Anda di halaman 1dari 72

HUBUNGAN SKALA KEPOSITIFAN TUBEX® TF (IgM Salmonella typhi)

DENGAN JUMLAH LEUKOSIT PADA PENDERITA DEMAM TIFOID DI


RSUD BUDHI ASIH JAKARTA

KARYA TULIS ILMIAH


Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar
Ahli Madya Analis Kesehatan

Oleh :
HENI OKTAVIANTI
NIM : 1010161041

PROGRAM STUDI DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS MH. THAMRIN
JAKARTA
2019
2
ABSTRAK
Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan global bagi
masyarakat dunia, terutama di negara berkembang. Pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan untuk diagnosis demam tifoid adalah uji serologi TUBEX®
TF yang dilakukan untuk mendeteksi demam tifoid akut melalui deteksi spesifik
adanya serum antibodi IgM terhadap antigen S. typhi O9 lipopolisakarida. Pada
pemeriksaan darah rutin, terdapat gambaran berupa leukopenia, namun dapat
pula terjadi jumlah leukosit normal atau leukositosis. Oleh karena itu, tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan Tubex ® TF dengan jumlah
leukosit pada penderita demam tifoid di RSUD Budhi Asih Jakarta.
Hasil penelitian menunjukan hasil pemeriksaan Tubex® TF positif
sebanyak 129 (74,1%) orang, dan hasil pemeriksaan hitung jumlah leukosit
normal sebanyak 61 (0,35%) orang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut
penulis menyarankan bagi masyarakat dapat meningkatkan kualitas perilaku
hidup yang bersih sehingga dapat mencegah terjadinya demam tifoid. Bagi
peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian ini dengan menambahkan
durasi demam yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan Tubex® TF
dengan jumlah leukosit pada penderita demam tifoid di RSUD Budhi Asih
Jakarta.
Kesimpulan yang didapat pada penelitian ini adalah terdapat hubungan
antara pemeriksaan Tubex® TF dengan jumlah leukosit pada penderita demam
tifoid di RSUD Budhi Asih Jakarta (p = 0.0005).

Kata kunci : Demam tifoid, Tubex® TF, Jumlah leukosit


Kepustakaan : 32 (tiga puluh dua)
Tahun : 2002 – 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang


telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan Karya Tulis Ini yang berjudul “Hubungan Skala Kepositifan
Tubex® TF Dengan Jumlah Leukosit Pada Penderita Demam Tifoid Di
RSUD Budhi Asih Jakarta” sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan
ProGram Pendidikan Diploma III Analis Kesehatan Universitas MH. Thamrin
Jakarta.
Dalam penyusunan karya tulis ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. Sediarso, M. Farm, Apt, selaku Ketua Prodi Diploma III Analis
Kesehatan Universitas MH. Thamrin Jakarta.
2. Ibu Dra, Estu Lestari, MM, selaku dosen pembimbing materi yang telah
banyak membantu memberikan ide, saran dan waktu bimbingan dalam
mengarahkan penyusunan KTI ini.
3. Ibu Zuraida, SKM, selaku dosen pembimbing teknik yang telah banyak
membantu memberikan ide, saran dan waktu bimbingan dalam
mengarahkan penyusunan KTI ini.
4. Direktur, Diklat, Kepala Laboratorium Patologi Klinik dan Kepala Rekam
Medis RSUD Budhi Asih Jakarta yang telah banyak membantu dan telah
mengizinkan penulis untuk melakukan pengambilan data di RSUD Budhi
Asih Jakarta.
5. Seluruh Staff Prodi DIII Analis Kesehatan Universitas MH. Thamrin yang
telah memberikan pengarahan dari awal sampai akhir kuliah.

i
6. Almarhum Bapaku tercinta, Alhamdulillah pendidikan ini bisa Heni jalani
sampai akhir.
7. Mamah, Adik dan Keluarga tercinta yang dengan tulus mendoakan,
memberikan semangat serta dorongan baik moril maupun materil dari awal
pendidikan sampai akhir.
8. Fahmi Ramadhan yang selalu memberikan semangat dan motivasi hingga
terselesainya KTI ini.
9. Sahabat-sahabat saya Refriani, Amira, Isna, Trias, Khanza yang tersayang
yang selalu memberikan doa, semangat, dukungan dan bantuan kalian
semua hingga saya bisa sampai disini dan bisa menyelesaikan KTI ini.
10. Rekan - rekan seangkatan prodi D-III Analis Kesehatan Universitas MH.
Thamrin tahun 2016 serta semua pihak yang telah membantu yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa semua yang telah dicapai dalam penyusunan
KTI ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan
kritik demi membangun KTI ini. Akhir kata semoga KTI ini dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya. Terimakasih..

Jakarta, Agustus 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ......................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .................................................... 4
C. Pembatasan Masalah ................................................. 4
D. Perumusan Masalah ................................................... 5
E. Tujuan Penelitian ........................................................ 5
F. Manfaat Penelitian ...................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Demam Tifoid ............................................................. 7
1. Definisi Demam Tifoid ........................................... 7
2. Epidemiologi Demam Tifoid .................................. 9
3. Etiologi Demam Tifoid ........................................... 10
4. Patogenesis Demam Tifoid ................................... 11
5. Gejala Klinis Demam Tifoid ................................... 13

iii
6. Komplikasi Demam Tifoid ...................................... 16
7. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Demam Tifoid 16
B. Uji Serologis ............................................................... 17
C. Leukosit ...................................................................... 22
1. Definisi Leukosit .................................................... 22
2. Fungsi Leukosit ..................................................... 23
D. Hubungan Jumlah Leukosit terhadap Demam Tifoid. . 24
E. Kerangka Berfikir ........................................................ 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


A. Definisi Operasional Variabel ..................................... 26
B. Tempat dan Waktu Penelitian..................................... 26
C. Populasi dan Sampel .................................................. 27
D. Teknik Pengumpulan Data ......................................... 27
E. Prosedur Penelitian .................................................... 27
F. Teknik Analisa Data .................................................... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil ............................................................................ 29
B. Pembahasan .............................................................. 33

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan .................................................................. 38
B. Saran .......................................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iv
DAFTAR TABEL

Naskah
Tabel 1 : Interpretasi skor pemeriksaan Tubex® TF ......................... 19

Tabel 2. Hasil pemeriksaan pada penderita Demam tifoid


Di RSUD Budhi Asih tahun 2018 dan 2019
Berdasarkan Jenis Kelamin .............................................. 29
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Pada Penderita Demam Tifoid
Di RSUD Budhi Asih Tahun 2018 Dan 2019
Berdasarkan Usia ............................................................. 30

Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Pada Penderita Demam Tifoid


Di RSUD Budhi Asih Tahun 2018 Dan 2019
Berdasarkan Hasil Tubex® TF (Igm Salmonella Typhi) .... 30
Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Hitung Jumlah Leukosit Pada
Pasien Demam Tifoid Di RSUD Budhi Asih Tahun 2018
Dan 2019 ......................................................................... 31
Tabel 6. Tabel Silang Hasil Pemeriksaan Tubex® TF Dengan
Hitung Jumlah Leukosit Pada Pasien Demam Tifoid
Di RSUD Budhi Asih Pada Tahun 2018-2019 ................... 31

Tabel 7. Tabel Uji Korelasi Hasil Pemeriksaan Tubex® TF


Dengan Hitung Jumlah Leukosit Pada Pasien
Demam Tifoid Di RSUD Budhi Asih Pada
Tahun 2018-2019.............................................................. 32

Lampiran
Tabel 8 Data Tubex® TF dan Leukosit Pada Penderita Demam
Tifoid di RSUD Budhi Asih Jakarta ................................... 43

Tabel 9 Hasil Uji Deskriptif Antara Skala Tubex TF Dengan


Jumlah Leukosit Pada Penderita Demam Tifoid ............... 48

Tabel 10 Hasil Uji Normalitas Antara Skala Tubex TF Dengan


Jumlah Leukosit Pada Penderita Demam Tifoid ............... 49

Tabel 11 Hasil Uji Korelasi Hubungan Antara Skala Tubex TF


Dengan Jumlah Leukosit Pada Penderita Demam Tifoid . 49

v
DAFTAR GAMBAR

Naskah

Gambar 1 : Respons antibodi terhadap infeksi Salmonella typhi. ........ 13

Lampiran

Gambar 2 Rapid typhidot detection Tubex® TF ................................. 55


Gambar 3 Alat Hematologi Analyzer Sysmex Xn-1000 ..................... 55

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Tubex® TF dan Leukosit Pada Penderita Demam


Tifoid di RSUD Budhi Asih Jakarta ............................. 43
Lampiran 2 Hasil analisa data ....................................................... 48
Lampiran 3 Instrumen penelitian ................................................... 50
Lampiran 4 Gambar alat pemerikaan ............................................ 55
Lampiran 5 Surat izin penelitian .................................................... 56
Lampiran 6 Surat balasan izin penelitian ....................................... 58
Lampiran 7 Kartu konsultasi bimbingan......................................... 59
Lampiran 8 Kartu konsultasi perbaikan …………………………….. 60

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini

adalah penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 6

Tahun 1962 tentang wabah, karena demam tifoid dapat menyerang banyak

orang sehingga menimbulkan wabah (Setiati dkk., 2014). Demam tifoid juga

merupakan suatu penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh bakteri

Gram negatif Salmonella typhi.

Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan global bagi

masyarakat dunia, terutama di negara yang sedang berkembang. World Health

Organization (WHO) menyatakan penyakit demam tifoid di dunia mencapai 11-

20 juta kasus per tahun yang mengakibatkan sekitar 128.000-161.000

kematian setiap tahunnya (WHO, 2018). Berdasarkan data dari profil

Kesehatan Indonesia tahun 2014 jumlah kejadian demam tifoid adalah 3.828

kasus sedangkan pada tahun 2015 jumlah kejadian demam tifoid ini adalah

1.867 kasus, walaupun pada tahun 2015 terjadi penurunan kasus tetapi

demam tifoid ini masih termasuk penyakit yang sangat tinggi walaupun

prevalensi tifoid tahun 2015 turun angka namun kejadian demam tifoid

termasuk dalam 10 penyakit terbesar di dua tahun terakhir (Depkes RI, 2015).

1
2

Penelitian yang dilakukan di Ujung Pandang dan Semarang tentang

faktor resiko demam tifoid menunjukkan bahwa insidensi demam tifoid

berhubungan dengan kebiasaan mencuci tangan, higienis, sumber air selain

PDAM, dan kebiasaan makan diluar (AlbertM. V, 2003). Beberapa penyakit

yang secara klinis sulit dibedakan dengan demam tifoid yang sering

menyebabkan kesalahan diagnosis antara lain, demam dengue, malaria,

meningitis dan penyakit demam lainnya. Kecepatan dan ketepatan metode

diagnostik akan mempermudah pengobatan dan mencegah komplikasi yang

berat dan fatal (Albert M. V, 2003 ).

Demam pada infeksi S. typhi berhubungan pula dengan kadar leukosit

pasien sehingga pada penelitian ini dilakukan uji darah pasien. Secara umum,

leukosit diproduksi dengan jumlah melebihi batas normal ialah wajar karena

melindungi tubuh dari infeksi lanjutan. Namun, dengan adanya bakteri yang

hidup dalam sumsum tulang dapat mempengaruhi kadar leukosit pasien.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk diagnosis demam

tifoid dengan menggunakan uji serologi TUBEX® TF yaitu suatu pemeriksaan

diagnosis in vitro semikuantitatif untuk mendeteksi demam tifoid akut melalui

deteksi spesifik adanya serum antibodi IgM terhadap antigen S. typhi O9

lipopolisakarida. Berdasarkan penelitian Lim dkk (2002) mendapatkan

sensitivitas pemeriksaan TUBEX® TF sebesar 100% dan spesifisitas 100%.

Menurut Oracz (2003) melaporkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan

TUBEX® TF sebesar 92,6% dan 94,8%. Sedangkan menurut Olsen (2004)


3

melaporkan sensitivitas dan spesifisitas TUBEX® TF sebesar 78% dan 94%.

Razel (2005) melaporkan sensitivitas dan spesifisitas TUBEX® TF sebesar

94,7% dan 80,4%.

Pada pemeriksaan darah rutin, terdapat gambaran berupa leukopenia,

namun dapat pula terjadi jumlah leukosit normal atau leukositosis. Endotoksin

lipopolisakarida pada S. typhi dapat menyebabkan leukopenia, sehingga pada

hasil laboratorium demam tifoid dapat ditemukan leukopenia dan neutropenia,

tetapi untuk leukopenia berat (<2000 sel/µl) jarang terjadi (Nazilah, AA,

Suryanto.,2013).

Kota Jakarta memiliki beberapa Rumah Sakit salah satunya yaitu RSUD

Budhi Asih yang terletak di Jakarta Timur. Menurut data dari rekam medik

terjadi peningkatan pasien demam tifoid setiap tahunnya. Pada tahun 2017

penderita demam tifoid sebesar 110 pasien, pada tahun 2018 penderita

demam tifoid sebesar 134 pasien, dan pada tahun 2019 terhitung dari bulan

Januari-Juni sebesar 194 pasien demam tifoid di RSUD Budhi Asih Jakarta

(RSUD Budhi Asih). Berdasarkan hal tersebut saya melakukan Karya Tulis

Ilmiah (KTI) dengan judul Hubungan Skala Kepositifan Tubex ® TF (IgM

Salmonella typhi) dengan Jumlah Leukosit pada penderita demam tifoid di

RSUD Budhi Asih Jakarta.


4

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang dapat

diidentifikasi dalam penelitian ini adalah :

1. Demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang masih banyak terjadi di

Indonesia.

2. Pemeriksaan Tubex® TF dan pemeriksaan hitung jumlah leukosit

merupakan pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada diagnosis

demam tifoid.

3. Terjadinya infeksi yang disebabkan oleh Salmonella typhi pada penderita

demam tifoid yang ditandai dengan meningkatnya skala kepositifan

Tubex® TF akan memengaruhi hasil hitung jumlah leukosit.

C. Pembatasan Masalah

Penulisan ini dibatasi pada hubungan skala kepositifan Tubex® TF

dengan jumlah leukosit pada penderita demam tifoid.

D. Perumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara skala kepositifan Tubex® TF dengan

jumlah leukosit pada penderita demam tifoid?


5

E. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan skala kepositifan Tubex® TF pada

penderita demam tifoid.

2. Tujuan Khusus

a. Diperolehnya data hasil pemeriksaan Tubex® TF pada penderita

demam tifoid.

b. Diperolehnya data hasil pemeriksaan jumlah leukosit pada penderita

demam tifoid.

c. Menganalisis kekuatan hubungan skala kepositif Tubex® TF dengan

jumlah leukosit pada penderita demam tifoid.

F. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi

Karya Tulis Ilmiah yang dibuat diharapkan dapat memberi tambahan ilmu

pengetahuan serta bahan yang akan memberikan manfaat dan sebagai

pelengkap mutu Pendidikan ilmu pengetahuan bagi calon peneliti

selanjutnya terutama di bidang Imunoserologi.

2. Bagi Masyarakat

Sebagai tambahan informasi kepada masyarakat tentang demam tifoid.


6

3. Bagi Peneliti

Dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang hubungan Skala

kepositifan Tubex® TF dengan jumlah leukosit pada penderita demam

tifoid.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Tifoid

1. Definisi Demam Tifoid

Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tipes

merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya

turunannya yaitu Salmonella typhi yang menyerang bagian saluran

pencernaan. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam

sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran

darah (Algerina, 2008; Darmowandowo, 2006).

Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam

Undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit

menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat

menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah (Sudoyo

A.W., 2010).

Banyak orang mungkin mengira tipes dan tifus adalah penyakit yang

sama. Penyebutan tifus dan tipes yang memang mirip membuat banyak

orang salah mengira. Namun, sebenarnya tipes alias demam tifoid

berbeda dengan tifus. Tipes atau demam tifoid disebabkan oleh infeksi

bakteri Salmonella typhi yang menyerang usus.

7
8

Sedangkan tifus merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri

Rickettsia typhi atau R. prowazekii. Bakteri ini bisa dibawa oleh ektoparasit,

seperti kutu atau tungau pada tikus, dan kemudian menginfeksi manusia.

Gejala demam tinggi sama-sama bisa terjadi pada orang yang

terinfeksi tipes maupun tifus. Namun bakteri yang menjadi sumber infeksi

dari tipes dan tifus berbeda. Selain demam tinggi, gejala lain dari tifus yang

dapat muncul adalah sakit perut, sakit punggung, batuk kering, sakit

kepala, nyeri sendi dan otot, mual, serta muntah.

Penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui

minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita

atau pembawa kuman dan biasanya keluar bersama-sama dengan tinja.

Transmisi juga dapat terjadi secara transplasenta dari seorang ibu hamil

yang berada dalam bakteremia kepada bayinya (Soedarno dkk, 2008).

Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang bersifat akut yang

disebabkan karena infeksi Salmonella typhi. Menurut Butler dalam

Soegijanto, S (2002), demam tifoid adalah suatu infeksi bakterial pada

manusia yang disebabkan oleh Salmonella typhi ditandai dengan demam

berkepanjangan, nyeri perut, diare, splenomegali serta kadang-kadang

disertai komplikasi perdarahan dan perforasi usus. Demam tifoid dikenal

juga dengan sebutan typhus abdominalis, Typhoid fever, atau enteric

fever. Istilah tifoid ini berasal dari bahasa Yunani yaitu typhos yang berarti
9

kabut, karena umumnya penderita sering disertai gangguan kesadaran

dari yang ringan sampai yang berat.

2. Epidemiologi Demam Tifoid

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh

dunia, secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah

dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar higienis

dan sanitasi yang rendah yang mana di Indonesia dijumpai dalam keadaan

endemis (Putra A., 2012).

Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan global bagi

masyarakat dunia, terutama di negara yang sedang berkembang. WHO

menyatakan penyakit demam tifoid di dunia mencapai 11-20 juta kasus per

tahun yang mengakibatkan sekitar 128.000 - 161.000 kematian setiap

tahunnya (WHO, 2018).

Berdasarkan data pada profil Kesehatan Indonesia tahun 2014 jumlah

kejadian Demam Tifoid adalah 3.828 kasus sedangkan pada tahun 2015

jumlah kejadian Demam tifoid ini adalah 1.867 kasus, walaupun pada

tahun 2015 terjadi penurunan kasus tetapi demam tifoid ini masih termasuk

penyakit yang sangat tinggi walaupun prevalensi tifoid tahun 2015 turun

angka namun kejadian Demam Tifoid termasuk dalam 10 penyakit terbesar

di dua tahun terakhir (Depkes RI, 2015).


10

3. Etiologi Demam Tifoid

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau

Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang,

Gram negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai

flagela (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai

beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu.

Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60°C) selama 15 – 20

menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi (Rahayu E., 2013).

Salmonella typhi adalah bakteri batang Gram negatif yang

menyebabkan demam tifoid. Salmonella typhi merupakan salah satu

penyebab infeksi tersering di daerah tropis, khususnya di tempat-tempat

dengan higiene yang buruk (Brook, 2001). Salmonella typhi mempunyai 3

macam antigen, yaitu :

a. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh

kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau

disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol

tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.

b. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau

pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan

tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan

alkohol yang telah memenuhi kriteria penilaian.


11

c. Antigen Vi, yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang

dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.

Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita

akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim

disebut aglutinin (Sudoyo A.W., 2010).

4. Patogenesis Demam Tifoid

Salmonella typhi masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan

yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam

lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.

Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman

akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina

propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama

oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam

makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian

ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus

torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam

sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik)

dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan

limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan

kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya

masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakteremia yang


12

kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi

sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut

(Sudoyo A.W., 2010).

Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan

diagnosis berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman

S.typhi. Imunitas seluler berperan dalam penyembuhan penyakit,

berdasarkan sifat kuman yang hidup intraselluler. Adanya rangsangan

antigen kuman akan memicu respon imunitas humoral melalui sel limfosit

B, kemudian berdiderensiasi menjadi sel plasma yang akan mensintesis

immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk pertama kali pada infeksi primer

adalah antibodi O (IgM) yang cepat menghilang, kemudian disusul antibodi

flagela H (IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar antigen, namun

ada pustaka lain yang menyatakan bahwa IgM akan muncul pada hari ke

3-4 demam (Marleni, Iriani, Tjuandra, & Theodorus, 2014)

Demam tifoid yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang

menyerang sistem pencernaan khususnya usus halus yang menyebabkan

pendarahan tidak nyata. Sehingga terjadinya penurunan leukosit rendah

(Leukopenia) tetapi dapat pula normal dan tinggi.


13

Gambar 1 : Respons antibodi terhadap infeksi Salmonella typhi.


(Sumber: Marleni, 2012; Rustandi, 2010)

5. Gejala Klinis Demam Tifoid

Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat

bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis

demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang

ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai

dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi,

gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal

berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan

diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja (Hoffman,2002).

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika

dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari.

Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan


14

tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.

Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai

dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas

disertai komplikasi hingga kematian (Sudoyo A.W., 2010).

Gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :

a. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.

Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu

pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari,

biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan

malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam

keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur

turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

b. Gangguan pada saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan

pecah-pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated

tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada

abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung

(meteo`rismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada

perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula

normal bahkan dapat terjadi diare.


15

c. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak

berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor,

koma atau gelisah (Sudoyo, A. W., 2010).

6. Komplikasi Demam Tifoid

Menurut Sudoyo (2010), komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas

dua bagian, yaitu:

a. Komplikasi Intestinal

1) Perdarahan Usus

Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan

minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat

dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis

perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan

sebanyak 5 ml/kgBB/jam.

2) Perforasi Usus

Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya

timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu

pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri

perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang

kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah

nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.


16

b. Komplikasi Ekstraintestinal

1) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok,

sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.

2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi

intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.

3) Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis.

4) Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis.

5) Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.

6) Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.

7) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis,

polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

7. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Demam Tifoid

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi

klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Penelitian

yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan

metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid

secara menyeluruh masih terus dilakukan hingga saat ini (Sudoyo A.W.,

2010).

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis

demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu ;

a. Pemeriksaan darah tepi


17

b. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

c. Uji serologis

1) Uji widal

2) Uji tubex

d. Pemeriksaan kuman secara molekuler.

B. Uji Serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis

demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen

S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan

untuk uji serologis ini adalah 1-3 ml yang diinokulasikan kedalam tabung

antikoagulan (Sudarmo dkk, 2008).

1. Pemeriksaan Tubex® TF (IgM Salmonella typhi)

Pemeriksaan Tubex® TF merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik

yang cepat (beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini

mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara

menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel

latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi

pada partikel magnetik latex. Hasil positif uji Tubex® TF ini menunjukkan

terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik

menunjuk pada S.typhi. Infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan hasil

negatif (Sudoyo A.W., 2010).


18

Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga

dapat merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan

merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat

tersebut, respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi

terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk

infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui

bahwa uji Tubex® TF hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat

mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas

untuk mendeteksi infeksi lampau (Sudoyo A.W., 2010).

Prinsip dari tes Tubex® TF adalah melalui deteksi spesifik adanya

serum antibodi IgM Salmonella thypi O9 lipopolisakarida dengan mengukur

kemampuan serum Ab IgM tersebut dalam menghambat reaksi antara Ag

partikel Latex (Brown reagent) dan Ab (Blue reagent), selanjutnya ikatan

inhibisi tersebut diseparasikan oleh suatu daya magnetik. Hasil dibaca

secara visual dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala

warna.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam

komponen, meliputi :

1) Tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk meningkatkan

sensitivitas.
19

2) Reagen A, yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi

dengan antigen S.typhi O9.

3) Reagen B, yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang

diselubungi dengan antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O9.

Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini, ditambahkan 45 µL

reagen coklat kedalam well, dicampurkan 45 µL serum kedalam well

tersebut, diinkubasi selama 2 menit. Ditambahkan reagen biru 90 µL tutup

dengan parafilm dan dikocok secara horizontal selama 2 menit.

Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan campuran

yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan

warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 1 : Interpretasi skor pemeriksaan Tubex® TF


Skor Interpretasi Keterangan
<2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid aktif.
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi
pengujian, apabila masih meragukan, lakukan
sampling ulang beberapa hari kemudian.
4-5 Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid aktif.
>6 Positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid aktif.

Jika serum tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini

bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah mengandung

medan magnet (magnet rak), komponen magnet yang dikandung reagen

A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang
20

dikandung oleh reagen B. Sebagai akibatnya, terlihat warna merah pada

tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis.

Sebaliknya, bila serum mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien

akan berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik

pada magnet rak dan memberikan warna biru pada larutan (Sudoyo A.W.,

2010).

Kelemahan dari tes Tubex® TF adalah hasil tes bersifat subjektif

karena hasil tes tersebut dibaca dengan mata telanjang. Pada reaksi yang

kuat (skor 5 atau lebih tinggi) mungkin tidak menimbulkan, masalah dalam

pembacaan hasil tes karena interpretasi hasil pasti positif. Sedangkan

pada reaksi yang lemah memerlukan beberapa pertimbangan

menginterprestasi hasilnya. Kesulitan dalam menginterprestasikan hasil

pada spesimen yang hemolis karena interpretasi hasil pada Tubex

berdasarkan atas perubahan warna. Tes Tubex® TF mungkin akan

menghasilkan tes positif palsu pada orang yang terinfeksi Salmonella

enteritidis sehingga hasil ini menyebabkan penanganan menjadi tidak

tepat tepat terutama dalam pemberian antibiotik. Hal ini disebabkan karena

Salmonella enteritidis yang merupakan grup D non-typhoidal Salmonella

memiliki kemiripan Salmonella typhi pada antigen O9. Akan tetapi, hal ini

masih perlu penelitian lebih lanjut.

Keuntungan dari tes Tubex® TF mendeteksi secara dini infeksi akut

akibat Salmonella typhi, karena anti IgM muncul pada hari ke 3 terjadinya
21

demam. Pemeriksaan sangat mudah karena menggunakan suatu langkah

sederhana dan mudah dikerjakan. Hasil dapat diperoleh lebih cepat.

Menurut penelitian Rezell dkk (2006) di Filipina didapat hasil tes Tubex®

TF menjadi tes serologi yang paling cepat dibandingkan dengan tes

serologi lainnya. Sampel darah dibutuhkan hanya sedikit. Reliable (dapat

dipercaya), karena menggunakan antigen O9-LPS yang dikenal sangat

spesifik karena immunodominant epitope pada antigen tersebut

mengandung dideoxyhexose sugar yang jarang terdapat di alam. Flexible,

karena dirancang sangat cocok baik untuk penelitian maupun pengguna

laboratorium rutin diagnose demam tifoid. Mempunyai sensitivitas dan

spesifitas yang tinggi dalam mendeteksi Salmonella typhi. Tubex® TF

memiliki sensitivitas dan spesifitas yang paling tinggi yaitu sebesar 94,7%

dan 80,4% sedangkan penelitian oleh Sonja dkk (2004) di Vietnam selamet

mendapatkan hasil sensitivitas sebesar 78%.


22

C. Leukosit

1. Definisi Leukosit

Leukosit disebut juga sel darah putih merupakan unit sistem

pertahanan tubuh. Leukosit sebagian dibentuk di sumsum tulang

(granulosit dan monosit serta sedikit limfosit) dan sebagian lagi dijaringan

limfe (limfosit dan sel-sel plasma). Setelah dibentuk, sel-sel ini diangkut

dalam darah menuju ke berbagai bagian tubuh yang membutuhkannya.

Manfaat leukosit yang sesungguhnya ialah sebagian besar diangkut

secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan mengalami peradangan

serius, dengan demikian menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat

terhadap agen-agen infeksius. Leukosit terlibat dalam darah pertahanan

seluler dan humoral organisme terhadap benda asing. Dalam aliran darah,

leukosit adalah sel-sel yang non-motil dan bulat, namun dapat menjadi

gepeng dan motil bila berpapasan dengan substrat padat (Cahrany, 2018).

Leukosit dibedakan menjadi granulosit dan agranulosit. Granulosit

meliputi basophil, eosinophil dan neutrophil. Sedangkan agranulosit

meliputi limfosit dan monosit. Alasan utama keberadaan leukosit dalam

darah adalah karena sel di angkat dari sumsum tulang atau jaringan limfoid

ke area-area tubuh yang memerlukan. Masa hidup granulosit sesudah

dilepaskan dari sumsum tulang normalnya 4-8 jam dalam sirkulasi darah.

Pada keadaan infeksi jaringan yang berat masa hidup keseluruhan sering

kali berkurang sampai hanya beberapa jam, karena granulosit dengan


23

cepat menuju daerah infeksi untuk melakukan fungsinya dan masuk dalam

proses dimana sel-sel itu sendiri dimusnahkan (Cahrany, 2018).

Jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal

adalah 5000-10000/mm3, waktu lahir 15000-25000/mm3, dan menjelang

hari ke empat turun sampai 12000, pada usia 4tahun sesuai jumlah normal

(Effendi, 2003).

2. Fungsi Leukosit

Leukosit berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai

penyakit infeksi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Leukosit

fungsinya lebih banyak dilakukan didalam jaringan. Selama berada

didalam darah, leukosit hanya bersifat sementara mengikuti aliran darah

ke seluruh tubuh. Apabila terjadi peradangan pada jaringan tubuh, leukosit

akan berimigrasi menuju jaringan yang mengalami radang dengan cara

menembus dinding pembuluh darah (kapiler). Leukopenia menyatakan

jumlah leukosit yang menurun misalnya akibat mengkonsumsi obat kanker,

keracunan benzene, urethrane juga pada anemia. Apabila tubuh terinfeksi

bakteri maka sistem imun yang berperan untuk menghancurkan mikroba.

Sistem imun yang lemah akan memudahkan serangan dan berbagai

mikroorganisme pathogen termasuk virus, bakteri, jamur dan protozoa

(Cahrany, 2018).
24

D. Hubungan Jumlah Leukosit terhadap Demam Tifoid.

Pada pemeriksaan hitung leukosit total terdapat gambaran leukopenia,

linfositosis relatif, monositosis dan trombositopeni ringan. Leukopenia terjadi

akibat depresi sumsum tulang oleh endotoksin dan mediator endogen yang

lain. Angka kejadian leukopenia diperkirakan sebesar 25%, beberapa laporan

lain menyebutkan hitung leukosit sering dalam batas normal atau leukositosis

ringan. Penelitian yang dilakukan Syamsul Arifin di RSUD Ulin Banjarmasin

pada tahun 2009 menunjukan pada pemeriksaan leukosit ditemukan 20 orang

(64,5%) demam tifoid dengan jumlah leukosit normal dan 11 orang (35,5%)

demam tifoid dengan jumlah leukosit abnormal, dimana pasien leukopenia

sebanyak 3 orang (9,7%) dan leukositosis 8 orang (24,8%) (Cahrany, 2018).


25

E. Kerangka Berfikir

Penderita demam tifoid

Gejala – gejala :
Pemeriksaan
- Demam
Laboratorium
- Sakit kepala
- Nyeri sendi
- Sakit
tenggorokan
- Sembelit
Pemeriksaan Pemeriksaan
serologi hematologi

Tubex® TF Pemeriksaan
jumlah leukosit

Hasil positif Hasil negatif


skala >4 skala <4

Leukopenia Normal Leukositosis

= yang diteliti

= yang tidak diteliti


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Definisi Operasional Variabel

1. Penderita demam tifoid merupakan penderita yang menjalani pengobatan

di RSUD Budhi Asih. Demam tifoid merupakan infeksi yang disebabkan

oleh bakteri Salmonella typhi.

2. Pemeriksaan Tubex®TF (IgM Salmonella typhi) adalah salah satu

pemeriksaan serologis yang ada di RSUD Budhi Asih yang digunakan

untuk diagnosa demam tifoid. Pemeriksaan ini menggunakan sampel

serum dan metode yang digunakan Inhibition Magnetic Binding

Imunoassay (IMBI) dengan nilai normal skala <4 (Laboratorium RSUD

Budhi Asih).

3. Pemeriksaan hitung jumlah leukosit yang diperiksa dengan hematologi

analyzer menggunakan sampel darah dengan nilai normal 5000-

10000/mm3 (Laboratorium RSUD Budhi Asih).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Data yang diambil menggunakan data sekunder dari Laboratorium

RSUD Budhi Asih periode Januari 2018 sampai dengan Juni 2019 kemudian

dilakukan penelitian pada bulan Agustus 2019.

26
27

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien demam tifoid yang

melakukan pemeriksaan Tubex® TF dan jumlah leukosit di RSUD Budhi Asih

Jakarta.

Sampel untuk penelitian ini adalah data hasil pemeriksaan Tubex® TF

dan jumlah leukosit di RSUD Budhi Asih periode Januari 2018 sampai dengan

Juni 2019.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengambilan data Non Probability sampling dengan metode

purposive sampling.

E. Prosedur Penelitian

1. Melakukan observasi di RSUD Budhi Asih untuk melihat data pasien yang

melakukan pemeriksaan Tubex® TF dan jumlah leukosit pada penderita

demam tifoid.

2. Mengurus surat permohonan izin kepada pihak Universitas untuk

pengambilan data di RSUD Budhi Asih Jakarta Timur.

3. Melakukan izin penelitian ke RSUD Budhi Asih Jakarta Timur.


28

4. Memilih dan memilah data penderita demam tifoid yang melakukan

pemeriksaan Tubex® TF dan hitung jumlah leukosit pada penderita demam

tifoid.

5. Data yang diperoleh diolah, guna mendapatkan korelasi yang mendukung.

F. Teknik Analisa Data

Data dianalisis dengan uji korelasi Spearman dengan menggunakan

Spss 22 untuk mengetahui hubungan skala kepositifan Tubex® TF dengan

jumlah leukosit pada penderita demam tifoid.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan terhadap 174 responden di RSUD Budhi Asih.

Responden merupakan pasien demam tifoid di RSUD Budhi Asih yang

melakukan pemeriksaan Tubex® TF dan hitung jumlah leukosit pada waktu

yang sama periode Januari 2018-Juni 2019. Pasien demam tifoid ditentukan

berdasarkan pada diagnosis dokter yang tercatat pada data laboratorium

RSUD Budhi Asih. Pemeriksaan Tubex® TF di RSUD Budhi Asih dilakukan

pada pasien demam tifoid pada hari ke 2-3, yang mana menurut literatur

pemeriksaan Tubex® TF juga dapat dilakukan pada pasien demam tifoid hari

ke 4-5 (Yoga Pratama & Lestari, 2015)

Hasil pemeriksaan Tubex® TF dan hitung jumlah leukosit pada pasien

demam tifoid yang diperoleh dari laboratorium RSUD Budhi Asih seperti terlihat

pada Tabel 2.

Tabel 2.
Hasil pemeriksaan pada penderita Demam tifoid
Di RSUD Budhi Asih tahun 2018 dan 2019 Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah %


Laki-Laki 91 52.3
Perempuan 83 47.7
Total 174 100.0

29
30

Pada Tabel 2, dapat dilihat hasil pemeriksaan pada pasien demam tifoid

terhadap 174 pasien, didapatkan hasil jenis kelamin Laki-laki sebanyak 91

(52,3%) orang dan wanita sebanyak 83 (47,7%) orang.

Tabel 3.
Hasil Pemeriksaan Pada Penderita Demam Tifoid
Di RSUD Budhi Asih Tahun 2018 Dan 2019 Berdasarkan Usia

Usia Jumlah %
0-11 72 41,4
12-25 55 31,6
26-45 27 15,5
46-65 16 9,2
>65 4 2,3
Total 174 100,0
(Kemenkes RI, 2010)

Berdasarkan Tabel 3, hasil pemeriksaan pada pasien demam tifoid

terhadap 174 sampel pasien demam tifoid, didapatkan hasil usia 0-11

sebanyak 72 (41,4%), usia 12-25 sebanyak 55 (31,6%), usia 26-45 sebanyak

27 (15,5%), usia 46-65 sebanyak 16 (9,2%), >65 sebanyak 4 (2,3%).

Tabel 4.
Hasil Pemeriksaan Pada Penderita Demam Tifoid
Di RSUD Budhi Asih Tahun 2018 Dan 2019 Berdasarkan Hasil
Tubex® TF (Igm Salmonella Typhi)

Hasil Tubex (IgM


Jumlah %
Salmonella typhi)
(0-2) 45 25,9
(4-6) 129 74,1
>6 0 0
Total 174 100,0
31

Berdasarkan Tabel 4, hasil pemeriksaan pada pasien demam tifoid

terhadap 174 sampel pasien, didapatkan hasil Tubex® TF (IgM Salmonella

typhi) negatif sebanyak 45 (25,9%) dan positif sebanyak 129 (74,1%).

Tabel 5.
Hasil Pemeriksaan Hitung Jumlah Leukosit Pada Pasien Demam Tifoid
Di RSUD Budhi Asih Tahun 2018 Dan 2019

Variabel Rerata Nilai tertinggi Nilai terendah


Hitung jumlah 7116,09 25000 1000
leukosit

Berdasarkan Tabel 5, hasil pemeriksaan hitung jumlah leukosit pada

pasien demam tifoid didapatkan rata-rata adalah 7116,09/ul darah dengan nilai

tertinggi sebesar 25000/ul darah, dan nilai terendah sebesar 1000/ul darah.

Tabel 6.
Tabel Silang Hasil Pemeriksaan Tubex® TF Dengan Hitung Jumlah
Leukosit Pada Pasien Demam Tifoid Di RSUD Budhi Asih
Pada Tahun 2018-2019

Tubex® TF Leukosit
(IgM
Leukopenia Leukositosis Total
Salmonella Normal (%)
(%) (%)
typhi)
Negatif 4 (0,023) 34 (0,20) 7 (0,04) 45 (0,26)
Positif 53 (0,30) 61 (0,35) 15 (0,09) 129 (0,74)
Total 57 (0,32) 95 (0,55) 22 (0,13) 174 (1)

Berdasarkan Tabel 6, hasil analisis tabel silang antara hasil

pemeriksaan Tubex® TF dengan hitung jumlah leukosit pada pasien demam

tifoid didapatkan hasil kelompok dengan hasil tubex negatif dan leukopenia

sebanyak 4 orang. Hasil Tubex® TF negatif dan hasil leukosit normal sebanyak

34 orang. Hasil Tubex® TF negatif dan leukositosis sebanyak 7 orang. Hasil


32

Tubex® TF positif dan leukopenia sebanyak 53 orang. Hasil Tubex® TF positif

dan hasil leukosit normal sebanyak 61 orang. Hasil Tubex® TF positif dan

leukositosis sebanyak 22 orang.

Tabel 7.
Tabel Uji Korelasi Hasil Pemeriksaan Tubex® TF Dengan Hitung Jumlah
Leukosit Pada Pasien Demam Tifoid Di RSUD Budhi Asih Pada Tahun
2018-2019
Variabel r P value
Hasil pemeriksaan -0.264 0.0005
tubex – hitung jumlah
leukosit

Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman didapatkan nilai P value <0.05

yaitu sebesar 0.0005 dengan nilai r sebesar -0,264 maka dapat disimpulkan

terdapat hubungan antara hasil pemeriksaan Tubex® TF dengan hitung jumlah

leukosit pada pasien demam tifoid di RSUD Budhi Asih pada tahun 2018-2019.

Nilai r yang didapatkan sebesar -0,264 menyatakan terdapat hubungan

namun kekuatan hubungan tersebut sedang. Sesuai dengan tabel r product

moment hasil negatif yakni hubungan terbalik menyatakan bahwa semakin

tinggi nilai Tubex® TF akan semakin rendah nilai leukosit.


33

B. Pembahasan

Berdasarkan Tabel 1, hasil penelitian terhadap 174 pasien demam tifoid

yang diteliti terdapat 91 (52,3%) pasien laki-laki dan 83 (47,7%) pasien

perempuan. Karena laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas di luar rumah

sehingga memungkinkan laki-laki berisiko lebih besar terinfeksi Salmonella

typhi dan sering makan di luar rumah yang tidak terjamin kebersihannya

dibandingkan perempuan (Ulfa & Handayani, 2018). Hal ini juga sejalan

dengan penelitian Nazilah, A.A (2013) yang menyatakan bahwa pasien demam

tifoid yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan

perempuan, yaitu pada jenis kelamin laki-laki didapatkan hasil sebesar 58,8%

orang dan jenis kelamin perempuan didapatkan hasil sebesar 41,2% orang.

Selain itu laki-laki juga lebih banyak menkonsumsi makanan siap saji atau

makanan warung yang biasanya banyak mengandung penyedap rasa dan

kehigienisan yang belum terjamin, dibanding wanita yang lebih suka memasak

makanan sendiri sehingga lebih memperhatikan komposisi dan kebersihan

makannya. Kebiasaan ini menyebabkan laki-laki lebih rentan terkena penyakit

yang ditularkan melalui makanan seperti tifoid bila makanan yang dibeli kurang

higienis. Namun menurut penelitian Nadyah (2014) menyatakan bahwa, jenis

kelamin bukan merupakan faktor resiko terjadinya demam tifoid yang mana

faktor terjadinya demam tifoid dapat disebabkan oleh perilaku hidup, konsumsi

makanan, dan faktor lingkungan (adanya vektor penyakit yaitu lalat).


34

Berdasarkan Tabel 2, didapatkan usia pasien demam tifoid paling

banyak berusia 0-11 tahun yaitu sebesar 72 (41,4%) pasien, selanjutnya diikuti

dengan kelompok usia produktif lainnya. Kelompok usia pasien paling sedikit

berusia >65 tahun yaitu sebesar 4 (2,3%). Hal ini disebabkan karena usia

sekolah, usia remaja dan usia dewasa muda mempunyai aktivitas yang lebih

tinggi sehingga memungkinkan kelompok umur tersebut lebih banyak

mengenal jajanan diluar rumah yang belum terjamin kebersihan (Herawati &

Ghani, 2009). Hal ini sejalan dengan penelitian Ningsih, E.P (2005) yang

menyatakan bahwa pasien penderita demam tifoid terbanyak berusia 3-19

tahun (39,8%) dan paling banyak pasien merupakan pelajar atau mahasiswa

(39,3%).

Berdasarkan Tabel 3, didapatkan hasil pemeriksaan Tubex® TF positif

dengan skala hasil >4 sebesar 129 (74,1%). Persentase tertinggi dari hasil

pemeriksaan Tubex® TF pada pasien demam tifoid adalah positif 4 yang

menunjukkan infeksi demam tifoid aktif, akan tetapi belum menjadi indikasi

kuat terjadinya infeksi. Hal ini bisa dikarenakan pemeriksaan Tubex® TF

dilakukan pada saat titer antibodi dalam serum masih rendah yaitu sebelum

hari ke 4-5 demam pada infeksi primer dan hari ke 2-3 demam pada infeksi

sekunder. Berdasarkan interpretasi hasil Tubex® TF bahwa meningkatnya

derajat kepositifan Tubex® TF maka akan semakin menunjukkan indikasi kuat

terjadinya infeksi demam tifoid aktif dengan skor 4-5 berarti positif yang

menunjukkan infeksi demam tifoid aktif dan skor positif >6 menjadi indikasi kuat
35

adanya infeksi demam tifoid aktif. Uji Tubex® TF ini hanya dapat mendeteksi

IgM, yang membuat tes ini sangat bernilai dalam menunjang diagnosis infeksi

akut. Tubex® TF tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat digunakan

sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi di waktu lampau (Nazilah &

Suryanto, 2013).

Berdasarkan Tabel 4, didapatkan hasil nilai leukosit rata-rata 7116,09

nilai ini masih dalam batas normal. Rata-rata leukosit yang normal mungkin

disebabkan oleh durasi demam yang belum cukup lama. Menurut Irianto

(2013) pada pasien demam tifoid pada 2 minggu pertama sakit jumlah leukosit

antara 4000-6000/mm3 dan akan turun kembali pada 2 minggu berikutnya

hingga 3000-5000/mm3. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Nurhayanti,

Eka, dkk (2014) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara

durasi demam dengan jumlah leukosit pada penderita demam tifoid.

Berdasarkan Tabel 5, didapatkan hasil pemeriksaan Tubex® TF dengan

hitung jumlah leukosit pada pasien demam tifoid didapatkan hasil kelompok

dengan hasil tubex negatif dan leukopenia sebanyak 4 orang. Hasil Tubex ® TF

negatif dan hasil leukosit normal sebanyak 34 orang. Hasil Tubex® TF negatif

dan leukositosis sebanyak 7 orang. Hasil Tubex® TF positif dan leukopenia

sebanyak 53 orang. Hasil Tubex® TF positif dan hasil leukosit normal sebanyak

61 orang. Hasil Tubex® TF positif dan leukositosis sebanyak 22 orang, hasil

penelitian ini sejalan dengan teori oleh Keusch, 1999 bahwa Endotoksin

lipopolisakarida pada Salmonella typhi dapat menyebabkan leukosit menurun,


36

sehingga pada hasil laboratorium demam tifoid dapat ditemukan leukopeni dan

neutropeni.

Menurut penelitian Handojo (2004), sebagian hasil penghancuran

bakteri S. typhi dalam proses fagositosis pada akhir minggu kedua dapat

dikatakan sudah tidak ditemukan lagi S.typhi yang hidup dalam darah, namun

masih ada dalam sumsum tulang (Handojo, 2004). Apabila bakteri hidup dalam

sumsum tulang, maka akan mengganggu proses pembentukan darah. Dengan

hal tersebut, memungkinkan keadaan pembentukan leukosit atau sel darah

putih terhambat. Sehingga dapat dimungkinkan jumlah leukosit menjadi

dibawah batas normal.

Penelitian Apriyanti, 2018 Pasien tifoid yang mengalami

leukopenisebesar 28 %, yang mengalami leukosit normal 53%, yang

mengalami leukosititosis sebesar 17 %, dalam penelitian ini 53% mempunyai

hasil leukosit normal disebabkan karena adanya penyumbatan hematopoiesis

(pembentukan darah) pada sumsum tulang belakang oleh Salmonella typhi

tersebut serta Salmonella melakukan penetrasi ke lapisan mukosa usus,

setelah itu S.typhi akan difagositosis oleh sel fagosit, bakteri ini justru akan

bertahan didalam sel fagosit yang dapat memberikan perlindungan bagi bakteri

untuk menyebar ke seluruh tubuh dan terlindung dari antibody serta agen-agen

antimikrobial sehingga tidak terjadi respon tubuh untuk meningkatkan jumlah

leukosit (Nafiah, Khoiriyah, & Munir, 2017).


37

Tabel 6 menunjukkan hasil uji korelasi Spearman didapatkan nilai P

value <0.05 yaitu sebesar 0.0005 dengan nilai r sebesar -0,264 maka dapat

disimpulkan secara statistik terdapat hubungan antara hasil pemeriksaan

Tubex TF dengan hitung jumlah leukosit dengan kekuatan hubungan sedang,

dan korelasi negatif, artinya semakin tinggi skala kepositifan Tubex® TF maka

semakin rendah jumlah leukosit. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya infeksi

S. typhi yang akan mempengaruhi hasil pemeriksaan Tubex® TF dan pada

keadaan tertentu dapat berpengaruh pada hasil pemeriksaan hitung jumlah

leukosit. Adanya leukopenia bisa disebabkan oleh infeksi virus, leukemia, obat

(antimetabolit, antibiotik, antikonvulsan, kemoterapi), dan anemia aplastik

(Umar dkk., 2011).


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap hubungan skala kepositifan

Tubex® TF dengan jumlah leukosit pada penderita demam tifoid di RSUD

Budhi Asih bulan Januari 2018-Juni 2019 dengan sampel sebanyak 174 pasien

dan pembahasan yang telah diuraikan, maka penulis dapat menarik

kesimpulan :

1. Hasil Tubex® TF negatif (0-2) sebanyak 45 (25,9%) orang dan positif (4-6)

sebanyak 129 (74,1%) orang.

2. Hasil hitung jumlah leukosit pada pasien demam tifoid dengan hasil

leukopenia sebesar 53 (0,35%) orang, hasil pasien dengan leukosit normal

sebesar 61 (0,35%) orang, hasil pasien dengan leukositosis 15 (0,09%)

orang.

3. Terdapat hubungan antara hasil pemeriksaan Tubex® TF dengan jumlah

leukosit pada pasien demam tifoid di RSUD Budhi Asih Jakarta dengan

nilai r yang didapatkan sebesar -0,264 menyatakan terdapat hubungan

namun hubungan tersebut sedang.

38
39

B. Saran

Dari penelitian ini dapat disarankan :

1. Bagi Institusi dapat lebih memperkenalkan pemeriksaan Tubex®TF kepada

mahasiswa dengan memfasilitasi baik secara teori maupun praktik.

2. Bagi masyarakat dapat meningkatkan kualitas perilaku hidup yang bersih

sehingga dapat mencegah terjadinya demam tifoid.

3. Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian ini dengan

menambahkan durasi demam yang dapat memengaruhi hasil

pemeriksaan Tubex® TF dengan jumlah leukosit pada penderita demam

tifoid di RSUD Budhi Asih Jakarta.


40

DAFTAR PUSTAKA

Albert Dzen, Sjoekoer M., dkk 2003, Bakteriologi Medik, Ed. 1, Malang,
Bayumedia Publishing, p 187-197 & 223-234.

Algerina. (2008) Demam Tifoid dan Infeksi Lain dari Bakteri Salmonella.
Tersedia dalam jurnal siti haniah (2011) tentang diagnosis Salmonella
typhi pada penyakit tifoid.

Brooks, G.F., Butel, J.S. and Morse S.A., 2001. Mycobacteriaceae in Jawetz
Medical Microbiologi, 22ed, McGraw-Hill Companies Inc:453-65

Cahrany, R. (2018). Gambaran Jumlah Leukosit Pada Penderita Demam Tifoid


Di Rumah Sakit Umum Daerah Kayuagung TAhun 2018Title. (1), 430–
439.

Crump, J. A., F. G. Youssef, S. P. Luby, M.O. Wasfy, J.M. Rangel, M. Taalat,


S.A. Oun & F.J. Mahomey. 2004. Estimating the Incidence of Typhoid
Fever and othe Febrile Illness in Developing Countries.Emerging
Infectious Diseases. 9 (5): 539-544

Depkes RI. (2015). Profil Kesehatan Indoneisa 2015.

Darmowandowo W. 2006. Demam Tifoid : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak :


Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi 1. BP FKUI. Jakarta. 2002:367-75.

Effendi, Z. (2003). Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik Dalam


Tubuh. 1–8.

Herawati, M. H., & Ghani, L. (2009). HUBUNGAN FAKTOR DETERMINAN


DENGAN KEJADIAN TIFOID DI INDONESIA TAHUN 2007
(Association of Determinant Factors with Prevalence of Typhoid in
Indonesia). XIX, 165–173.

Hoffman, S.L. 2002. Typhoid Fever. In: Strickland GT. Editor. Haunter’s tropical
medicine. 7th ed Philadelphia WB Saunders Co.

Kemenkes RI. (2010). Profil Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2009.


Retrieved from file:///C:/Users/user/Desktop/Yay/Depkes, RI 2009.pdf

Lim PL. One step 2-minute test to detect typhoid specific antibodies based on
particle separation in tubes. J Clin Microbiol. 1998;36:2271-81.
41

Madigan, M. T., Martinko, J. M., & Parker, J. (2015). Brock biology of micro-
organisms. (January), 1041.

Marleni, M., Iriani, Y., Tjuandra, W., & Theodorus. (2014). Ketepatan Uji Tubex
TF ® dalam Mendiagnosis Demam Tifoid Anak pada Demam Hari ke-
4. Jurrnal Kedokteran Dan Kesehatan, 1(1), 7–11.

Nadyah. (2014). Hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi insidens


penyakit demam tifoid di kelurahan samata kecamatan somba opu
kabupaten gowa 2013. Jurnal Kesehatan, VII(1), 1–17.

Nainggolan, R. N. . (2009). Karakteristik penderita demam tifoid rawat inap di


rumah sakit tentara.

Nafiah, F., Khoiriyah, R. A., & Munir, M. (2017). Leukosit Pasien Di Rumah
Sakit Islam Sakinah. 1(1), 1–4.

Nazilah, A. A., & Suryanto. (2013). Hubungan Derajat Kepositifan TUBEX TF


dengan Angka Leukosit pada Pasien Demam Tifoid Patients with
Typhoid Fever. Mutiara Medika, 13(3), 173–180.

Ningsih, E. P. (2005). Abstract.pdf.

Oracz G, Feleszko W, Golicka D. Rapid Diagnosis of Acute Salmonella


Gastrointestinal Infection. Clin Infect Dis 2003;36:112–5.

Olsen, Sonja J, dkk. Evaluation of Rapid Diagnostic Tests for Typhoid Fever.
Journal of Medical Microbiology. 2004:1885-1889..

Putra, A. (2012). Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Demam


Tifoid Terhadap Kebiasaan Jajan Anak Sekolah Dasar. In Jurnal
Kedokteran Diponegoro (Vol. 1).

Rahayu, Eni, dkk. (2011). Salmonella typhi. Bacterial Genomes, 733–735.


https://doi.org/10.1007/978-1-4615-6369-3_77

Salyers A., Whitt D. 2002. Bacterial Pathogenesis: A Molecular Approach 2nd


Edition. ASM Press

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014:1132-53

Sudoyo AW. 2009. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing
42

Soedarno SS, Garna H, Hadinegoro SR. 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatric
Tropis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.

Sudoyo AW. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta: Fakultas
KedokteranUniversitas Indonesia. Widal test among culture proven
typhoid fever cases. J Infect Dev Ctries 2(6): 475-8.

Soegijanto, Soegeng, 2002. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosis dan


Penatalaksanaan. Edisi 1. Jakarta: Selemba Medika.

Ulfa, F., & Handayani, O. W. K. (2018). Kejadian Demam Tifoid di Wilayah


Kerja Puskesmas Pagiyanten. HIGEIA (Journal of Public Health
Research and Development), 2(2), 227–238.
https://doi.org/10.15294/higeia.v2i2.17900

Umar, F., Pahlemy, H., Andrajati, R., Rianti, A., Lestari, S. B., Martiniani, E., …
Hartini, S. (2011). Pedoman Interpretasi Data Klinik. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, (January), 1–83.
https://doi.org/10.1038/35015206

Yoga Pratama, K., & Lestari, W. (2015). Efektifitas Tubex Sebagai Metode
Diagnosis Cepat Demam Tifoid. Intisari Sains Medis, 2(1), 70.
https://doi.org/10.15562/ism.v2i1.87
43

Lampiran 1

Tabel 8
Data Tubex® TF dan Leukosit Pada Penderita Demam Tifoid di RSUD
Budhi Asih Jakarta
No Jenis Kelamin Umur Tubex Leukosit
1 L 39 4 7000
2 L 4 4 5500
3 P 52 4 18200
4 P 48 4 4100
5 L 4 4 8300
6 P 14 2 9200
7 P 7 4 6400
8 L 10 4 4800
9 P 13 6 7000
10 L 17 2 10400
11 L 5 2 7900
12 P 16 4 13500
13 L 11 2 7400
14 L 12 2 8800
15 P 9 4 3400
16 P 23 2 5000
17 L 25 2 8000
18 P 15 2 6200
19 P 15 2 9100
20 P 2 4 7200
21 P 2 4 6000
22 L 4 6 2700
23 P 6 6 7400
24 P 17 4 7100
25 L 10 4 10300
26 P 6 4 25000
27 P 12 4 2500
28 L 10 6 7500
29 P 16 4 4200
30 L 16 2 6400
31 P 12 4 3400
32 P 9 6 1900
33 L 12 6 6200
34 L 9 6 5800
35 L 9 6 9100
44

No Jenis Kelamin Umur Tubex Leukosit


36 P 10 4 4800
37 P 9 6 6200
38 P 9 4 4300
39 P 24 4 4900
40 L 15 6 7500
41 L 9 4 6000
42 L 3 6 2200
43 L 4 4 5200
44 L 22 2 10300
45 L 1 4 10300
46 L 12 4 2900
47 L 60 2 7200
48 P 15 4 5100
49 P 39 2 9300
50 L 23 2 5700
51 P 22 2 6900
52 L 27 2 7000
53 L 30 4 8200
54 L 4 4 19800
55 P 10 2 10400
56 L 10 4 9200
57 L 4 2 11800
58 L 11 4 3500
59 P 53 2 9700
60 P 25 6 4300
61 L 50 4 21600
62 L 11 2 7200
63 L 25 4 5500
64 P 16 2 10700
65 P 32 4 5300
66 L 22 4 5000
67 P 8 4 8500
68 P 20 4 7600
69 P 2 2 12800
70 L 58 2 7300
71 P 59 2 8700
72 L 3 2 4700
73 L 9 4 2200
74 L 24 2 10400
75 L 17 6 1000
45

No Jenis Kelamin Umur Tubex Leukosit


76 L 36 4 7000
77 P 49 2 8000
78 P 27 2 9600
79 P 56 2 9100
80 L 16 4 1700
81 L 21 2 4300
82 P 3 4 4400
83 L 38 4 10300
84 L 3 2 6700
85 P 60 4 6600
86 P 37 6 8100
87 L 40 4 7100
88 L 25 2 10400
89 L 22 6 4200
90 P 30 4 8500
91 P 40 4 10900
92 P 5 6 6300
93 P 3 4 9200
94 P 26 4 5200
95 L 23 2 5200
96 L 11 2 17000
97 P 16 4 5600
98 L 22 4 10400
99 P 13 6 3800
100 P 7 6 11700
101 P 36 6 4600
102 P 5 4 10400
103 L 2 2 6000
104 L 2 2 6700
105 P 4 4 2700
106 P 6 6 13500
107 P 8 4 2600
108 P 17 4 13000
109 L 32 4 9200
110 P 7 6 5200
111 P 9 4 3100
112 L 6 6 4300
113 L 41 4 9200
114 P 33 4 3900
115 L 1 6 14500
46

No Jenis Kelamin Umur Tubex Leukosit


116 L 4 4 8000
117 L 4 4 2400
118 P 18 6 6100
119 P 21 4 6700
120 P 16 4 6400
121 P 58 4 4000
122 P 3 4 3500
123 L 6 4 3000
124 P 26 6 2700
125 L 1 6 4400
126 P 6 4 4500
127 L 3 4 7300
128 P 33 6 4500
129 L 20 2 17300
130 P 8 2 3400
131 L 1 6 7600
132 P 4 6 3200
133 L 33 4 9200
134 P 20 6 6200
135 P 20 2 3900
136 P 22 6 7400
137 P 1 6 5100
138 L 6 6 6700
139 P 57 4 6900
140 L 10 6 1800
141 P 20 2 2800
142 P 28 6 3300
143 P 9 6 4700
144 P 13 2 2200
145 P 29 2 9400
146 L 2 4 12400
147 P 42 6 12600
148 L 50 4 13500
149 P 24 2 10100
150 L 30 4 11500
151 L 47 4 6600
152 P 8 6 5000
153 P 20 4 3100
154 L 35 4 5700
155 L 66 2 5500
47

No Jenis Kelamin Umur Tubex Leukosit


156 L 29 4 9400
157 L 46 4 1500
158 L 9 6 1400
159 L 28 6 8400
160 L 16 4 3900
161 L 10 6 5600
162 L 14 4 2400
163 L 72 2 15800
164 L 11 4 6000
165 L 20 2 7200
166 L 2 6 4200
167 L 9 6 3700
168 P 77 4 17400
169 L 23 4 6500
170 L 75 4 8600
171 L 3 6 8000
172 L 13 4 2000
173 L 46 6 8700
174 L 14 4 2600
48

Lampiran 2
Hasil Analisa Data
Tabel 9
Hasil Uji Deskriptif Antara Skala Tubex TF Dengan Jumlah Leukosit
Pada Penderita Demam Tifoid

Std.
Statistic Error
Hasil Pemeriksaan Mean 4.02 .111
Tubex Pasien 95% Confidence Lower
3.80
Interval for Mean Bound
Upper
4.24
Bound
5% Trimmed Mean 4.03
Median 4.00
Variance 2.127
Std. Deviation 1.458
Minimum 2
Maximum 6
Range 4
Interquartile Range 4
Skewness -.018 .184
Kurtosis -1.105 .366
Hasil Pemeriksan Mean 6927.01 298.713
Hitung Jumlah 95% Confidence Lower
Leukosit Pasien 6337.42
Interval for Mean Bound
Upper
7516.60
Bound
5% Trimmed Mean 6564.56
Median 6200.00
Variance 15525913.5
61
Std. Deviation 3940.294
Minimum 1000
Maximum 25000
Range 24000
Interquartile Range 4425
Skewness 1.572 .184
Kurtosis 3.599 .366
49

Tabel 10
Hasil Uji Normalitas Antara Skala Tubex TF Dengan Jumlah Leukosit
Pada Penderita Demam Tifoid

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Hasil Pemeriksaan
.236 174 .000 .809 174 .000
Tubex Pasien
Hasil Pemeriksan
Hitung Jumlah Leukosit .133 174 .000 .887 174 .000
Pasien
a. Lilliefors Significance Correction

Tabel 11
Hasil Uji Korelasi Hubungan Antara Skala Tubex TF Dengan Jumlah
Leukosit Pada Penderita Demam Tifoid

Hasil Hasil
Pemeriksaa Pemeriksan
n Tubex Hitung Jumlah
Pasien Leukosit
Pasien
Spearman's Hasil Correlation 1.000 -.264**
rho Pemeriksaan Coefficient
Tubex Pasien Sig. (2-tailed) . .000
N 174 174
Hasil Correlation -.264** 1.000
Pemeriksan Coefficient
Hitung Jumlah Sig. (2-tailed) .000 .
Leukosit Pasien N 174 174
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
50

Lampiran 3

Instrumen Penelitian

Pemeriksaan Tubex TF

a. Pemeriksaan Tubex TF (IgM Salmonella typhi)

Metode : Immunoassay Magnetic Binding Inhibition (IMBI)

Tujuan : Untuk mendeteksi antibody IgM terhadap Salmonella dalam

sampel pasien sebagai salah satu pemeriksaan untuk demam

tifoid.

Prinsip : Pemeriksaan ini mendeteksi adanya antibodi anti-O9 dalam

serum pasien dengan cara mengukur kemampuan serum

antibodi IgM dalam menghambat reaksi antara reagen warna

coklat yang mengandung antigen berlabel partikel lateks

magnetik dan monoklonal antibodi berlabel lateks warna

dalam reagen biru. Tingkat penghambatan yang dihasilkan,

setara dengan konsentrasi antibodi anti-O9 dalam sampel.

Reagen coklat mengandung partikel besi, dan pemisahan

dilakukan oleh suatu daya magnetik. Hasil dibaca secara

visual dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap

skala warna.

Alat dan Bahan :

1) Reagen coklat (Tubex TF Brown Reagent)

2) Reagen biru (Tubex TF Blue Reagent)


51

3) Wadah tempat reaksi (Tubex TF Reaction Well Strip)

4) Mikropipet 45 µl dan yellow tip

5) Parafilm

6) Rak Tubex TF

7) Timer

8) Serum atau plasma heparin

9) Tisu

Prosedur :

1) Disiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan.

2) Reagen coklat dan reagen biru di letakkan di rotator atau dikocok

terlebih dahulu sebelum digunakan untuk menghomogenkan kembali

reagen tersebut.

3) Ditambahkan 45 µL reagen coklat kedalam well.

4) Ditambahkan 45 µL sampel kedalam well tersebut.

5) Inkubasi selama 2 menit.

6) Ditambahkan 90 µL reagen biru dan ditutup parafilm.

7) Dikocok secara horizontal selama 2 menit.

8) Diletakkan well diatas skala warna magnet dan diamkan 5 menit diatas

skala warna magnet dan baca warna yang terjadi dengan

membandingkan warna yang ada pada skala.


52

Interpretasi Hasil :

2 (Negatif) : Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid aktif

3 (Borderline) : Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi

pengujian, apabila masih meragukan, lakukan sampling ulang beberapa

hari kemudian.

4-5 (Positif) : Menunjukkan infeksi demam tifoid aktif.

> 6 (Positif) : Indikasi kuat infeksi demam tifoid aktif.

Nilai Normal : 0-2


53

Instrumen Penelitian

b. Pemeriksaan Hitung Jumlah Leukosit

Metode : Fluorescence Flow Cytometry

Tujuan : Untuk memeriksa jumlah, variasi, presentase, konsentrasi dan

kualitas dari seluruh komponen darah.

Prinsip : Metode flow cytometry menggunakan perhitungan laser

semikonduktor dan mengklasifikasikan sel-sel dengan cara

menyinari sel-sel tersebut menggunakan sinar laser 633 nm dan

menganalisa forward scattered light (FSC), side scattered light

(SSC), dan side fluorescent light (SFL) dari sel-sel tersebut.

Ketiga sinyal tersebut digunakan untuk mendiferensiasikan dan

menghitung leukosit.

Alat dan Bahan :

1) Sysmex XN-1000

2) Darah EDTA

Cara Kerja :

1) Darah EDTA dihomogenkan dahulu.

2) Kondisikan alat dalam keadaan ready.

3) Letakkan tabung darah EDTA kedalam rak, kemudian letakkan rak

tabung ke alat.

4) Pemeriksaan sampel akan berjalan secara otomatis.


54

5) Hasil akan keluar dengan sendirinya di layar monitor dan dicetak oleh

printer.

Nilai Normal : 5 – 10,6 ribu/µL


55

Lampiran 4

Gambar alat pemerikaan

Gambar 2
Rapid typhidot detection Tubex® TF
(Sumber : RSUD Budhi Asih Jakarta Timur)

Gambar 3
Alat Hematologi Analyzer Sysmex Xn-1000
(Sumber : RSUD Budhi Asih Jakarta Timur)
56

Lampiran 5

Surat izin penelitian


57
58

Lampiran 6
Surat Balasan Izin Penelitian
59

Lampiran 7
Kartu Konsultasi Bimbingan
60

Lampiran 8
Kartu Konsultasi Perbaikan
61

BIODATA PENULIS

Nama : Heni Oktavianti

NIM : 1010161041

TTL : Nganjuk, 01 Oktober 1998

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jln. Raya Kp.Sawah RT 002/003 No. 34

Jatimelati, Pondokmelati, Kota Bekasi, Jawa Barat.

Email : hoktavianti1@gmail.com

No. Hp : 08981217544

Judul KTI : Hubungan Skala Kepositifan Tubex TF (IgM Salmonella

Typhi) Dengan Jumlah Leukosit Pada Penderita


Demam Tifoid DI RSUD Budhi Asih Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai