase pertama yang menunjukan bahwa bayi itu mendapat kepuasan melalui

mulutnya. Rasa lapar mendorongnya mengenal dunia luar melalui mulutnya.

Menelan sesuatu berarti memberi kepuasan dan memuntahkan sesuatu

mengakibatkan ketegangan. Ibu dikenal sebagai sumber makanan dan

kenikmatan erotik yang didapatinya dengan jalan menetek. Dengan

demikian ibunya menjadi objek cinta pertama.

2. Fase Anal-Sadistik (2 – 4 tahun)

Fase ini menunjukan kesenangan dalam mengeluarkan tinja dan kencing.

Bila dalam fase oral bayi sangat pasif dan bergantung pada ibunya, maka

dalam fase ini ia dituntut agar melepaskan salah satu aspek kebebasannya

yaitu ia harus menyetujui keinginan ibunya dengan mengeluarkan tinja dan

air seni nya pada waktu dan tempat tertentu.

3. Fase Falik

Fase falik dilalui dengan pergolakan mencari objek cinta. Dalam fase ini

diletakkan dasar untuk pola pemilihan objek di hari kemudian.

19
Jika perkembangan dalam fase anal terganggu atau tidak berjalan dengan

semestinya, kemungkinan yang bisa terjadi ialah kejadian seperti enkopresis

ataupun enuresis seperti ini. Hal ini juga bisa ditambah dengan faktor kurangnya

dukungan untuk toilet training untuk mengajarkan dimana mereka harus buang air

besar maupun buang air kecil dan diajarkan juga tentang bagaimana mereka harus

bisa menggunakan toilet dengan baik dan benar agar menjadi suatu kebiasaan

yang baik saat dewasa.

Menurut teori psikososial dari Erik Erikson, pada umur 18 bulan sampai 3

tahun anak berada pada tahap autonomy versus shame and doubt (kemandirian,

rasa malu, dan ragu). Jika toilet training tidak dilakukan atau ketidaksuksesan

toilet training pada tahap ini dapat menyebabkan anak mengembangkan perasaan

malu atau ragu-ragu dalam melihat kompetensinya. Apabila pada usia ini anak

mendapat kesempatan dan dorongan untuk melakukan yang diinginkan dan sesuai

dengan waktu tapi dengan pengawasan yang bijaksana, maka anak akan

mengembangkan kesadaran outonomy nya (Djiwandono, 2005, p.23). Menurut

Rugolotto (2004, dalam Hidayat, 2010), berhasil atau tidaknya fase toilet training

sangat berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya dari seorang anak yaitu

kemampuan mengendalikan perkemihan dan pencernaan.

2.7 Manifestasi Klinis

Anak-anak dengan enkopresis berserta konstipasi mempunyai pergerakan

usus yang lama dengan jumlah tinja yang banyak dan konsistensi yang sering

berubah sama ada terlalu lembut atau keras. Anak-anak biasanya ada rasa nyeri

20
ketika pengeluaran tinja. Mereka ada nyeri perut dan kekurangan nafsu makan.

Seterusnya , pengeluaran tinja mengambil masa yang lama sehinggakan massa di

abdomen serta rektum dapat dirasakan apabila dipalpasi. Pada pagi hari gejala

yang timbul adalah inkontinensia urin dan enuresis. Gangguan emosi dan perilaku

juga dijumpai pada 30%-50% anak-anak. Umumnya, pengobatan laxatif biasanya

membantu.

Anak-anak yang datang pula dengan enkopresis tanpa konstipasi tidak

mempunyai gejala-gejala ini. Pergerakan usus normal dan konsistensi tinja juga

normal. Nyeri tidak sering dan nafsu makannya bagus. Pengeluaran tinja

mengambil masa yang singkat dan massa tinja tidak dapat dirasakan apabila

dipalpasi. Gejala enuresis dan inkontinensi urin tidak ada. Namun, pengobatan

laxatif tidak mempunyai afek dan dapat memperberat kondisinya.1

Sebagian besar anak dengan enkopresis mengalami sembelit atau buang air

besar yang menyakitkan di masa lalu. Dalam banyak kasus, sembelit atau sakit

terjadi tahun sebelum enkopresis dibawa ke pusat medis.

- Sebagian besar anak dengan enkopresis mengatakan mereka memiliki tidak

memiliki dorongan untuk buang air besar sebelum mereka mengotori celana

dalamnya.

- Episode biasanya terjadi pada siang hari, sedangkan anak terjaga dan aktif.

Banyak anak usia sekolah setelah pulang dari sekolah. Jarang pada malam

hari.

- Beberapa anak dengan encopresis di bak mandi, shower, atau kolam renang

- Sembelit dengan feses yang kering dan keras

21
- Pengeluaran feses dalam bentuk cair (biasanya di celana)

- Menghindari buang air besar

- Lama tidak buang air besar

- Nafsu makan berkurang

- Sakit perut

2.8 Diagnosis

Untuk mendiagnosis enkopresis dengan menanyakan seputar riwayat

kesehatan anak; bagaimana ia belajar menggunakan toilet (toilet training); pola

makan dan gaya hidupnya; obat-obatan yang sedang ia pakai; hingga pola

perilakunya sehari-hari.

Kemudian dapat menjalankan tes pemeriksaan fisik dasar untuk memeriksa

kesehatan tubuh anak secara keseluruhan, termasuk kondisi usus, rektum, dan

anusnya. Dokter mungkin akan memasukkan jari (memakai sarung tangan) ke

dalam anus anak untuk memeriksa feses, dan memeriksa apakah otot-otot anus

dan ukuran lubang anus anak normal.

Pada kebanyakan kasus, dokter mungkin akan merujuk anak untuk

menjalani rontgen perut dan panggul untuk menentukan seberapa banyak feses

yang menumpuk di usus, sekaligus untuk memeriksa apakah usus dan rektumnya

membengkak.

22
Kadang, enema barium juga dapat dilakukan. Enema barium adalah tes

diagnosis mirip rontgen, dengan memasukkan selang tipis ke dalam rektum anak

yang dialiricairan pewarna radiopaque. Kemudian perut anak akan dirontgen

untuk melihat apakah ada area perut yang bermasalah (misalnya usus terbelit atau

menyempit) yang menyebabkan keluhan anak.

Pada beberapa kasus, dokter mungkin akan melakukan anorektal

manometri. Dokter akan memasukkan selang tipis ke dalam rektum anak. Selang

ini memiliki sensor tekanan, yang memungkinkan dokter mengetahui bagaimana

anak menggunakan otot-otot perut dan rektumnya selama BAB. Kebanyakan anak

yang memiliki sembelit kronis dan/atau encopresis tidak dapat menggunakan otot-

otot ini dengan baik selama BAB.

Prosedur ini juga berguna untuk mengesampingkan kemungkinan penyakit

Hirschsprung, kondisi yang amant jarang penyebab sembelit kronis. Jika dokter

mencurigai kasus anak anda disebabkan oleh penyakit Hirschsprung, ia mungkin

akan mengambil sampel jaringan rektum untuk melihat apakah ada fungsi saraf

yang hilang. Hilangnya fungsi saraf di rektum adalah ciri khas dari penyakit

Hirschsprung.

Pemeriksaan pada anak-anak dengan enkopresis harus bersifat non-invasif

sebaik mungkin dan harus melibatkan orang tua. Langkah pertama adalah

anamnesa. Jika dilakukan dengan benar dan empatis, sebanyak mungkin

maklumat yang dapat dikumpul sehingga diagnosa dapat ditegakkan.

Questionnaire biasanya dapat membantu proses anamnesa dengan menyediakan

23
soalan-soalan yang dapat dilhat kembali jika terlupa. Soalan-soalan yang

disediakan ini mejimatkan masa dan mengarahkan kepada diagnosa yang baik.

Seterusnya, terdapat Bristol Stool Chart yang disediakan. Terdapat 7 jenis

tinja terkisar antara tinja yang keras seperti kacang yang sulit dikeluarkan yaitu

skala 1 sehingga tinja yang berisi cairan dan tidak ada gumpalan yaitu skala 7.

Skala-skala yang tersedia ini membolehkan orang tua mengindentifikasikan jenis

tinja yang dikeluarkan dengan benar dan tepat.

Gambar 2.1 Bristol Stool Chart

24
Setiap anak-anak harus melakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan pediatric

dan neurologis disarankan. Daerah perianal dan perigenital harus dilakukan

inspeksi. Pemeriksaan tulang belakang dan reflex juga dilakukan. Pemeriksaan

rektal harus dilakukan sekali.

Jika ada pemeriksaan sonografi dilakukan pada abdomen, ginjal,dan

kandung kemih. Rektal yang berdiameter besar sekitar 25-30 mm dijumpai pada

anak-anak dengan konstipasi. Pada kasus-kasus ini, pemeriksaan rektal tidak perlu

dilakukan.

Berhubungan dengan angka komorbiditas yang tinggi, pemeriksaan

psikiatrik disarankan pada anak-anak. Skrining dilakukan beserta dengan

questionnaire seperti (Child Behavior Checklist;Achenbach 1991). Jika hasilnya

positif maka harus dilakukan pemeriksaan psikiatrik yang lebih mendalam.1

Kriteria diagnostik (DSM-5) : Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan

Mental, Edisi Kelima (DSM-5), menggunakan gangguan eliminasi istilah untuk

mengklasifikasikan kedua enkopresis dan enuresis. Enkopresis dibagi lagi

menjadi 2 subtipe: Enkopresis dengan sembelit dan enkopresis tanpa sembelit.

Yang terakhir subtipe jauh kurang umum dan paling sering terjadi dalam

hubungan dengan menantang gangguan atau gangguan perilaku oposisi atau

sebagai konsekuensi dari masturbasi anal. 2

DSM-5 kriteria untuk enkopresis adalah sebagai berikut:

- Mengulangi bagian dari kotoran ke tempat-tempat yang tidak pantas, apakah

tidak disengaja atau disengaja

- Satu kejadian seperti ini terjadi setiap bulan selama minimal 3 bulan

25
- Terjadi pada anak setidaknya usia 4 tahun (atau tingkat perkembangan yang

setara)

- Perilaku ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari suatu zat atau kondisi

medis lain kecuali melalui mekanisme yang melibatkan 2

Untuk ciri diagnostik enkopresis berdasarkan PPDGJ – III yang menentukan

ialah pengeluaran tinja secara tak layak. Kondisi ini dapat timbul dengan berbagai

cara :

- Mungkin menggambarkan kurang adekuatnya latihan kebersihan (toilet

training) atau kurangnya responsifnya anak terhadap latihan itu, dengan

riwayat kegagalan terus menerus untuk memperoleh kemampuan

mengendalikan gerakan usus

- Mungkin mencerminkan suatu gangguan psikologis dengan pengendalian

fisiologis buang air besar normal, tetapi karena suatu alasan, terdapat

keengganan, perlawanan, atau kegagalan untuk menyesuaikan diri dengan

norma sosial untuk buang air besar di tempat yang layak

- Mungkin akibat retensi fisiologi, yang bertumpuk pada peletakan tinja di

tempat yang tidak layak. Retensi seperti itu mungkin timbul sebagai akibat

pertentangan antara orang tua dan anak mengenai latihan buang air besar,

atau akibat menahan tinja karena nyeri saat buang air besar (misalnya akibat

fisura ani) atau karena sebab lain.

Untuk penegakan diagnosis konstipasi sendiri dapat dilakukan dengan cara

sebagai berikut. Dalam menentukan adanya konstipasi terdapat tiga aspek yang

perlu diperhatikan, yaitu

26
1. Frekuensi BAB

2. Konsistensi tinja

3. Temuan pada pemeriksaan fisis.

Pada anak berusia sama atau kurang dari 4 tahun adanya konstipasi

ditentukan berdasarkan ditemukan minimal salah satu gejala klinis berikut

1. Defekasi kurang dari 3 kali seminggu

2. Nyeri saat BAB

3. Impaksi rektum

4. Adanya masa feses di abdomen

Kriteria untuk anak berusia di atas 4 tahun agak berbeda, digunakan kriteria

sebagai berikut

1. Frekuensi BAB kurang atau sama dengan dua kali seminggu tanpa

menggunakan laksatif

2. Dua kali atau lebih episode soiling/enkopresis dalam seminggu,

3. Teraba masa feses di abdomen atau rektum pada pemeriksaan fisis.

Konsistensi tinja dan nyeri pada saat BAB merupakan gejala klinis yang

karakteristik yang dapat menggambarkan adanya konstipasi meskipun frekuensi

BAB lebih dari 3 kali seminggu. Soiling yang terjadi pada konstipasi dapat

disebabkan oleh :

1. Gangguan sensasi pada rektum

2. Disfungsi sfingter anus

3. Masa tinja yang banyak sehingga menyebabkan inkontinensia.

27
Soiling sering terjadi pada saat flatus akibat ketidakmampuan anak

mengontrol pengeluaran tinja. Orangtua sering mengira soiling sebagai diare

sehingga mereka memberikan obat anti diare. Sedangkan, enkopresis sering

diartikan sebagai keluarnya tinja (di pakaian dalam) baik secara volunter maupun

involunter pada anak berusia di atas 4 tahun. Semua keluhan tersebut dapat

muncul tanpa disertai adanya kelainan organik.

Anamnesis merupakan hal penting dalam menentukan adanya konstipasi

pada anak. Dalam melakukan anamnesis terdapat tiga hal penting yang perlu

diketahui, yaitu:

1. Pola buang air besar seperti frekuensi BAB, ukuran tinja, konsistensi tinja,

dan nyeri saat BAB

2. Keadaan anak secara umum

3. Riwayat konstipasi, seperti saat mekonium pertama muncul, saat penerapan

latihan berhajat, dan lainnya.

Pemeriksaan fisis sangat penting dilakukan karena dapat memberikan

informasi mengenai keadaan abdomen, tonus sfingter anus, lokalisasi dan

konsistensi tinja pada ampula rektum. Masa tinja pada abdomen dapat ditemukan

pada kuadran kiri bawah abdomen, sedangkan pada keadaan konstipasi berat

dapat pula ditemukan di bawah processus xiphoideus. Pemeriksaan colok dubur

harus dilakukan pada setiap anak yang mengalami konstipasi karena dapat

menggambarkan ada tidaknya fisura ani, nyeri pada anus, adanya tinja dan

konsistensi tinja di dalam rektum, ada tidaknya darah pada tinja, tonus, dan

kontraksi sfingter anus.

28
Beberapa pemeriksaan penunjang di bidang pencitraan dapat membantu

menentukan adanya konstipasi. Pemeriksaan paling sederhana adalah foto polos

abdomen yang berguna untuk menilai adanya skibala dan kelainan pada tulang

belakang. Pemeriksaan waktu singgah kolon (transit time) berguna untuk

mengevaluasi konstipasi kronis yang tidak memberikan respons optimal terhadap

terapi yang diberikan. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menelan kapsul

berpetanda radioopak dan dilakukan pemeriksaan radiologi secara serial. Pada

anak normal, sebagian besar kapsul dapat dikeluarkan pada hari ke lima. Enema

barium dapat memperlihatkan daerah aganglion, yaitu berupa daerah transisi

antara daerah sempit pada bagian distal segmen yang tidak memiliki sel ganglion

dengan bagian proksimal yang berdilatasi. Keadaan ini umumnya terdapat pada

penyakit Hirschsprung. Enema barium juga dapat memperlihatkan gambaran

redundant sigmoid colon, megakolon, atau megarektum. Pemeriksaan lain yaitu

manometri anorektal, dilakukan pada anak dengan konstipasi berat untuk

menyingkirkan kemungkinan penyakit Hirschsprung. Pemeriksaan manometri

anorektal ini berguna untuk menilai tekanan rektum dan sfingter anus, serta

menilai sensasi rektum, refleks rekto-ani, dan rectal compliance. Walaupun

demikian, pemeriksaan manometri anorektal ini masih sangat terbatas

penggunaannya karena tidak semua rumah sakit mempunyai alat tersebut.

Beberapa gejala dan tanda dapat digunakan sebagai alat bantu dalam

menentukan apakah suatu konstipasi merupakan kelainan fungsional atau penyakit

M. Hirschsprung. Gejala dan tanda tersebut tertera pada tabel dibawah ini

29
Gambar 2.2 Tabel perbedaan gejala dan tanda pada konstipasi fungsional dan penyakit
hirschprung

Para ahli gastroenterologi di Eropa dan Amerika telah memcoba membuat

suatu kriteria yang lebih sederhana untuk menegakkan konstipasi fungsional, yang

dikenal dengan kriteria Roma. Meskipun masih terus dalam pengkajian, tetapi

beberapa negara telah menggunakan kriteria tersebut sebagai upaya menentukan

adanya konstipasi fungsional. Kriteria Roma yang digunakan saat ini adalah

Kriteria Roma II yang merupakan penyempurnaan Kriteria Roma I. (Tabel 2 )

(SARI PEDIA)

30
Gambar 2.3 Tabel kriteria Roma II untuk menentukan adanya konstipasi fungsional

2.9 Diagnosis Banding

Pada enkopresis dengan konstipasi dan inkontinensia limpah, konstipasi

dapat mulai pada tahun pertama anak, memuncak antara tahun kedua dan

keempat. Pengeluaran feses biasanya dimulai pada usia 4 tahun. Feses yang sering

cair dan massa feses yang keras ditemukan di kolon dan rektum pada palpasi

abdomen dan pemeriksaan rektal. Komplikasi adalah megakolon dan fisura anal.

Enkopresis dengan konstipasi dan inkontinensia limpah dapat disebabkan

oleh nutrisi yang buruk; penyakit struktural pada anus, rektum dan kolon; efek

samping obat-obatan; gangguan medis non gastrointestinal (endokrin atau

neurologis). Masalah utama yang harus dibedakan adalah megakolon aganglionik

atau penyakit Hirsgsprung, dimana pasien mungkin memiliki rektum yang kosong

dan tidak ingin berdefekasi tetapi mungkin masih mengalami pengaliran feses.

Penyakit terjadi pada 1 dari 5,000 anak; tanda tampak segera setelah lahir. 3

- Konstipasi

31
- Spina bifida

- Meningomyelocele

- Cedera tulang belakang dengan disfungsi sfingter anal

- Sumsum tulang belakang Teathered

- Penyakit Hirschsprung ultrashort-segment

- Atresia ani dengan fistula

2.10 Tatalaksana

Prinsip terapi pada penderita enkopresis adalah konseling atau edukasi pada

anak mengenai BAB. Hal ini dapat dilakukan dengan cara antara lain:

- Menanamkan bahwa tidak semua kamar mandi umum/sekolah akan bersih

dan wangi sesuai dengan harapannya.

32
- Jika masalah psikologis anak tampak berat, sampai stres atau trauma

misalnya, ada baiknya orang tua dan anak duduk bersama membahas

permasalahan yang dihadapi. Jika perlu konsultasikan dengan psikolog.

3. Terapkan pola makan yang baik dan teratur.

-Terapkan pola makan


yang baik dan teratur.
-a) Melatih pengeluaran
reflex
-b) Mengontrol pengeluaran
tinja
- Terapkan pola makan yang baik dan teratur. Usahakan banyak

mengonsumsi makanan berserat, sayuran, buah-buahan, serta susu.

- Kepada anak yang selalu merasa nyeri saat mau BAB bisa diberikan obat-

obatan untuk pengencer tinja. Namun, penggunaanya harus tetap

berdasarkan rekomendasi dokter

- Ajarkan untuk melakukan BAB secara teratur, misalnya pagi atau malam

hari.

33
- Jangan menyalahkan atau mencemooh anak yang mengalami encopresis.

Orang tua harus selalu mendukung dan membantu kesulitan anak. Usaha

lain dalam bentuk intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi

enkopresis adalah :

1. Melatih pengeluaran reflex

2. Mengontrol pengeluaran tinja

Tujuan dari pendekatan multimodal terapi ini adalah untuk mengurangi

tekanan fisik dan emosional yang terkait dengan buang air besar, untuk

mengembangkan atau mengembalikan kebiasaan usus normal dengan penguatan

positif, dan mendorong anak dan orang tua untuk mengambil peran aktif selama

perawatan. 1

Jika seorang anak tidak mengalami perbaikan klinis yang signifikan setelah

2-4 bulan terapi, program terapi yang berbeda dapat diindikasikan. Dengan

demikian, tepat untuk menilai kemajuan setelah 2-4 bulan pengobatan. Jika anak

tetap bergejala, pertimbangkan mendaftarkan anak untuk program perilaku

intensif yang melengkapi terapi medis konvensional. 1

Tidak ada intervensi bedah memiliki peran yang terbukti dalam pengelolaan

enkopresis masa kanak-kanak. Dalam kebanyakan kasus encopresis, konsultasi

dengan subspecialist adalah tidak mutlak diperlukan. Konsultasi dengan bagian

pencernaan anak, psikolog perilaku, atau keduanya. 1

Pada saat anak dibawa untuk pengobatan, ketidaksesuaian dan ketegangan

keluarga yang cukup besar sering ditemukan. Ketegangan keluarga tentang gejala

34
harus diturunkan, dan lingkungan yang tidak menghukum harus diciptakan. Usaha

yang serupa harus dilakukan untuk menurunkan rasa malu anak di sekolah.

Psikoterapi berguna untuk meredakan ketegangan keluarga, untuk

mengobati reaksi anak enkopretik terhadap gejala mereka ( seperti perasaan

rendah diri dan isolasi sosial) untuk menjawab penyebab psikodinamika pada

anak-anak tersebut yang memiliki kontrol usus tetapi terus mengumpulkan feses

mereka di tempat yang tidak sesuai dan untuk mengobati kasus enkopresis

tersebut setelah periode kontinensia fekal yang lama yamg merupakan reaksi

terhadap stresor psikologis. Hasil akhir yang baik terjadi jika anak merasa

mengendalikan peristiwa kehidupan. Masalah perilaku penyerta meramalkan hasil

akhir buruk.

Seorang dokter pediatrik harus dihubungi pada kasus enkopresis dengan

konstipasi dan inkontinensia limpah. Pertama, usus anak harus dibersihkan, dan

selanjutnya gerakan feses harus harus dipertahankan dengan pelunak feses atau

laksatif. Kebiasaan usus yang baik harus diajarkan. Teknik biofeedback sering

kali menolong.2

Terapi medis konvensional, umumnya terdiri dari:

- Demistifikasi dan pendidikan

- Disimpaksi kolon diikuti dengan terapi pencahar rutin.

- Toilet training yang terdiri dari yang dijadwalkan secara rutin ke toilet,

pemeliharaan buku harian gejala, dan skema insentif yang sesuai dengan

usia.

35
Perubahan gaya hidup berikut dapat membantu anak mengatasi enkopresis

yang dapat dilakukan oleh orang tua:

- Perbanyak makanan berserat, termasuk sayur dan buah-buahan, untuk

melembutkan feses.

- Perbanyak minum air putih

- Batasi asupan susu sapi. Pada beberapa kasus, susu sapi dapat menyebabkan

anak sembelit. Namun diskusikan lebih dulu dengan dokter sebelum

melakukan ini.

- Buat waktu khusus untuk BAB. Minta anak untuk setidaknya duduk dulu

selama 5-10 menit di atas toilet, di waktu yang sama setiap hari. Rutinitas

ini sebaiknya dilakukan setiap makan, karena gerak usus akan lebih aktif

setelah makan. Jangan lupa berikan motivasi dan pujian bagi anak selama

waktu menunggu ini sampai BAB nya keluar.

- Berikan penyangga kaki di bawah toilet, untuk memudahkan anak berganti

posisi duduk. Kadang, ekstra tekanan dari kaki akan menekan perut, yang

dapat mempercepat proses BAB.

- Pahami kondisi anak. Perlu diingat bahwa menahan BAB atau BAB di

celana karena encopresis bukanlah suatu hal yang dikehendaki anak. Jangan

memarahi atau mengomeli anak. Tunjukkaan kasih sayang dan berikan

pengertian bahwa kondisinya akan baik-baik saja seiring waktu.

Dalam memulai tata laksana konstipasi, perlu digarisbawahi pentingnya

penjelasan kepada orangtua maupun pasien mengenai dasar fisiologis terjadinya

konstipasi dan soiling. Hal ini perlu untuk menjalin kerjasama antara dokter,

36
orangtua dan pasien serta untuk mengurangi rasa bersalah dan saling

menyalahkan. Edukasi yang tepat dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap

rencana terapi. Keberhasilan tata laksana konstipasi fungsional bergantung kepada

kemampuan dokter mengajak anak dan keluarganya membentuk ikatan terapetik

yang baik. Mereka harus masuk ke dalam suatu ikatan informal dan dokter

memberi bimbingan dan pengobatan, sedangkan orangtua bertanggung jawab

terhadap kepatuhan anak, menyediakan rasa aman bagi anak, serta menyediakan

waktu untuk anak berdefekasi dengan nyaman. Anak sendiri harus mempunyai

rasa tanggung jawab untuk menjalankan pengobatan dan harus selalu melakukan

usaha untuk BAB. Catatan harian tentang BAB pasien merupakan salah satu

tahapan tata laksana yang penting. Catatan mengenai frekuensi dan konsistensi

BAB dibuat oleh pasien setiap hari. Dengan melihat catatan harian, anak dapat

melakukan penilaian secara obyektif terhadap keluhan yang dialami dan

progresifitas terapi. Disamping itu, cara ini dapat menimbulkan motivasi anak

untuk melakukan BAB lebih sering dan mengurangi soiling.

Latihan BAB (toilet training) sering dianjurkan sebagai salah satu terapi

konstipasi pada anak. Anak diminta untuk duduk di toilet sedikitnya dua kali

sehari setengah jam setelah makan, selama 5-10 menit setiap kalinya dan

sebaiknya diberi pujian untuk setiap usahanya mencoba melakukan BAB. Peran

latihan fisis dalam meningkatkan peristaltik kolon dan frekuensi BAB masih

kontroversi. Kejadian konstipasi lebih besar ditemukan pada kelompok orang

dengan gaya hidup sedentary. Oleh sebab itu, stimulasi dalam bentuk olah raga

sangat dianjurkan pada anak yang kurang aktif.

37
Makanan berserat sangat dianjurkan pada anak yang menderita konstipasi.

Berdasarkan kemudahan serat yang dikandungnya dihancurkan oleh bakteri di

dalam usus, makanan berserat dapat dibedakan menjadi 2 bentuk, yaitu insoluble

fibre dan soluble fibre. Serat dapat meningkatkan retensi air sehingga dapat

melunakkan tinja, mempercepat waktu singgah di dalam kolon, dan meningkatkan

frekuensi BAB.

Terapi laksatif diberikan karena obat tersebut mempunyai efek terhadap

peningkatan sekresi elektrolit, penurunan absorpsi air dan elektrolit, peningkatan

osmolaritas intraluminal, dan peningkatan tekanan hidrostatik usus. Secara garis

besar laksatif oral dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu laksatif

pembentuk tinja atau serat (psyllium, methycellulose, polycarbophil), laksatif

osmotik (mono dan disakarida misalnya sorbitol, laktulosa), laksatif salin

(magnesium sulfat, natrium fosfat, polietilen glikol), stool softener (pelunak

feses), laksatif emolien (ducosate, mineral oil), laksatif stimulant (bisacodyl,

phenolphthalein), prokinetik dan lainnya.

Pada dasarnya, terapi konstipasi pada anak terbagi dalam dua fase

1. Pengeluaran masa tinja

2. Terapi pemeliharaan.

Konsistensi masa tinja dapat dikurangi dengan pemberian mineral oil atau

laksatif osmotik untuk mempermudah pengeluaran tinja. Pada kasus dengan

impaksi rektal, tinja sebaiknya segera dikeluarkan dengan menggunakan enema

paling tidak setiap hari selama 3 hari sebelum diberikan laksatif oral. Salah satu

metoda konvensional untuk mengeluarkan masa tinja adalah dengan

38
menggunakan suposutoria atau enema. Bila usaha pengeluaran masa tinja tersebut

gagal, maka dapat diupayakan pengeluaran tinja secara manual. Apabila masa

tinja telah berhasil dikeluarkan, maka harus segera dimulai dengan fase terapi

pemeliharaan. Pasien perlu diberikan pengertian dan keyakinan bahwa BAB tidak

akan terasa sakit selama ia patuh pada petunjuk pengobatan, mengkonsumsi obat

yang diberikan secara teratur, dan tidak menahan setiap keinginan untuk BAB.

Lama terapi pemeliharaan dapat berlangsung selama 3 sampai 6 bulan, bahkan

pada kasus konstipasi berat dapat berlangsung sampai 12 bulan. Beberapa

penelitian melaporkan penggunaan cisaprid pada kasus konstipasi dan

memperlihatkan keberhasilan yang lebih tinggi dibanding plasebo. Penelitian lain

melaporkan penggunaan polietilen glikol pada konstipasi dengan hasil

memuaskan.

Biofeedback training pernah dilaporkan sebagai salah satu upaya tata

laksana konstipasi pada anak. Anak dilatih untuk meningkatkan sensasi rektum,

menguatkan dan mengontrol sfingter anus, serta meningkatkan koordinasi

kontraksi dan relaksasi otot secara benar. Beberapa penulis mengemukakan bahwa

latihan ini berguna untuk konstipasi kronis dan enkopresis, namun berapa laporan

terakhir meragukan keefektifan cara ini, karena mereka tidak menemukan hasil

yang berbeda dengan terapi konvensional. Pada anak dengan soiling akibat

nonretensi tinja, penambahan laksatif pada terapi biofeedback training juga tidak

memperlihatkan hasil yang berbeda dibanding terapi biofeedback training saja.

Peran pembedahan pada kasus konstipasi pada anak hanya pada kasus tertentu,

seperti obstruksi pelvic outlet, inersia kolon, atau kombinasi keduanya.

39
Dalam menghadapi kasus dengan konstipasi fungsional harus pula

dipertimbangkan pendekatan secara psikologis maupun psikiatris. Beberapa

kriteria untuk merujuk seorang anak dengan konstipasi ke psikologis atau

psikiater antara lain (1) kecurigaan kearah psikopatologi primer, (2) psikopatologi

sekunder yang berhubungan dengan konstipasi, dan (3) tidak responsif terhadap

terapi yang telah diberikan dengan alasan yang tidak jelas. (SARI PEDIA)

Menurut peneltian Kadim et al, pada penelitian ini diteliti apakah terapi pijat

berpengaruh terhadap terapi konstipasi. Subyek dalam penelitian adalah semua

pasien konstipasi berusia 2-14 tahun, menderita konstipasi fungsional sesuai

dengan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang, dan tidak

memerlukan tindakan tertentu seperti pembedahan. Penentuan diagnosis

konstipasi fungsional berdasarkan kriteria Roma III. Jumlah sampel masing-

masing kelompok 11 subyek sehingga jumlah keseluruhan 22 subyek. Pada

kelompok perlakuan diberikan terapi pijat dengan konsentrasi pada pijatan di

daerah perut tiga kali 15 menit setiap hari, sedangkan kelompok kontrol hanya

diberikan terapi standar konstipasi tanpa diberikan terapi pijat. Pemantauan

dilakukan dengan mengisi kuesioner catatan harian selama dua bulan. Perubahan

atau perbaikan pada konstipasi dinilai berdasarkan adanya perubahan atau

perbaikan pada setiap komponen penilaian konstipasi jika dibandingkan sebelum

dan sesudah penelitian.

Didapatkan kesimpulan bahwa frekuensi buang air besar pasien konstipasi

fungsional mengalami peningkatan setelah diberikan terapi pijat. Jumlah pasien

yang mengalami kicipirit, tinja berkonsistensi keras, berkurang lebih banyak pada

40
kelompok yang mendapat terapi pijat dibandingkan kelompok kontrol. Jarak

terlama antara BAB, lama BAB kelompok yang diberikan terapi pijat mengalami

penurunan yang lebih besar dibandingkan kelompok kontrol. Waktu yang

dibutuhkan untuk terjadi perbaikan terhadap konstipasi kelompok terapi pijat

lebih singkat dibandingkan kelompok kontrol. Terapi pijat dapat membantu

mempercepat perbaikan konstipasi kronis fungsional.

2.11 Komplikasi

Enkopresis adalah kondisi umum yang sering terjadi terkait dengan

gangguan kesehatan psikososial tetapi hanya sedikit. Proporsi anak-anak dengan

enkopresis dibawa ke dokter umum untuk mendiskusikan masalah mereka.

Pada penelitian Olaru et al, didapatkan analisis pada tingkat pendaftaran

(enrolment), ketidakhadiran di sekolah, dan kemampuan anak-anak untuk

menyelesaikan studi per tahun akademik menunjukkan bahwa anak-anak dengan

enkopresis memiliki ketidakmampuan belajar dan kinerja sekolah yang buruk dan

lebih sering melewatkan hari-hari sekolah. Hubungan antara status kesehatan dan

prestasi akademik lebih kompleks daripada yang terlihat pada pandangan pertama.

Walaupun ada bukti kuat bahwa anak-anak yang kebutuhan perawatan

kesehatannya terpenuhi lebih kecil kemungkinannya untuk melewatkan hari

sekolah karena sakit, tetap kinerja dan kemampuan anak di sekolah memilki

banyak faktor penentu lainnya. Faktor-faktor penentu ini termasuk sikap dan

keyakinan orang tua, pola interaksi anak, pendidikan ibu, status sosial ekonomi,

dukungan sosial keluarga, ukuran keluarga, riwayat peristiwa kehidupan yang

41
penuh tekanan, dan fungsi kognitif anak. Terbukti ada faktor psikososial yang

mempengaruhi hasil akademik serta perkembangan emosional. Anak-anak yang

terpapar faktor-faktor ini berisiko tinggi untuk masalah emosi dan perilaku serta

kegagalan sekolah. Anak-anak dalam keluarga tunawisma juga mengalami tingkat

kegagalan akademik yang tinggi sesuai dengan kebutuhan akan evaluasi dan

layanan pendidikan khusus

Anak-anak enkopresis adalah kelompok sosial yang sangat rentan, yang

terpapar pada risiko sosial dalam hal kehilangan rasa percaya diri mereka baik

kepada kelompok generasi mereka sendiri dan seluruh masyarakat. Anak-anak

dengan enkopresis sering distigma oleh orang tua, teman sebaya, tetangga, dan

masyarakat, sehingga pasien-pasien enkopresis memiliki kepribadian yang rapuh

yang membutuhkan toleransi, komunikasi antar individu yang baik, dan banyak

kepercayaan dari orang lain. Beberapa penulis melaporkan menemukan anak

dengan enkopresis memiliki kepercayaan diri dan harga diri yang lebih buruk

dibandingkan pada anak-anak normal. Menurut Landman et al, rendah nya harga

diri pada anak-anak dengan enkopresis dibandingkan dengan kelompok kontrol,

dikarenakan anak-anak tersebut memiliki masalah fisik kronis.

Perubahan yang paling sering ditemui dalam penelitian Olaru et al selain

adanya penurunan rasa kepercayaan diri, termasuk tekanan emosional, kecemasan

(ansietas), dan kesulitan penyesuaian sosial. Berikut beberapa perubahan perilaku

yang di temukan pada anak dengan enkopresis yang didapatkan dari penelitian

Olaru et al

42
Gambar 2.4 Tabel evaluasi pemeriksaan psikologis pada anak dengan enkopresis

Kegagalan terapi terjadi pada 20% anak dengan konstipasi fungsional. Anak

yang cenderung mengalami kegagalan terapi umumnya adalah mereka yang telah

mengalami konstipasi selama bertahun-tahun, mempunyai perasaan citra diri yang

negatif, atau mereka yang telah mengambil keuntungan di balik keadaan

konstipasinya, misalnya mendapatkan perhatian orangtua yang sebelumnya tidak

didapatkannya. (SARI PEDIA)

2.12 Pencegahan

- Hindari sembelit

Bantu anak Anda terhindar dari sembelit dengan memberikan nutrisi

seimbang yang tinggi serat. Jangan lupa, dorong anak Anda untuk minum

cukup air setiap hari.

43
- Pelajari teknik latihan toilet yang efektif

Hindari memulai latihan menggunakan toilet terlalu dini atau terlalu keras.

Tunggu sampai anak Anda siap, dan kemudian gunakan dorongan positif

untuk membantu anak Anda membuat kemajuan. Konsulltasikan dengan

dokter mengenai latihan menggunakan toilet yang efektif.

- Tangani enkopresis sesegera mungkin

Pengobatan dini, termasuk bimbingan dari dokter anak atau profesional

kesehatan mental Anda, dapat membantu mencegah dampak sosial dan

emosional dari enkopresis. Konsultasi tindak lanjut dengan dokter Anda

dapat membantu mengidentifikasi masalah yang sedang berlangsung atau

berulang sehingga penyesuaian dalam perawatan dapat dilakukan sesuai

kebutuhan.

Toilet training pada anak merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar

mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar. Toilet

training ini dapat berlangsung pada fase kehidupan anak umur 18 bulan sampai 2

tahun. Dalam melakukan latihan buang air kecil dan air besar pada anak

membutuhkan persiapan secara fisik, psikologis maupun secara intelektual.

Kesiapan fisik dalam melakukan toilet training merupakan kemampuan anak

secara fisik sudah kuat dan mampu sehingga memudahkan anak untuk dilatih

buang air besar dan kecil. Sedangkan kesiapan psikologis keadaan dimana anak

membutuhkan suasana yang nyaman agar mampu mengontrol dan konsentrasi

dalam merangsang untuk buang air besar dan air kecil. Persiapan intelektual pada

anak juga dapat membantu dalam proses toilet training, hal ini dapat ditunjukkan

44
apabila anak memahami arti buang air besar dan air kecil sehingga anak dapat

mengetahui kapan saatnya harus buang air besar dan kapan saatnya harus buang

air kecil.

Mengajari anak menggunakan toilet adalah sebuah proses yang

membutuhkan kesabaran, pengertian, kasih sayang dan persiapan. Mengajari cara

buang air paling mudah adalah ketika anak siap melaksanakan tahapan ini dan dia

mau bekerja sama. Memulai sebelum anak siap hanya akan mengundang masalah

dan sering menyebabkan kecelakaan dalam pemakaian toilet. Mengompol dan

buang air besar dicelana biasanya merupakan akibat dari ketidakmampuan anak

mengenali dorongan untuk pergi ke toilet atau mengatur otot-otot pelepasan. Ini

bukan usaha untuk melawan atau tanda ketidakpatuhan. Tampaknya anak juga

akan frustasi jika dia tidak dapat melakukan seperti yang diharapkan.

Belajar menggunakan toilet tidak bisa dilakukan sampai anak mampu dan

ingin. Anak harus belajar mengenali kebutuhan tersebut, belajar menahan air

besar atau kecil sampai dia berada di toilet, dan kemudian melepaskannya.

Kebanyakan anak tidak siap baik secara fisiologis maupun psikologis untuk

mencapai tahap tersebut sampai paling tidak pertengahan tahun kedua. Sebagian

besar anak, tanpa memperhatikan waktu dimulainya usaha berlatih menggunakan

toilet, mampu melakukannya dengan benar pada usia dua setengah hingga tiga

tahun. Semakin awal melatihnya bukan berarti akan lebih cepat berhasil, tetapi

mengulur-ulur proses tersebut juga akan memberi kesempatan timbulnya konflik.

Menurut Subagyo & Siti (2010, p.136) kejadian masih buang air kecil

secara tidak sengaja terjadi pada sekitar 30% anak berumur 4 tahun, 10% anak

45
berumur 6 tahun, 3% anak berumur 12 tahun dan 1% anak berumur 18 tahun.

Mengatasi hal ini, pengenalan kamar mandi dan toilet seharusnya dilakukan

orangtua sejak usia lebih dini yaitu mulai umur 16-18 bulan. Sedangkan menurut

IDAI, tidak ada usia yang pasti untuk memulai toilet training pada seorang anak.

Kesiapannya dilihat dari kematangan fisik dan psikologis yang secara umum

timbul sekitar usia 18 bulan sampai 2,5 tahun.

Berikut adalah beberapa tanda anak sudah siap untuk melakukan toilet

training, yaitu :

- Anak mampu menirukan orangtua dan menunjukkan rasa tertarik untuk

belajar, misalnya mengikuti orangtua ke kamar mandi.

- Anak mampu mengembalikan benda-benda ke tempatnya, baik diminta

ataupun tidak.

- Anak mampu menunjukkan tanda kemandirian dengan berkata tidak.

- Anak sudah mampu berjalan dan duduk dengan baik.

- Anak mampu menyampaikan rasa ingin buang air (kecil atau besar).

- Anak mampu melepas dan mengenakan pakaiannya

Pelaksanaan toilet training yang konsisten memerlukan perencanaan yang

juga disepakati seluruh pihak yang terlibat dalam pengasuhan anak, seperti

anggota keluarga besar atau petugas tempat penitipan anak. Penting untuk

memperhatikan bagaimana perilaku dan temperamen anak, waktu dalam sehari

yang kira-kira tepat untuk mulai berkenalan dengan penggunaan toilet, serta

46
dukungan yang ia perlukan setiap saat. Dokter dapat membantu menentukan

kesiapan anak serta rencana pendekatan yang akan dilakukan.

Tahap toilet training meliputi penyampaian maksud buang air, melepas

pakaian atau celana, buang air di toilet, membersihkan bagian tubuh sekitar

tempat buang air, mengenakan pakaian kembali, menyiram toilet, dan mencuci

tangan. Buatlah pengalaman belajar ini sebagai kegiatan yang bersifat alami

dalam hidup sehari-hari. Dorong rasa percaya diri anak bahwa ia mampu

melakukannya sendiri. Berikan pujian apabila ia berhasil pada setiap tahap.

Pendekatan yang baik akan membuat anak tidak merasa dipaksa buang air di

toilet. Apabila anak merasa tertekan atau tidak nyaman, ia mungkin akan menahan

buang airnya. Demikian juga halnya apabila sikap orangtua menunjukkan

kecemasan dan harapan bahwa ia harus segera mampu mandiri.

Pada waktu-waktu tertentu, sesekali anak masih akan buang air di celana.

Saat sedang sakit atau mengalami perubahan besar dalam hidup sehari-hari,

kemajuan yang dicapai mungkin akan berkurang. Hal ini wajar terjadi, dan sikap

terbaik adalah tetap mendukung seperti biasa. Hindari reaksi berlebihan atau

tekanan pada kemunduran kemampuannya. Apabila keadaan sudah kembali

normal, anak akan segera kembali pada kemampuan yang sudah dicapainya.

Setelah buang air besar, jangan lupa melihat apakah kotoran yang

dikeluarkan anak padat dan keras. Hal ini menyebabkan rasa sakit saat buang air

dan menghambat proses belajar, karena anak akan menahan buang airnya. Ketika

hal ini terjadi, perbanyak serat dalam asupan makanan anak serta minum air dalam

47
jumlah yang cukup. Yakinkan anak bahwa buang air besar tidak menyakitkan lagi

apabila kotoran yang dikeluarkan melunak.

Beberapa hal lain yang mungkin perlu diingat ketika anak sedang dalam

proses toilet training adalah:

- Biasakan mengenali isyarat ketika anak akan buang air, seperti ekspresi

wajah, perilaku, atau posisi tertentu. Tanyakan apakah ia ingin ke toilet saat

isyarat itu timbul.

- Selalu berikan contoh, baik tentang cara duduk di toilet maupun dalam

kebiasaan makan banyak serat.

- Pada awal toilet training, anak laki-laki perlu belajar buang air kecil dalam

posisi duduk dulu. Belajar buang air kecil langsung dalam posisi berdiri

mungkin dapat menyulitkan proses belajar duduk di toilet untuk buang air

besar. Anak laki-laki juga umumnya butuh waktu lebih lama dalam proses

belajar ini.

- Latihan buang air dapat dimulai satu kali sehari pada waktu yang sama,

seperti setelah makan atau saat mandi, ketika anak tidak berpakaian.

- Ketika anak sudah mulai belajar mengendalikan proses buang airnya,

orangtua dapat mengurangi pemakaian diaper secara bertahap. Mulai

kenakan celana kain biasa pada siang hari ketika anak bangun dan bermain.

Kendali buang air saat tidur mungkin baru akan timbul setahun setelah anak

mampu menahan buang air di siang hari.

48
- Ajari anak untuk buang air di malam hari sebelum tidur. Apabila ia masih

sering buang air kecil di malam hari, mungkin orangtua perlu mengajaknya

buang air di tengah malam satu kali lagi.

- Berkonsultasilah dengan dokter anak apabila anak belum dapat

mengendalikan buang air saat ia berusia 7 tahun.

Gambar 2.5 Latihan toilet training


2.13 Prognosis

Pada banyak kasus, enkopresis berhenti dengan sendirinya, dan jarang

berlanjut lewat masa remaja pertengahan. Anak- anak yang memiliki faktor

fisiologis penyerta, seperti motilitas lambung yang buruk dan ketidakmampuan

untuk mengendurkan otot sfingter anal, lebih sulit untuk diobati dibandingkan

mereka dengan konstipasi tetapi dengan tonus sfingter yang normal.

49
Enkopresis adalah gangguan yang cukup menjijikan bagi sebagian besar

orang, termasuk anggota keluarga; jadi, ketegangan keluarga sering kali tinggi.

Teman sebaya anak juga peka terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan

perkembangan dan sering mengasingkan anak. Anak enkopretik sering

dikambinghitamkan oleh teman sebayanya dan dihindari oleh orang dewasa.

Banyak anak enkopretik memiliki harga diri rendah dan menyadari penolakan diri

mereka yang terus-menerus. Secara psikologis, anak-anak mungkin tampak tidak

peduli terhadap gejala, atau mereka mungkin terlibat dalam pola enkopresis

sebagai cara mengekpresikan kemarahan.

Hasil akhir kasus enkopresis adalah dipengaruhi oleh kemauan dan

kemampuan keluarga untuk berperan serta dalam terapi tanpa terlalu menghukum

dan oleh kesadaran anak tentang kapan pengeluaran feses kira-kira akan terjadi. 2

50

Anda mungkin juga menyukai