Kondisi umat Islam pada saat ini, memang jauh berbeda dengan kondisi mereka pada
masa Rasulullah dan para Shahabat. Saat ini, umat Islam tengah mengalami cobaan yang
cukup berat, yakni berada pada kondisi yang sangat rendah, yang belum pernah terjadi pada
masa sebelumnya. Kemunduran umat menimpa hampir seluruh aspek kehidupan; mulai dari
aspek yang besar seperti politik, pemerintahan, ekonomi, peradaban, pertahanan-keamanan,
sampai pada aspek kecil/pribadi seperti akhlak, ibadah praktis, peraturan kekeluargaan, waris,
dan tata cara pergaulan di masyarakat. Dalam perkembangan terakhir, ternyata kemunduran
itupun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
Sebagian umat Islam saat ini masih berpikir bahwa Islam memang tidak akan mampu
mengimbangi perkembangan ilmu dan teknologi, sehingga dibutuhkan aturan dari luar Islam
yang mampu memenuhi keperluan umat. Maka mulailah mereka mengadopsi beberapa
peraturan dan perundangan Barat, yang saat itu Baratpun tengah menjadi penjajah. Sebagian
lagi berpendapat bahwa rasa nasionalisme yang ada sekarang adalah kenyataan sejarah yang
sah-sah saja menurut pandangan Islam. Mereka terpecah belah menjadi umat-umat yang
kecil, dengan perbatasan sendiri, dengan bendera, bahasa, dan lambang negara masing-
masing. Tak disadari bahwa hal tersebut, selain diharamkan Islam, juga telah menyebabkan
mereka tidak memiliki kekuatan yang berarti untuk menghadapi musuh-musuh mereka.
Pada kondisi seperti inilah terasa sekali kebutuhan umat kepada orang-orang mau dan
mampu membawa kembali umat menuju kemulyaan dan ketinggiannya sebagaimana masa
terdahulu. Dan, lebih daripada itu, sebenarnya umat Islam telah didaulat Allah SWT, Sang
Pencipta alam semesta untuk menjadi umat terbaik yang sekaligus menjadi pemimpin dan
penuntun umat lainnya. Posisi umat terbaik (khairu ummah) ini, ternyata melakukan amar
ma’ruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
Kalian adalah umat terbaik yang sengaja Allah turunkan di kalangan manusia; Kalian
menyuruh kepada yang baik dan mencegah dari yang munkar dan kalian beriman kepada
Allah... (Q.S. Ali Imran: 110)
Karenanya syarat yang disebut tadi menjadi kunci penentu bagi terwujudnya khairu
ummah. Bila umat telah menyepelekan atau bahkan menjauhkan diri dari langkah amar
ma’ruf nahi mungkar (berdakwah), maka jangan berharap predikat khairu ummah akan
tercapai.
Walhasil, hanya ada satu jalan untuk mengakhiri permasalahan umat Islam yang
cukup kompleks ini, yakni melakukan aktivitas dakwah, beramar ma’ruf nahi mungkar; yang
mana hal tersebut sama artinya dengan meningkatkan taraf berpikir umat dengan pemikiran
Islami. Setelah taraf berpikir Islami ini makin tinggi, umat akan mengetahui bahwa mereka
membutuhkan suatu ‘rumah’ sebagai tempat berlindung yang permanen, kokoh dan nyaman,
sekaligus memiliki kemampuan untuk menahan segala ancaman pihak luar yang akan
menghancurkannya untuk kedua kali. Dakwah, selain sebagai jawaban, ia sekaligus suatu
kewajiban. Yang perlu kita pahami adalah dakwah seperti apa yang harus diikuti dan
diteladani untuk para pengemban dakwah.
Dakwah merupakan kewajiban yang sangat mendapat perhatian besar dalam Islam,
karena ada tidaknya dakwah sangat mempengaruhi lestari atau tidaknya kehidupan Islam.
Posisi Dakwah dalam Islam laksana darah dalam tubuh manusia. Ia yang menyebabkan
hidup dan terus tumbuh dan berkembang.
Secara syar’i pun kewajiban dakwah memiliki perintah dan qorinah yang sangat tegas
betapa penting dan bernilai tingginya dakwah ditengah-tengah kehidupan umat manusia,
diantaranya :
ِ ِ ِ ْحكْم ِة والْمو ِعظَِة ال
ِ َ ِّيل ربِ ِ
ْ ْح َسنَة َو َجادل ُْهم بِالَّتِي ه َي أ
َح َس ُن َ ْ َ َ َ ك بِال َ ِ ا ْدعُ إِلى َسب
Serulah manusia kejalan Rabmu dengan jalan hikmah (hujah yang benar dan Kuat) dan
pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan baik. (Q.S. An Nahl: 125)
ِِ ِ ِ َ َومن أَحسن َقواًل ِّم َّمن َدعا إِلَى اللَّ ِه وع ِمل صالِحا وق
َ ال إِنَّني م َن ال ُْم ْسلم
ين َ ً َ َ ََ َ ْ ُ َ ْ ْ ََ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh dan berkata:”Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri. (Q.S Al Fushilat : 33)
Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di
muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, maka Allah
memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan
pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur. (Q.S
Al Anfal : 26)
Kalian harus mengajak mereka kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran.
Bila tidak demikian, tentulah Allah SWT akan menjadikan orang-orang jahat diantaramu
menguasai kalian dan bila ada orang baik yang berdo’a (untuk keselamatan) maka do’a
mereka tidak akan dikabulkan. (H.R Al Bazzar dan Tabrani)
Imam Thabari dalam kitab tafsirnya Ath-Thobari berkata: Hendaklah ada diantara
kalian wahai orang-orang yang beriman sebuah Ummatun yang memyeru manusia kepada Al
Khair yaitu menyeru manusia kepada al-Islam dan berbagai aturan yang disyari’atkan oleh
Allah SWT bagi hamba-Nya, yang menyuruh kepada al-ma’ruf yaitu menyeru manusia agar
mengikuti Muhammad SAW dan agama yang datang bersamanya dari sisi Allah SWT dan
yang mencegah dari al-munkar yaitu mencegah dari kekufuran kepada Allah SWT
pengingkaran terhadap Muhammad dan apa yang datang bersamanya dari sisi Allah SWT
dengan melakukan jihad dengan segenap kekuatan fisik hingga ummatun tersebut memimpin
kalian (orang-orang yang beriman). Dan mereka adalah orang-orang yang al muflihun
bermakna mereka dimudahkan Allah SWT dan mereka kekal di surga dan nikmatnya.
Utsman bin Affan ketika membaca ayat ini mengatakan bahwa Allah SWT akan menolong
ummatun adalah khusus bagi para sahabat Rasulullah SAW dan ar-rowwah.
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-Adzhiim mengatakan:
Adh Dhohak mengatakan bahwa ummatun adalah khusus bagi para sahabat Rasul SAW dan
ar rowwah yaitu pada mujahid dan para ‘ulama. Abu Ja’far al Baakir berkata ketika Rasul
SAW membaca ayat ini kemudian Beliau berkata: “Al-Khair adalah mengikuti al-Quran dan
Sunnahku”.
Adapun maksud ayat ini adalah hendaknya ada sebuah firqoh (kelompok) dari
kalangan umat ini (umat Islam) yang bersungguh-sungguh dalam perkara ini. Kemudian
Ibnu Katsir menambahkan --jika demikian maka ini sebuah kewajiban atas setiap individu
umat Islam dengan kemampuannya sebagaimana diriwayatkan imam muslim bahwa Rasul
SAW bersabda-- yang artinya, “Barang siapa melihat kemungkaran hendaklah ia
mengubahnya dengan kekuatan, jika tidak mampu ia mengubah dengan lisannya dan jika
tidak mampu ia mengubah dengan hatinya dan ini adalah selemah-lemah iman”.
Imam Qurtubi dalam tafsirnya Jamiu’ li Ahkam al-Qur’an mengatakan: Lafadz min
dalam firman Allah SWT … menunjukan sebagian (min lil tab’iidh). Maksud ayat tersebut
bahwa kedua perkara tersebut mewajibkan adanya ‘ulama bukan setiap orang menjadi
‘ulama. Dikatakan bahwa min tersebut sebagai penjelasan jenis (min li bayaan al-jinsi), tetapi
pengertian yang pertama lebih tepat (ashohha). Sehingga bisa diambil pengertian bahwa
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar adalah fardhu kifayah. Allah
SWT menjelaskan dalam firmannya surat Ali Imran ayat 41:
Yaitu mereka yang jika Kami berikan mereka kekuasaan memerintah di bumi niscaya mereka
mendirikan shalat.
Dan bukanlah setiap manusia yang diberi kekuasaan. Ibnu Jubair membaca, “Hendaklah ada
sebuah umat diantara kalian yang menyeru kepada al khair, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang munkar dan Allah SWT akan membantu mereka atas apa-apa yang
menimpa mereka”
Ahmad Mahmud dalam kitabnya Ad-Dakwah ila al-Islam menjelaskan bahwa melalui
ayat ini, Allah SWT telah mewajibkan umat Islam --sebagai bentuk kewajiban kifayah--untuk
mewujudkan minimal satu jamaah/partai yang aktivitasnya adalah mendakwahkan Islam (al-
khair) serta melakukan amar ma’ruf nahy munkar.
Perintah yang terkandung dalam frase wal takun menunjukan pengertian wajib,
karena aktivitas mendakwahkan Islam serta melakukan amar maruf nahyi munkar juga
hukumnya wajib. Sementara itu, frase minkum pada ayat ini berarti sebagian, karena adanya
indikasi syariat (qarinah syariyah), yaitu bahwa aktivitas amar maruf nahyi munkar
merupakan fardhu kifayah. Sebagaimana diketahui, tidak semua orang mampu untuk
melaksanakan tugas semacam ini karena tugas ini membutuhkan ilmu, pemahaman, dan
hikmah yang tidak bisa diperoleh oleh semua orang. Berdasarkan hal ini kata ummah pada
ayat ini bermakna jamaah dari kalangan umat Islam, bukan jamaah umat Islam. Pasalnya,
perintahnya sendiri memang mengandung pengertian diseputar kewajiban untuk mengadakan
jamaah dari kalangan umat Islam. Memang benar, dalam al-Qur’an ada kata ummah yang
mengandung pengertian jamaah dari kalangan manusia secara umum, misalnya ketika Allah
SWT berfirman tentang Musa AS, sebagai berikut:
Tatkala sampai disumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana sekumpulan orang
(ummah) yang sedang meminumkan (ternaknya) (Q.S. Al-Qashash: 23)
Lebih dari itu, yang dituntut oleh ayat ini bukanlah sembarang jamaah/partai,
melainkan jamaah/partai yang memiliki kriteria tertentu, yakni yang aktivitasnya adalah
mengemban dakwah Islam serta menjalankan amar maruf nahyi munkar. Sifat ini juga
mencakup penguasa karena fakta menunjukan bahwa penguasa adalah puncak segala
kemakrupan dan kemunkaran. Alternatifnya hanya dua: 1) Penguasa mengatur urusan umat
dengan Islam dan hukum-hukum syariat, atau 2) Penguasa meremehkan dan melalaikan
hukum-hukum Islam sehingga ia wajib untuk dikritik. Dari sini dapat dipahami mengapa
jamaah/partai yang dituntut harus bersifat politis. Alasannya karena aktivitasnya berkaitan
dengan para penguasa. Yaitu mengangkat mereka sesuai dengan yang dikehendaki syariat
--jika memang meraka belum ada-- atau mengkritik mereka jika mereka melakukan kelalaian,
mengajak mereka ke arah kebenaran, dan membatasi mereka hanya pada upaya
melaksanakan yang haq-- jika mereka sudah ada tetapi kemudian melenceng dari kebenaran.
Rasul SAW telah menjelaskan hubungan yang erat antara kewajiban ini dan para penguasa
sekaligus urgensi pelaksanaannya dalam beberapa hadits. Diantaranya :
Demi Dzat yang diriku ada ditangan-Nya, hendaklah kalian melakukan amar maruf nahyi
munkar atau Allah SWT akan mengirimkan kepada kalian siksaan dari sisi-Nya, kemudian
kalian berdo’a tetapi tidak dikabulkan (H.R. Ahmad dan Turmudzi)
Dalam konteks ketika adanya Khilafah Islam, jamaah yang didirikan dalam rangka
merealisasikan pengertian ayat tersebut serta berusaha untuk melakukan kritik terhadap
penguasa haruslah menjalankan aktivitas dan memiliki tsaqofah jamaah yang berkaitan
langsung dengan realitas di mana jamaah itu berada, yakni melakukan pengawasan terhadap
berbagai aktivitas/kebijakan penguasa; melakukan kritik terhadap penguasa jika mereka
melakukan kelalaian; mengajak penguasa untuk melaksanakan yang haq dan membatasi
aktivitasnya hanya dalam kebenaran; menciptakan kesadaran di tengah-tengah umat; serta
berusaha bersama-sama penguasa untuk meyebarkan dakwah Islam ke luar negeri.
Sebaliknya, dalam konteks ketika tidak ada Khilafah Islam, jamaah yang melaksanakan
perintah ayat ini wajib mengadopsi setiap perkara yang berkaitan dengan aktivitasnya ini;
menetapkan tujuan yang sesuai dengan syari’at; serta menentukan metode yang ingin
ditempuh berikut berbagai pemikiran yang dibutuhkannya untuk menegakkan perkara ini.
Dengan demikian, yang wajib direalisasikan adalah adanya jamaah yang bersifat
politis, apakah Khilafah Islamiyah telah ada atau belum. Sementara itu, penetapan tujuan,
aktivitas, dan materi tsaqofah jamaah adalah bergantung pada realitas yang ada. Realitas yang
ada sekarang ini adalah kita hidup dalam kondisi tidak ada Khilafah atau berada dalam Darul
Kufur, sehingga menjadi suatu kewajiban bagi kita untuk mengubahnya menjadi Darul Islam
dengan mengangkat seorang khalifah.
Dengan merujuk kepada metoda dakwah Rasul SAW, setidaknya ada empat aktifitas
pokok yang harus dilakukan oleh suatu Jama'ah dakwah Islam, yaitu :
Dengan demikian tatkala ada suatu jamaah dakwah menerjunkan dirinya ke tengah-
tengah masyarakat, dimana masyarakat tersebut teracuni pemikirannya oleh pemikiran sesat
Barat dan penjajah kafir, maka setidaknya ada dua khiththoh 'amal (kerangka kerja) yang
harus jelas dalam bentuk yang mendalam dan dapat diindera, yakni : pertama, shira'ul fikr
(pertarungan pemikiran), dan kedua: kifah siyasiy (perjuangan politik).
Shira'ul fikr yang dilakukan oleh suatu jama'ah dakwah, tetap harus diteruskan dan
ditingkatkan dengan catatan semua itu tidak boleh menyimpang dari hukum syara yang
diadopsi oleh jama'ah dakwah tersebut. Yang tidak kalah pentingnya adalah setiap
pengemban dakwah harus bisa menggambarkan realitas pemikiran Islam yang jernih kepada
masyarakat pada waktu melakukan diskusi atau penjelasan dalam bentuk yang bisa diindera
dan mencolok. Ini dilakukan dengan cara mengambil contoh-contoh sejarah dan kasus,
termasuk pemikiran mendasar yang dianggap sebagai penghambat dan sengaja diletakkan
oleh orang kafir untuk menghadang masuknya Islam kedalam masyarakat.
Kifah siyasiy yang harus dilakukan oleh suatu jama'ah dakwah secara riil adalah dengan
melakukan :
1. Serangan terhadap seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan
umat yang berkaitan dengan kemaslahatan masyarakat harus dimulai secepatnya.
2. Menyerang seluruh bentuk interaksi, sama artinya dengan menyerang seluruh bentuk
kemaslahatan. Semata-mata hanya menyerang kemaslahatan-kemaslahatan tersebut. Jadi,
masalahnya terbatas pada serangan terhadap kemaslahatan dan menggoyangnya dengan
goncangan yang dahsyat. Kemaslahatan ini ada dua macam: pertama, kemaslahatan yang
berkaitan dengan manfaat kekinian.; kedua, kemaslahatan yang berkaitan dengan politik
kekinian . Adapun kemaslahatan yang berkaitan dengan manfaat jangka panjang, maka
secara mutlak hal itu tidak dapat dilakukan dengan menggunakan aktifitas kifah siyasiy,
melainkan dengan shiro'ul fikri, seperti dengan tatsqif murokazah (pembinaan intensif)
atau tatsqif jama'iyah (pembinaan umum). Kifah siyasiy hanya digunakan untuk
menyerang kamaslahatan kekinian saja, baik yang berkaitan dengan manfaat kekinian
maupun politik kekinian.
Serangan terhadap kemaslahatan yang berkaitan dengan manfaat kekinian dilakukan
dengan jalan mengadopsi kemaslahatan umat yang ada, baik sebagian yaitu yang
berhubungan dengan lapisan masyarakat tertentu, seperti pedagang atau negeri tertentu;
maupun secara keseluruhan yaitu yang berhubungan dengan seluruh lapisan masyarakat,
wilayah tertentu atau seluruh tempat dakwah. Aktifitas jama'ah atau partai dalam perkara ini,
adakalanya dengan menjelaskan realitas tertentu dan menciptakan ketidak sukaan –
masyarakat-- terhadap penguasa, tanpa menyebutkan hukum syara dalam masalah tersebut.
Misalnya saja dengan menjelaskan kezaliman yang dialami oleh rakyat ketika harus
mengeluarkan banyak uang (pajak) untuk membiayai proyek yang tidak produktif dan tidak
mewujudkan kemaslahatan hakiki. Atau dengan menjelaskan kerusakan –birokrasi-- atas
penyelesaian suatu perkara yang terjadi dimasyarakat disertai dengan penjelasan hukum
Allah terhadap perkara tersebut. Misalnya, seperti penempatan pos polisi ditengah-tengah
masyarakat, yang dilakukan oleh Negara untuk mengambil denda terhadap mereka yang
melakukan penyimpangan di pasar, atau untuk menghentikan pengemudi sampai dibawa ke
pengadialan .
Inilah aktifitas yang harus dilakukan oleh jama'ah/partai untuk terjun ketengah-tengah
masyarakat, melaksanakan dengan penuh kesadaran dan kecermatan, sehingga jama'ah/partai
tersebut bisa membuka pintu masyarakat atau dibukakan.
Tujuan dari suatu kelompok dakwah terangkum dalam tiga hal pokok, yaitu:
Islam sebagai rahmatan lil 'alamin mengindikasikan bahwa Islam tidak hanya untuk
umat Islam saja akan tetapi untuk semua manusia tanpa memandang agama, suku bangsa,
bahasa, dan faktor-faktor lainnya yang kerap dijadikan sebagai faktor pemicu perbedaan.
Mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin secara praktis hanya akan terbentuk pada
saat Daulah Islam sudah tegak. Sebuah kelompok dakwah harus mengarahkan seluruh
aktivitasnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Melakukan aktivitas yang sekecil
apapun apabila melenceng dari tujuannya justru akan semakin menjauhkan dari tujuan yang
hendak dicapai. Maka gerakan dakwah adalah penyebaran fikrah Islam dan Aqidah Islam,
undang-undang Islam, sekaligus sistem Islam tanpa terikat oleh tempat dan waktu, serta tidak
terbatas oleh batas-batas geografis.
Kelompok dakwah Islam yang shahih harus senantiasa menjaga pemikiran dan
perasaan yang ada di masyarakat dengan cara senantiasa mengawasi dan meluruskan
pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Dengan cara ini maka keadaan
pemikiran dan perasaan masyarakat akan senantiasa pada koridor Islam dan ummat sendiri
akan semakin mengarahkan pemikirannya hanya kepada Islam untuk selanjutnya bersama-
sama merealisasikan dan melanjutkan kehidupan Islam untuk yang terakhir kalinya. Upaya
penjagaan terhadap pemikiran masyarakat ini penting bahkan sangat penting karena
masyarakat adalah merupakan basis perjuangan dan sekaligus merupakan medan jihad. Untuk
itu diperlukan kontak atau interksi terus-menerus tak kenal putus asa antara kelompok
dakwah dengan masyarakat. Akan tetapi hubungan tadi adalah hubungan yang spesifik, yaitu
hubungan mempengaruhi bukan terpengaruh.
Demikianlah sekilas tujuan dari sebuah kelompok dakwah yang harus ada pada tubuh
kaum muslimin. Bermula dari penegasan surat Ali Imran ayat 104 kaum muslimin tidak
boleh gegabah dalam pembentukan sebuah partai mengingat partai dalam Islam tugasnya
sangat berat dan mulia yaitu guna menegakkan kembali sistem Islam untuk yang kedua
kalinya berperan di pentas dunia. Sebuah partai Islam yang bertujuan pula untuk mendobrak
segala macam pemikiran bathil yang mencengkeram alam pikiran manusia, serta
membongkar segala macam bentuk interaksi antarmanusia yang rusak, dan menghilangkan
penserikatan terhadap Allah SWT dengan sesuatu yang lainnya.
Keberhasilan dakwah Rasulullah SAW merupakan sebuah fakta sejarah yang tidak
mungkin dipungkiri. Beliau memulai semuanya itu dari sebuah kelompok dakwah kecil yang
beliau bentuk berdasarkan perintah Allah SWT. Beliau berhasil membangkitkan kaumnya
dari kebodohan menjadi ketundukan-iman, dari keadaan hina menjadi sebuah kejayaan.
Selama tiga belas tahun Rasulullah SAW bekerja keras menyampaikan dakwah Islam di
Makkah guna mengubah seluruh pandangan hidup masyarakat, sebagai titik tolak dan
persiapan berdirinya sebuah masyarakat baru dengan segala bentuk tata nilainya yang
didasarkan pada Kitabullah dan sunah Rasul.
Demikianlah, bahwasanya perjuangan Islam adalah jalan yang tak mungkin sanggup
dilintasi oleh orang-orang yang hidupnya penuh dengan canda ria dan hawa nafsu, orang
yang berdada sempit dan penakut, orang yang tidak sabar menerima ujian, orang yang selalu
bekerja berdasarkan atas dasar pendapatnya sendiri tanpa ada dalil. Oleh karena itu, jalan
yang memiliki karakteristik seperti itu, tidak ada yang dapat berjalan di atasnya dengan penuh
keteguhan selain orang-orang yang beriman lagi ikhlas yang hatinya terpaut kepada Yang
Maha Tunggal dan jiwanya bergantung kepada satu-satunya tempat bergantung, yaitu Allah
SWT.