Anda di halaman 1dari 14

TUGAS LARUTAN DAN OBAT

“UNDANG-UNDANG DAN STANDART OBAT”

OLEH:

BEAUTY HARTINI NOTI

1651040

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ADVENT INDONESIA


UNDANG-UNDANG DAN STANDART OBAT

A. Standart Obat
Pada tahun 1906 pemerintah Amerika Serikat menetapkan standar kualitas dan
kemurnian obat berdasarkan Pure Food and Drug Act  (Undang-Undang Makanan dan Obat
murni). Publikasi resmi, seperti USP dan National Formulary, menetapkan standar kekuatan,
kualitas, kemanjuran, pengepakan, keamanan, pelabelan, dan bentuk obat. Di
kanada, British Pharmacopeia  (BP) menetapkan standar yang sama. Dokter, perawat, dan
ahli Farmasi menggunakan standar ini untuk memastikan klien menerima obat yang alami
dalam dosis yang aman dan sesuai. Di Indonesia, Farmakope Indonesia dan Formularium
Nasional dapat digunakan untuk menetapkan standar.

Standar yang diterima masyarakat harus memenuhi kriteria berikut:


1. Kemurnian
Pabrik harus memenuhi standar kemurnian untuk tipe dan konsentrasi zat lain yang
diperbolehkan.
2. Potensi
Konsentrasi obat aktif dalam preparat obat mempengaruhi kekuatan atau potensi obat.
3. Bioavailability
Kemampuan obat untuk lepas dari bentuk dosisnya dan melarut, diabsorbsi, dan
diangkut tubuh ke tempat kerjanya disebut Bioavalability.
4. Kemanjuran
Pemeriksaan laboratorium yang terinci dapat membantu menentukan efektivitas obat.
5. Keamanan
Semua obat harus terus dievaluasi untuk menentukan efek samping obat tersebut.

B. Undang-undang dan Pengawasan Obat


Di Amerika Serikat, perundang-undangan yang mengatur tentang obat dimulai dengan
dikeluarkannya Pure Food and Drug Act  (Undang-Undang Makanan dan Obat murni) pada
tahun 1906. Undang-undang tersebut memfokuskan perhatian pada kemurnian makanan,
tetapi juga menetapkan standar resmi obat. Pabrik harus melabel obat dengan tepat dan
menjamin bahwa kekuatan dan kemurnian obat sesuai dengan klaim pabrik. Sejak saat itu,
hokum federal telah memperluas dan menyaring kontrol pemerintah terhadap penjualan
dan distribusi obat; pengujian obat, penamaan obat, pelabelan; dan undang-undang tentang
zat kontrol (Controlled substances)

1.    Undang-Undang Obat di Amerika Serikat


a. Tahun 1906 : Pure Food and Drug Act
Isi : Merancang standar resmi obat-obatan (USP dan The National Formulary),
menspesifikasi standar pelabelan obat.
b. Tahun 1912 : Sherley Amendment
Isi : Melarang pabrik membuat klaim yang curang tentang kemanjuran dan efek
terapeutik obat.
c. Tahun 1914 : Harrison Narcotic Act
Isi : Secara resmi mengklasifikasi obat-obatan yang diyakini membentuk kebiasaan
seperti narkotik; mengatur pemasokan, pembuatan, penjualan, dan penggunaan zat
narkotik.
d. Tahun 1938 : Federal Food, Drug, and Cosmetic Act
Isi : Menambahkan Homeopathic Pharmacopeia of the United States  sebagai standar
obat ketiga; mewajibkan preparat obat diakui aman oleh Food and Drug
Administrationsebelum dipasarkan; menguraikan kritera lebih lanjut pelabelan obat.
e. Tahun 1945 : Amendment to the Food and Drug Act
Isi : Memberi sertifikasi untuk produk biologis yang digunakan sebagai obat (missal
insulin,antibiotic) berdasarkan kelompok tertentu; mengizinkan supervise dan inspeksi
langsung produksi obat.
f. Tahun 1952 : Durham Humprey Amendment
Isi :  Membedakan obat resep dari obat tanpa resep
g. Tahun 1962 : Kefauver Harris Amendment
Isi :  Memberi FDA kuasa untuk menyelia produksi obat untuk menjamin kemanan dan
kemanjurannya dan menetapkan nama obat yang resmi, member kontrol yang lebih
besar terhadap obat-obatan yang diselidiki.
h. Tahun 1970 : Comprehensive Drug Abuse Prevention and Control Act (Controlled
Substances Act)
Isi : Menetapkan kontrol yang ketat terhadap pembuatan dan distribusi obat yang
dikontrol (kepemilikan zat yang dikontrol secara tidak sah tanpa resep); menetapkan
program pemerintah untuk meningkatkan pencegahan dan penanganan ketergantungan
obat.
2. Undang-Undang Obat di Kanada
a. Tahun 1908 :  Proprietary or Patent Medicine Act
Isi : Menetapkan standar untuk melindungi konsumen dari obat tanpa resep yang tidak
aman dan tidak efektif.
b. Tahun 1953 : Canadian Food and Drug Act
Isi : Melarang penjualan obat yang terkontaminasi, tidak aman, dan label tidak sesuai;
merancang standar resmi (Pharmacopeia International, BP,  dan  Canadian Formulary);
menetapkan obat tertentu yang dikontrol penggunaannya; melarang pengiklanan obat
resep dan obat yang dikontrol kepada masyarakat; menetapkan standar pelabelan.
c. Tahun 1961 :   Canadian Narcotio Control Act
Isi : Membatasi penjualan, kepemilikan, dan penggunaan narkotik; menetapkan
pedoman pelaporan kehilangan akibat pencurian narkotik, menetapkan standar
pelabelan dan penyimpanan catatan.

3. Peraturan Perundang-Undangan Kefarmasian di Indonesia


Berdasarkan periode dikeluarkannya peraturan perundangan di bidang kefarmasian di
Indonesia, serta pihak pemerintahan yang telah membuatnya, maka dibedakan menjadi 3
periode, yaitu:
a. Periode zaman penjajahan Belanda
Peraturan perundang-undangan yang dibuat pada masa penjajahan Belanda, berpangkal
terutama pada “Het Reglement op de Dienst der Volksgezonheid”. Produk periode ini
telah banyak yang dicabut, tapi masih ada sekarang yang belum dicabut adalah:
1.        Phaemaceutische Stoffen Keuring Ordonantie  (Undang-Undang Pemeriksaan Bahan
Farmasi), Staatsblad 1936 No. 660, Isinya adalah sediaan farmasi yang beredar harus
sudah dilakukan pemeriksaan/pengujian terlebih dahulu.
2.        Gevarlijike Stoffen Ordonantie  (Undang-Undang Bahan Berbahaya), Staatsblad
1949 No. 337, isinya adalah bahan berbahaya yang digunakan oleh manusia dalam
rumah tangga tidak boleh mengandung bahan yang beracun dan berbahaya.
3.        Sterkwerkende Genesmiddelen Ordonantie  (Undang-undang Obat keras) Staatsblad
1949 No. 419, isinya antara lain obat keras hanya boleh diserahkan kepada pasien oleh
apoteker yang memimpin apotek dengan resep dokter.
b. Periode Pendudukan Jepang
Satu-satunya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintahan militer
Jepang di Indonesia adalah Undang-undang No. 1 tahun 1942, yang menyatakan
berlakunya semua peraturan perundang-undangan semasa Pemerintahan Hindia
Belanda yang tidak bertentangan dengan kekuasaan militer Jepang.

c. Zaman Kemerdekaan
Sejak Indonesia merdeka, telah banyak dibuat peraturan perundang-undangan seperti
Undang-undang Pokok kesehatan, Undang-undang tentang apotek, Undang-undang No.
23 tahun 1992 tentang kesehatan yang menggantkan undang-undang pokok kesehatan,
undang-undang tentang apotek dan beberapa undang-undang lainnya. Peraturan
pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang apotek, Peraturan pemerintah No. 32 tahun
1996 tentang tenaga kesehatan, Peraturan pemerintah no. 72 tahun 1998 tentang
sediaan farmasi, serta banyak peraturan/keputusan Menteri kesehatan di bidang
kefarmasian.

C. Pembagian Obat Menurut Undang-Undang

1. Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dapat dijual bebas kepada masyarakat tanpa resep dokter,
tidak termasik dalam daftar narkotika, psikotropika, obat keras, dan obat bebas terbatas,
dan sudah terdaftar di Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Obat bebas disebut juga
obat OTC (Over The Counter).
Obat bebas dapat dijual bebas di warung kelontong, toko obat berizin, supermarket serta
apotek. Dalam pemakaiannya, penderita dapat membeli dalam jumlah sangat sedikit saat
obat diperlukan, jenis zat aktif pada obat golongan ini relatif aman sehingga pemakaiannnya
tidak memerlukan pengawasan tenaga medis selama diminum sesuai petunjuk yang tertera
pada kemasan obat. Oleh karena itu, sebaiknya obat golongan ini tetap dibeli dengan
kemasnnya.
Penandaan obat bebas diatur berdasarkan S.K MenKes RI Nomor 2380/A/SK/VI/1983
tentang tanda khusus untuk obat bebas dan obat bebas terbatas. Tanda khusus untuk obat
bebas yaitu bulatan berwarna hijau dengan garis tepi warna hitam.
2. Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat
dijual dan dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Obat
bebas terbatas atau obat yang termasuk dalam daftar “W”, Menurut bahasa belanda “W”
singkatan dari “Waarschuwing” artinya peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket
obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.
Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa empat
persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima) sentimeter, lebar 2 (dua)
sentimeter dan memuat pemberitahuan berwarna putih.
Seharusnya obat jenis ini hanya dijual bebas di toko obat berizin (dipegang seorang asisten
apoteker) serta apotek (yang hanya boleh beroperasi jika ada apoteker (No Pharmacist No
Service), karena diharapkan pasien memperoleh informasi obat yang memadai saat membeli
obat bebas terbatas.

Logo Peringatan pada Obat Bebas Terbatas

3. Obat Keras

Obat keras disebut juga obat daftar “G”, yang diambil dari bahasa Belanda. “G” merupakan
singkatan dari “Gevaarlijk”  artinya berbahaya, maksudnya obat dalam golongan ini
berbahaya jika pemakainnya tidak berdasarkan resep dokter.
Golongan obat yang hanya boleh diberikan atas resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan
ditandai dengan tanda lingkaran merah dan terdapat huruf K di dalamnya. Yang termasuk
golongan ini adalah beberapa obat generik dan Obat Wajib Apotek (OWA). Juga termasuk di
dalamnya narkotika dan psikotropika tergolong obat keras.
Berdasarkan Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No. 02396/A/SK/VIII/1986
tentang tanda khusus obat keras Daftar “G” adalah “Lingkaran bulat berwarna merah
dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi”.

4. Obat Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah atau sintetis, bukan narkotik yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada SSP (Susunan Saraf Pusat) yang menyebabkan
perubahan khas pada aktifitas mental dan prilaku.
Untuk penandaan psikotropika sama dengan penandaan untuk obat keras, hal ini sebelum
diundangkannya UU RI No. 5 Tahun 1997 tentang psikotropika, maka obat-obat psikotropika
termasuk obat keras yang pengaturannya ada di bawah ordonansi.
Sehingga untuk psikotropika penandaanya: lingkaran bulat berwarna merah, dengan huruf K
berwarna hitam yang menyentuh garis tepi yang berwarna hitam.

Logo Obat Psikotropika

Menurut UU RI No. 5 tahun 1997, psikotropika dibagi menjadi 4 golongan:


Golongan I : Adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Psikotropika terdiri dari 26 macam, antara lain
Brolamfetamin, Etisiklidina, Psilobina, Tenosiklidina.
Golongan II : Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam
terapi dan/atau ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Psikotropika golongan II terdiri dari 14 macam, antara lain, Amfetamin,
Deksanfentamin, Levamfetamin, Metamfetamin.
 Golongan III : Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan
dalam terapi dan/atau ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan
sindroma ketergantungan. Psikotropika golongan III terdiri dari 9 macam, antara lain:
Amobarbital, Pentobarbital, Siklobarbital, Butalbital.
 Golongan IV : Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan
dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindroma ketergantunagn. Psikotropika golongan IV terdiri dari 60 macam,
antara lain: Allobarbital, Bromazepam, Diazepam, Nitrazepam.
5. Obat Narkotika
Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009 obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan.
Penandaan narkotika berdasarkan peraturan yang terdapat dalam Ordonansi Obat Bius yaitu
“Palang Medali Merah”

Logo Obat Narkotika

Berdasarkan UU RI No. 35 tahun 2009, narkotika dibagi atas 3 golongan:


Golongan I : Adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi
mengakibatkan ketergantungan. Contohnya yaitu Tanaman Papaver Somniferum L, Opium
Mentah, Tanaman Ganja, Heroina.
Golongan II : Adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan
terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contohnya
yaitu Morfina, Opium, Petidina, Tebaina, Tebakon.
 Golongan III : Adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam
terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan. Contohnya yaitu Kodeina, Nikodikodina, Nikokodina.

6. Obat Wajib Apotek (OWA)


Selain memproduksi obat generik, untuk memenuhi keterjangkauan pelayanan kesehatan
khususnya askes obat pemerintah mengeluarkan kebijakan OWA. OWA merupakan obat
keras yang dapat diberikan oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA) kepada pasien. Walaupun
APA boleh memberikan obat keras, namun ada persyaratan yang harus dilakukan dalam
penyerahan OWA.
Tujuan OWA adalah memperluas keterjangkauan obat untuk masyarakat, maka obat-obat
yang digolongkan dalam OWA adalah obat yang diperlukan bagi kebanyakan penyakit yang
diderita pasien. Antara lain: obat antiinflamasi (asam mefenamat), obat alergi kulit (salep
hidrokortison), infeksi kulit dan mata (salep oksitetrasiklin), anti alergi sistemik (CTM), obat
KB hormon.
Penandaan obat wajib apotek pada dasarnya adalah obat keras maka penandaanya sama
dengan obat keras. Berdasarkan Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No.
02396/A/SK/VIII/1986, tanda khusus untuk obat keras daftar G adalah berupa lingkaran
bulat berwarna merah dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf “K” yang menyentuh
garis tepi. Tanda khusus harus diletakan sedemikian rupa sehingga jelas terlihat dan mudah
dikenal. Tanda khusus untuk obat keras adalah sebagai berikut:

Sesuai PerMenKes No. 919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat diserahkan:


1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2
tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
2. Penggunaan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan
penyakit.
3. Penggunaan tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan.
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang pravalensinya tinggi di Indonesia.
5. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggung jawabkan
untuk pengobatan sendiri.

D. Obat-obat Non-terapeutik
1. Penyalahgunaan Obat (Drug Abuse)
Di Amerika Serikat, istilah medis drug abuse (penyalahgunaan obat) diartikan sebagai
penyelewengan fungsi dan maladaptasi, bukan ketergantungan yang disebabkan oleh
penggunaan obat. Dalam bahasa sehari-hari, penyalahgunaan obat (drug abuse) sering
diartikan sebagai penggunaan obat ilegal untuk coba-coba dan untuk kesenangan
penggunaan obat-obatan resmi untuk mengatasi masalah atau gejala tanpa resep dari
dokter, dan penggunaan obat yang berakibat ketergantungan. Penyalahgunaan zat atau
bahan lainnya (NAPZA) yaitu penggunaan zat/obat yang dapat menyebabkan
ketergantungan dan efek non-terapeutik atau non-medis pada individu sendiri sehingga
menimbulkan masalah pada kesehatan fisik / mental, atau kesejahteraan orang lain. NAPZA
adalah bahan/zat yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan /psikologi seseorang
(pikiran,perasaan, perilaku) serta dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi.
Intoksikasi obat adalah perubahan fungsi-fungsi fisiologis, psikologis, emosi, kecerdasan, dan
lain-lain akibat penggunaan dosis obat yang berlebihan. Penyalahgunaan zat adiktif adalah
suatu pola penggunaan yang bersifat patologis, yang menyebabkan remaja mengalami sakit
yang cukup berat dan berbagai macam kesulitan, tetapi tidak mampu menghentikannya.
Ketergantungan zat adiktif adalah suatu kondisi cukup berat ditandai dengan adanya
ketergantungn fisik yaitu toleransi dan sindroma putus zat. Gangguan penggunaan zat adiktif
adalah suatu penyimpangan perilaku yang disebabkan oleh penggunaan zat adiktif yang
bekerja pada susunan saraf pusat yang mempengaruhi tingkah laku, memori alam perasaan,
proses pikir anak dan remaja sehingga mengganggu fungsi social dan pendidikannya.
Gangguan penggunaan zat ini terdiri dari : penyalahgunaan dan ketergantungan zat.

Klasifikasi Zat yang disalahgunakan


Klasifikasi Zat yang disalahgunakan dapat digolongkan menjadi 3, yaitu :
1. Narkotik
Menurut UU RI No 22 / 1997 yang disebut narkotika adalah: Zat atau obat yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan
Golongan I : Heroin / putauw, ganja atau kanabis, marijuana, kokain
Golongan II : Morfin, petidin
Golongan III : Kodein

2. Psikotropika
Psikotropika adalah merupakan suatu zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Menurut UU RI No 5 / 1997 adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada SSP yang
menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku.
Golongan I : Ektasi
Golongan II : Amfetamin, metilfenidat atau ritalin
Golongan III : Fentobarbital, flunitrazepam
Golongan IV : Diazepam, klordiazepoxide, nitrazepam ( pil BK, pil koplo)
Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan
digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu:
1. Psikotropika golongan I : yaitu psikotropika yang tidak digunakan untuk tujuan
pengobatan dengan potensi ketergantungan yang sangat kuat
2. Psikotropika golongan II : yaitu psikotropika yang berkhasiat terapi tetapi dapat
menimbulkan ketergantungan.
3. Psikotropika golongan III : yaitu psikotropika dengan efek ketergantungannya sedang
dari kelompok hipnotik sedatif.
4. Psikotropika golongan IV : yaitu psikotropika yang efek ketergantungannya ringan. 1.

Zat adiktif Bahan / zat yang berpengaruh psikoaktif diluar Narkotika dan Psikotropika.
- Minuman beralkohol,
- Inhalasi ( gas yang dihirup ) dan solven ( zat pelarut ) mudah menguap
- Tembakau/rokok

Proses terjadinya ketergantungan obat


 Proses ini dipengaruhi oleh zat kimia yang terkandung dalam obat, efek obat,
Kepribadian pengguna obat dan kondisi lainnya, seperti faktor keturunan dan
tekanan sosial.
 Perkembangan dari pemakaian coba-coba menjadi penggunaan yang sekali-sekali
dan kemudian menjadi toleransi dan ketergantungan

Faktor Risiko Penyebab Penyalahgunaan Zat


Beberapa faktor yang menyebabkan penyalahgunaan zat di kalangan remaja antara lain:
 Faktor risiko genetik Apabila orang tua atau saudara kembar laki-laki pengguna obat
terlarang.
 Faktor kepribadian dan perilaku Beberapa keadaan psikopatologik misalnya ansietas,
perilaku menyimpang, kepribadian antisosial, gangguan afektif atau attention deficit
disorders/hyperactivity telah diketahui merupakan faktor risiko. Penyandang
kelainan ini seringkali menggunakan obat untuk mengurangi gejala psikiatrik (self
medication hypothesis). Kurangnya rasa percaya diri dan perilaku mencari risiko
juga berpengaruh.
 Faktor lingkungan. Lingkungan rumah dan sekolah merupakan lingkungan terdekat
dari remaja. Anak yang mempunyai orang tua dengan kepribadian antisosial lebih
berisiko. Kemampuan orang tua untuk mengasuh anak juga menentukan faktor
risiko, terutama pada masa adolesen, saat anak mencari jati dirinya. Keluarga yang
terlalu kaya, terlalu miskin, atau keluarga yang tidak mempunyai norma yang jelas
juga berpengaruh. Anak tidak menyukai sekolahnya, tidak mempunyai teman
banyak atau berkawan dengan pengguna, tidak aktif mengikuti aktivitas
ekstrakurikulum, sering membolos, dan lain-lain.
 Faktor kawan Misalnya berkawan dengan perokok, pengguna narkotika, dengan
kelompok yang menganggap bahwa penggunaan narkotika adalah hal biasa,
berkawan dengan teman yang mempunyai kepribadian dan perilaku buruk sehingga
sering melakukan kekerasan dan melawan hukum.
 Faktor protektif Membuat seseorang cenderung tidak menggunakan obat, misalnya
intelegensi yang tinggi, adanya penilaian untuk kesehatan dan pencapaian tujuan,
sekolah yang baik, hubungan antar keluarga yang erat, dan orang tua yang sangat
berminat membantu anak.

2. Ketergantungan/Kecanduan Obat

Kata ketergantungan dan kecanduan sering digunakan secara bergantian, tetapi ada
perbedaan penting di antara keduanya. Dalam istilah medis, ketergantungan secara
khusus mengacu pada kondisi fisik tubuh yang telah beradaptasi dengan kehadiran obat.

Jika seorang yang ketergantungan obat berhenti mengonsumsi suatu obat secara tiba-
tiba, orang itu akan mengalami gejala yang dapat diprediksi dan terukur, yang dikenal
sebagai sindrom penarikan.

Meskipun ketergantungan sering merupakan bagian dari kecanduan, obat-obatan non-


adiktif juga dapat menghasilkan ketergantungan pada seseroang. Contoh utama adalah
prednisone obat golongan kortikosteroid yang berfungsi untuk mengobati asma, reaksi
alergi, penyakit crohn, dan banyak kondisi peradangan lainnya.

Prednisone sebenarnya tidak diketahui menghasilkan kecanduan. Namun, jika pasien


telah mengambil prednisone selama beberapa minggu dan kemudian berhenti tiba-tiba,
mereka cenderung menderita gejala penarikan seperti kelelahan, kelemahan, nyeri
tubuh, dan nyeri sendi.
Dalam kasus prednisone, tubuh beradaptasi dengan dosis berulang obat dengan
menurunkan produksi kortisolnya sendiri sehingga menghasilkan gejala penarikan
steroid. Ketergantungan obat adalah kondisi yang bisa diobati secara medis. Tujuannya
untuk memisahkan pasien dari obat perlahan, bukan tiba-tiba.

Ini dilakukan supaya tubuh bisa menyesuaikan diri dan mendapatkan keseimbangannya
kembali. Untuk pasien yang telah mengembangkan ketergantungan sebagai efek
samping dari konsumsi obat yang dibutuhkan (misalnya, obat penghilang rasa sakit
opioid), dokter dapat menggunakan metode tapering (perlahan-lahan mengurangi dosis
obat dari waktu ke waktu).

Penyalahgunaan Obat Akibat Penyebab Kecanduan

Berbeda dengan ketergantungan yang diawali dari pengobatan karena penyakit


tertentu, kecanduan adalah kondisi psikologis yang menggambarkan suatu keharusan
untuk mengonsumsi obat tertentu untuk mendapatkan suatu sensasi. Kebiasaan
mengonsumsi dan pencarian akan sensasi ini pada akhirnya menyebabkan kecanduan.
Situasi ini kerpa terjadi kepada orang yang mengonsumsi obat-obatan terlarang.

Hampir semua obat yang bersifat adiktif secara langsung atau tidak langsung
mengaktifkan area otak nucleus accumbens. Area otak ini biasanya dirangsang oleh
kegiatan yang berhubungan dengan kelangsungan hidup seperti makan dan
berhubungan intim. Makanya bagi seseorang yang kecanduan, memperoleh dan
mengonsumsi obat tertentu dapat benar-benar terasa seperti masalah hidup dan mati.

Obat-obatan adiktif merangsang jalur kesenangan dan motivasi di otak jauh lebih kuat
ketimbang ketika itu terjadi secara alami. Karenanya paparan berulang terhadap obat-
obatan ini dapat membodohi otak untuk memprioritaskan pengambilan obat pada
aktivitas normal dan sehat.

Efek obat adiktif membuat pengidapnya kehilangan kemampuan untuk membatasi atau
menghentikan penggunaan narkoba dan dorongan yang tak tertahankan untuk terus
mencari dan mengambil obat meskipun konsekuensinya sangat buruk.

Orang-orang yang kecanduan alkohol, misalnya, akan memiliki dorongan yang sangat
kuat untuk minum alkohol sesegera mungkin. Bahkan dorongan untuk minum ini
membuatnya rela melakukan apa saja sampai sesuatu yang melanggar hukum.
Kondisi yang berbeda bila seseorang ketergantungan dengan kafein. Banyak orang yang
bergantung pada kafein dan mengalami gejala penarikan seperti sakit kepala, kelelahan,
dan kesulitan berkonsentrasi jika belum minum secangkir kopi.Tapi tidak peduli betapa
tidak menyenangkannya tanpa kafein, belum ada orang yang rela melakukan kejahatan
untuk mendapatkan espresso. Kecanduan dan ketergantungan, kedua hal ini hampir
sama, namun dipastikan risiko kecanduan lebih kompleks dan berbahaya ketimbang
ketergantungan.

E. Tanggung jawab Perawat dalam pemberain obat


Pemberian obat menjadi salah satu tugas seorang perawat yang paling penting.
Perawat adalah mata rantai terakhir dalam proses pemberian obat kepada pasien. Perawat
bertanggung jawab pada obat itu diberikan dan memastikan bahwa obat tersebut benar.
Obat yang diberikan kepada pasien, menjadi bagian integral dari rencana keperawatan.
Perawat yang paling tahu tentang kebutuhan dan respon pasien terhadap pengobatan.
Misalnya, pasien yang sukar menelan, muntah atau tidak dapat minum obat karena alasan
tertentu. Faktor gangguan visual, pendengaran, intelektual atau motorik, yang mungkin
menyebabkan pasien tidak bias mengkonsumsi obat juga harus diperhatikan. Rencana
tindakan keperawatanan harus mencangkup rencana pemberian obat, pengetahuan tentang
kerja dan interaksi obat, efek samping, lama kerja obat dan program dari dokter.
Tugas seorang perawat sebelum memberikan obat adalah harus memeriksa
identitas pasien yang meliputi : papan identitas di tempat tidur, gelang identitas atau
ditanyakan langsung kepada pasien dan keluarganya. Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal, respon non verbal dapat dipakai, misalnya pasien mengangguk. Jika pasien
tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat gangguan mental atau kesadaran, harus dicari cara
identifikasi yang lain seperti menanyakan langsung kepada keluarganya. Obat memiliki nama
dagang dan nama generik. Setiap obat dengan nama dagang harus diperiksa nama
generiknya sebelum obat tersebut diberikan oleh perawat. Sebelum memberi obat kepada
pasien, label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali. Pertama saat membaca
permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat, kedua label botol dibandingkan dengan
obat yang diminta, ketiga saat dikembalikan ke rak obat. Jika labelnya tidak terbaca, isinya
tidak boleh dipakai dan Tugas seorang perawat adalah harus mengembalikan ke bagian
farmasi. Setelah obat diberikan, tugas seorang perawat adalah mendokumentasikan, dosis,
cara/ rute, waktu dan oleh siapa obat itu diberikan. Bila pasien menolak diberikan obat, atau
obat itu tidak dapat dapat diberikan karena alasan tertentu, perawat harus mencatat
alasannya dan dilaporkan kepada dokter untuk tindakan selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai