1. Buatlah Jeda
Menurut Sapardi, penulis tidak boleh terlibat secara emosional dengan apa yang akan ditulis.
Maka, ketika hendak menulis sajak, kita harus memberi jeda/jarak.
Misalnya dalam kondisi marah, Sapardi tidak akan menulis puisi. Karena jika memaksakan
menulis, maka yang keluar hanyalah kemarahan-kemarahan. Jika dirasa sudah ada jarak dengan
peristiwa, barulah ia berani melanjutkan menulis puisinya lagi.
Namun, ia mengaku, ada satu sajak yang dilanggarnya. Yaitu sajak tentang Marsinah yang begitu
panjang, dibuat dalam kurun waktu tiga tahun. Lamanya proses pembuatan sajak itu salah
satunya karena ditulis dalam kondisi marah. Ketika melanjutkan, marah lagi. Berhenti.
Melanjutkan lagi, ternyata marah lagi. Berhenti. Hingga akhirnya sajak yang dibuat tahun 1996
itu rampung dikerjakan tahun 1998. Bahkan, sampai sekarang pun ia merasa sajak itu perlu
direvisi karena masih ada marah dalam peristiwa itu.
Sama halnya ketika suasana hati sedang jatuh cinta. Puisi yang dibuat pasti akan cengeng.
Karena itu, membuat jeda/jarak dengan peristiwa sangat penting.
Dengan gaya guyonan, Sapardi mengatakan, “Kalau kondisi sedang marah sajak akan dipenuhi
pentungan (tanda seru-red). Kalau sedang jatuh cinta banget akan banyak titik-titiknya.
Bagaimana bacanya?”
Sapardi memberikan contoh. Ada satu karyanya berjudul “Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari”
yang karena begitu sederhananya, justru masuk dalam antologi puisi dunia bersama satu karya
dari Rendra. Berikut puisinya:
Kalau orang mengenalnya sebagai penulis puisi cinta, menurut Sapardi itu keliru besar. Sebab,
selama ini banyak sekali tema yang ditulisnya di luar topik percintaan. Seperti keresahan sosial,
masa kecil, keluarga, kritik kepada penguasa, dan sebagainya.
Agar kreativitas tidak mandek dan terus mengalir, Sapardi selalu membaca apa saja. Karena
dengan membaca, wawasan menjadi terbuka. Perbendaharaan kata menjadi kaya.
“Puisi itu sebenarnya menipumu. Seperti pesulap, kalian digiring melalui kata-kata menuju
makna tertentu,” kata Sapardi.
B. JOKO PINURBO
“Banyak puisi bagus yang gagal karena si penyair tergoda untuk berceramah dan menyimpulkan
sendiri puisi tersebut di ending-nya.”
Untuk lebih lengkap, penyair yang akrab dipanggil Jokpin ini memberi beberapa kiat dalam
menulis puisi:
3. Jangan Berceramah
Jangan merusak puisi Anda dengan berceramah sehingga merebut hak pembaca untuk
menyimpulkan karya Anda. “Banyak puisi bagus yang gagal karena si penyair tergoda untuk
berceramah dan menyimpulkan sendiri puisi tersebut di ending-nya. Salah satu nafsu negatif
pengarang adalah keinginan yang sangat besar untuk menyimpulkan sendiri pesan atau amanat
dari karya-karyanya. Padahal, menyimpulkan bacaan adalah bagiannya pembaca. Jangan
bernafsu untuk menjadi nabi atau penceramah dalam tulisanmu. Jangan menceramahi pembaca
lewat karya. Biarkan pembaca berimajinasi. Jangan merebut hak pembaca untuk menyimpulan
sendiri apa yang mereka baca. Jangan terlalu bernafsu untuk menggurui atau mengajari pembaca
lewat karya kita,” jelas Jokpin.
Kiriman Menarik Lainnya: Kepala Badan Bahasa Sebut Literasi Cara Ampuh Tangkal
Hoaks
Darimana kita belajar menulis akan menunjukkan kualitas karya kita. Jokpin menyarankan kita
untuk membaca karya-karya yang baik untuk bisa menulis puisi yang baik. “Bergaulah dengan
(membaca) karya-karya yang baik. Bacalah karya-karya penyair lain, dan pelajari. Kalau bisa,
sekalian dihafalkan. Ini sebagai bukti cinta pembaca kepada pengarangnya,” sambung beliau
Terakhir, beliau menyebutkan rekomendasi daftar para penulis yang karya-karyanya harus
dibaca untuk bisa menulis puisi yang bagus: