Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ETIKA KEPERAWATAN

HUBUNGAN ETIKA KEPERAWATAN DENGAN


EUTHANASIA

DOSEN PEMBIMBING :
Novianti, SKM, M.Kes

DIBAWAKAN OLEH :
Novitasari (1902017)

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN


STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR
PRODI D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur bagi Allah SWT yang dengan karunianya telah memungkinkan penyusun
menyelesaikan makalahnya sebagai salah satutugas etika keperawatan dan agar dapat
dimanfaatkan oleh para pembaca. Hanya dengan kekuatan dan kesabaran yang
dilimpahkannya makalah ini dapat diselesaikan dan mudah mudahan dengan adanya makalah
ini para pembaca dapat memahami mengenai konsep komunikasi dalam dunia keperawatan.
Akhir kata “Tiada Gading yang Tak Retak” demikian kata orang bijak,oleh karena itu
kritik dan saran dari pembaca senantiasa saya nantikan dalam perbaikan pembuatan makalah
saya

Pinrang, 20 Maret 2020

Penyusun
Novitasari
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................
1.1................................................................................................................. Latar Belakang
.............................................................................................................................
1.2.............................................................................................................. Rumusan Masalah
.............................................................................................................................
1.3....................................................................................................................... Tujuan
.............................................................................................................................
1.4...................................................................................................................... Manfaat
.............................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................
2.1............................................................................................................. Defenisi Euthanasia
.............................................................................................................................
2.2........................................................................................................... Jenis-Jenis Euthanasia
.............................................................................................................................
2.3.................................................................................................................... Dilema Etis
.............................................................................................................................
2.4........................................................................................ Peran Dan Kewajiban Perawat Terhadap Klien
.............................................................................................................................
2.5........................................................................................ Kewajiban Perawat Dalam Kasus Euthanasia:
.............................................................................................................................
2.6............................................................................... Beberapa Aspek Yang Mengatur Euthanasia Di Indo
.............................................................................................................................
BAB III KASUS DAN PEMBAHASAN.......................................................................
3.1........................................................................................................................ Kasus
3.2................................................................................................................... Pembahasan
.............................................................................................................................
BAB IV PENUTUP........................................................................................................
4.1..................................................................................................................... Simpulan
.............................................................................................................................
4.2.........................................................................................................................Saran
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Euthanasia merupakan upaya untuk mengakhiri hidup orang lain dengan tujuan
untuk menghentikan penderitaan yang dialaminya karena suatu penyakit atau keadaan
tertentu. Di jaman modern ini, tercatat telah banyak sekali kasus-kasus eutanasia, baik
yang ter-ekspose maupun yang tersembunyikan. Terdapat dua unsur utama yang
menjadikan eutanasia menjadi bahan perdebatan yang sengit di kalangan dokter dan
bahkan masyarakat umum. Yang pertama, eutanasia jelas-jelas suatu tindakan yang
dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, namun selain itu justru alasan
dilakukannya eutanasia adalah untuk menghindarkan pasien dari rasa sakit atau
penderitaan yang dianggap terlalu menyiksa.
Di beberapa Negara di dunia, eutanasia merupakan suatu tindakan yang dilegalkan,
sehingga seorang dokter memiliki kewenangan untuk menjalankan prosedur eutanasia,
namun tentu saja dengan seijin pihak keluarga dan melalui prosedur perijinan yang
sangat ketat. Sedangkan di beberapa Negara yang lain, pelaku eutanasia ditangkap
karena dianggap melakukan tindakan yang melanggar hukum. Saat ini terdapat banyak
Negara yang melarang penyelenggaraan eutanasia, namun masih banyak pula dokter-
dokter yang tetap melakukan eutanasia, baik yang diketahui maupun tidak, dengan
berbagai alasan. Kampanye anti eutanasiapun banyak kita lihat di situs-situs internet, hal
ini menunjukkan bahwa praktek eutanasia memang masih kerap terjadi.
Dalam makalah ini, akan dipaparkan lebih jauh tentang eutanasia, mengenai
pengertiannya, sejarahnya, pendapat-pendapat seputar eutanasia dan juga pandangan
beberapa Negara dan beberapa Agama tentang penerapan eutanasia serta hukum terkait
eutanasia.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dan jenis-jenis euthanasia?


2. Pandangan etika mengenai euthanasia?
3. Bagaimana peran dan kewajiban perawat terhadap kllien dalam menghadapi kasus
Euthanasia?
4. Beberapa aspek-aspek yang mengatur euthanasia di Indonesia?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Euthanasia dan aspek etika dan hukum dalam
kasus.
2. Untuk mengetahui bagaimana peran perawat dan tenaga kesehatan lainnya dalam
menghadapi masalah Euthanasia jika dikaitkan dengan etika dan hukum keperawatan.
3. Agar tenaga kesehatan mengetahui beberapa aspek yang mengatur tentang euthanasia
di Indonesia.

1.4. Manfaat
Mampu menerapkan dan melaksanakan peran sebagai perawat dan apa saja yang
seharusnya dilakukan oleh seorang perawat atau tenaga kesehatan lainnya dalam
pengambilan keputusan mengenai masalah Euthanasia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Defenisi Euthanasia
Kata euthanasia terdiri dari dua kata berasal dari bahasa Yunani eu (baik)
dan thánatos (kematian). Jadi secara harafiah euthanasia berarti mati yang layak atau
mati yang baik (good death) atau kematian yang lembut. Beberapa kata lain yang
berdasar pada gabungan dua kata tersebut misalnya: Euthanatio: aku menjalani kematian
yang layak, atau euthanatos (kata sifat) yang berarti “mati dengan mudah“, “mati dengan
baik” atau “kematian yang baik”. (K. Bertens, 2001).
Euthanasia dalam Kamus Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai
“kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama pada kasus penyakit yang penuh
penderitaan dan tak tersembuhkan”. Sedangkan dalam Kamus Kedokteran Dorland
euthanasi mengandung dua pengertian, yaitu:Suatu kematian yang mudah dan tanpa rasa
sakit.
Pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang
menderita dan tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan, secara hati-hati dan
disengaja.

2.2. Jenis-jenis Euthanasia


Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis dan mudah dimengerti adalah:
a. Euthanasia aktif
Tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan yang dilarang,
kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan perundangan.

b. Euthanasia pasif
Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan
medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya menghentikan pemberian
infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda operasi.

c. Auto euthanasia
Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis
dan dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.
Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan).
Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.

Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia, diajukan


berbagai pendapat sebagai berikut:
a. Voluntary euthanasia
Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang
dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan
fisik dan jiwa yang tidak menunjang.

b. Involuntary euthanasia
Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena, misalnya
seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan untuk
mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.
c. Assisted suicide
Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan dan alasan tertentu untuk
menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
d. Tindakan langsung menginduksi kematian
Alasan tindakan ini adalah untuk meringankan penderitaan tanpa izin individu yang
bersangkutan dan pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan, tapi
dalam pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan. (Billy:
2008).

2.3. Dilema Etis


Disini Euthanasia tampil sebagai sebuah kasus yang menarik sekaligus dilematis.
Disatu sisi Euthanasia dipandang sebagai suatu jalan keluar, namun disisi
lain Euthanasia dipandang sebagai pencabutan atas hak hidup seseorang.
Pandangan Etika mengenai Euthanasia
berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti ”yang baik, yang layak”. Etik
merupakan morma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi terentu
dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat.
Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk dalam
hubungan dengan orang lain. Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif
yang baik serta ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua
orang. Secara umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi
yang berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk
penyelidikan filosofis atau kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral
mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang atau
kelompok tertentu.
Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup,
sehingga etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi
perilaku profesional. Cara hidup moral perawat telah dideskripsikan sebagai etik
perawatan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang
digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang
seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Dari sudut pandang etika, euthanasia dan aborsi menghadapi kesulitan yang sama.
Suatu prinsip etika yang sangat mendasar ialah kita harus menghormati kehidupan
manusia. Bahkan kita harus menghormatinya dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita
mengorbankan manusia kepada suatu tujuan lain.
Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai "kesucian kehidupan"
(The Sanctity Of Life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut,
karena itu di mana-mana harus selalu dihormati. Jika kita dengan konsekuen mengakui
kehidupan manusia sebagai suci, menjadi sulit untuk membenarkan eksperimentasi
laboratorium dengan embrio muda, meski usianya baru beberapa hari, dan menjadi sulit
pula untuk menerima praktik euthanasia dan aborsi, yang dengan sengaja mengakhiri
kehidupan manusia. Prinsip kesucian kehidupan ini bukan saja menandai suatu tradisi
etika yang sudah lama, tetapi dalam salah satu bentuk dicantumkan juga dalam sistem
hukum beberapa Negara.
(PVS=Persistent Vegetative Status). Hidup manusia adalah dasar dari segala
sesuatu. Tanpa hidup, manusia tidak punya apapun, termasuk hak-haknya. Karena itu,
hidup manusia adalah hak dasar dan sumber segala kebaikan. Martabat manusia tidak
berubah meskipun dia dalam keadaan koma. Ia tetap manusia yang bermartabat. Dia
bukan “vegetatif”=tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, ia tetap harus dihormati.
Penilaian etika euthanasia telah diperdebatkan tentang kebenarannya dalam decade
sekarang ini. Larangan untuk membunuh merupakan suatu norma moral yang sangat
fundamental untuk umat manusia. Tidak mengherankan, kalau dalam segala aspek
kebudayaan diberi tekanan besar pada norma ini, termasuk dalam bidang agama. Malah
boleh dikatakan, ini norma moral yang paling penting, sebagaimana pelanggarannya juga
merupakan kejahatan paling besar. Namun demikian norma moral ini pun tidak bersifat
absolute. Rasanya dalam etika tidak ada norma moral yang sama sekali absolute. Karena
itu disekitar norma ini pun selalu masih ada hal-hal yang dipermasalahkan. Dizaman
sekarang menyangkut hukuman mati dan euthanasia, tetapi berlawanan. Apakah pantas
Hukuman mati dipertahankan sebagai pengecualian atas larangan untuk membunuh
sedangkan tentang euthanasia dipersoalkan tidak perlu diakui adanya pengecualian atas
larangan untuk membunuh.
Di dalam Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Mentri Kesehatan Nomor:
434/Men.Kes./SK/X/1983 disebutkan pada pasal 10: “Setiap dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.” Kemudian di dalam
penjelasan pasal 10 itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri yang kuat pada setiap
makhluk yang bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Usaha
untuk itu merupakan tugas seorang dokter. Dokter harus berusaha memelihara dan
mempertahankan hidup makhluk insani, berarti bahwa baik menurut agama dan undang-
undang Negara, maupun menurut Etika Kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan:
a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus).
b. Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman
tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Jadi sangat tegas, para dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia. Di
dalam kode etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan
segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan
memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.

2.4. Peran dan Kewajiban Perawat terhadap Klien


Dalam kasus ini seharusnya perawat tidak begitu saja melakukan tindakan tersebut,
tapi dengan posisi sebagai perawat, seharusnya perawat tersebut menimbang kembali
alasan-alasan dan akibat-akibatnya jika tindakan tersebut harus terpaksa dilakukan.
Peran perawat seharusnya dijalankan dalam menghadapi kasus seperti ini
diantaranya :
1. Sebagai Conselor, yaitu perawat memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada
pihak keluarga bahwa eutanasia bukanlah jalan satu-satunya untuk menyelesaikan
masalah. Perawat bisa memberikan saran-saran lain kepada keluarga. Dan jika
eutanasia tetap dilakukan, maka perawat tersebut melanggar perannya.
2. Sebagai Advocat, yaitu perawat memberikan pembelaan terhadap hak-hak pasien
untuk hidup dan meneruskan kehidupannya itu. Dalam hal ini kita dapat memberikan
pendapat kepada dokter yang memutuskan tindakan itu agar dokter
mempertimbangkan lagi keputusan itu bukan sebagai keputusan terakhir yang harus
dilakukan.
Secara professional perawat sebagai advokat terhadap keluarga:
1. Hak untuk mendapat informasi yang jelas dan benar tentang penyakit pasien,
prognosa, tindakan medis serta perkembangan pasien yang dilakukan oleh perawat
dan tenaga kesehatan lain.
2. Hak memberikan persetujuan atau penolakan tindakan medis.
3. Keluarga berhak menolak menyetujui ataupun menolak tindakan medis seperti CT
scan ulang,dll.
4. Hak untuk menghentikan pengobatan.
5. Hak atas rahasia kedokteran atau data penyakit, status, diagnose dll.
6. Hak atas isi rekaman medis/ data medis sepert hasil labor, rontgen.
7. Hak untuk memeriksa dan menerima penjelasan tentang biaya yang dikenakan,
dokumen pembayaran, bon, dll.
8. Hak untuk mencari pendapat kedua, pendapat dari dokter lain, rumah sakit lain.

Sesuai dengan tinjauan teori di atas, bahwa banyak aspek yang menjadi
pertimbangan perawat dalam menyikapi eutanasia diantaranya adlah aspek hukum,
dalam hal ini kita tahu bahwa KUHP banyak membahas ketentuan tentang penghilangan
nyawa seseorang.
1. Dipandang dari segi hak azasi, tentunya pasien bagaimanapun kondisinya masih
mempunyai hak untuk hidup. Kematian yang disebabkan oleh eutanasia sudah tentu
melanggar hak azasi pasien untuk hidup.
2. Dari segi ilmu pengetahuan, kehidupan itu memang harus dipertahankan
bagaimanapun caranya. Karena pengetehaun medis dapat memperkirakan
kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan
ataupun pengurangan penderitaan pasien.
3. Sedangkan dari segi agama, kelahiran dan kematian adalah hak mutlak dari Tuhan,
sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk
memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri, karena sesungguhnya hanya
Tuhanlah yang berhak menentukan kelariran dan kematian seseorang. Sedangkan
menurut ahli agama, melarang tindakan eutanasia apapun alasannya. Tenaga
kesehatan termasuk peraweat yang melakukan perintah dokter melakukan dosa besar
dabn melawan kehendak Tuhan, yaitu memperpendek umur.
Jadi dari beberapa alasan diatas dapat dikatakan bahwa eutanasia tidak boleh begitu
saja dilakukan oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya dengan alasan apapun, karena
hal itu melawan kodrat alam dan kodrat Tuhan yang telah ada.

2.5. Kewajiban Perawat dalam Kasus Euthanasia:


1. Petugas tenaga kesehatan memberikan penjelasan kepada keluarga bahwa tindakan
euthanasia iti di larang di Indonesia, jika masalah pasien adalah biaya perawatan,
masalah tersebut bisa di cari solusinya. Seperti, meminta bantuan ke Dinas Sosial
untuk mendapatkan jaminan kesehatan.
2. Perawat harus memberikan semangat kepada klien agar tetap tabah menjalani
penyakitnya walau hasil akhirnya nanti ia tetap meninggal dunia.
3. Adapun kode etik keperawatan terdiri dari 2 pasal, menjelaskan tentang tanggung
jawab perawat. Dengan penjabarannya sebagai berikut:
4. Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya, senantiasa berpedoman pada
tanggung jawab yang bersumber pada adanya kebutuhan terhadap keperawatan
individu, keluarga dan masyarakat.
5. Perawat dalam melaksanakan pengabdian dibidang keperawatan, memelihara
suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan
kelangsungan hidup beragama dari individu, keluarga dan masyarakat.
6. Perawat dalam melaksanakan kewajibannyaterhadap individu, keluarga dan
masyarakat, senantiasa dilandasi rasa tulus ikhlas sesuai dengan martabat dan
tradisi luhur keperawatan.
7. Perawat menjalin hubungan kerjasama dengan individu, keluarga dan masyarakat,
khususnya dalam mengambil prakarsa dan mengadakan upaya kesehatan, serta
upaya kesejahteraan pada umumnya sebagai bagian dari tugas dan kewajiban bagi
kepentingan masyarakat.

2.6. Beberapa aspek yang mengatur Euthanasia di Indonesia


a. Aspek Hukum
Undang-undang Hukum pidana mengatur seseorang dapat dipidana atau
dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena
kurang hati-hati. Ketentuan pelanggaran yang berkaitan langsung dengan euthanasia
aktif di Indonesia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu
sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344
KUHP.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa perintah, beberapa pasal yang
berhubungan dengan euthanasia adalah :
 Pasal 338 KUHP : “ Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain,
dihukum karena maker mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun”.
 Pasal 340 KUHP : “Barang siapa dengan sengaja den direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan
direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur
hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”.
 Pasal  359 KUHP : “Barang siapa kerena salah menyebabkan matinya orang
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu
tahun.
Selanjutnya dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan
kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia :
 Pasal 345 KUHP : ”Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk
membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu
jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
 Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan
dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan
atau diminum”. Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV
KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2).
 Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut
dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.
 Surat Edaran IDI No.702/PB/H2/09/2004 yang menyatakan sebagai berikut: “Di
Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang pertamanya
adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan
“euthanasia aktif” .
 Dasar atas tindakan boleh tidaknya dilakukan euthanasia yaitu Surat
Edaran No.702/PB/H.2/09/2004 tentang euthanasia yang dikeluarkan oleh Pengurus
besar Ikatan Dokter Indonesia. Dalam pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan
jika pengadilan mengijinkan.
 Para dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode etika itu
tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan segala
kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara
hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.

b. Aspek Hak Azazi


Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai dan
sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati
sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum
euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia.
Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak
langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk
menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala
penderitaan yang hebat. Euthanasia aktif jelas melanggar, UU RI No. 39 tahun 1999
tentang HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9 ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340, Pasal 344,
dan Pasal 359.

c. Aspek Ilmu Pengetahuan


Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan
medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila
secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapat kesembuhan ataupun
pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk
tidak diperpanjang lagi hidupnya. Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan
sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa
kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam habisnya keuangan.
d. Aspek Agama
Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan dan bukan hak manusia
sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk
memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain,
meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya
sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan
tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan Tuhan.

Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh
membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang
tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa
besar dan melawan kehendak Tuhan dengan memperpendek umur seseorang. Orang
yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-
kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa dan putus asa tidak
berkenan di hadapan Tuhan.Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang
yang segar bugar dan tentunya sangat tidak ingin mati dan tidak sedang dalam
penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu
ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan
usaha medis dapat menimbulkan masalah lain.
Mengapa orang harus ke dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya. Kalau
memang umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia tidak akan
mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses
kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan sebagai upaya melawan
kehendak Tuhan. Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat dengan
hukum positif. Sebab di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi etik &
moral yang juga bersifat publik. Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan, jiwa
atau nyawa. Hal itu jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dalam
hukum positif manapun, prinsip itu juga diakomodasi.
Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa
manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud
materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara. (Ismail: 2005).
BAB III
KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1. Kasus
Seorang laki-laki usia 65 tahun menderita kanker kolon terminal dengan metasitase
yang telah resisten terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi di bawa ke IGD karena
jatuh dari kamar mandi dan menyebabkan robekan dikepala. Laki-laki tersebut
mengalami nyeri abdomen dan tulang dan kepala yang hebat dimana sudah tidak dapat
lagi diatasi dengan pemberian dosis morphin intravena. Hal itu ditunjukkan dengan
adanya rintihan ketika istirahat dan nyeri bertambah hebat saat laki-laki itu mengubah
posisinya. Walaupun klien tampak bisa tidur, namun ia sering meminta diberikan obat
analgesik. Kondisi klien semakin melemah dan berdasarkan diagnosa dokter, klien
maksimal hanya bertahan beberapa hari saja.
Melihat penderitaan pasien yang terlihat kesakitan dan mendengar informasi dari
dokter, keluarga memutuskan untuk mempercepat proses kematian pasien melalui
Euthanasia pasif dengan pelepasan alat-alat kedokteran yaitu oksigen dan obat-obatan
lain dan dengan keinginan agar dosis analgesik ditambah. Dr spesialis onkologi yang
ditelpon saat itu memberikan advist dosis morphin yang rendah dan tidak bersedia
menaikkan dosis yang ada karena sudah maksimal dan dapat bertentangan dengan UU
yang ada. Apa yang seharusnya dilakukan oleh anda selaku perawat yang berdinas di
IGD saat itu menghadapi desakan keluarga yang terus dilakukan ?

3.2. Pembahasan
Pemecahan dilema etis menurut Kozier (2004)
1. Mengembangkan data dasar
a. Orang yang terlibat :
- Keluarga
- Klien
- Perawat
- Dokter
b. Tindakan yang diusulkan : Euthanasia pasif pada klien
c. Maksud dari tindakan : keluarga tidak tega melihat klien yang kesakitan
d. Konsekuensi tindakan : hilangnya nyawa klien secara perlahan

2. Identifikasi Konflik
Tidak disetujuinya euthanasia dengan cara menambah dosis obat karena akan
melanggar UU :
 Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang
dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan
untuk dimakan atau diminum”. Selain itu patut juga diperhatikan adanya
ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2).
 Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan
tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.
 Para dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode etika itu
tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan segala
kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan
memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.

3. Alternatif tindakan :
Tetap dilakukannya tindakan pengobatan sebagaimana mestinya tanpa harus
melanggar hukum, karena Euthanasia di Indonesia tidak diperbolehkan.
4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat :
Pengambil keputusan yang tepat untuk kasus ini adalah keluarga dari klien,
karena keluarga adalah yang paling berhak atas diri klien.
5. Kewajiban perawat :
- Petugas tenaga kesehatan memberikan penjelasan kepada keluarga bahwa tindakan
euthanasia iti di larang di Indonesia, jika masalah pasien adalah biaya perawatan,
masalah tersebut bisa di cari solusinya. Seperti, meminta bantuan ke Dinas Sosial
untuk mendapatkan jaminan kesehatan.
- Perawat harus memberikan semangat kepada klien agar tetap tabah menjalani
penyakitnya walau hasil akhirnya nanti ia tetap meninggal dunia.
6. Membuat keputusan :
Keputusan yang akan di lakukan adalah tetap melaksanakan pengobatan/terapi
sebagaimana mestinya tanpa harus mempercepat kematian klien dengan berbagai
alasan, karena akan melanggar hukum yang telah berlaku di Indonesia.
BAB IV
PENUTUP

4.1. Simpulan
Euthanasia merupakan menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya
sendiri. Aturan mengenai masalah ini berbeda- beda di tiap- tiap Negara dan seringkali
berubah seiring dengan perubahan norma- norma budaya. Di beberapa Negara euthanasia
dianggap legal tetapi di Indonesia tindakan euthanasia tetap dilarang karena tidak ada
dasar hukum yang jelas. Sebagaiman tercantum dalam pasal KUHP 338, pasal 340, pasal
344, pasal 355 dan pasal 359. Sehingga pada kasus Ny. T euthanasia tidak dibenarkan.
Euthanasia ini ditentang untuk dilakukan atas dasar etika, agama, moral dan legal
dan juga pandangan bahwa apabila dilegalisir euthanasia dapat disalahgunakan. Sebagai
perawat berperan dalam memberikan advokasi.

4.2. Saran
1. Bagi keluarga
Keluarga sebaiknya memikirkan kembali keputusan untuk mengajukan euthanasia.
Dan permasalahan biaya agar mencari alternatif keringanan biaya melalui Jamkesmas,
Jamkesda dll.
2. Bagi Petugas (perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya)
Tetap memberikan perawatan terbaik kepada pasien selama dirawat, memberikan
perlindungan kepada pasien sebagai advokat.
3. Bagi Pemerintah
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai
salah satu materi pembahasan, semoga teap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi
nilai etika, social maupun moral.
DAFTAR PUSTAKA

https://asuhankeperawatankesehatan.blogspot.com/2017/05/makalah-etika-
keperawatan-tentang.html?m=1
https://www.academia.edu/36417399/Etika_Keperawatan_Euthanasia
https://sichesse.blogspot.com/2012/05/etika-dalam-keperawatan-ketika.html?m=1
https://keperawatanreligionnabilah.wordpress.com/materi-2/kasus-euthanasia-killing-yang-
terjadi-di-dunia/
https://id.scribd.com/doc/309930459/Makalah-Etika-Euthanasia
http://kartinawpanjaitan.blogspot.com/2016/10/makalah-euthanasia.html?m=1
di ambil pada hari kamis tanggal 19 Maret 2020 pukul 13:22 WIB

Anda mungkin juga menyukai