OLEH:
1651040
A. Standart Obat
Pada tahun 1906 pemerintah Amerika Serikat menetapkan standar kualitas dan
kemurnian obat berdasarkan Pure Food and Drug Act (Undang-Undang Makanan dan Obat
murni). Publikasi resmi, seperti USP dan National Formulary, menetapkan standar kekuatan,
kualitas, kemanjuran, pengepakan, keamanan, pelabelan, dan bentuk obat. Di
kanada, British Pharmacopeia (BP) menetapkan standar yang sama. Dokter, perawat, dan
ahli Farmasi menggunakan standar ini untuk memastikan klien menerima obat yang alami
dalam dosis yang aman dan sesuai. Di Indonesia, Farmakope Indonesia dan Formularium
Nasional dapat digunakan untuk menetapkan standar.
c. Zaman Kemerdekaan
Sejak Indonesia merdeka, telah banyak dibuat peraturan perundang-undangan seperti
Undang-undang Pokok kesehatan, Undang-undang tentang apotek, Undang-undang No.
23 tahun 1992 tentang kesehatan yang menggantkan undang-undang pokok kesehatan,
undang-undang tentang apotek dan beberapa undang-undang lainnya. Peraturan
pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang apotek, Peraturan pemerintah No. 32 tahun
1996 tentang tenaga kesehatan, Peraturan pemerintah no. 72 tahun 1998 tentang
sediaan farmasi, serta banyak peraturan/keputusan Menteri kesehatan di bidang
kefarmasian.
1. Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dapat dijual bebas kepada masyarakat tanpa resep dokter,
tidak termasik dalam daftar narkotika, psikotropika, obat keras, dan obat bebas terbatas,
dan sudah terdaftar di Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Obat bebas disebut juga
obat OTC (Over The Counter).
Obat bebas dapat dijual bebas di warung kelontong, toko obat berizin, supermarket serta
apotek. Dalam pemakaiannya, penderita dapat membeli dalam jumlah sangat sedikit saat
obat diperlukan, jenis zat aktif pada obat golongan ini relatif aman sehingga pemakaiannnya
tidak memerlukan pengawasan tenaga medis selama diminum sesuai petunjuk yang tertera
pada kemasan obat. Oleh karena itu, sebaiknya obat golongan ini tetap dibeli dengan
kemasnnya.
Penandaan obat bebas diatur berdasarkan S.K MenKes RI Nomor 2380/A/SK/VI/1983
tentang tanda khusus untuk obat bebas dan obat bebas terbatas. Tanda khusus untuk obat
bebas yaitu bulatan berwarna hijau dengan garis tepi warna hitam.
2. Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat
dijual dan dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Obat
bebas terbatas atau obat yang termasuk dalam daftar “W”, Menurut bahasa belanda “W”
singkatan dari “Waarschuwing” artinya peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket
obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.
Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa empat
persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima) sentimeter, lebar 2 (dua)
sentimeter dan memuat pemberitahuan berwarna putih.
Seharusnya obat jenis ini hanya dijual bebas di toko obat berizin (dipegang seorang asisten
apoteker) serta apotek (yang hanya boleh beroperasi jika ada apoteker (No Pharmacist No
Service), karena diharapkan pasien memperoleh informasi obat yang memadai saat membeli
obat bebas terbatas.
3. Obat Keras
Obat keras disebut juga obat daftar “G”, yang diambil dari bahasa Belanda. “G” merupakan
singkatan dari “Gevaarlijk” artinya berbahaya, maksudnya obat dalam golongan ini
berbahaya jika pemakainnya tidak berdasarkan resep dokter.
Golongan obat yang hanya boleh diberikan atas resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan
ditandai dengan tanda lingkaran merah dan terdapat huruf K di dalamnya. Yang termasuk
golongan ini adalah beberapa obat generik dan Obat Wajib Apotek (OWA). Juga termasuk di
dalamnya narkotika dan psikotropika tergolong obat keras.
Berdasarkan Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No. 02396/A/SK/VIII/1986
tentang tanda khusus obat keras Daftar “G” adalah “Lingkaran bulat berwarna merah
dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi”.
4. Obat Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah atau sintetis, bukan narkotik yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada SSP (Susunan Saraf Pusat) yang menyebabkan
perubahan khas pada aktifitas mental dan prilaku.
Untuk penandaan psikotropika sama dengan penandaan untuk obat keras, hal ini sebelum
diundangkannya UU RI No. 5 Tahun 1997 tentang psikotropika, maka obat-obat psikotropika
termasuk obat keras yang pengaturannya ada di bawah ordonansi.
Sehingga untuk psikotropika penandaanya: lingkaran bulat berwarna merah, dengan huruf K
berwarna hitam yang menyentuh garis tepi yang berwarna hitam.
D. Obat-obat Non-terapeutik
1. Penyalahgunaan Obat (Drug Abuse)
Di Amerika Serikat, istilah medis drug abuse (penyalahgunaan obat) diartikan sebagai
penyelewengan fungsi dan maladaptasi, bukan ketergantungan yang disebabkan oleh
penggunaan obat. Dalam bahasa sehari-hari, penyalahgunaan obat (drug abuse) sering
diartikan sebagai penggunaan obat ilegal untuk coba-coba dan untuk kesenangan
penggunaan obat-obatan resmi untuk mengatasi masalah atau gejala tanpa resep dari
dokter, dan penggunaan obat yang berakibat ketergantungan. Penyalahgunaan zat atau
bahan lainnya (NAPZA) yaitu penggunaan zat/obat yang dapat menyebabkan
ketergantungan dan efek non-terapeutik atau non-medis pada individu sendiri sehingga
menimbulkan masalah pada kesehatan fisik / mental, atau kesejahteraan orang lain. NAPZA
adalah bahan/zat yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan /psikologi seseorang
(pikiran,perasaan, perilaku) serta dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi.
Intoksikasi obat adalah perubahan fungsi-fungsi fisiologis, psikologis, emosi, kecerdasan, dan
lain-lain akibat penggunaan dosis obat yang berlebihan. Penyalahgunaan zat adiktif adalah
suatu pola penggunaan yang bersifat patologis, yang menyebabkan remaja mengalami sakit
yang cukup berat dan berbagai macam kesulitan, tetapi tidak mampu menghentikannya.
Ketergantungan zat adiktif adalah suatu kondisi cukup berat ditandai dengan adanya
ketergantungn fisik yaitu toleransi dan sindroma putus zat. Gangguan penggunaan zat adiktif
adalah suatu penyimpangan perilaku yang disebabkan oleh penggunaan zat adiktif yang
bekerja pada susunan saraf pusat yang mempengaruhi tingkah laku, memori alam perasaan,
proses pikir anak dan remaja sehingga mengganggu fungsi social dan pendidikannya.
Gangguan penggunaan zat ini terdiri dari : penyalahgunaan dan ketergantungan zat.
2. Psikotropika
Psikotropika adalah merupakan suatu zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Menurut UU RI No 5 / 1997 adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada SSP yang
menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku.
Golongan I : Ektasi
Golongan II : Amfetamin, metilfenidat atau ritalin
Golongan III : Fentobarbital, flunitrazepam
Golongan IV : Diazepam, klordiazepoxide, nitrazepam ( pil BK, pil koplo)
Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan
digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu:
1. Psikotropika golongan I : yaitu psikotropika yang tidak digunakan untuk tujuan
pengobatan dengan potensi ketergantungan yang sangat kuat
2. Psikotropika golongan II : yaitu psikotropika yang berkhasiat terapi tetapi dapat
menimbulkan ketergantungan.
3. Psikotropika golongan III : yaitu psikotropika dengan efek ketergantungannya sedang
dari kelompok hipnotik sedatif.
4. Psikotropika golongan IV : yaitu psikotropika yang efek ketergantungannya ringan. 1.
Zat adiktif Bahan / zat yang berpengaruh psikoaktif diluar Narkotika dan Psikotropika.
- Minuman beralkohol,
- Inhalasi ( gas yang dihirup ) dan solven ( zat pelarut ) mudah menguap
- Tembakau/rokok
2. Ketergantungan/Kecanduan Obat
Kata ketergantungan dan kecanduan sering digunakan secara bergantian, tetapi ada
perbedaan penting di antara keduanya. Dalam istilah medis, ketergantungan secara
khusus mengacu pada kondisi fisik tubuh yang telah beradaptasi dengan kehadiran obat.
Jika seorang yang ketergantungan obat berhenti mengonsumsi suatu obat secara tiba-
tiba, orang itu akan mengalami gejala yang dapat diprediksi dan terukur, yang dikenal
sebagai sindrom penarikan.
Ini dilakukan supaya tubuh bisa menyesuaikan diri dan mendapatkan keseimbangannya
kembali. Untuk pasien yang telah mengembangkan ketergantungan sebagai efek
samping dari konsumsi obat yang dibutuhkan (misalnya, obat penghilang rasa sakit
opioid), dokter dapat menggunakan metode tapering (perlahan-lahan mengurangi dosis
obat dari waktu ke waktu).
Hampir semua obat yang bersifat adiktif secara langsung atau tidak langsung
mengaktifkan area otak nucleus accumbens. Area otak ini biasanya dirangsang oleh
kegiatan yang berhubungan dengan kelangsungan hidup seperti makan dan
berhubungan intim. Makanya bagi seseorang yang kecanduan, memperoleh dan
mengonsumsi obat tertentu dapat benar-benar terasa seperti masalah hidup dan mati.
Obat-obatan adiktif merangsang jalur kesenangan dan motivasi di otak jauh lebih kuat
ketimbang ketika itu terjadi secara alami. Karenanya paparan berulang terhadap obat-
obatan ini dapat membodohi otak untuk memprioritaskan pengambilan obat pada
aktivitas normal dan sehat.
Efek obat adiktif membuat pengidapnya kehilangan kemampuan untuk membatasi atau
menghentikan penggunaan narkoba dan dorongan yang tak tertahankan untuk terus
mencari dan mengambil obat meskipun konsekuensinya sangat buruk.
Orang-orang yang kecanduan alkohol, misalnya, akan memiliki dorongan yang sangat
kuat untuk minum alkohol sesegera mungkin. Bahkan dorongan untuk minum ini
membuatnya rela melakukan apa saja sampai sesuatu yang melanggar hukum.
Kondisi yang berbeda bila seseorang ketergantungan dengan kafein. Banyak orang yang
bergantung pada kafein dan mengalami gejala penarikan seperti sakit kepala, kelelahan,
dan kesulitan berkonsentrasi jika belum minum secangkir kopi.Tapi tidak peduli betapa
tidak menyenangkannya tanpa kafein, belum ada orang yang rela melakukan kejahatan
untuk mendapatkan espresso. Kecanduan dan ketergantungan, kedua hal ini hampir
sama, namun dipastikan risiko kecanduan lebih kompleks dan berbahaya ketimbang
ketergantungan.