Anda di halaman 1dari 57

Tinjauan Pustaka

PERANAN VITAMIN D PADA RINITIS ALERGI


Oleh
U Tei Dominica Fredlina, I Made Sudipta, Agus Rudi Asthuta
Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah Denpasar

I. PENDAHULUAN
Rinitis alergi (RA) merupakan suatu masalah kesehatan yang sering
ditemukan yang disebabkan oleh reaksi inflamasi yang diperantarai oleh sistem
imun akibat paparan satu atau lebih alergen. Meskipun kondisi ini tidak
mengancam nyawa tetapi pada kebanyakan kasus rinitis alergi dapat menyebabkan
gangguan pada aktifitas hidup sehari-hari yang pada akhirnya menyebabkan beban
pada masalah ekonomi dan kesehatan. Di Amerika Serikat, 17-25% populasinya,
kira-kira 39 juta jiwa, didiagnosa menderita rinitis alergi. Prevalensi di tiap negara
1,2
berbeda-beda disebabkan karena kondisi geografis dan perbedaan alergennya.
Beberapa tahun terakhir ini peningkatan penyakit-penyakit alergi di dunia
dihubungkan dengan kadar vitamin D yang rendah dalam darah. Schauber dkk
pada tahun 2008 menyatakan bahwa hubungan antara kadar vitamin D serum yang
rendah dalam darah dan peningkatan gangguan imunitas bukanlah merupakan
suatu kebetulan. Pertumbuhan populasi menyebabkan orang-orang menghabiskan
lebih banyak waktu di dalam ruangan yang menyebabkan kurangnya paparan sinar
1,2
matahari dan kurangnya produksi vitamin D kulit.
Vitamin D dapat berasal dari makanan, tapi dapat juga diproduksi dari
molekul prekusor di dalam tubuh. Pada awalnya vitamin D diketahui hanya
berperan pada metabolisme tulang, namun saat ini diketahui bahwa vitamin D
juga memiliki peran dalam sistem imun tubuh. Secara umum vitamin D mengatur
aktivitas berbagai sel yang terlibat dalam sistem imun diantaranya monosit, sel
3
dendritik, limfosit T dan limfosit B, dan juga sel epitel.

1
Berbagai penelitian tentang vitamin D terus berkembang. Awalnya penelitian
dilakukan hanya pada penyakit autoimun dan infeksi saja, namun saat ini banyak
penelitian yang berkembang mencari peranan vitamin D pada beberapa penyakit atopi,
dengan hasil yang masih kontroversial. Matheu dkk tahun 2003 mengatakan bahwa
pemberian vitamin D secara terus menerus akan mempengaruhi perkembangan dari
respon imun limfosit Th2, dan mempunyai dampak yang menguntungkan pada jalan
nafas yang banyak mengandung eosinofil. Suatu studi longitudinal kohort tahun 2011
yang meneliti dampak pemberian vitamin D selama masa kehamilan menunjukkan
penurunan risiko anaknya akan mengalami mengi di usia dini. Sehingga pemberian
4
suplemen vitamin D akan memberikan dampak menguntungkan pada keadaan atopi.
Tinjauan pustaka ini akan membahas peranan vitamin D pada penyakit atopi di
bidang THT khususnya rinitis alergi.

II. KAJIAN PUSTAKA


2.1 Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dan dibentuk oleh kerangka tulang dan
tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
5
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung (Gambar 1).
5
Gambar 1: Anatomi hidung luar

2
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kiri dan kanan.
Lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares anterior, sedangkan yang di
belakang disebut nares posterior (koana). Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai
dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anterior disebut vestibulum yang dilapisi oleh
kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
5
vibrise (Gambar 2).
Dinding medial hidung ialah septum nasi, yang dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Septum dilapisi oleh perikondium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung (Gambar 3).
Pada dinding lateral terdapat konka. Di antara konka dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus ada 3 meatus
yaitu meatus inferior, media dan superior. Dinding inferior merupakan dasar rongga
hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung
sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak
5
dari rongga hidung.

5
Gambar 2. Dinding Lateral Hidung.
1. Sinus frontal, 2. Konka media, 3. Meatus nasi media, 4. Ager nasi, 5. Atrium konka nasi media,
6. Limen, 7. Vestibulum, 8. Meatus nasi inferior 9.kanal incisivus, 10. Procesus palatina os
maksila, 11. Palatum molle, 12. Resesus faringeal, 13. Orifisium tuba Eustachius, 14. Torus
tubarius, 15. Adenoid, 16. Sinus Sfenoid, 17. Muara Sinus sfenoid, 18. Resesus sfenoetmoidal,
19. Konka inferior, 20. Meatus superior, 21. Konka superior, 22. Os palatum
3
5
Gambar 3. Septum nasi.
1. Perpendicular plate, 2.lamina kribosa, 3.krista Galli, 4. Os frontal, 5. Os nasal, 6. Kartilago
nasi, 7.crus medial, 8. Spina anterior, 9. Kanal incisivus, 10. Prosesus palatina, 11 Perpendikular,
12. Spina postnasal, 13. Horizontal, 14. Tulang lapisan perpendicular, 15. Pterygoid medial, 16.
Sinus sfenoid, 17. Puncak hidung, 18. Korpus hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna. Bagian
bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan
hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada bagian depan
septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid
anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut pleksus
Kiesselbach. Vena-vena pada hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
5
vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.
Persarafan sensoris bagian depan dan atas rongga hidung berasal dari nervus
etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari
nervus oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina
selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau
5
otonom untuk mukosa hidung. Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius.
4
2.2 Rinitis Alergi

2.2.1 Definisi

Menurut Allergic Rinitis and its Impact on Asthma (ARIA) tahun 2008, rinitis

alergi merupakan suatu kelainan simptomatik pada hidung yang timbul akibat paparan

alergen melalui reaksi inflamasi yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE), dengan

gejala seperti pilek encer, bersin-bersin, hidung tersumbat, gatal pada hidung, mata dan

5,6,7
telinga maupun palatum.

2.2.2 Epidemiologi

Prevalensi yang pasti dari RA sulit diketahui dengan pasti disebabkan oleh

beberapa alasan, termasuk perbedaan bagaimana cara penegakan diagnosa. Secara

umum RA sering terjadi pada 10-30% orang dewasa dan hampir 40% pada anak-anak.

Di beberapa negara lebih dari 50% remaja dilaporkan menderita keluhan rinitis. Di

Amerika Serikat sebuah survei kesehatan yang dilakukan oleh Centers for Disease

Control (CDC) pada tahun 2009 mendapatkan 8,2 juta anak-anak (11%) dilaporkan

menderita keluhan pernafasan terkait alergi dalam 12 bulan terakhir. Disebutkan pula

bahwa di Amerika Serikat, RA merupakan penyebab kedua terbanyak dari penyakit


kronis yang mengenai hampir 60 juta penduduk Amerika, dimana kira-kira terdapat 1

orang diantara 4 rumah tangga. Dari yang menderita tersebut lebih dari setengahnya

7,8
memiliki gejala RA lebih dari 10 tahun.

2.2.3 Klasifikasi Rinitis Alergi

Menurut ARIA World Health Association (WHO), rinitis alergi dibagi

dalam dua kelompok yaitu intermiten dan persisten sesuai dengan lamanya waktu

serangan, sedangkan berdasarkan beratnya gejala dibagi menjadi ringan dan sedang-

berat. Rinitis alergi intermiten apabila gejala timbul kurang dari 4 hari perminggu dan

berlangsung selama kurang dari 4 minggu. Rinitis alergi persisten apabila gejala timbul

6,7
lebih dari 4 hari perminggu dan berlangsung lebih dari 4 minggu.

5
Gejala disebut ringan apabila tidak mempengaruhi aktifitas sehari-hari dan

aktifitas tidur, sedangkan gejala sedang-berat apabila ada satu atau lebih gangguan
6,7
aktifitas sehingga kualitas hidup pasien menurun.

2.2.4 Patofisiologi

Reaksi hipersensitifitas yang diperantarai oleh IgE (Reaksi tipe I Gel dan

Coombs) mendasari penyakit-penyakit alergi. Suatu alergen dikenali oleh Antigen

Presenting Cell (APC) dan kemudian akan dipresentasikan kepada sel limfosit Th yang

membutuhkan reseptor Human Leukosit Antigen (HLA). Sel Th2 akan

mempresentasikan alergen ke limfosit B yang mempunyai reseptor khusus terhadap

alergen tersebut. Interleukin 4 (IL4) dan sitokin lainnya dapat menginduksi limfosit B

menjadi sel plasma yang akan menghasilkan IgE. IgE kemudian beredar dalam sirkulasi

dan berikatan pada reseptornya di basofil dan sel mast di seluruh tubuh. Pada paparan

kembali alergen tersebut menyebabkan degranulasi basofil dan sel mast yang

diperantarai oleh IgE, melepaskan mediator-mediator inflamasi diantaranya histamin,

IL-2, IL-5, dan leukotrien. Histamin berikatan dengan reseptornya pada sel endotel dan

otot polos pembuluh darah menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan

permeabilitas, sehingga pasien akan mengalami keluhan pilek encer, bersin-bersin dan

hidung tersumbat. IL-5 dan leukotrien akan mencetuskan reaksi inflamasi fase lambat.

5,7,8
Reaksi inflamasi tersebut akan dibatasi oleh IL10 dan sel T regulator.

2.2.5 Diagnosis

Diagnosis awal diperoleh dari anamnesis (riwayat penyakit) yang teliti dan
pemeriksaan fisik yaitu inspeksi, pemeriksaan rinoskopi anterior dan nasoendoskopi.

Selanjutnya diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan yang menunjukkan adanya IgE

baik di kulit maupun di darah (tes alergi). Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan yaitu

pemeriksaan eosinofil sekret hidung, tes transpor mukosilier, tes buntu hidung, tes

7
penciuman dan pemeriksaan radiologi (CT scan dan MRI).

6
Gejala klinis pasien yang menderita RA biasanya sangat spesifik yaitu bersin-
bersin, pilek encer, hidung buntu, gatal di hidung disertai mata gatal dan berair. Rinitis
alergi merupakan penyakit kronis dan berlangsung terus menerus, dan untuk
memudahkan dalam melakukan anamnesis, maka dapat dibuatkan daftar pertanyaan yang
perlu ditanyakan kepada pasien dan keluarga pasien. Ketika diagnosis RA ditegakkan,
pertanyaan apakah penderita RA juga menderita asma diperlukan, demikian halnya
mengenai gejala atopi lainnya seperti alergi makanan dan eksema. Beberapa studi
menyebutkan hampir 80% penderita asma juga menderita rinitis, dan 10%-40% penderita
6,7
rinitis juga menderita asma.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai adanya allergic shinners, allergic salute, nasal
crease, facial grimacing, Dennie's line. Pemeriksaan rinoskopi anterior atau endoskopi
hidung dilakukan untuk menilai apakah konka udem, warnanya pucat, ada sekret encer,
kondisi meatus medius, nasofaring dan apakah ada kelainan anatomi (septum deviasi dan
6,7
polip).
Untuk menunjang diagnosis perlu dilakukan tes alergi untuk menilai IgE secara in
vivo maupun invitro. Tes kulit (skin prick test) atau tes intradermal (intradermal test)
dilakukan untuk menilai IgE secara in vivo, sedangkan pemeriksaan Radio Allergo
6,7
Sorbent Test (RAST) untuk menilai IgE secara in vitro.
Menurut KODI Alergi dan Imunologi Perhati-KL, diagnosis RA dimulai dari
anamnesis adanya pilek yang tidak sembuh-sembuh ≥ 3 bulan disertai dengan keluhan
hidung gatal, bersin-bersin, pilek encer, buntu hidung hilang timbul, adanya riwayat
alergi di organ tubuh yang lain dan adanya riwayat alergi pada keluarga. Pasien kemudian
dilakukan rinoskopi anterior dan nasoendoskopi, dinilai warna mukosa hidung apakah
6
pucat atau ada sekret hidung yang encer.
Kemudian pasien dilakukan pemeriksaan eosinofil hidung, apabila ada gejala tetapi
hasilnya negatif, maka perlu diulang sampai 3x. Apabila pemeriksaan eosinofil hidung
positif pasien selanjutnya dilakukan tes alergi yaitu tes kulit cukit. Bila hasil tes kulit
positif maka perlu dievaluasi apakah ada keluhan komorbid, baru ditentukan
6
diagnosisnya menurut ARIA WHO.
7
2.2.6 Penatalaksanaan
Penderita RA yang dibiarkan dengan gejala tanpa diobati secara adekuat
akan mengalami penurunan kualitas hidup, antara lain berupa gangguan proses belajar,
produktivitas kerja, dan stabilitas emosi. Menurut American Collage of Allergy, Asthma
and Immunology (ACAAI, 2005) penatalaksanaan RA antara lain allergen avoidance
7,9
(eliminasi alergen), farmakoterapi, imunoterapi dan pembedahan.
Eliminasi alergen masih merupakan terapi utama dalam penatalaksanaan RA, akan
tetapi dalam prakteknya tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Di negara tropis seperti
Indonesia, yang sangat berperan pada rinitis alergi adalah tungau debu rumah, bulu
binatang dan alergen kecoa. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghindari
tercetusnya RA yaitu membungkus kasur dan bantal dengan bahan khusus, atau mencuci
alas tidur, sarung bantal dan selimut seminggu sekali, bila mungkin dengan air panas
o 7,8,9,10
(>55 C).
Farmakoterapi diperlukan karena penderita RA tidak bisa secara total menghindari
paparan alergen terutama alergen inhalan dan harus memenuhi kriteria: aman dan efikasi
tinggi, mudah pemberiannya, absorbsi cepat, cara kerja cepat, tidak ada efek samping dan
mempunyai aktivitas ‘anti-alergenik tinggi’.
Farmakoterapi yang dapat diberikan meliputi: anti histamin, kortikosteroid intranasal,
dekongestan, stabilisator sel mast, anti kolinergik intranasal, anti leukotrien dan anti IgE
antibodi. Pemilihan obat yang diberikan harus bijaksana dan selektif dengan
memperhatikan keluhan yang dirasakan oleh penderita. Obat yang dipilih disesuaikan
7,8,9
dengan keluhan penderita baik berupa obat tunggal maupun kombinasi.
Imunoterapi spesifik adalah memberikan alergen yang sesuai dengan hasil tes kulit,
dosisnya secara bertahap dinaikkan sampai dosis maksimal yang tidak menimbulkan
serangan/gejala alergi. Tujuannya supaya penderita berkurang simptomnya pada paparan
alergen penyebab. Secara klinik imunoterapi pada rinitis alergi terbukti efektif. Terdapat
beberapa cara imunoterapi yaitu injeksi sub kutan, pernasal, sub lingual, oral dan lokal.
Injeksi sub kutan lebih banyak
8
dipraktekkan, sedangkan imunoterapi sublingual/peroral masih banyak diteliti dan mulai
7,8,10
banyak dipakai.
Berdasarkan WHO-ARIA tahun 2008 terapi medikamentosa pada pasien dengan
RA persisten sedang-berat sesuai urutan adalah kortikosteroid topikal, anti histamin H1
atau leukotrien receptor antagonist (LTRA) bila disertai dengan asma, dan keputusan
untuk melakukan tindakan pembedahan adalah setelah terapi medikamentosa gagal.
Sebagian besar penelitian memasukkan kriteria inklusi gagalnya terapi medikamentosa
untuk rinitis alergi selama 1 bulan lebih dulu, sebelum pasien dilakukan pembedahan.
Terapi pembedahan dilakukan bertujuan mengurangi sumbatan hidung untuk
melapangkan aliran udara di hidung. Terapi pembedahan yang ada diantaranya reduksi
konka, reseksi submukosa, septoplasti, BSEF, dan neurektomi saraf vidianus. Konka
inferior terbukti menjadi penyebab terpenting sumbatan hidung pada pasien RA. Sebelum
menjalani intervensi bedah, sangat penting untuk memastikan bahwa segala terapi
medikamentosa telah dilakukan secara maksimal, karena intervensi bedah mungkin tidak
11
efektif pada pasien yang seharusnya masih dapat diterapi medikamentosa.
Adapun diagnosis dan terapi dari RA menurut KODI Alergi dan Imunologi Perhati-
11
KL dapat dilihat pada bagan berikut ini (Gambar 4):
9
12
Gambar 4. Guideline Diagnosis dan Pengobatan Rinitis Alergi
10
Penatalaksanaan RA berdasarkan ARIA-WHO dapat dilihat pada bagan berikut
8,9
(Gambar 5):

8,9
Gambar 5. Algoritma penatalaksanaan rinitis alergi berdasarkan ARIA-WHO

2.3 Vitamin D
Vitamin D merupakan suatu nutrien dan juga suatu hormon. Konsentrasinya
dalam darah tergantung dari asupan makanan dan paparan radiasi sinar ultraviolet B (UV-
B, biasanya sinar matahari). Vitamin D adalah suatu secosteroid yang memiliki sebuah
struktur yang serupa dengan struktur steroid kecuali adanya perbedaan dimana terdapat
kerusakan pada dua dari empat cincin B atom karbon (C9 dan C10) akibat sinar UV-B,
13,14,15
seperti dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Gambar 6).

11
13
Gambar 6. Struktur Vitamin D

Sumber utama vitamin D adalah sintesis de novo yang terjadi di kulit dengan
bantuan sinar matahari. Rata-rata, paparan sinar matahari dengan cara berjemur selama
sedikitnya 20 menit akan menghasilkan 15.000-20.000 IU vitamin D. Meskipun vitamin
D juga banyak terkandung dalam bahan makanan, mengandalkan kebutuhan hanya dari
asupan diet saja tidaklah cukup, sebab hanya menyumbang sebanyak 20% dari kebutuhan
tubuh. Vitamin D tidak banyak terdapat dalam bahan makanan tumbuhan (misalnya
sayuran, buah-buahan, atau biji-bijian) dan hanya sedikit terkandung dalam daging dan
13,14
sumber hewani lainnya, kecuali pada minyak hati ikan. Rekomendasi suplementasi
asupan vitamin D adalah 400 IU/hari untuk bayi selama tahun pertama kelahiran, dan 800
14
IU/hari untuk semua populasi.
Berikut adalah kandungan vitamin D pada beberapa bahan makanan sehari-hari
(Tabel 1):
12
14
Tabel 1. Kandungan Vitamin D pada Beberapa Bahan Makanan .
Jenis Makanan µg/100g IU/100g
Minyak ikan:
Minyak hati ikan cod 250 10.000
Minyak ikan sarden 8,3 332
Ikan-ikan:
Salmon 16,0 640
Ikan hering 13,1 524
Salmon kaleng 12,0 480
Sarden 11,0 440
Daging dan produk daging:
Kepala ikan 0,91 36,4
Hati ayam, sosis sapi 0,41 16,4
Daging sapi muda, hati 0,33 13,2
Sosis kalkun 0,16 6,4
Telur:
Kuning telur 5,6 224
Telur bubuk 5,0 200
Telur ayam, segar atau direbus 2,9 116
Susu:
Susu pasteurisasi (3,5% lemak susu) 0,09 3,6
Susu mentah (3,7% lemak susu) 0,07 2,8
Susu steril (1,6% lemak susu) 0,03 1,2
Susu kambing mentah (3,9% lemak 0,25 10
susu)
Susu manusia 0,07 2,8
Minuman sayuran:
Minuman dari kacang kedelai 1,4 56
Minuman dari beras yang diperkaya 1,1 44

Vitamin D memiliki dua bentuk dan beberapa metabolit. Kedua bentuk


vitamin D itu adalah vitamin D2 (ergokalsiferol), dan D3 (kolekalsiferol). Kedua
bentuk vitamin D tersebut akan mengalami metabolisme yang serupa. Beberapa
bukti menunjukkan bahwa vitamin D2 akan dimetabolisme lebih cepat daripada
vitamin D3, namun dengan adanya asupan makanan sehari-hari keduanya berada
dalam konsentrasi yang seimbang. Kedua bentuk vitamin D diabsorbsi di usus
halus dan kemudian akan dikonversi menjadi 25-hidroksi vitamin D [25(OH)D] di
dalam hati. Absorbsinya dipengaruhi oleh kandungan lemak dalam makanan yang
akan merangsang terbentuknya lipase pankreas dan asam empedu. Kadarnya

13
13,14
dalam serum digunakan dalam menentukan status adekuasi vitamin D seseorang.
Beberapa laboratorium menggunakan satuan unit konvensional (ng/ml) dalam
pengukuran kadar vitamin D serum, sedangkan yang lainnya menggunakan satuan sistem
internasional (nmol/l). Faktor konversi diantara kedua satuan tersebut adalah 1ng/ml =
2,496 nmol/l. Satuan lain yang juga sering digunakan adalah unit internasional (IU),
dimana 1ug = 40 IU. Beberapa kebijakan atau rekomendasi internasional
mengelompokkan kadar vitamin D serum menjadi tiga tingkatan, yaitu: defisiensi (<25
nmol/l atau ng/mL), insufisiensi (25-50 nmol/l atau ng/mL), dan adekuat (>50 nmol/l
atau ng/mL). Secara umum, tidak disarankan menaikkan kadar vitamin D dalam serum
sampai melebihi 125 nmol/l, dimana efek samping dan tingkat keamanan dari kadar
14
berlebih tersebut dalam jangka panjang sampai saat ini masih belum diketahui.
Di dalam ginjal, 25(OH)D akan dihidroksilasi menjadi 1,25 di-hidroksi vitamin D

[1,25(OH)2D] atau calcitriol, yang mana merupakan satu-satunya bentuk metabolit aktif
dari vitamin D. Bentuk aktif ini akan bekerja terutama di duodenum meningkatkan
absorbsi kalsium dalam makanan. Bentuk aktif vitamin D ini juga bekerja pada sel
tulang, osteoblas dan osteoklas, untuk memobilisasi kalsium tulang. Sintesis dari

1,25(OH)2D diatur dengan sangat ketat dan distimulasi terutama oleh kadar hormon
paratiroid dalam serum. Ekskresi metabolit vitamin D terutama lewat empedu, dan sedikit
lewat urine setelah melalui proses katabolisme oleh enzym 25 hidroksivitamin D-24
13,15,16,17
hidroksilase (CYP24) yang menonaktifkan kedua bentuk vitamin D.
Metabolisme vitamin D dapat dilihat pada gambar berikut (Gambar 7):
14
13
Gambar 7. Metabolisme Vitamin D dalam Tubuh

2.4 Vitamin D dan Sistem Imun Manusia


Aktifitas biologis vitamin D saat ini sudah jauh berubah dan diketahui tidak
hanya berperan pada keseimbangan kalsium dalam tubuh dan metabolisme tulang, yaitu
semenjak ditemukannya reseptor vitamin D (Vitamin D Receptor/VDR). VDR ditemukan
pertama kali pada tahun 1988 dan termasuk ke dalam keluarga reseptor inti/nuklear. VDR
diekspresikan pada banyak sel dan jaringan di seluruh tubuh, termasuk pada sel
mononuklear darah tepi (peripheral blood mononuclear cells/PBMCs) dan limfosit T
aktif. VDR juga terdapat pada sel dendritik, suatu sel yang penting dalam
mempresentasikan antigen. VDR juga diketahui berpengaruh pada perubahan 3% genom
17,18
manusia.
Distribusi VDR dalam tubuh manusia dapat dilihat pada tabel 2 di bawah
ini:
15
18
Tabel 2. Distribusi Vitamin D Receptor dalam Tubuh Manusia
Distribusi VDR pada jaringan dan sel
Jaringan adiposa Ovarium Sel β pankreas
Adrenal Tiroid Paratiroid
Tulang, osteobas Insang (ikan) Parotis
Otak, secara umum Usus halus Hipotalamus
Otak, amigdala Ginjal Plasenta
Otak, hipotalamus Hati Prostat
Otak, sel glia Paru-paru Retina
Mammae Limfosit (B,T) Kulit
Kartilago Sel mast Sperma
Colon Monosit/makrofag Lambung
Sel dendritik Otot, jantung Testis
Folikel rambut Otot, embrionik Timus
Eggshell gland Otot, polos Epididimis, tubula
Uterus Sel Ovum seminiferus

Penelitian lebih jauh juga menemukan bahwa vitamin D memiliki banyak


efek pada modulasi sitokin melalui beberapa sel yang berbeda pada sistem imun.
Tsoukas dkk (1984) membuktikan bahwa konsentrasi pikomolar dari 1,25
dihidroksi-vitamin D menurunkan aktifitas IL-2 dan menghambat proliferasi
limfosit-limfosit yang diaktifasi oleh mitogen. Mahon dkk (2003) menemukan
bahwa sel CD4 dan sel limfosit T aktif, mengekspresikan VDR. Lebih jauh lagi
diketahui bahwa 1,25 dihidroksivitamin D menurunkan proliferasi sel limfosit
Th1 dan Th2, dan juga menurunkan produksi IFN-gamma, IL-2, dan IL-5.
Kebalikannya, produksi IL-4 oleh sel limfosit Th2 meningkat. Boonstra dkk
(2001) membuktikan bahwa vitamin D menghambat produksi IFN-gamma dan
merangsang terbentuknya IL-4, IL-5, dan IL-10 pada tikus percobaan. Penelitian-
penelitian tersebut menggambarkan bahwa kondisi kekurangan vitamin D akan
meningkatkan respon dari limfosit Th1, sedangkan kondisi vitamin D yang cukup
dalam darah akan menekan efek limfosit Th1 dan meningkatkan respon sel
limfosit Th2. Pada sel limfosit B, vitamin D memiliki efek menghambat sintesis IgE
17,18
secara invitro.
Efek vitamin D pada sistem imun secara singkat dapat dirangkum seperti
pada gambar berikut (Gambar 8):

16
19
Gambar 8. Peran Vitamin D dalam Imunomodulasi

Vitamin D juga mempengaruhi sistem imun melalui regulasi terhadap cathelicidin,


yang merupakan satu-satunya peptida yang bersifat antimikroba yang diproduksi oleh
manusia. Cathelicidin diproduksi oleh neutrofil, makrofag, dan sel-sel yang membentuk
epitel permukaan kulit, saluran pernafasan, dan saluran cerna, lokasi-lokasi dimana sering
terjadi paparan terhadap patogen. Cathelicidin memiliki aktifitas antimikroba yang luas
terhadap bakteri Gram positif dan negatif, dan juga terhadap virus maupun jamur. Terapi
pemberian vitamin D akan meningkatkan produksi cathelicidin mRNA pada sel dan
kultur termasuk juga meningkatkan produksi keratinosit, neutrofil dan makrofag, seperti
19
yang dapat dilihat pada gambar berikut (Gambar 9):
17
19
Gambar 9. Vitamin D Menstimulasi Aktifitas Antimikroba Cathelicidin

2.5 Peranan Vitamin D pada Rinitis Alergi


Meskipun studi-studi pada manusia sejauh ini masih menunjukkan hasil
yang bervariasi mengenai hubungan langsung antara vitamin D dengan penyakit-penyakit
alergi, studi secara invitro telah memberikan bukti adanya hubungan tersebut. Secara
umum calcitriol dikatakan mengaktifkan respon imun bawaan dan menekan sistem imun
didapat. Studi oleh Hart dkk menunjukkan bahwa calcitriol memiliki efek langsung
terhadap berbagai sel imun tubuh seperti monosit, makrofag, sel dendritik, sel limfosit T
15
dan limfosit B seperti yang ditunjukkan pada tabel 3.
18
15
Tabel 3. Efek calcitriol pada sel leukosit myeloid dan limfoid secara invitro
Efek pada sel myeloid
Meningkatkan Menghambat
Monosit - Antimicrobial peptides: - Co-stimulatory molecules:
Cathelicidin dan β-defensin 2 CD40, CD80, CD86, HLA-DR
Makrofag - Antimicrobial peptides: - Sitokin:
Cathelicidin dan β-defensin 2 IL-1, IL-6, IL-8, IL-12, dan
- Fagositosis TNF
- Activin A
Sel dendritik - ILT3 - Co-stimulatory molecules:
- Sitokin: CD1a, CD14, CD40, CD83,
TGF-β dan IL-10 CD86
- Diferensiasi sel T regulator - Sitokin:
IL-12 dan IL-23
- Diferensiasi sel Th1 dan Th17
Efek pada sel limfoid
+
Sel T CD4 - Diferensiasi sel T regulator: - Diferensiasi sel Th1 dan Th17
FOXP3, IL-10, CTLA4, - Sitokin:
TLR9, OX40L IL-17, IL-21, IL-2, IFN-γ
+ +
- Sel T CD4 pada tempat - Sel T CD4 pada limfonodi:
inflamasi: CD621,CCR7
CCR5, CXCR3, CXCR6
+
- Sel T CD4 pada kulit:
CCR4, CCR10
Sel B - Sel B pada kulit: - Perkembangan sel plasma
CCR10 - Sekresi antibodi
- Diferensiasi sel B memori

Penelitian oleh Mulligan (2011) dan beberapa peneliti lainnya telah


membuktikan bahwa kadar vitamin D yang rendah dalam darah berhubungan
dengan tingginya jumlah sel-sel dendritik dibandingkan dengan kelompok kontrol
(kelompok dengan kadar vitamin D normal atau tinggi melalui suplementasi
vitamin D). Sel-sel dendritik memiliki peran penting langsung pada proses
diferensiasi sel Th menjadi subset sel Th1 atau Th2, dimana tanpa vitamin D (atau
pada kondisi kadar vitamin D yang rendah dalam darah) respon inflamasi akan
menjadi kacau dimana subset Th1 akan menjadi lebih dominan yang
menyebabkan terjadinya proses inflamasi yang kronis dan seseorang akan menjadi
lebih sensitif terhadap alergen lewat pembentukan imunoglobulin-E. Peneliti juga
19
membuktikan kadar vitamin D yang rendah juga akan meningkatkan kadar mediator-
19,20
mediator inflamasi (kemokin) seperti IL-2, IL-5, leukotrien.
Peningkatan aktifitas Th1, serta sitokin-sitokin inflamasi akan meningkatkan resiko
seseorang yang memiliki riwayat atopi untuk timbul keluhan seperti rinitis alergi. Jelas
terlihat pada penjelasan di atas, bahwa vitamin D memiliki peran dalam menghambat
atau mencegah terjadinya rinitis alergi melalui aktifitas penekanan efek limfosit Th1 dan
meningkatkan respon sel limfosit Th2, meningkatkan cathelicidin, menekan produksi
sitokin inflamasi (IL-2, IL-5), meningkatkan IL-10, dan pada sel limfosit B, vitamin D
19,20,21
juga akan menghambat sintesis IgE secara invitro.

III. PEMBAHASAN
Penelitian yang berusaha mencari hubungan antara kadar vitamin D serum
dengan kejadian penyakit rinitis alergi ataupun penyakit atopi lainnya masih belum
banyak dipublikasikan, dan masih terus dilakukan untuk mengetahui efek pleiotropik dari
vitamin D ini, terutama pada perkembangan toleransi sistem imun dan integritas dari
22
fungsi penghalang (barrier) epitel.
Camargo dkk pada tahun 2007 di Amerika Serikat mengamati adanya suatu
perbedaan peningkatan permintaan autoinjeksi epinephrine (EpiPens) di negara-negara
belahan bumi utara dibandingkan negara belahan bumi selatan atau tropik, yang
mengindikasikan adanya hubungan antara kadar vitamin D yang rendah dengan
meningkatnya kejadian penyakit-penyakit alergi. Penelitian terbaru oleh
National Health and Nutrition Examination Survey tahun 2005-2006 di Amerika Serikat
mendapatkan bahwa kadar vitamin D yang rendah (<15 ng/mL) berhubungan dengan
sensitisasi IgE yang lebih tinggi terhadap alergen makanan dan juga lingkungan baik itu
22
pada anak-anak maupun orang dewasa.
Hata dkk pada tahun 2008 di Vietnam mempublikasi penelitiannya dimana
suplementasi vitamin D dapat meningkatkan kadar cathelicidin dalam serum pasien-
22
pasien dengan penyakit atopi (rinitis dan dermatitis).
Namun demikian studi-studi mengenai suplementasi vitamin D pada penderita
rinitis alergi masih belum menunjukkan hasil yang seragam. Beberapa

20
penelitian menunjukkan adanya perbaikan klinis gejala rinitis alergi dengan
meningkatnya kadar vitamin D darah, namun ada juga penelitian yang tidak mendapatkan
hubungan antara keduanya.
Yao dkk tahun 2014 di Taiwan meneliti hubungan antara kadar vitamin D serum
1315 anak-anak usia 5-18 tahun dengan insiden penyakit rinitis alergi, asma, eksim, dan
kadar IgE total. Studi ini adalah studi berbasis populasi terbesar yang dilakukan di Asia.
Ternyata pada studi ini peneliti tidak mendapatkan hubungan yang bermakna antara kadar
vitamin D serum dengan variabel tergantung yang diteliti. Diduga karena kurang
banyaknya jumlah sampel pada kelompok anak dengan kadar vitamin D serum yang
normal, sehingga mempengaruhi analisis. Namun peneliti mendapatkan bahwa kadar
vitamin D yang rendah secara bermakna berhubungan dengan usia anak yang semakin
tua, jenis kelamin perempuan, indeks massa tubuh yang lebih tinggi, musim dingin
dibandingkan dengan musim panas, serta perokok pasif. Namun demikian temuan
tersebut memberi masukan pada bidang kesehatan masyarakat dimana penyuluhan dan
suplementasi vitamin D dapat diberikan pada kelompok-kelompok yang beresiko
23
tersebut.
Penelitian oleh Lee tahun 2013-2014 di Korea mendapatkan hasil yang berbeda
dengan Yao. Lee meneliti hubungan antara kadar vitamin D serum dengan kejadian rinitis
alergi dan vasomotor pada 164 anak di Kyungpook
National University Children’s Hospital, dan mendapatkan kadar vitamin D serum secara
bermakna lebih rendah pada kelompok anak dengan rinitis alergi dibandingkan rinitis
vasomotor. Kadar IgE total yang lebih tinggi juga secara bermakna didapatkan pada anak
24
dengan rinitis alergi.
Penelitian lain di Mesir pada tahun 2011 oleh El-Menem dkk, mendapatkan adanya
hubungan yang bermakna antara kadar vitamin D yang rendah pada 60 anak-anak dengan
beratnya serangan asma dan peningkatan penggunaan kortikosteroid nasal maupun
25
inhalasi.
Penelitian yang menggunakan sampel usia dewasa dilakukan oleh Arias dkk di
Costa Rica pada tahun 2011, dengan menggunakan 121 penderita asma usia rata-rata 48
tahun. Peneliti mendapatkan hasil bahwa didapatkan hubungan yang

21
bermakna antara kadar vitamin D serum yang rendah dengan beratnya serangan asma.
Namun demikian peneliti disini tidak mencari hubungan antara kadar vitamin D serum
26
dengan kadar IgE total serum.
Penelitian Kose dkk tahun 2014 di Korea menyebutkan bahwa sebagian besar
subyek penelitian yang menunjukkan RA mengalami defisiensi vitamin D yaitu dari 200
pasien dengan rinitis alergi didapatkan 68% mengalami defisiensi vitamin D. Oleh karena
itu akan sangat baik bila pengukuran level serum vitamin D dilakukan rutin pada pasien
27
RA .
Columbo dan Rohr pada tahun 2013-2014 di Amerika Serikat meneliti kadar
vitamin D serum penderita rinitis alergi berusia di atas 65 tahun dan meneliti hubungan
antara keduanya. Peneliti hanya menggunakan 15 sampel dan memberikan suplementasi
kapsul vitamin D 4000iu/hari selama 6 minggu. Sampel kemudian diminta untuk mengisi
kuesioner terkait keluhan rinitis alerginya yaitu
Rinitis Related Quality of Life Questionnaire (RQLQ) pada lima kesempatan yaitu awal
penelitian, minggu ke-3, 6, 9, serta 12. Pemberian suplementasi vitamin D secara
bermakna meningkatkan kadar vitamin D serum, namun tidak berhubungan secara
bermakna dengan durasi rinitis maupun kualitas hidup yang dinilai dengan RQLQ.
Jumlah sampel yang kecil dianggap oleh peneliti sebagai kelemahan yang mempengaruhi
28
hasil penelitian tersebut.
Beberapa penelitian pada subjek wanita hamil terkait vitamin D dan penyakit atopi
juga memberikan hasil yang berbeda. Miyake dkk tahun 2010 di Jepang mendapatkan
hasil bahwa suplementasi vitamin D (100iu/hari) selama hamil tidak memberikan efek
proteksi terhadap resiko eksim pada anaknya di usia tiga tahun. Erkkola dkk tahun 2009
mendapatkan hasil bahwa kadar vitamin D yang tinggi dalam darah ibu selama kehamilan
berhubungan secara bermakna dengan rendahnya kejadian penyakit rintis alergi dan asma
29
pada anak berusia lima tahun, namun tidak berhubungan dengan resiko eksim.
Satu-satunya hasil yang sama sekali berbeda dipublikasi oleh Gale dkk tahun 2008
di Inggris yang meneliti 466 wanita hamil dan diberikan suplementasi vitamin D selama
kehamilan sesuai rekomendasi untuk wanita hamil di Inggris (10ug/hari). Hasil yang
mengejutkan didapatkan, dimana resiko untuk terjadinya

22
penyakit atopi meningkat justru pada ibu-ibu yang pada masa kehamilannya memiliki
kadar vitamin D pada kuartil yang paling tinggi, yaitu menjadi eksim pada usia anak 9
bulan dan asma pada usia anak 9 tahun. Peneliti menyimpulkan bahwa ternyata faktor
paparan sinar UV pada wanita hamil tersebut lebih berperan secara bermakna
dibandingkan asupan suplemen vitamin D dalam meningkatkan kadar vitamin D serum,
sehingga dapat dikatakan bahwa bukan suplementasi vitamin D yang meningkatkan
29
resiko terjadinya penyakit atopi pada anak-anak mereka.
Penelitian Ciprandi dan Varricchio tahun 2014 mengatakan bahwa vitamin D3
dengan suplementasi Lactobacillus reuteri DSM 17938 diharapkan dapat meningkatkan
30
efektivitas imunoterapi yang dapat menurunkan beratnya gejala serangan RA.
Beberapa penelitian yang berusaha mencari hubungan antara vitamin D dengan
rinitis alergi beberapa tahun terakhir semakin meningkat dengan hasil yang bervariasi.
Beberapa menemukan hubungan antara vitamin D dengan RA dan ada beberapa yang
tidak menemukan hubungan tersebut. Seperti pada penelitian yang dilakukan Dogru dan
Suleyman mengemukakan bahwa tidak ada hubungan antara kadar vitamin D dan durasi
dan tingkat keparahan dari rinitis alergi. Penelitian tersebut dilaksanakan pada Desember
2014 hingga Mei 2015 pada 141 anak (76 pasien dengan rinitis dan 65 orang anak sehat
31
sebagai kontrol).
Hal yang sama juga diperoleh Kim dkk tahun 2015 di Korea sebuah studi meta-
analisis mendapatkan bahwa kadar 25-hidroksi vitamin D tidak berhubungan dengan
prevalensi rinitis yang sedang terjadi atau pun dengan perkembangan dari RA. Studi
32
tersebut menyarankan perlunya dilakukan studi randomized controlled yang lebih besar.
Demikian pula penelitian yang dilakukan pada 100 anak dengan RA di Korea pada tahun
2015, Yoon dkk mendapatkan bahwa peningkatan kadar vitamin D serum dapat
33
dihubungkan dengan peningkatan resiko RA pada anak dan remaja di Korea.

23
Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Lee dkk pada
bulan Maret 2013 hingga Mei 2014 pada 164 pasien, didapatkan bahwa adanya hubungan
34
antara defisiensi vitamin D dan RA pada anak-anak di Korea.
Beberapa penelitian juga mendapatkan hal yang hampir sama dengan Lee. Seperti
pada penelitian yang dilakukan oleh Kumar dkk tahun 2015 di India mendapatkan bahwa
adanya hubungan yang kuat antara kadar vitamin D yang rendah dengan pasien RA.
Kumar menyebutkan bahwa kadar vitamin D suboptimal dapat merubah perjalanan
penyakit RA, dimana suplementasi vitamin D dapat merupakan terapi tambahan yang
35
berguna.
Ghaffari dkk tahun 2015 meneliti beberapa penelitian mengenai hubungan vitamin
D dengan RA, didapatkan bahwa dua pertiga dari artikel tersebut menunjukkan hubungan
36
antara kadar vitamin D dan penyakit-penyakit alergi.
Sebuah penelitian kasus kontrol di Iran oleh Vatankhah dkk tahun 2016
mendapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kadar vitamin D dengan
keparahan RA. Penelitian tersebut dilakukan pada 54 pasien RA dan 54 orang sehat.
Disebutkan pula kadar vitamin D serum pada wanita yang menderita RA lebih rendah
37
daripada laki-laki yang dihubungkan dengan penggunaan pakaian.
Semenjak hipotesis pertama oleh Wjst dan Dold tahun 1999 mengenai adanya
hubungan antara pemberian vitamin D dengan penyakit alergi, penelitian-penelitian
banyak dilakukan untuk tujuan yang sama. Demikian halnya dengan penelitian oleh
Menon dkk tahun 2016 pada 50 pasien di India, didapatkan bahwa kadar vitamin D
serum yang rendah ditemukan pada pasien dengan RA. Disebutkan pula kadar vitamin D
berkorelasi dengan tingkat keparahan RA dimana terdapat peningkatan yang signifikan
pada kadar vitamin D serum dan penurunan yang signifikan pada total nasal symptom
38
score setelah suplementasi.
Penelitian yang dilakukan Magnusson dkk tahun 2015 di Swedia pada 1970 subjek
penelitian didapatkan bahwa asupan reguler minyak ikan dan diet asam lemak tak jenuh
rantai panjang (omega 3) pada masa anak-anak dapat menurunkan risiko angka insiden
kumulatif rinitis antara anak usia 8 hingga 16 tahun. Hal ini diperkirakan karena
berhubungan melalui efek imunomodulator

24
dari vitamin D. Konsumsi minyak ikan sedikitnya 1 kali seminggu pada penelitian ini
konsisten dengan angka rekomendasi yang telah ada yaitu mengkonsumsi berbagai
39
macam ikan sedikitnya 2 kali seminggu.
Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan tersebut masih merekomendasikan
untuk melakukan penelitian serupa namun dengan jumlah sampel yang lebih besar dan
durasi yang lebih panjang untuk lebih bisa menghasilkan hasil yang bermakna.

IV. KESIMPULAN
Rinitis alergi adalah suatu penyakit akibat inflamasi pada mukosa hidung dengan
manifestasi pilek encer, bersin-bersin, hidung tersumbat, gatal pada hidung, mata dan
telinga maupun palatum. Penyakit ini merupakan penyakit yang tidak mengancam nyawa
tetapi pada kebanyakan kasus rinitis alergi dapat menyebabkan gangguan pada aktifitas
hidup sehari-hari yang pada akhirnya menyebabkan beban pada masalah ekonomi dan
kesehatan.
Patofisiologi penyakit rinitis alergi serupa dengan penyakit-penyakit atopi lainnya
dengan melibatkan disregulasi sistem imun dan peningkatan sitokin inflamasi akibat
paparan alergen. Vitamin D melalui efek pleiotropiknya akhir-akhir ini mulai diteliti
peranannya dalam mengendalikan dan mencegah kejadian penyakit berbasis atopi.
Sampai saat ini masih banyak penelitian yang lebih besar yang sedang dikerjakan
untuk menilai hubungan antara kadar vitamin D serum dengan kejadian penyakit atopi
khususnya rinitis alergi. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya perbedaan hasil
yang didapatkan pada penelitian-penelitian sebelumnya sehingga perlu dilakukan
penelitian dengan sampel yang lebih besar dan durasi yang lebih panjang, dengan
demikian rekomendasi terkait suplementasi vitamin D sebagai salah satu modalitas terapi
dalam penatalaksaan penyakit rinitis alergi maupun penyakit atopi lainnya dapat lebih
memberikan bukti demi perbaikan keluhan dan kualitas hidup pasien.
25
DAFTAR PUSTAKA

1. Arshi S, Ghalehbaghi B, Kamrava SK, Aminlou M. Vitamin D serum levels in


allergic rhinitis: any difference from normal population? Asia Pasific allergy.
2012;2:45-48.
2. Yalçinkaya E, Tunçkaşik ME, Güler İ, Kocatürk S, Gündüz. Evaluation of the
correlation of 25-hydroxyvitamin-D serum levels with allergic rhinitis. ENT
Updates. 2015;5:19-22.
3. Reinholz M, Ruzicka T, dan Schauber J. Vitamin D and its role in allergic disease.
Clinical & Experimental Allergy. 2011;1-10.
4. Sudiro M. Nutrien untuk penderita rinitis alergi dan penyakit atopi lainnya. Dalam:
Kentjono WA, Juniati SH, Pawarti DR, Yusuf M, penyunting. New development
and comprehensive management in allergic rhinitis and rhinosinusitis. Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan XII Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala
Leher. Surabaya: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala dan Leher FK Unair/RSUD Dr. Soetomo. 2014;56-61.
5. Maves MD. Surgical anatomy of the head and neck. Dalam: Johnson JT dan Rosen
CA, penyunting. Bailey’s head & neck surgery Otolarygology, Edisi ke-5.
Philadelpia: Lippincott Williams&Wilkins. 2014;3-17.
6. Roestiniadi. Diagnosis Rinitis Alergi. Dalam: Kentjono WA, Juniati SH, Pawarti
DR, Yusuf M, penyunting. New development and comprehensive management in
allergic rhinitis and rhinosinusitis. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher. Surabaya: Departemen/SMF
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher FK
Unair/RSUD Dr. Soetomo. 2014;39-46
7. O’Neil JT, Mims JW. Allergic Rhinitis. Dalam: Johnson JT dan Rosen CA,
penyunting. Bailey’s head & neck surgery Otolarygology, Edisi ke-5. Philadelpia:
Lippincott Williams&Wilkins. 2014;460-466.
26
8. Min YG. The pathophysiology, diagnosis and treatment of allergic rhinitis. Allergy
Asthma Immunol Res. 2010;2:65-76.
9. Pawarti DR. Farmakoterapi pada rinitis alergi. Dalam: Kentjono WA, Juniati SH,
Pawarti DR, Yusuf M, penyunting. New development and comprehensive
management in allergic rhinitis and rhinosinusitis. Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan XII Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher.
Surabaya: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah
Kepala dan Leher FK Unair/RSUD Dr. Soetomo. 2014;67-77
10. Suprihati. Manajemen Rinitis Alergi Terkini Berdasarkan ARIA WHO. Dalam:
Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji S, Herawati S, penyunting.
Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis. Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan IV Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala
Leher. Surabaya: FK Unair/RSU Dr. Soetomo. 2004;40-50.
11. Irawati N. Terapi bedah pada rinitis alergi. Dalam: Kentjono WA, Juniati SH,
Pawarti DR, Yusuf M, penyunting. New development and comprehensive
management in allergic rhinitis and rhinosinusitis. Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan XII Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher.
Surabaya: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah
Kepala dan Leher FK Unair/RSUD Dr. Soetomo. 2014;78-88
12. Guideline Penyakit THT di Indonesia. Dalam: Soetjipto D, Wardhani RS,
penyunting. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia (PERHATI-KL).
2007;59.
13. Boudal AM dan Attar SM. Vitamin D and autoimmune disease. Dalam: Harrison A,
penyunting. Insights and Persepectives in Rheumatology. 2012;63-74.
14. Benedik E, Mis NF. New recommendations for vitamin D intake. Zdrav Vestn Supl.
2013;145-151.

27
15. Ethier CD. Vitamin D, an Immunomodulator for eosinophils in asthma and allergy
[tesis]. University of Alberta. 2014.
16. Braegger C, Campoy C, Colomb V, Decsi T, Domellof M, Fewtrell M, dkk.
Vitamin D in the healthy European paediatric population. JPGN. 2013;56:692-701.
17. Searing DA, dan Leung DY. Vitamin D in atopic dermatitis, asthma,and allergy
disease. Immunol Allergy Clin North Am. 2010;30:397-409.
18. Hartmann B. Vitamin D receptor activation modulates the allergi immune respon
[disertasi]. Charite Universitat Smedizin Berlin: 2011.
19. Abuzeid WM, Akbar NA, Zacharek MA. Vitamin D and chronic rhinitis. Current
Opinion in Allergy and Clinical Immunology. 2012;12:13-17.
20. Hoxha M, Zoto M, Deda L, and Vyshka G. Vitamin D and its role as a protective
factor in allergy. Hindawi Publishing Corporation. 2014. ID 951946.
21. Modh D, Katarkar A, Thakkar B, Jain A, Shah P, Joshi S. Role of vitamin D
supplementation in allergic rhinitis. Indian journal of allergy,asthma and
immunology. 2014;28:35-39.
22. Bozzeto S, Carraro S, Giordano G, Boner A, and Baraldi E. Asthma, allergy and
respiratory infections: the vitamin D hypotesis. European jurnal of allergy and
clinical immunology. 2011;67:10-17
23. Yao TC, Tu YL, Chang SW, Tsai HJ, Gu PW, Ning HC dkk. Suboptimal vitamin D
status in a population-based study of Asian children: Prevalence and relation to
allergic disease and atopy. PLOS ONE. 2014;9:1-9.
24. Lee SJ, Kang BH, Choi BS. Vitamin D serum levels in children with allergic and
vasomotor rhinitis. Korean J Pediatri. 2015; 58:325-329.
25. Abd El-Menem MT, Abd Al-Azis MM, El-Guindy WM, Banna NA. The frequency
of vitamin D deficiency among asthmatic Egyptian children. Egypt J Pediatr
Allergy Immunol. 2013;11:69-73.
26. Montero-Arias F, Sedo-Meija G, Ramos-Esquivel A. Vitamin D insufficiency and
asthma severity in adults from Costa Rica. Allergy Asthma Immunology Research.
2013;5:283-288.
28
27. Kose R, Senger SS, Yalcin AD, Serin BG, Cavdar G. Vitamin D serum levels in
allergic rhinitis. World Allergy Organization Journal. 2015;8:A67
28. Columbo M, Rohr AS. Allergic rhinitis in the eldery: A pilot study of the role of
vitamin D. Healthy Aging Research. 2014;3:15
29. Jones AP, Tulic MK, Rueter K, dan Prescott SL. Vitamin D and allergic disease:
Sunlight at the end of the tunnel? Nutrients. 2012;4:13-28.
30. Ciprandi G, Varricchio A. Vitamin D3 plus lactobacillus reuteri DSM 17938 as
adjuvant for allergen immunotherapy: a preliminary experience. J J Aller Immuno.
2015; 2:014
31. Dogru M, Suleyman A. Serum 25-hydroxyvitamin D3 levels in children with
allergic or nonallergic rhinitis. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology. 2016;80:39-42.
32. Kim YH, Kim MJ, Sol IS, Yoon SH, Park YA, Kim KW, dkk. Vitamin D level in
Allergic rhinitis: A Systemic Review and Meta-Analysis. J Allergy Clin Immunol.
2016;308.
33. Yoon SH, Kim YH, Park YA, Sol IS, Kim MJ, Kim WK, dkk. Correlation between
serum 25-Hydroxyvitamin D levels and allergic rhinitis in children and adolescents
in Korea. J Allergy Clin Immunol. 2015;878.
34. Lee SJ, Kang BH, dan Choi BS. Vitamin D serum levels in children with allergic
and vasomotor rhinitis. Korean J Pediatr. 2015; 58:325-329
35. Kumar V, Kumar A, Tuli IP dan Rai AK. Therapeutic significance of vitamin D in
allergic rhinitis. Astrocyte. 2015;2:8-11.
36. Ghaffari J, Ranjbar A, dan Quade A. Vitamin D deficiency and allergic rhinitis in
children: A narrative review. J Pediatr Rev. 2015;3:e2623.
37. Vatankhah V, Lotfizadeh M, Iranpoor H, Jafari F, dan Khazraei H. Comparison
vitamin D serum levels in allergic rhinitis patients with normal population. Rev Fr
Allergol. 2016.
38. Menon B, Kaur C, Vardhan H, dan Dar MY. Placebo controlled trial of vitamin D
supplementation in allergic rhinitis. Research. 2016;3:1501.
29
39. Magnusson J, Kull I, Westman M, Hakansson N, Wolk A, Melen E, dkk. Fish and
polyunsaturated fat intake and development of allergic and non allergic rhinitis. J
Allergy Clin Immunol. 2015;136:1247-53.
30

Anda mungkin juga menyukai