PENDAHULUAN
1
pada usia di bawah 40 tahun, tetapi hampir 1/3 kasus terjadi pada usia di
atas 60 tahun. Penyebaran dari ganglion yang terkena secara langsung atau
lewat aliran darah sehingga terjadi herpes zoster generalisata. Hal ini dapat
terjadi oleh karena defek imunologi karena keganasan atau pengobatan
imunosupresi (Wolff K,et al.2008).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
herpes. Sebaliknya, kejadian herpes zoster ditentukan oleh faktor-faktor
yang mempengaruhi hubungan host-virus (Wolff K,et al.2008).
Salah satu faktor risiko yang kuat adalah usia lebih tua. Insiden
terjadinya herpes zoster 1,5 sampai 3, 0 per 1.000 orang per tahun dalam
segala usia dan 7 sampai 11 per 1000 orang per tahun pada usia lebih dari
60 tahun pada penelitian di Eropa dan Amerika Utara. Diperkirakan bahwa
ada lebih dari satu juta kasus baru herpes zoster di Amerika setiap tahun,
lebih dari setengahnya terjadi pada orang dengan usia 60 tahun atau lebih.
Ada peningkatan insidens dari zoster pada anak – anak normal yang
terkena chicken pox ketika berusia kurang dari 2 tahun. Faktor resiko
utama adalah disfungsi imun selular. Pasien imunosupresif memiliki
resiko 20 sampai 100 kali lebih besar dari herpes zoster daripada individu
imunokompeten pada usia yang sama. Immunosupresif kondisi yang
berhubungan dengan risiko tinggi dari herpes zoster termasuk “human
immunodeficiency virus” (HIV), transplantasi sumsum tulang, leukimia
dan limfoma, penggunaan kemoterapi pada kanker, dan penggunaan
kortikosteroid. Herpes zoster adalah infeksi oportunistik terkemuka dan
awal pada orang yang terinfeksi dengan HIV, dimana awalnya sering
ditandai dengan defisiensi imun. Zoster mungkin merupakan tanda paling
awal dari perkembangan penyakit AIDS pada individual dengan resiko
tinggi. Dengan demikian, infeksi HIV harus dipertimbangkan pada
individu yang terkena herpes zoster (Mandal BK, dkk.2008).
Faktor lain melaporkan meningkatnya resiko herpes zoster
termasuk jenis kelamin perempuan, trauma fisik pada dermatom yang
terkena, gen interleukin 10 polimorfisme, dan ras hitam, tapi konfirmasi
diperlukan. Paparan dari anak dan kontak dengan kasus varisela telah
dilaporkan untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit herpes
zoster. Episode kedua dari herpes zoster jarang terjadi pada orang
imunokompeten, dan serangan ketiga sangat jarang. Orang yang menderita
lebih dari satu episode mungkin immunocompromised. Pasien
imunokompeten menderita beberapa episode seperti penyakit herpes zoster
4
yang mungkin menderita infeksi virus herpes simpleks zosteriform (HSV)
yang berulang (Habif, T.P. 2011)
Pasien dengan herpes zoster kurang menular dibandingkan pasien
dengan varisela. Virus dapat diisolasi dari vesikel dan pustula pada herpes
zoster tanpa komplikasi sampai 7 hari setelah munculnya ruam, dan untuk
waktu yang lebih lama pada individu immunocompromised. Pasien
dengan zoster tanpa komplikasi dermatomal muncul untuk menyebarkan
infeksi melalui kontak langsung dengan lesi mereka. Pasien dengan herpes
zoster dapat disebarluaskan, di samping itu, menularkan infeksi pada
aerosol, sehingga tindakan pencegahan udara, serta pencegahan kontak
diperlukan untuk pasien tersebut. (Habif, T.P. 2011)
2.4. Patogenesis
Selama perjalanan dari varicel, VZV lewat melaui lesi dikulit dan
permukaan mukosa ke ujun saraf sensorik dan diangkut secara sentripetal
sampai serabut saraf sensorik ke ganglia sensoris. Di ganglia, virus
membentuk infeksi laten yang bertahan untuk hidup. Herpes zoster terjadi
paling sering pada dermatom dimana ruam varisela terbanyak yang
diinervasi oleh saraf oftalmikus dari ganglia sensoris trigeminal dari T1 ke
L2. (wolff, et al.2008)
Varisela sangat menular dan biasanya menyebar melalui droplet
respiratori. VVZ bereplikasi dan menyebar ke seluruh tubuh selama
kurang lebih 2 minggu sebelum perkembangan kulit yang erupsi. Pasien
5
infeksius sampai semua lesi dari kulit menjadi krusta Selama terjadi kulit
yang erupsi, VVZ menyebar dan menyerang saraf secara retrograde untuk
melibatkan ganglion akar dorsalis di mana ia menjadi laten. Virus berjalan
sepanjang saraf sensorik ke area kulit yang dipersarafinya dan
menimbulkan vesikel dengan cara yang sama dengan cacar air. Zoster
terjadi dari reaktivasi dan replikasi VVZ pada ganglion akar dorsal saraf
sensorik. Latensi adalah tanda utama virus Varisela zoster dan tidak
diragukan lagi peranannya dalam patogenitas. Sifat latensi ini menandakan
virus dapat bertahan seumur hidup hospes dan pada suatu saat masuk
dalam fase reaktivasi yang mampu sebagai media transmisi penularan
kepada seseorang yang rentan. Reaktivasi mungkin karena stres, sakit
immunosupresi, atau mungkin terjadi secara spontan. (Schalock.C.P,2011).
Virus kemudian menyebar ke saraf sensorik menyebabkan gejala
prodormal dan erupsi kutaneus dengan karakteristik yang dermatomal.
Infeksi primer VVZ memicu imunitas humoral dan seluler, namun dalam
mempertahankan latensi, imunitas seluler lebih penting pada herpes zoster.
Keadaan ini terbukti dengan insidensi herpes zoster meningkat pada pasien
HIV dengan jumlah CD4 menurun, dibandingkan dengan orang normal
(Daili SF.2013)
Gambar. 1
6
Gambar. 2
Selama proses varisela berlangsung, VZV lewat dari lesi pada kulit dan
permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik menular dan dikirim secara
sentripetal, naik ke serabut sensoris ke ganglia sensoris. Di ganglion, virus
membentuk infeksi laten yang menetap selama kehidupan. Herpes zoster
terjadi paling sering pada dermatom dimana ruam dari varisela mencapai
densitas tertinggi yang diinervasi oleh bagian (oftalmik) pertama dari saraf
trigeminal ganglion sensoris dan tulang belakang dari T1 sampai L2.
(Wolff K,et al.2008)
7
pada saat terjadi infeksi VZV primer baik in utero maupun pascalahir
(Mandal BK, dkk.2008).
Gambar. 3
8
penderita mayoritas diatas usia 60 tahun. Nyeri prodormal : lamanya kira –
kira 2 – 3 hari, namun dapat lebih lama. (Daili SF.2013)
Gejala lain dapat berupa rasa terbakar dangkal, malaise, demam,
nyeri kepala, dan limfadenopati, gatal, tingling. Lebih dari 80% pasien
biasanya diawali dengan prodormal, gejala tersebut umumnya berlangsung
beberapa hari sampai 3 minggu sebelum muncul lesi kulit.
Nyeri preeruptif dari herpes zoster (preherpetic neuralgia) dapat
menstimulasi migrain, nyeri pleura, infark miokardial, ulkus duodenum,
kolesistitis, kolik renal dan bilier, apendisitis, prolaps diskus intervertebral,
atau glaucoma dini, dan mungkin mengacu pada intervensi misdiagnosis
yang serius. Lesi kulit yang paling sering dijumpai adalah vesikel dengan
eritema di sekitarnya herpetiformis berkelompok dengan distribusi
segmental unilateral. Erupsi diawali dengan plak eritematosa terlokalisir
atau difus kemudian makulopapuler muncul secara dermatomal.
(James, W.D.2011)
Lesi baru timbul selama 3-5 hari. Bentuk vesikel dalam waktu 12
sampai 24 jam dan berubah menjadi pustule pada hari ketiga. Pecahnya
vesikel serta pemisahan terjadi dalam 2 – 4 minggu. Krusta yang
mongering pada 7 sampai 10 hari. Pada umumnya krusta bertahan dari 2
sampai 3 minggu. Pada orang yang normal, lesi – lesi baru bermunculan
pada 1 sampai 4 hari ( biasanya sampai selama 7 hari). Rash lebih berat
dan bertahan lama pada orang yang lebih tua., dan lebih ringan dan
berdurasi pendek pada anak – anak.
Dermatom yang terlibat : biasanya tunggal dermatom
dorsolumbal merupakan lokasi yang paling sering terlibat (50%), diikuti
oleh trigeminal oftalmika, kemudian servikal dan sakral. Ekstremitas
merupakan lokasi yang paling jarang terkena. Keterlibatan saraf kranial ke
5 berhubungan dengan kornea. Pasien seperti ini harus dievaluasi oleh
optalmologi. Varian lain adalah herpes zoster yang melibatkan telinga atau
mangkuk konkhal – sindrom Ramsay-Hunt. Sindrom ini harus
dipertimbangkan pada pasien dengan kelumpuhan nervus fasialis,
9
hilangnya rasa pengecapan, dan mulut kering dan sebagai tambahan lesi
zosteriform di telinga. Secara klasik, erupsi terlokalisir ke dermatom
tunggal, namun keterlibatan dermatom yang berdekatan dapat terjadi,
seperti lesi meluas dalam kasus zoster-diseminata. Zoster bilateral jarang
terjadi, dan harus meningkatkan kecurigaan pada imunodefisiensi seperti
HIV / AIDS. (Schalock C.P.2011)
10
ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan mikroskop elektron dan antigen
virus herpes zoster dapat dilihat secara imunofluoresensi. (Mandal BK,
dkk.2008).
Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan
diagnosis. Akan tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksaan
penunjang antara lain:
1. Isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan
mikroskop elektron.
2. Pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen
3. Test serologi dengan mengukur imunoglobulin spesifik
11
Gambar. 4 Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffel DJ. 2008. Varicella and Herpes Zoster. In : Fitzpatrick.
Dermatology in General Medicine. 7 thed. New York
Varisela Definisi : vesikula yang tersebar, terutama menyerang
anak-anak, bersifat mudah menular
Etiologi : varus varisela zoster
Predileksi : paling banyak di badan, kemudian dimuka,
kepala dan ekstremitas
Gejala klinis : pada stadium prodromal timbul banyak
macula atau papul yang cepat berubah menjadi vesikula,
yang uur dari lesi tersebut tidak sama. Kulit lesi
eritematus. Pada anamnesis ada kontak dengan
penderita varisela atau herpes zoster. Khas pada infeksi
virus pada vesikula ada bentukan umbilikasi (delle)
yaitu vesikula yang ditengahnya cekung kedalam.
Distribusinya bersifat sentripental.
Gambar.5 Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffel DJ. 2008. Varicella and Herpes Zoster. In : Fitzpatrick.
Dermatology in General Medicine. 7 thed. New York
Dermatitis kontak definisi : dermatitis yang disebabkan terpaparnya kulit
alergi dengan bahan yang brsifat sebagai alergen. Disini ada
riwayat alergi dan merupakan paparan ulang.
12
Predileksi : seluruh tubuh
Status dermatologis : dapat akut, subakut dan kronis.
Lesi akut berupa lesi polimorf yaitu tampak macula
yang eritematus, batas tidak jelas pada efloresensidan
diatas macula yang eritematus tedapat papul, veikel,
bula yang bila pecahmenjadi lesi eksudatif.
(Abdullah,dkk.2009)
Gambar.6
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.
2008. Varicella and Herpes Zoster. In : Fitzpatrick. Dermatology in
General Medicine. 7 thed. New York
Pada laporan kasus ini dapat didiagnosis banding dengan varisela, herpes
simplex dan dermatitis kontak alergika. Dari ketiga diagnosis banding diatas
meiliki gejala klinis dan efloresensi kulit hamper sama berupa eritema, adanya
vesikel maupun papul akan tetapi pada herpes zoster efluresesnsi kulit terbatas
pada daerah dermatom yang unilateral.
2.8 Penatalaksanaan
Umum
1. Analgetika : metampiron sehari 4 x 1 tablet
2. Bila ada infeksi sekunder :
a. Erythromycin 250-500 g sehari 3 x 1 tablet
b. Dicloxacillin 125-250 mg sehari 3 x 1 tablet
3. Lokal
a. Bila basah : kompres larutan garam faali
b. Bila erosi : salep sodium fusidate
c. Bila kering : bedak salycil 2%
13
Khusus
1. Acyclovir
Dosis dewasa : 800 mg sehari 5 kali selaa 7-10 hari
Anak : 20 mg/kgBB sampai 800 mg sehari 4 kali
Acyclovir tidak dapat menghilangkan neuralgia pasca hepatic.
2. Neuralgia pasca hepatic
a. Aspirin : 500 mg sehari 3 kali
b. Anti – depresan trisiklik : amitriptyline 50-100 mg/hari
Hari pertama : 1 tablet (25mg)
Hari kedua : sehari 2 x 1 tablet
Hari ketiga : sehari 3 x 1 tablet
c. Carbamazepine : 200 mg sehari 1-2 kali (untuk tergeminal
neuralgia)
3. Pada herpes zoster optalikus perlu konsul ke spesialis ata atau dapat
diberikan :
a. Asiklovir salep mata 5 kali/4 jam
b. Dan juga ofloxasin/siploxasin obat tetes mata
Hari 1 dan 2 : 1 tetes/2-4 jam
Hari 3-7 : tetes 4x/hari. (Barakbah,et al.2007)
2.9 Komplikasi
1. Neuralgia paska hepatic
Nyeri merupakan komplikasi tersering herpes zoster yang
membuat pasien menderita. Pada fase akut, nyeri biasanya
berkurang dalam beberapa minggu. Jika nyerinya masih menetap
lebih dari 3 bulan setelah hilangnya ruam zoster, maka diduga
pasien mengalami komplikasi neuralgia pasca herpes (NPH). Nyeri
ini dapat berlangsung sampai beberapa bulan bahkan bertahun-
tahun dengan gradasi nyeri yang bervariasi dalam kehidupan sehari-
hari. Kecenderungan ini dijumpai pada orang yang menderita herpes
zoster di atas usia 40 tahun, ruam yang meluas, dan intensitas nyeri
14
akut yang lebih berat merupakan indikator meningkatnya risiko
terjadinya NPH. (Abdullah,dkk.2009)
2. Infeksi sekunder
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasa tanpa
komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi iunitas, infeksi
H.I.V , keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi.
Vesikel sering menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik
(Djuanda,et al.2011)
3. Ramsay hunt syndrom
paralisa wajah akut yang disertai dengan vesikel-vesikel virus
herpes zoster pada kulit telinga, liang telinga ataupun keduanya,
diakibakan oleh gangguan nervus fasialis dan nervus optikus,
sehingga memberikan gejala paralisa otot muka ( paralisa bell ),
kelainan kulit yang sesuai denga tingkat persarafan, tinnitus,
vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus dan nausea juga tedapat
gangguan pengecapan. Herpes zoster ini terjadi bila mengenai
ganglion genikulatum. (Abdullah,dkk.2009)
4. Paralisis motoric
Paralisis motorik terdapat pada 1-5% kasus, yang terjadi
akibat penjalaran virus secara per kontinuitatum dari ganglion
sensorik ke sistem saraf yang berdekatan. Paralisis biasanya timbul
dalam 2 minggu sejak awitan munculnya lesi. Berbagai paralisis
dapat terjadi, misalnya di muka, diafragma, batang tubuh,
ekstremitas, vesika urinaria, dan anus. Umumnya akan sembuh
spontan. Infeksi juga dapat menjalar ke organ dalam, misalnya paru,
hepar, dan otak. Herpes Zoster merupakan penyakit kulit yang
adalah virus. diperlukan imunitas yang baik untuk mempercepat
penyembuhan. Adapun obat-obatan yang diberikan, bertujuan untuk
Mengatasi infeksi virus akut, Mengatasi nyeri akut yang
15
ditimbulkan oleh virus herpes zoster , Mencegah timbulnya
neuralgia pasca herpetic (Djuanda,et al.2011)
2.10 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
BAB III
LAPORAN KASUS
16
3.1. Identitas Pasien
Nama pasien : NW
Umur : 70 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Klungkung
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Hindu
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Suku/Bangsa : Bali/Indonesia
Tanggal Pemeriksaan : 04 Maret 2020
3.2. Anamnesis
a. Keluhan utama :
Nyeri pada paha kanan
17
pada daerah paha kemudian kemerahan pada kulit disertai munculnya
gelembung yang berisi cairan. Sebelumnya pasien mengaku pernah
mengalami sakit cacar air yang menyerupai penyakit sekarang
18
Kepala : Bentuk normocephali
- Kulit kepala : Kelainan kulit (-)
- Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
- Hidung : Tidak ada septum deviasi, sekret (-)
- Mulut : Bibir sianosis (-), karies gigi (-), tonsil T1-T1
tenang, faring tidak hiperemis
- Telinga : Normal, serumen -/-
Leher : Tidak terdapat pembesaran KGB dan tiroid
Thorax :
- Inspeksi : Bentuk simetris, gerak napak simetris
- Palpasi : Vokal fremitus sama kuat kanan dan kiri
- Perkusi : Sonor di semua lapang paru
- Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-,
bunyi jantung I-II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen :
- Inspeksi : Datar
- Palpasi : Supel, hepar & lien tidak teraba, nyeri tekan(-)
- Perkusi : Timpani di semua kuadran abdomen
- Auskultasi : Bising usus (+)
Genitalia : Dalam batas normal
Ekstremitas :
- Superior : Oedem (-), deformitas (-), kelainan sendi (-),
kelainan kulit (-), kelainan kuku : pitting nail (-), onikolisis (-),
diskolorasi (-)
- Inferior : Oedem (-), deformitas (-), kelainan sendi (-),
kelainan kulit (+), kelainan kuku : pitting nail (-), onikolisis (-),
diskolorasi (-)
2. Status Dermatologi
Ad Regio : Femoris dextra posterior
Lesi : Multiple, diskret, lentikuler
Efloresensi : tampak macula eritematosus, dengan vesikel
bergerombolan dan papul ukuran miliar
19
Foto klinis :
20
3.7. Diagnosis Banding
1. Dermatitis kontak
2. Dermatitis Venenata
3. Varisela
3.9. Penatalaksanaan
Medikamentosa
1. Topikal
Salisil talk 2%
2. Oral
Antiviral : Asiklovir 5 x 800 mg / hari selama 7 hari
Analgetik : Asam Mefenamat 3 x 500 mg
Roborantia : Vit. Complex 3 x 1
3. KIE
- Kontrol kepoliklinik 7 hari lagi dan minum obat teratur. Gunakan bedak
sesuai anjuran dokter secara teratur dan tidak menghentikan pengobatan
tanpa seizin dokter.
- Menjaga higine perorangan dan hindari menggaruk-garuk diarea lesi.
3.10. Prognosis
1. Quo ad vitam : bonam
2. Quo ad functionam : bonam
3. Quo ad sanationam : bonam
3.11 Follow Up
21
Tanggal Subject Object Assasment Planing
- Gambar.8. Hasil follow up setelah diberikan pengobatan selama 1 minggu. Tampak macula
eritema minimal dan vesicel sudah mulai pecah.
BAB IV
PENUTUP
22
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien
mengeluarkan rasa nyeri disertai panas pada bokong dan paha belakang.
Setelah dilakukan peeriksaan fisik tampak macula eritema disertai vesikel
berkelompok yang terbatas pada dermatom L3. Hal ini sesuai dengan teori
bahwa herpes zoster memiliki tanda dan gejala diatas, untuk itu pada
laporan kasus ini didiagnosis sebagai herpes zoster.
Pada kasus ini diberikan obat asiklovir 5 x 800 mg, asam mefenamat
3 x 500 mg, vit B coplex 3 x 1 tab dan bedak salisilat 2 x sehari. Setelah
diberikan terapi pada pasien diminta kontrol 7 hari keudian untuk melihat
hasilnya.Setelah diberikan terapi diatas pasien merasakan keluhan
berkurang, keluhan seperti nyeri aupun terasa panas minimal dan
gelembung pada bokong maupun paha mulai pecah dan terkelupas. Hal ini
menunjukkan respon baik.Tidak adanya komplikasi yang menyertai pada
penyakit ini menunjukkan bahwa prognosis pada pasien ini baik.
23
DAFTAR PUSTAKA
Daili, S. F. et al., 2013. Pedoman Tata Laksana Sifilis Untuk Penegndalian Sifilis
di Fasiltas Pelayanan Dasar. 1 ed. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Habif, T.P. 2011. Viral Infection. In : Skin Disease Diagnosis and Treatment. 3rd
ed. Philadelphia : Elseiver Saunders.
James, W.D. Viral Diseases. 2011. In : Andrew’s Disease of the Skin Clinical
Dermatology. 11th ed. USA : Elseiver Saunder.
Mandal BK, dkk. 2008. Lecture Notes :Penyakit Infeksi.6th ed. Jakarta : Erlangga
Medical Series. : 115 – 119
Schalock C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A. 2011. Viral Infection of the Skin. In :
Lippincott’s Primary Care Dermatology. Philadelphia : Walter Kluwer
Health. .p
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. 2008.
Varicella and Herpes Zoster. In : Fitzpatrick. Dermatology in General
Medicine. 7 thed. New York : McGraw Hill Company..p. 1885-1898.
24