Anda di halaman 1dari 6

 Edisi:
Edisi-edisi yang ada
Indonesia
 Jadi penulis
 Mendaftar sebagai pembaca
 Masuk



Disiplin ilmiah, gaya jurnalistik


1. Bisnis + Ekonomi
2. Kesehatan
3. Kota
4. Pendidikan
5. Politik + Masyarakat
6. Sains + Teknologi
7. Seni + Budaya
8. Lingkungan Hidup
9. In English

Sumber masalah polusi Jakarta:


Kebijakan pemerintah yang buruk
Juli 18, 2019 9.52am WIB
Penulis

1. ajri Fadhillah
Peneliti Hukum pada Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup, Indonesian
Center for Environmental Law (ICEL)

Pengungkapan

Fajri Fadhillah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi
mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain
yang telah disebut di atas.
Mitra

Lihat semua mitra

The Conversation mendukung arus bebas informasi


Artikel kami dapat ditayangkan ulang secara gratis dengan lisensi Creative Commons

Republikasi artikel ini


Warga Jakarta ajukan tuntutan hukum atas pemerintah terkait buruknya kualitas udara di
ibukota. EPA/BAGUS INDAHONO
  Surel
   Twitter 44
   Facebook 102
  LinkedIn
  Cetak
Mimpi buruk masyarakat Jakarta kembali terjadi. Seperti dua tahun
sebelumnya, kualitas udara Jakarta mulai menurun drastis memasuki
musim kemarau tahun 2019 ini.

Fenomena ini memicu perbincangan masyarakat Jakarta hingga muncul


tagar #SetorFotoPolusi di media sosial.

Awal Juli 2019, puluhan individu menggugat Presiden Republik Indonesia,


Gubernur DKI Jakarta, dan lima pejabat pemerintahan lainnya atas
kelalaian mengendalikan pencemaran udara Jakarta.

Sebagai peneliti hukum lingkungan, saya melihat sumber masalah dari


kualitas udara yang buruk di Jakarta adalah kebijakan pemerintah provinsi
Jakarta yang bermasalah.

Kebijakan saat ini tidak memberikan target yang memadai dan dianggap
terlalu rendah untuk mencapai kualitas udara yang baik bagi kota Jakarta.

Evaluasi target
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
(DKI) Jakarta untuk tahun 2017-2022 menargetkan Indeks Kualitas
Lingkungan Hidup (IKLH) yaitu indeks yang menilai kualitas air, udara,
dan tutupan lahan mencapai 38.27 pada tahun 2022, meningkat dari 36.41
pada tahun 2017.

Dengan target tersebut, Jakarta hanya perlu meningkatkan Indeks Kualitas


Udara (IKU) sebesar 0.558 hingga mencapai 54.058 pada tahun 2022 yang
masih berada pada level “kurang baik”.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan kisaran nilai


IKLH yang baik berada pada rentang angka 70 sampai 80.

Selain itu, pemerintah DKI Jakarta juga tidak mencantumkan parameter


untuk debu halus atau Particulate Matter 2.5 (PM2.5) sebagai salah satu
indikator kualitas udara yang buruk dan berkaitan erat dengan kesehatan
manusia, contohnya penyakit kardiovaskular.
PM2.5 merupakan partikel halus berukuran 2,5 mikro meter atau lebih
kecil dari ukuran rambut manusia.
Indeks Kualitas Udara (IKU) Jakarta saat ini hanya mencantumkan Karbon
Monoksida (CO), Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Dioksida
(NO2), Particulate Matter ukuran 10 mikron (PM10) dan Ground Level
Ozone (O3).
Masuknya PM2.5 sebagai indikator keberhasilan dalam IKU sangat penting
mengingat konsentrasi PM2.5 sudah melampaui standar kualitas udara di
Jakarta atau disebut dengan Baku Mutu Udara Ambien Jakarta.

Hal ini juga berarti PM2.5 merupakan pencemar udara yang dominan
dibandingkan empat polutan lainnya bagi Jakarta. Sehingga, sangat tidak
masuk akal untuk tidak memasukkan parameter PM2.5 untuk monitoring
kualitas udara.

Tanpa PM2.5, maka pencapaian IKU sebagai indikator pemulihan udara


sangat mungkin terlalu rendah dan tidak sesuai dengan fakta di lapangan.

Dengan kata lain, pemerintah DKI Jakarta memang tidak berencana


memulihkan udara pada periode pemerintahan tahun 2017 – 2022 ini.

Apa yang bisa dilakukan


Pemerintah DKI Jakarta bisa memperbaiki target pemulihan udara Jakarta
dengan menyusun Strategi dan Rencana Aksi Pemulihan Udara Jakarta
yang belum pernah ada.

Perbaikan target pemulihan udara tersebut dilakukan dengan cara


mencantumkan target penurunan konsentrasi PM2.5 di udara. Selain itu,
perlu juga mencantumkan target penurunan konsentrasi Ground level
ozone (O3) yang merupakan polutan dominan di Jakarta.
Penekanan pentingnya menentukan target penurunan PM2.5 dan O3
bukan berarti mengesampingkan parameter pencemar udara lainnya.

Strategi dan Rencana Aksi Pemulihan Udara Jakarta tetap harus


mencantumkan target penurunan parameter pencemar udara lainnya,
seperti SO2, NO2, dan CO, karena ketiga pencemar ini juga memiliki
potensi untuk membuat udara Jakarta tercemar.

Untuk menurunkan konsentrasi O3, kita perlu menurunkan level NO2


karena O3 terbentuk melalui reaksi kimia antara nitrogen oksida (NOx),
Volatile Organic Compounds (VOC) dan cahaya matahari.

Artinya, untuk menurunkan jumlah PM2.5 dan O3, kita tetap harus
menurunkan konsentrasi ketiga pencemar lainnya.

Dengan instrumen strategi dan rencana aksi, maka diharapkan target


pemulihan udara di Jakarta akan lebih fokus, ketimbang menggunakan
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup yang merupakan gabungan dari tiga
elemen berbeda, – air, udara dan tutupan lahan –.

Jadi, pemerintah DKI Jakarta punya dokumen yang terfokus hanya untuk
menyelesaikan permasalahan pencemaran udara Jakarta.

Selanjutnya, pemerintah DKI Jakarta harus melakukan inventarisasi emisi


untuk mengetahui berapa banyak emisi yang harus dikurangi dari setiap
sumber pencemar, baik itu dari sumber pencemar bergerak maupun
sumber pencemar tidak bergerak.

Target pemulihan udara Jakarta dan inventarisasi emisi ini yang menjadi
syarat agar pelaksanaan program pengendalian pencemaran udara yang
dicanangkan pemerintah DKI Jakarta menjadi tepat sasaran dan terukur.

Moratorium pembangunan penghasil pencemar


udara
Pemulihan udara tidak hanya berbicara tentang upaya mengurangi emisi
dari sumber pencemar udara, namun juga mengkritisi rencana
pembangunan yang berpotensi memperparah kualitas udara di Jakarta,
contohnya rencana pembangunan insinerator di Jakarta.

Hal ini disebabkan oleh karena insinerator berpotensi membuang berbagai


jenis pencemar udara, salah satunya PM2.5, yang akan memperparah
pencemaran udara Jakarta.

Selain itu, rencana pembangunan enam ruas tol dalam kota di Jakarta
sepanjang 69,6 km kontraproduktif dengan upaya pemulihan udara
Jakarta. Bertambahnya jalan tol akan memberikan insentif untuk
pertumbuhan penggunaan kendaraan pribadi yang berpotensi menambah
beban emisi.

Dua rencana pembangunan tersebut hanya sebagian dari rencana


pembangunan yang berpotensi membuang emisi secara signifikan ke udara
Jakarta.

Oleh karena itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan perlu


mengevaluasi rencana pembangunan daerahnya.

Rencana pembangunan insinerator dan enam ruas jalan tol di Jakarta


merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ditetapkan
oleh pemerintah pusat.
Maka dari itu, upaya pemulihan udara Jakarta tidak bisa hanya terbatas
pada upaya pemerintah DKI Jakarta, tapi juga memerlukan upaya dari
pemerintah pusat.

Kebijakan moratorium rencana pembangunan yang berpotensi membuang


emisi siginifikan di Jakarta merupakan opsi yang patut dipertimbangkan
oleh pemerintah pusat dan pemerintah DKI Jakarta.

Upaya pemulihan udara Jakarta menjadi kegiatan yang sia-sia apabila


rencana pembangunan dengan potensi emisi yang signifikan tidak
dibatalkan.
 Lingkungan hidup
 Jakarta

  Kirim cuitan
  Bagi
  Dapatkan newsletter
Mungkin Anda juga suka

Insinerator sampah akan perparah pencemaran udara  Jakarta

Pemindahan ibu kota: Keluar dari masalah akut Jakarta dan pemerataan
ekonomi di luar Jawa

Narasi elektrifikasi rezim Jokowi ‘menutupi’ dugaan pelanggaran HAM di


sektor batu bara

Hidup dengan bencana alam–bagaimana menghadapi budaya pasrah


di Indonesia

Masuk ke komentar

0Komentar
1. Belum ada komentar untuk artikel ini.
Suarakan pendapat Anda, kirimkan komentar untuk artikel ini.

Terpopuler di The Conversation


 Mencairnya lapisan es dan pengaruhnya bagi laut Indonesia. Ini kata panel ilmuwan  PBB

 Jokowi appoints Nadiem Makarim as Education Minister: can the Gojek  co-founder streamline
bureaucracy in education?
 5 things you need to know from Indonesia’s 2020 state  budget

 Riset: mengapa peran akademisi di kabinet menjadi tidak efektif sejak era  reformasi

 Apa yang menyebabkan kembung dan perut penuh gas?


 Tiga strategi bagi Menteri Pertanian yang baru untuk dapatkan data lahan yang akurat
dan aktual

 Mengapa kita harus  berhati-hati  dengan rencana Jokowi mengeluarkan  omnibus law
 Mahasiswa adalah politikus amatir yang mungkin tidak tahu segalanya, tapi negara
butuh mereka

 Di balik toko online ada kerja perempuan yang terabaikan


 Ketika berat kita berkurang, ke mana larinya lemak tubuh yang kita  buang?

Pembaca kami

Jumlah pembaca The Conversation sebanyak 10,7 juta pengguna setiap bulan, dan melalui Creative
Commons republikasi menjangkau 38,2 juta pembaca.
Mau menulis?

Tulis artikel dan bergabung dengan komunitas akademisi dan peneliti yang terus tumbuh dengan
lebih dari 91.900 dari 2.998 lembaga.

Daftar sekarang

 Standar komunitas
 Panduan republikasi
 Basis Data Riset dan Pakar
 Analisis data
 Umpan web kami
 Tentang kami
 Piagam The Conversation
 Tim kami
 Blog kami
 Mitra dan donor
 Informasi untuk media
 Hubungi kami
Jangan ketinggalan informasi
Berlangganan

Alamat surel



Kebijakan privasi Syarat dan ketentuan Koreksi Pedoman media siber
Hak cipta © 2010–2019, The Conversation

Anda mungkin juga menyukai