Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Stres kerja adalah salah satu masalah yang serius di dunia dan

bahkan stres ditempat kerja bisa membebani perusahaan dengan biaya yang

mahal karena menurunnya produktivitas sebagai efek stres karyawan. The

Seventh Annual Labour Day Survey (2001) melaporkan bahwa 1 dari 5 orang

penduduk Amerika mengalami stres kerja di sepanjang hidup mereka. Survei

ini juga dilakukan oleh Yale University and The Families Work Institute yang

mengatakan bahwa 40% pekerja di Amerika juga mengalami stres berat

berkaitan dengan pekerjaan mereka (Jumaini, 2012).

Selye (1950, dikutip dari Hidayat, 2007) menjelaskan bahwa stres

merupakan respon tubuh yang bersifat tidak spesifik terhadap setiap tuntutan

atau beban. Artinya bila seseorang yang mengalami beban atau tugas yang

berat tetapi orang tersebut tidak dapat mengatasi tugas yang dibebankan itu,

maka tubuh akan berespon dengan tidak mampu terhadap tugas tersebut,

yang menyebabkan orang tersebut dapat mengalami stres. Sebaliknya

apabila seseorang yang dengan beban tugas yang berat tetapi mampu

mengatasi beban tersebut dengan tubuh berespon dengan baik, maka orang

itu tidak akan mengalami stres (Jumaini, 2012).

Stres dicetuskan oleh suatu perubahan yang disebut dengan stresor.

Bentuk stresor yang menunjukkan suatu kebutuhan yang tidak terpenuhi bisa

saja didapat dari kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial, lingkungan,

perkembangan, spiritual, atau kebutuhan kultural (Potter & Perry, 2005).

Beberapa studi menemukan bahwa stres berdampak pada peningkatan izin

1
2

kerja karena sakit, menurunnya imunitas tubuh, kurangnya kreativitas,

peningkatan jumlah kesalahan kerja, buruknya pengambilan keputusan,

ketidakloyalan karyawan, penurunan produktivitas, peningkatan perilaku

beresiko (seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol), ketidakhadiran,

hingga pengunduran diri ( Suciati dan Minarsih, 2015).

Stres kerja dapat terjadi di berbagai sektor pekerjaan. Salah satu

sektor pekerjaan yang berkembang pesat sekaligus berpotensi tinggi

terhadap isu stres kerja adalah sektor kesehatan. Rosiana (2008)

mengatakan bahwa saat ini para tenaga kesehatan rentan mengalami stres

kerja. Stres kerja tersebut disebabkan karena adanya tuntutan pekerjaannya

yang semakin kompleks. Pernyataan ini didukung juga oleh Robbins (1998,

dalam Rosiana, 2008) yang mengatakan bahwa tenaga kesehatan

cenderung mempunyai tingkat stres yang tinggi, karena tugas dan tanggung

jawab tenaga kesehatan bukanlah hal yang ringan untuk dipikul. Hal inilah

yang bisa menimbulkan stres kerja pada tenaga kesehatan (Mahestri, 2016).

Menurut Iqbal tahun 2013, petugas kesehatan adalah seseorang yang

bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada

individu, keluarga dan masyarakat. Petugas kesehatan berdasarkan

pekerjaannya adalah tenaga medis, dan tenaga paramedis seperti tenaga

keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga penunjang medis dan lain

sebagainya. Ranah pelayanan tenaga kesehatan secara umum ada dua,

yaitu rumah sakit dan puskesmas. Ada dua aspek mutu pelayanan

kesehatan yang perlu dilakukan di puskesmas yaitu quality of care dan

quality of service. Quality of care antara lain menyangkut keterampilan tehnis

petugas kesehatan (dokter, bidan, perawat atau paramedis lain) dalam

menegakkan diagnosis dan memberikan perawatan kepada pasien.


3

Puskesmas merupakan salah satu fasilitas kesehatan yang

menyediakan pelayanan kesehatan tingkat pertama yang memiliki peran

penting dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN), khususnya subsistem

upaya kesehatan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75

Tahun 2014 tentang puskesmas, puskesmas adalah fasilitas pelayanan

kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya

kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan

upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat

yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (depkes.go.id)

Akreditasi puskesmas adalah suatu pengakuan terhadap hasil dari

proses penilaian eksternal, oleh Komisioner Akreditasi terhadap puskesmas,

apakah sesuai dengan standar akreditas yang ditetapkan.Tujuan dari

akreditasi puskesmas ini sendiri yaitu untuk meningkatkan mutu layanan

puskesmas. Dengan adanya pengakreditasian puskesmas ini diharapkan

akan mampu membuat masyarakat percaya akan jaminan mutu dari sebuah

fasilitas kesehatan yang dalam hal ini adalah puskesmas. Dalam

pelaksanaan akreditasi puskesmas terdapat beberapa kendala atau beban.

Beban tersebut adalah : keuangan dan anggaran, sulitnya mencari tokoh

kunci (ketua tim masing-masing Pokja), minimnya motivasi dan dukungan,

sikap staf yang apatis, staf yang tidak disiplin, dan staf yang malas membaca

(wicaksono, 2016).

Hasil penelitian Pranandari tahun 2014 menunjukkan bahwa konflik

pekerjaan dengan keluarga yang dapat memicu stres pada saat adanya

akreditasi, dimana hal tersebut memicu terjadinya stres. Manajemen

organisasi sebaiknya melakukan perubahan ketika proses akreditasi

berlangsung, misalnya dengan mulai menyusun hal-hal yang pasti akan

diperlukan dalam akreditasi, walaupun proses akreditasi belum resmi


4

dilangsungkan, misalnya dengan menyusun dokumen-dokumen secara

sistematis. Hal tersebut dapat menghemat waktu dan tenaga karyawan

ketika melakukan proses akreditasi, sehingga akan dapat mengurangi

munculnya stres kerja pada karyawan ketika proses akreditasi berlangsung.

Pengakreditasian puskesmas di Indonesia sendiri dimulai sejak tahun

2015 dan diharapkan dapat selesai pada tahun 2019. Puskesmas yang tidak

terakreditasi pada tahun 2019 akan diberhentikan dari kerjasama dengan

BPJS sebagai sanksinya. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2009-

2014 jumlah puskesmas yang terdapat di Indonesia yaitu sebanyak 9.731

unit. Sebanyak 600 puskesmas telah mendaftar untuk dilakukannya

akreditasi, sementara hingga november 2015, baru sebanyak 10 puskesmas

saja yang telah terakreditasi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi

beban kerja tenaga kesehatan di Puskesmas, yaitu : tugas pokok tenaga

kesehatan itu sendiri, tugas-tugas tambahan (membuat laporan bulanan,

pertemuan, monitoring dan evaluasi, membimbing mahasiswa), waktu kerja,

dan jumlah kunjungan pasien (wicaksono, 2016).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Maret

2017 terhadap beberapa petugas kesehatan yang terlibat dalam

pelaksanaan akreditasi di Puskesmas Mataraman Kab. Banjar, 8 dari 10

petugas mengatakan bahwa mereka merasa khawatir, cemas, gelisah,

merasa ketakutan, mudah marah dan merasa tidak mampu menghadapi

pelaksanaan akreditasi puskesmas alasannya antara lain karena usia,

kurang menguasai komputer, waktu istirahat yang berkurang karena

banyaknya laporan yang harus diselesaikan setiap bulan, dan banyaknya

elemen penilaian dalam instrumen akreditasi yang harus dipenuhi.

Berdasarkan uraian tersebut, maka calon peneliti merasa tertarik untuk


5

mengetahui “Hubungan Stres Kerja dengan Kinerja Pelaksanaan Akreditasi

di Puskesmas Mataraman Kabupaten Banjar Tahun 2017”.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah diatas dapat disimpulkan rumusan masalah

sebagai berikut : Apakah ada hubungan antara stres kerja dengan kinerja

pelaksanaan akreditasi pada staf di Puskesmas Mataraman?

3 Tujuan

a. Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan stres

kerja dengan kinerja staf yang melaksanakan akreditasi di Puskesmas

Mataraman.

b. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk :

1) Menilai stres kerja pada staf di Puskesmas Mataraman Kabupaten

Banjar.

2) Menilai kinerja pelaksanaan akreditasi Puskesmas Mataraman

Kabupaten Banjar.

4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian :

a. Bagi Pendidikan Keperawatan

Menambah wawasan dan memberikan informasi dalam bidang

manajemen keperawatan, khususnya tentang stres kerja yang dialami


6

staf puskesmas dan sebagai bahan masukan untuk institusi pendidikan

dalam hal pengembangan ilmu tentang manajemen pelayanan

kesehatan.

b. Bagi Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui hubungan

stres kerja staf Puskesmas terhadap implementasi akreditasi

Puskesmas dan dapat dijadikan sebagai bahan masukan kepada pihak

puskesmas agar memperhatikan stres pada stafnya sehingga dapat

memberikan kinerja yang optimal.

c. Bagi penelitian selanjutnya

Merupakan bahan informasi dan perbandingan untuk penelitian

yang terkait di masa yang akan datang


7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Stres

1.1 Defenisi Stres

Stres merupakan ketidakmampuan mengatasi ancaman atau tuntutan

non-spesifik yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia.

Stres pada suatu saat dapat mempengaruhi kesehatan fisik manusia dalam

melakukan tindakan. Perasaan stres terhadap situasi atau kondisi lingkungan

ditempat kerja dapat diekspresikan sebagai: sikap yang pesimis, tidak puas,

produktivitas rendah, dan sering absen (Potter & Perry, 2005).

Imogene King dalam Asmadi (2008) mengatakan bahwa stres adalah

suatu keadaan yang dinamis yang berlangsung setiap kali manusia berinteraksi

dengan lingkungan yang bertujuan memelihara keseimbangan pertumbuhan,

perkembangan dan perbuatan yang meliputi pertukaran energi dan informasi

antara individu dan lingkungannya guna mengatur stresor.

1.2 Sumber Stres

Sumber stres merupakan asal penyebab suatu stres yang dapat

mempengaruhi sifat stresor seperti individu, keluarga, dan lingkungan. Sumber

stres yang berasal dari dalam diri individu umumnya dikarenakan konflik yang

terjadi antara keinginan dan kenyataan berbeda, dalam hal ini adalah berbagai

permasalahan yang terjadi yang tidak sesuai dengan dirinya dan tidak mampu

diatasi maka dapat menimbulkan stres. Sumber stres dari masalah keluarga

ditandai dengan adanya perselisihan masalah keluarga, masalah keuangan serta


8

adanya tujuan yang berbeda diantara keluarga. Permasalahan ini akan selalu

menimbulkan keadaan yang dinamakan stres begitu juga dengan sumber stres

dalam masyarakat dan lingkungan umumnya, yang dapat dilihat dari hubungan

pekerjaan yang secara umum disebut dengan stres pekerja karena lingkungan

fisik, hubungan interpersonal serta kurang adanya pengakuan di masyarakat

sehingga tidak dapat berkembang (Hidayat, 2007).

1.3 Tahapan Stres

Stres yang dialami seseorang dapat melalui beberapa tahapan. Menurut

van Amberg (1979), tahapan stres dapat dibagi menjadi enam tahap. Tahap

pertama merupakan tahapan yang ringan dari stres yang ditandai dengan

adanya semangat bekerja keras, penglihatannya tajam tidak sebagaimana

biasanya, merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya,

kemudian merasa senang akan pekerjaan akan tetapi kemampuan yang

dimilikinya semakin berkurang. Tahap kedua, pada stres tahap kedua ini

seseorang memiliki ciri-ciri adanya perasaan letih sewaktu bangun pagi yang

semestinya segar, terasa lelah sesudah makan siang, cepat lelah menjelang

sore, sering mengeluh lambung, denyut jantung berdebar-debar lebih keras dari

biasanya, otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang dan tidak bisa santai.

Tahap ketiga, pada tahap ini seseorang memiliki ciri-ciri adanya

gangguan lambung dan usus seperti buang air besar tidak teratur, ketegangan

otot semakin terasa, perasaan tidak senang, gangguan pola tidur seperti sukar

untuk memulai waktu tidur, terbangun tengah malam, lemah dan terasa seperti

tidak memiliki tenaga. Tahap keempat, pada tahap ini seseorang akan

mengalami gejala seperti segala pekerjaan yang menyenangkan terasa

membosankan, semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan

kemampuan untuk merespon secara adekuat, tidak mampu melaksanakan


9

kegiatan sehari-hari, adanya gangguan pola tidur, sering menolak ajakan karena

tidak bergairah, daya konsentrasi dan daya ingat menurun, dan adanya rasa

ketakutan dan kecemasan yang tidak diketahui penyebabnya.

Tahap kelima, stres tahap ini ditandai dengan adanya kelelahan fisik

secara mendalam, tidak mampu menyelesaikan pekerjaan yang ringan dan

sederhana, gangguan pada sistem pencernaan semakin berat dan perasaan

ketakutan dan kecemasan semakin meningkat. Tahap keenam, tahap ini

merupakan tahap puncak dan seseorang mengalami panik dan perasaan takut

mati dengan ditemukannya gejala seperti detak jantung semakin keras susah

bernafas, terasa gemetar dan seluruh tubuh berkeringat, serta kemungkinan

terjadi pingsan (Hidayat, 2007).

1.4 Tingkatan Stres

Potter & Perry (2005) membagi tingkatan stres menjadi tiga situasi yaitu

situasi stres ringan, situasi stres sedang dan situasi stres berat. Situasi stres

ringan merupakan stresor yang dihadapi setiap orang secara teratur seperti

terlalu banyak tidur, kemacetan lalu lintas, kritikan dari atasan, stres ini

berlangsung beberapa menit atau jam.

Sementara situasi stres sedang, berlangsung lebih lama, dari beberapa

jam sampai beberapa hari, misalnya perselisihan yang tidak terselesaikan

dengan rekan kerja, anak yang sakit atau ketidakhadiran yang lama dari anggota

keluarga, sedangkan situasi stres berat, merupakan situasi kronis yang dapat

berlangsung beberapa minggu sampai beberapa tahun, seperti perselisihan

perkawinan terus-menerus, kesulitan finansial yang berkepanjangan.

1.5 Tanda-tanda stres

Agoes, dkk (2003) menjelaskan bahwa ada beberapa tanda atau gejala

yang dapat menunjukkan ada tidaknya seseorang sudah atau belum terkena
10

stres. Tanda-tanda stres pada umumnya dapat dilihat melalui perasaan, pikiran,

perilaku, tubuh. Pada perasaan, tanda atau gejala yang dapat dilihat meliputi

merasa khawatir, cemas, gelisah, merasa ketakutan, mudah marah, merasa suka

murung, dan merasa tidak dapat menanggulanginya.

Tanda-tanda pada pikiran, hal ini meliputi penghargaan atas dirinya yang

rendah, takut gagal, tidak mampu berkonsentrasi, mudah lupa, cemas akan

masa depannya, emosi dan tidak stabil. Pada perilaku, hal ini meliputi sulit

bekerja sama, tidak mampu rileks, menangis tanpa alasan yang jelas, bertindak

menurut kata hati, mudah terkejut, penggunaan obat-obatan dan alkohol

meningkat, kehilangan nafsu atau selera makan. Pada tubuh, hal ini meliputi

berkeringat, serangan jantung meningkat, menggigil atau gemetar, gelisah, mulut

dan kerongkongan kering, sering buang air kecil, sakit kepala, tekanan darah

tinggi, rentan terhadap penyakit, dan sulit tidur.

2. Stres Kerja

2.1 Defenisi Stres Kerja

Stres kerja merupakan tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan

individu. Istijanto (2006) mengatakan bahwa stres pekerjaan dapat diartikan

tekanan yang dirasakan karyawan karena tugas-tugas pekerjaan tidak dapat

mereka penuhi. Artinya, stres muncul saat karyawan tidak mampu melawan apa

yang menjadi tuntutan-tuntutan pekerjaan. Ketidakjelasan apa yang menjadi

tanggung jawab pekerjaan, kekurangan waktu untuk menyelesaikan tugas, tidak

ada dukungan fasilitas untuk menjalankan pekerjaan, tugas-tugas pekerjaan

yang saling bertentangan, merupakan contoh pemicu stres. Stres kerja

merupakan perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi


11

pekerjaan, yang disebabkan oleh stresor yang datang dari lingkungan kerja

seperti faktor lingkungan , organisasi dan individu.

2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja

Griffin (2004) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi stres

kerja antara lain tuntutan fisik, tuntutan peran, dan tuntutan interpersonal.

Tuntutan fisik yang terkait dengan lingkungan kerja misalnya bekerja diluar

ruangan dalam suhu yang sangat dingin atau panas,atau bahkan didalam

ruangan yang tidak mempunyai AC, cahaya ruangan yang buruk, lingkungan

kerja yang bising dan ruangan kerja yang sempit desain ruangan yang buruk

yang membuat pegawai kurang memiliki privasi atau menghambat interaksi

sosial yang bisa menimbulkan stres. Tuntutan peran, tuntutan peran bisa terkait

dengan ketidakjelasan peran atau konflik peran yang mungkin dialami individu

dalam kelompok misalnya seorang pegawai yang merasa ditekan atasannya

untuk bekerja lebih panjang. Tuntutan interpersonal, merupakan stresor yang

dikaitkan dengan hubungan dalam organisasi, walaupun dalam beberapa kasus

hubungan interpersonal dapat mengurangi stres, hal ini juga dapat menjadi

sumber stres ketika kelompok menekan individu atau ketika terjadi konflik. Konflik

interpersonal terjadi ketika dua atau lebih individu merasakan bahwa sikap atau

tujuan berbeda, kurangnya dukungan sosial dari rekan-rekan dan hubungan

antar pribadi yang buruk juga dapat menimbulkan stres yang cukup besar.

Dewe (1989, dikutip dalam Abraham, 1997) menyatakan bahwa

penyebab stres kerja perawat terdiri dari beban kerja yang berlebihan seperti

merawat terlalu banyak pasien, mengalami kesulitan dalam mempertahankan

standar yang tinggi, merasa tidak mampu memberi dukungan yang dibutuhkan

teman dalam bekerja dan menghadapi masalah keterbatasan tenaga. Kesulitan

menjalin hubungan dengan staf lain seperti mengalami konflik dengan teman
12

sejawat, mengetahui orang lain tidak menghargai sumbangsih yang dilakukan

dan gagal membentuk tim kerja dengan staf. Kesulitan terlibat dalam merawat

pasien kritis seperti menjalankan peralatan yang belum dikenal, mengelola

prosedur atau tindakan baru dan bekerja dengan dokter yang menuntut jawaban

dan tindakan cepat.

Kemudian dalam hal berurusan dengan pengobatan/perawatan pasien,

misalnya bekerja dengan dokter yang tidak memahami kebutuhan sosial dan

emosional pasien, terlibat dalam ketidaksepakatan pada program tindakan,

merasa tidak pasti sejauh mana harus memberi informasi pada pasien atau

keluarga dan merawat pasien sulit atau tidak kerjasama. Serta merawat pasien

yang gagal untuk membaik, misalnya pasien lansia, pasien nyeri kronis atau

mereka yang meninggal selama dirawat.

Menurut National Safety Council (2004), penyebab atau sumber stres

kerja dikelompokkan dalam tiga kategori. Penyebab organisasional, penyebab

individual dan penyebab dari lingkungan. Faktor penyebab organisasional antara

lain disebabkan karena kurangnya otonomi dan kreativitas, harapan, tenggat

waktu dan kuota yang tidak logis, relokasi pekerjaan, kurangnya pelatihan, karier

yang melelahkan, hubungan dengan majikan (penyelia yang buruk), selalu

mengikuti perkembangan teknologi (mesin faks,voice mail,dll), Downsizing

(bertambahnya tanggung jawab tanpa penambahan gaji), pekerjaan dikorbankan

(penurunan laba yang didapat). Penyebab Individual, antara lain pertentangan

antara karier dan tanggung jawab keluarga, ketidakpastian ekonomi, kurangnya

penghargaan dan pengakuan kerja, kejenuhan, ketidakpuasan kerja, kebosanan,

perawatan anak yang tidak adekuat, konflik dengan rekan kerja. Penyebab dari

lingkungan yang bisa menjadi penyebab stres karena adanya kondisi lingkungan

kerja yang buruk (pencahayaan, kebisingan, ventilasi, suhu, dll), diskriminasi ras,
13

pelecehan seksual, kekerasan di tempat kerja, serta kemacetan saat berangkat

dan pulang kerja.

2.3 Dampak Stres Kerja

Dampak stres kerja bagi individu adalah munculnya masalah-masalah

yang berhubungan dengan kesehatan, psikologis, dan interaksi interpersonal.

Dampak bagi kesehatan, tubuh akan mudah terserang penyakit. Dampak

psikologis, stres yang berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan dan

kekuatiran yang terus-menerus, dan dampak secara interaksi interpersonal, akan

sering terjadi salah persepsi dalam membaca dan mengartikan suatu keadaan,

pendapat atau penilaian, kritik, nasihat, bahkan prilaku orang lain.

2.4 Cara Mengatasi Stres Kerja

Stres kerja sekecil apapun juga harus ditangani dengan segera. Ada

delapan aturan main yang harus diikuti dalam mengatasi stres

yaitumempertahankan kesehatan sebaik mungkin, dengan berbagai cara agar

individu tidak jatuh sakit, menerima diri apa adanya dengan segala kekurangan

dan kelebihan serta kegagalan maupun keberhasilan sebagai bagian dari

kehidupan yang dialami, tetap memelihara hubungan persahabatan yang indah

dengan seseorang yang dianggap paling bisa untuk curhat.

Melakukan tindakan positif dan konstruktif dalam mengatasi sumber stres

di dalam pekerjaan, misalnya segera mencari solusi atas permasalahan yang

dihadapi dalam pekerjaan, tetap selalu memelihara hubungan stres dengan

orang-orang diluar lingkungan pekerjaan, misalnya, tenaga atau kerabat dekat,

berusaha mempertahankan aktivitas yang kreatif diluar pekerjaan, misalnya

berolahraga atau berekreasi, selalu melibatkan diri dalam pekerjaan-pekerjaan

yang berguna, misalnya kegiatan stres dan keagamaan, serta menggunakan


14

metode analisa yang cukup ilmiah dan rasional dalam melihat atau menganalisa

masalah stres kerja.

3. Kinerja

3.1 Defenisi Kinerja

Gordon dalam Nawawi (2006), kinerja merupakan suatu fungsi

kemampuan pekerja dalam menerima tujuan pekerjaan, tingkat pencapaian

tujuan dan interaksi antara tujuan dan kemampuan pekerja.

3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja antara lain pengetahuan,

pengalaman dan kepribadian. Pengetahuan, khususnya yang berhubungan

dengan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab dalam bekerja, mencakup jenis

dan jenjang pendidikan serta pelatihan yang pernah diikuti dibidangnya.

Pengalaman, berkaitan dengan jumlah waktu atau lamanya dalam bekerja, tetapi

berkenaan juga dengan substansi yang dikerjakan yang jika dilaksanakan dalam

waktu yang cukup lama akan meningkatkan kemampuan dalam mengerjakan

suatu bidang tertentu. Kepribadian, berupa kondisi didalam diri seseorang dalam

menghadapi bidang kerjanya, seperti minat, bakat, kemampuan bekerjasama/

keterbukaan, ketekunan, kejujuran, motivasi kerja, dan sikap terhadap pekerjaan

(Nawawi, 2006).

3.3 Evaluasi kinerja

Penilaian kinerja merupakan alat yang paling dapat dipercaya oleh

manajer perawat dalam mengontrol sumber daya manusia dan produktivitas.

Proses penilaian kinerja dapat digunakan secara efektif dalam mengarahkan

perilaku pegawai dalam rangka menghasilkan jasa keperawatan dalam kualitas

dan volume yang tinggi (Nursalam, 2008).


15

Menurut Nawawi (2006), mengatakan bahwa evaluasi kinerja merupakan

kegiatan mengukur/menilai pelaksanaan pekerjaan yang hasilnya dijadikan

umpan balik feed back) untuk membuat keputusan mengenai keberhasilan atau

kegagalan seseoarang pekerja dalam melaksanakan tugas pokoknya

4. Puskesmas

4.1 Pengertian Puskesmas

Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan

perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan

preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya

di wilayah kerjanya (PMK No.75 Tahun 2014).

Puskesmas merupakan suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional

yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga

membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan secara

menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk

kegiatan pokok.

Pelayanan kesehatan yang diberikan puskesmas adalah pelayan

menyeluruh yang meliputi pelayanan kuratif (pengobatan), preventif

(pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan) dan juga upaya rehabilitati

(pemulihan kesehatan).

4.2 Tujuan Pembangunan Kesehatan Oleh Puskesmas

Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan puskesmas bertujuan

untuk mewujudkan masyarakat yang (PMK No.75 Tahun 2014) :


16

a. Memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan

dankemampuan hidup sehat.

b. Mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu.

c. Hidup dalam lingkungan sehat.

d. Memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga,

kelompok dan masyarakat.

4.3 Fungsi Puskesmas

Puskesmas sesuai dengan fungsinya berkewajiban mengupayakan,

menyediakan, dan menyelenggarakan pelayanan yang bermutu dalam

memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Fungsi puskesmas antara lain (PMK RI No.75 Tahun 2014):

a. Penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan

b. Penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya.

4.4 Visi dan Misi Puskesmas

a. Visi Puskesmas
Visi pembangunan kesehatan yang diselengarakan oleh Puskesmas

adalah tercapainya Kecamatan Sehat menuju terwujudnya Indonesia

Sehat.Kecamatan sehat adalah gambaran masyarakat kecamatan masa depan

yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan, yakni masyarakat yang

hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk

menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta

memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

b. Misi Puskesmas
17

Ada empat misi Puskesmas yaitu:

a) Menggerakkan pembangunan Kecamatan yang berwawasan kesehatan.

Puskesmas akan selalu menggerakan pembangunan sektor lain agar

memperhatikan aspek kesehatan, yaitu agar pembangunan tersebut

mendorong lingkungan dan perilaku masyarakat semakin sehat.

b) Mendorong kemandirian masyarakat dan keluarga untuk hidup sehat.

Puskesmas selalu berupaya agar keluarga dan masyarakat makin

berdaya di bidang kesehatan, melalui peningkatan pengetahuan dan

kemampuan untuk hidup sehat.

c) Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu,

merata dan terjangkau. Puskesmas harus selalu berupaya untuk menjaga

agar cakupan dan kualitas layanannya tidak menurun, bahkan kalau bisa

ditingkatkan agar semakin besar cakupannya dan semakin bagus kualitas

layanannya.

d) Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan

masyarakat beserta lingkungannya. Puskesmas selalu berupaya agar

derajat kesehatan individu, keluarga dan masyarakat dapat terpelihara

bahkan semakin meningkat seiring dengan derap pembangunan

kesehatan di wilayah kerja Puskesmas.

4.5 Organisasi Puskesmas

Organisasi puskesmas disusun oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

berdasarkan kategori, upaya kesehatan dan beban kerja puskesmas. Pada

umumnya struktur organisasi puskesmas terdiri dari (PMK No.75 Tahun 2014) :

a. Kepala Puskesmas;
18

b. Kepala sub bagian tata usaha;

c. Penanggung jawab UKM dan Keperawatan Kesehatan Masyarakat;

d. Penanggung jawab UKP, kefarmasian dan Laboratorium; dan

e. Penanggungjawab jaringan pelayanan Puskesmas dan jejaringfasilitas

pelayanan kesehatan.

5. Akreditasi Puskesmas

5.1 Dasar Hukum

Akreditasi puskesmas dibuat berdasarkan dasar hukum yang telah ada

sebelumnya guna memperkuat landasan hukum akreditasi puskesmas.

Beberapa dasar hukum yang digunakan dalam pembuatan akreditasi

puskesmas yaitu:

a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan, pasal 54 ayat (1) menyatakan bahwa penyelenggaraan

pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman,

bermutu serta merata dan non diskriminatif.

b) Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran, Pasal 49 bahwa setiap dokter/dokter gigi dalam

melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib

menyelenggarakan kendali mutu.

c) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 tentang

Sistem Kesehatan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2012 Nomor 193; Pelayanan kesehatan kepada Peserta Jaminan

Kesehatan harus memperhatikan mutu pelayanan, berorientasi pada


19

aspek keamanan pasien, efektifitas tindakan, kesesuaian dengan

kebutuhan pasien, serta efisiensi biaya.

d) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 pasal 43. Dalam rangka

menjamin kendali mutu dan biaya, Menteri bertanggung jawab untuk;

Penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment),

pertimbangan klinis (clinical advisory) dan manfaat jaminan kesehatan,

perhitungan standar tarif, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan

pelayanan jaminan kesehatan.

e) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 pasal 39 ayat 1

yang berbunyi bahwa dalam upaya peningkatan mutu pelayanan,

Puskesmas wajib diakreditasi secara berkala paling sedikit 3 (tiga) tahun

sekali.

5.2 Pengertian Akreditasi Puskesmas

Akreditasi Puskesmas adalah pengakuan yang diberikan oleh lembaga

independen penyelenggara Akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri setelah

memenuhi standar Akreditasi (PMK No.46 Tahun 2015).

Akreditasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama merupakan upaya

peningkatan mutu dan kinerja pelayanan yang dilakukan melalui membangun

sistem manajemen mutu, penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat, dan

sistem pelayanan klinis untuk memenuhi standar akreditasi yang ditetapkan dan

peraturan perundangan serta pedoman yang berlaku (Kementerian Kesehatan

RI, 2014).

Akreditasi bertujuan menilai sistem mutu dan sistem pelayanan di

Puskesmas dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama lainnya, tetapi

juga bertujuan untuk membina fasilitas pelayanan kesehatan tersebut dalam


20

upaya berkelanjutan untuk memperbaiki sistem pelayanan dan kinerja yang

berfokus pada kebutuhan masyarakat, keselamatan, dan manajemen risiko.

5.3 Tujuan Akreditasi Puskesmas

Tujuan utama akreditasi Puskesmas adalah untuk pembinaan

peningkatan mutu, kinerja melalui perbaikan yang berkesinambungan terhadap

sistem manajemen, sistem manajemen mutu dan sistem penyelenggaraan

pelayanan dan program, serta penerapan manajemen risiko, dan bukan sekedar

penilaian untuk mendapatkan sertifikat akreditasi (PMK No.46 Tahun 2015).

5.4 Manfaat Akreditasi Puskesmas

Akreditasi puskesmas memiliki beberapa manfaat, antara lain :

a. Memberikan keunggulan kompetitif.

b. Memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap fasilitas pelayanan

kesehatan.

c. Menjamin diselenggarakannya pelayanan kesehatan primer kepada

pasien

dan masyarakat.

d. Meningkatkan pendidikan pada staf fasilitas pelayanan kesehatan primer

untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.

e. Meningkatkan pengelolaan risiko baik pada pelayanan pasien baik di

puskesmas maupun fasilitas pelayanan kesehatan primer lainnya, dan

penyelenggaraan upaya puskesmas kepada masyarakat.

f. Membangun dan meningkatkan kerja tim antarstaf fasilitas pelayanan

kesehatan primer.
21

g. Meningkatkan reliabilitas dalam pelayanan, ketertiban pendokumentasian,

dan konsistensi dalam bekerja.

h. Meningkatkan keamanan dalam bekerja.

5.5 PelaksanaAkreditasi Puskesmas

Komisi Akreditasi Puskesmas dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat

Pertama adalah Lembaga Independen yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan

untuk melaksanakan penilaian akreditasi Puskesmas dan Fasilitas Pelayanan

Kesehatan Tingkat Pertama lainnya, yang selanjutnya disebut sebagai Komisi

Akreditasi.

a. Tim Akreditasi Puskesmas

Tim akreditasi puskesmas dibentuk oleh kepala puskesmas.Tim

akreditasi puskesmas yang telah terbentuk bertanggungjawab untuk

menyiapkan puskesmas dalam memperoleh akreditasi puskesmas.

b. Tim Pendamping Dinas kesehatan Kabupaten/Kota

Tim pendamping Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dibentuk oleh Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota dengan anggota yang berasal dari pejabat

fungsional atau struktural Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau pihak

ketiga atau lembaga lain. Tim yang telah dilatih kemudian akan

ditugaskan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk

mendampingi puskesmas dalam penyelenggaraan akreditasi.

Pendampingan dilakukan baik praakreditasi maupun pascaakreditasi.

Pendampingan praakreditasi merupakan rangkaian kegiatan penyiapan

puskesmas agar memenuhi standar akreditasi.Sedangkan Pendampingan

pascaakreditasi merupakan kegiatan untuk memelihara serta


22

meningkatkan pencapaian standar Akreditasi secara berkesinambungan

sampai dilakukan penilaian Akreditasi berikutnya.

c. Tim Akreditasi Dinas Kesehatan Provinsi

Tim akreditasi Dinas Kesehatan Provinsi adalah Tim Pelatih Calon

Pendamping Akreditasi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.Tim terdiri dari

widyaiswara dan staf Dinas Kesehatan Provinsi atau peserta dari individu

atau pihak ketiga yang diusulkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dengan

persyaratan dan kriteria yang telah ditetapkan. Setelah tim terbentuk

selanjutnya tim tersebut akan mendapatkan pelatihan untuk kemudian

menjadi Tim Pelatih Pendamping Akreditasi Puskesmas.

d. Tim Surveior

Tim Surveior merupakan tim penilaian akreditasi puskesmas yang ditugaskan

oleh Komisi Akreditasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Tim tersebut

terdiri dari widyaiswara dan staf Dinas Kesehatan Provinsi atau peserta dari

individu atau pihak ketiga yang diusulkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi

dengan persyaratan dan kriteria yang telah ditetapkan.Tim surveior

mempunyai tugas untuk melakukan survei akreditasi terhadap Fasilitas

Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama sesuai dengan standar yang

berlaku.Tim surveior mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk

memberikan rekomendasi status pencapaian akreditasi kepada Komisi

Akreditas.

5.6 Proses Akreditasi Puskesmas

1. Pengajuan Penilaian Akreditasi


23

a. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengajukan permintaan

penilaian akreditasi Kepada Komisi Akreditasi melalui Kepala Dinas

Kesehatan Propinsi berdasarkan hasil penilaian Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota.

b. Kepala Dinas Kesehatan Propinsi membuat surat rekomendasi dan

meneruskan permintaan akreditasi kepada Komisi akreditasi (maks 5

hari kerja) dalam bentuk surat elektronik dan surat asli.

c. Komisi Akreditasi menugaskan Koordinator Surveior di Provinsi

untuk merencanakan dan melaksanakan survei penilaian akreditasi

dengan tembusan Kadinkes Prov (maks 5 hari kerja).

d. Koordinator melakukan pembahasan internal untuk menyusun jadual

penilaian termasuk penentuan surveiornya (maks 3 hari kerja).

e. Surat jawaban dari Koordinator beserta jadwal disampaikan kepada

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada

Kepala Dinas Kesehatan Propinsi (maks 5 hari kerja).

2. Pelaksanaan Survei Akreditasi

Survei akreditasi dilakukan selama 3 (tiga) hari sesuai dengan jadwal yang

ditetapkan, jumlah surveior yang ditugaskan tergantung dari banyaknya

upaya kesehatan yang diselenggarakan Puskesmas.

3. Penetapan dan Rekomendasi Hasil Audit

Dilaksanakan pada hari ketiga survei.

a. Rapat tim surveior


24

b. Kesimpulan dan rekomendasi (dalam rekomendasi harus disebutkan

prioritas pendampingan oleh tim pendamping kabupaten/kota dalam

melakukan pembinaan 6 bulan).

c. Laporan hasil survei dikirim langsung oleh Ketua tim surveyor kepada

Komisi Akreditasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

dengan tembusan kepada koordinator surveior di provinsi (maksimum

7 hari setelah pelaksanaan Survei Akred) melalui surel dan surat

dengan menggunakan software pelaporan.

4. Penentuan Kelulusan Akreditasi melalui Rapat Komisioner dalam waktu

maksimum 10 hari kerja. Penerbitan sertifikat Akreditasi oleh Komisi

Akreditasi dalam waktu 10 hari kerja, untuk kemudian dikirimkan ke

Dinas Kesehatan Provinsi dalam waktu 5 hari kerja untuk diteruskan ke Dinas

Kesehatan Kabupaten.

5.7 Mekanisme Akreditasi Puskesmas

3. Pengajuan permohonan akreditasi.

4. Periksa kesiapan Puskesmas.

5. Mengirimkan surat permohonan akreditasi kepada Dinkes Provinsi.

6. Meneruskan permohonan kepada Komisi Akreditasi.

7. Menugaskan koordinator untuk membentuk tim surveior.

8. Survei Akreditasi.

9. Pengiriman hasil survey kepada koordinator surveyor.

10. Meneruskan rekomendasi hasil survei kepada Komisi Akreditasi.


25

11. Penerbitan sertifikasi oleh Komisi Akreditasi yang kemudian dikirimkan

kepada Dinas Kesehatan Provinsi.

12. Meneruskan sertifikasi kepada Dinas Kesehatan Kab/Kota.

13. Menyerahkan sertifikasi akreditasi kepada Puskesmas atau Klinik.

Mekanisme pendampingan persiapan akreditasi puskesmas tingkat Dinas

Kesehatan Kab/Kota.

1. Dinas Kesehatan Kota memilih puskesmas yang akan melakukan akreditasi.

2. Dinas Kesehatan Kota melakukan pendampingan terhadap puskesmas

dalam melakukan akreditasi puskesmas.

3. Puskesmas mengajukan hasil penilaian self assessment pasca

pendampingan ke Dinas Kesehatan Kota.

4. Dinas Kesehatan Kota selanjutnya melakukan assessment terhadap

puskesmas.

5.8 Standar Akreditasi Puskemas

Prinsip yang digunakan dalam akreditasi puskesmas yaitu menggunakan

pendekatan keselamatan dan hak pasien dan keluarga, dengan tetap

memperhatikan hak petugas pelayanan kesehatan. Prinsip tersebut digunakan

unutuk meningkatan kualitas dan keselamatan pelayanan. Prinsip akreditasi

puskesmas yang mengutamakan hak asasi manusia digunakan sebagai standar

akreditasi puskesmas unutk menjamin agar semua pasien mendapatkan

pelayanan dan informasi yang sebaik-baiknya sesuai dengan kebutuhan dan


26

kondisi pasien, tanpa memandang golongan sosial, ekonomi, pendidikan, jenis

kelamin, ras, maupun suku.

Terdapat 9 Bab Standar Akreditasi puskesmas dengan 772 Elemen

Penilaian (EP), diantaranya :

1. Bab I. Penyelenggaraan Pelayanan Puskesmas

(PPP)dengan 59EP.

2. Bab II. Kepemimpinan dan Manajemen Puskesmas

(KMP)dengan 90EP.

3. Bab III. Peningkatan Mutu Puskemsas (PMP)dengan 32EP.

4. Bab IV. Program Puskesmas yang Berorientasi Sasaran (PPBS)dengan

53EP.

5. Bab V. Kepemimpinan dan Manajemen Program Puskesmas

(KMPP)dengan 102EP.

6. Bab VI. Sasaran Kinerja dan MDG's (SKM)dengan 55EP.

7. Bab VII. Layanan Klinis yang Berorientasi Pasien (LKBP)dengan 151EP.

8. Bab VIII. Manajemen Penunjang Layanan Klinis (MPLK)dengan 172 EP.

9. Bab IX. Peningkatan Mutu Klinis dan Keselamatan Pasien

(PMKP) dengan 58EP.

Akreditasi puskesmas menilai 3 kelompok pelayanan di puskesmas, yaitu

(PMK No.46 Tahun 2015) :

A. Kelompok Administrasi Manajemen

Manajemen administrasi merupakan suatu pendekatan yang difokuskan

pada prinsip-prinsip yang dapat digunakan oleh manajer untuk mengoordinasi

aktivitas intern organisasi.


27

Kelompok administrasi manajemen puskesmas diuraikan menjadi:

a. Penyelenggaraan pelayanan puskesmas

Manajemen puskesmas diselenggarakan sebagai berikut :

1. Proses pencapaian tujuan puskesmas.

1. Proses menyelaraskan tujuan organisasi dan tujuan pegawai

puskesmas.

2. Proses mengelola dan memberdayakan sumber daya dalam

rangka efisiensi dan efektivitas puskesmas.

4. Proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.

5. Proses kerjasam dan kemitraan dalam pencapaian tujuan

puskesmas.

6. Proses mengelola lingkungan.

b. Kepemimpinan dan manajemen puskesmas

Manajemen puskesmas di definisikan sebagai rangkaian kegiatan

yang bekerja secara sistematis untuk menghasilkan luaran

puskesmas yang efektif dan efisien. Rangkaian kegiatan sistematis

yang dilaksanakan puskesmas yakni perencanaan, pelaksanaan dan

pengendalian, serta pengawasan dan pertanggungjawaban.

Keberhasilan dari rangkaian kegiatan tersebut sangat dipengaruhi

oleh kepemimpinan dari kepala puskesmas.

c. Peningkatan mutu puskesmas

Upaya peningkatan mutu pelayanan puskesmas merupakan suatu

proses manajemen yang dilakukan secara sistematis, objektif,

terpadu dan berkesinambungan serta berorientasi pada pelanggan.

Peningkatan mutu pelayanan kesehatan puskesmas didasari atas


28

paradigma bahwa peningkatan mutu pelayanan puskesmas akan

tercapai, jika proses pelayanan diperbaiki dengan menerapkan

prinsip dan metode jaminan mutu.

B. Kelompok Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)

Upaya kesehatan masyarakat adalah setiap kegiatan untuk memelihara

dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi timbulnya

masalah kesehatan dengansasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat

(PMK Nomor. 75 Tahun 2014).

Upaya kesehatan masyarakat (UKM) meliputi upaya kesehatan

masyarakat esensial dan upaya kesehatan masyarakat pengembangan.

Upaya kesehatan masyarakat esensial sebagaimana dimaksud pada

meliputi (PMK Nomor. 75 Tahun 2014):

a. pelayanan promosi kesehatan;

b. pelayanan kesehatan lingkungan;

c. pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana;

d. pelayanan gizi; dan

e. pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit.

Upaya kesehatan masyarakat pengembangan merupakan upaya

kesehatan masyarakat yang kegiatannya memerlukan upaya yang sifatnya

inovatif dan/ataubersifat ekstensifikasi dan intensifikasi pelayanan, disesuaikan

dengan prioritas masalah kesehatan, ke khususan wilayah kerja dan potensi

sumber daya yang tersedia di masing-masing Puskesmas (PMK Nomor. 75

Tahun 2014).
29

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 46 Tahun 2015 menyatakan

bahwa Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) diuraikan dalam:

a. Upaya Kesehatan Masyarakat yang Berorientasi

Sasaran(UKMBS).

b. Kepemimpinan dan Manajemen Upaya Kesehatan Masyarakat

(KMUKM).

d. Sasaran Kinerja Upaya Kesehatan Masyarakat.

C. Kelompok Upaya Kesehatan Perorangan (UKP)

Upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama dilaksanakan dalam

bentuk:

a. rawat jalan;

b. pelayanan gawat darurat;

c. pelayanan satu hari (one day care);

d. home care; dan/atau

e. rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan

pelayanan kesehatan.

Upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama dilaksanakan sesuai

dengan standar prosedur operasional dan standar pelayanan (PMK

Nomor. 75 Tahun 2014).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 46 Tahun 2015

menyatakan bahwa Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) diuraikan dalam:

a. Layanan Klinis yang Berorientasi Pasien (LKBP).

b. Manajemen Penunjang Layanan Klinis (MPLK).


30

c. Peningkatan Mutu Klinis dan Keselamatan Pasien (PMKP).

5.9 Dokumen Akreditasi Puskesmas

Pengaturan sistem dokumentasi dalam satu proses implementasi

akreditasi FKTP dianggap penting karena dokumen merupakan acuan kerja,

bukti pelaksanaan dan penerapan kebijakan, program dan kegiatan, serta bagian

dari salah satu persyaratan Akreditasi FKTP. Dengan adanya sistem

dokumentasi yang baik dalam suatu institusi/organisasi diharapkan fungsi-fungsi

setiap personil maupun bagian-bagian dari organisasi dapat berjalan sesuai

dengan perencanaan bersama dalam upaya mewujudkan kinerja yang optimal.

Dokumen-dokumen yang perlu disediakan di Puskesmas adalah sebagai

berikut:

1. Penyelenggaraan manajemen Puskesmas:

a. Kebijakan Kepala Puskesmas,

b. Rencana Lima Tahunan Puskesmas,

c. Pedoman/manual mutu,

d. Pedoman/panduan teknis yang terkait dengan manajemen,

e. Standar operasional prosedur (SOP),

f. Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP):

1) Rencana Usulan Kegiatan (RUK), dan

2) Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK)

g. Kerangka Acuan Kegiatan.

2. Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM):

a. Kebijakan Kepala Puskesmas,


31

b. Pedoman untuk masing-masing UKM (esensial maupun

pengembangan),

c. Standar operasional prosedur (SOP),

d. Rencana Tahunan untuk masing-masing UKM,

e. Kerangka Acuan Kegiatan pada tiap-tiap UKM.

3. Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP):

a. Kebijakan tentang Pelayanan Klinis,

b. Pedoman Pelayanan Klinis,

c. Standar operasional prosedur (SOP) klinis,

d. Kerangka Acuan terkait dengan Program/Kegiatan Pelayanan Klinis

dan Peningkatan Mutu danKeselamatan Pasien.

5.10 Jenis Akreditasi

Akreditasi puskesmas terbagi dalam beberapa jenis diantaranya :

1. Tidak Terakreditasi: jika pencapaian nilai Bab I, II, dan III kurang dari 75

% dan Bab IV, V, VI< 60 %, VII, VIII, IX kurang dari 20 %

2. Terakreditasi Dasar: jika pencapaian nilai Bab I, II, dan III > 75 %, dan

Bab IV, V, VI > 60 %,BabVII, VIII, IX > 20 %

3. Terakreditasi Madya: jika pencapaian nilai Bab I, II, III, IV, V > 75 %,

BabVI, VII> 60 % VIII , IX > 20 %

4. Terakreditasi Utama: jika pencapaian nilai Bab I, II, III, IV, V, VI, VII >

75 Bab VIII, IX > 60 %

5. Terakreditasi Paripurna: jika pencapaian nilai semua Bab > 75%


32

6. Hubungan stres kerja dengan kinerja

Hubungan stres kerja dengan kinerja merupakan hubungan U terbalik,

artinya semakin tinggi tingkat stres, tantangan kerja juga bertambah maka akan

mengakibatkan prestasi juga bertambah, apabila tingkat stres sudah optimal

maka akan menyebabkan gangguan kesehatan dan pada akhirnya akan

menurunkan prestasi kerja (Iswanto,1999 dan Higgins, 2000 dikutip dalam Ilmi,

2003).

Daftar Pustaka

Abraham, C. (1997). Psikologi Sosial Untuk Perawat. Jakarta: EGC.

Agoes, dkk. 2003. Teori dan Manajemen Stres. Taroda : EGC

Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta :EGC.

Griffin, R. 2004. Manajemen. Edisi VII. Jakarta : Erlangga.

Hidayat, A. A. A. 2007. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Edisi 2, Jakarta :

Salemba Medika
33

Ilmi, B. (2003). Pengaruh Stres Kerja Terhadap Prestasi Kerja dan Identifikasi

Manajemen Stres Yang Digunakan Perawat di Ruang Rawat Inap RSUD

Ulin Banjarmasin. http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-S2-

2003-Ilmi2c. Dibuka 14 Mei 2017

Iqbal, Muhammad. 2013. Pengaruh Peran Petugas Kesehatan terhadap

Partisipasi Ibu dalam Pemberian Imunisasi Bayi di Desa Wilayah

Pegunungan Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh.

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/46310. Dibuka pada 15 2017

pukul 15.00 wita

Istijanto. 2006. Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka

Utama.

Jumaini, Hafsah. 2012. Hubungan Stres Kerja dengan Kinerja Perawat

Pelaksana di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Dumai.

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/39342 , dibuka pada 19 April

2017

Mahestri Rizty Desta. 2016. Pengaruh Hardiness Atas Kuat Lemahnya Peranan

Beban Kerja Mental Terhadap Stres Kerja pada Frontliner di Bank Mandiri

Area Pematangsiantar. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/56920

dibuka pada 19 April 2017

National Safety Council. (2004). Manajemen Stres. Jakarta: EGC.

Nawawi. (2006). Evaluasi dan Manajemen Kinerja di lingkungan Perusahaan dan

Industri. Yogyakarta. Jakarta: Gadjah Mada University Press.

Nursalam. (2008). Manajemen Keperawatan : Aplikasi Dalam Praktik

Keperawatan Profesional. Jakarta: Salemba Medika.

PERMENKES No. 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas. Diambil dari

www.depkes.go.id pada 20 april 2017 pukul 08.00


34

Potter, P.A., & Perry, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,

Proses dan Pr aktis. (Renata Komalasari, et al, Penerjemah). Ed. Ke-4.

Jakarta: EGC

Pranandari, Anggraeini. 2014. Pengaruh Konflik Pekerjaan - Keluarga dan Konflik

Keluarga - Pekerjaan pada Stres Kerja.

http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?

mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=

69752 dibuka pada 19 April 2017

Rosiana. (2008). Penerapan Regresi Linier Berganda Pada Pengaruh Stres

Terhadap Kinerja Perawat di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri.

http://digilib.stikom.ac.id/detil.php?id=259&q= ujian. Dibuka 19 April 2017

Suciati & Minarsih, M. M. 2015. Job security and job stress effect of turnover

intention on PT. berkat abadi surya cemerlang semarang. Journal of

Management, Vol.1, No. 1.

Sulihandari H, Nisya. 2013. Prinsip-prinsip Dasar Keperawatan. Jakarta : Dunia

Cerdas.

Wicaksono, Muhammad. 2016. Analisis Kesiapan Dinas Kesehatan Kota Binjai

dalam Implementasi Akreditasi Puskesmas Tahun 2016.

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/62263, dibuka pada 19 April

2017

Anda mungkin juga menyukai