Dibacakan pada :
Hari / Tanggal :
Jam :
Tempat :
SIMPATETIK OFTALMIA
SANDIYANTO
HAVRIZA VITRESIA
GETRY SUKMAWATI
BAB II
ETIOLOGI, PATOGENESIS, DAN MANIFESTASI KLINIS
1
Simpatetik oftalmia pertama kali diperkenalkan oleh Hippocrates lebih
dari 2000 tahun yang lalu dan beberapa kali dilaporkan pada abad ke-17 dan ke-
18. William Mackenzie pertama kali memperkenalkan istilah simpatetik oftalmia
untuk kelainan tersebut pada tahun 1840. Fuchs dan Dalen pada tahun 1905
menerangkan lebih detail mengenai kelainan histopatologi pada oftalmia
simpatika, mereka mendeskripsikan adanya infiltrasi ke traktus uvea, terutama
koroid, dan pembentukan nodul di bawah retinal pigment epithelium (RPE).
Nodul tersebut dinamakan nodul Dalen Fuchs.1,2,3
2.1 Etiologi
Etiologi pasti simpatetik oftalmia masih belum diketahui. Faktor
predisposisinya yaitu trauma penetrasi pada mata (70%) dan operasi intraokular
(30%). Tindakan operasi yang dapat menimbulkan simpatetik oftalmia seperti
vitrektomi pars plana, ekstraksi katarak, iridektomi, reposisi iris, operasi
glaukoma, dan lain-lain.6,7
2.2 Patogenesis
Pada pertengahan abad ke-19, Mackenzie dkk menemukan dari 6 orang
pasiennya yang mengalami trauma penetrasi pada mata terjadi reaksi inflamasi
berulang yang menyebabkan kebutaan pada kedua mata dan saat itu belum ada
terapi efektif untuk mengobatinya. Mackenzie kemudian mengajukan hipotesis
yang menyatakan penyebab timbulnya simpatetik oftalmia adalah sebagai hasil
dari reaksi inflamasi pada mata yang terkena trauma, disebarkan melalui nervus
optikus dan kiasma optikum ke mata kontralateral.2,3
Pada tahun 1989, Albert dkk menyatakan bahwa karena koroid tidak
memiliki pembuluh limfe, antigen dikeluarkan melalui sistem pembuluh darah.
Akan tetapi pada trauma penetrasi yang disertai prolap uvea, terbentuk akses
jaringan uvea ke pembuluh limfe konjungtiva yang kemudian sampai ke kelenjar
getah bening regional dan sampai ke organ limpa. Hal tersebut menimbulkan
reaksi sensitisasi terhadap antigen uveoretinal.8
Pada tahun 1910, Elschnig mengemukakan bahwa pigmen uvea diduga
merupakan suatu antigen. Trauma pada mata dapat menyebabkan absorbsi dan
2
penyebaran pigmen uvea yang akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada
mata tersebut. Proses penyerapan lebih lanjut terhadap pigmen uvea tersebut akan
menimbulkan reaksi inflamasi terhadap mata sebelahnya.8
Pada tahun 1971, ditemukan bahwa limfosit dari pasien dengan simpatetik
oftalmia memiliki respon terhadap jaringan retina dan uvea. Penelitian ini
menunjukkan adanya reaksi hipersensitivitas cell-mediated, yaitu infiltrasi
limfosit T pada jaringan okular (delayed hypersensitivity).9
Delayed hypersensitivity atau cell mediated hypersensitivity disebut juga
reaksi hipersensitivitas tipe IV (Gambar 1). Reaksi ini dimediasi oleh sel dan
melibatkan limfosit CD4+. Antigen berinteraksi dengan reseptor pada permukaan
limfosit T menyebabkan keluarnya sitokin. Antigen yang memprovokasi reaksi ini
dapat berupa mikroba, antigen transplantasi, atau autologus antigen. Sel utama
yang berperan pada reaksi ini adalah limfosit T. Sel T berperan pada proses
inflamasi, aktivasi makrofag dalam proses fagositosis, aktivasi dan proliferasi sel
B, serta pengenalan dan penghancuran sel yang terinfeksi.10
Melanin pada jaringan uvea dan retinal soluble antigen berperan sebagai
antigen. Retinal soluble antigen yang terletak di membran luar fotoreseptor
ditemukan pada tahun 1977 oleh Wacker dkk. Retinal S antigen tersebut sangat
uveitogenik dan dapat merangsang autoimun T-cell-mediated.9
Pada trauma non perforasi, antigen di okular normalnya hanya berada di
dalam mata karena dibatasi oleh blood retinal barrier sehingga mencegah
terdeteksinya antigen ini oleh sistem imun sistemik. Akan tetapi, pada trauma
3
perforasi atau operasi intraokular, barrier ini mengalami gangguan dan antigen
okular masuk ke sistemik. Adanya kerusakan jaringan akan merangsang antigen
presenting cells (APC) dan akan memfagosit antigen okular tersebut serta
mengubahnya menjadi fragmen peptida. Sel T akan mengenali peptida ini. Pada
kondisi normal, antigen okular yang tetap berada di dalam mata tidak akan
dikenali oleh sel T. Sel T-teraktivasi dapat keluar dari sirkulasi darah menuju
jaringan yang inflamasi dengan cara melewati bloor retinal barrier dan merespon
terhadap antigen okular. Inflamasi yang terjadi akan terus mendatangkan sel T
melebihi status immune privilege mata dan menimbulkan kerusakan yang lebih
besar. Sel T yang spesifik terhadap antigen okular yang awalnya berasal dari
exciting eye sekarang dapat melewati blood retinal barrier pada sympathizing
eye.8
4
Gambar 3. Nodul Dalen Fuchs di midperifer pada simpatetik oftalmia1
Gambaran histopatologis utama pada simpatetik oftalmia berupa
inflamasi granulomatosus non-necrotizing yang difus di jaringan uvea. Koroid
tampak menebal dan diinfiltrasi oleh limfosit, makrofag, sel epitelioid, dan giant
cells (Gambar 4). Gambaran histopatologis lain yang juga dapat ditemukan yaitu
ketidakterlibatan retina dan koriokapilaris pada proses inflamasi ini serta
pembentukan nodul Dalen-Fuchs (Gambar 5). Nodul Dalen Fuchs didominasi
oleh limfosit, beberapa sel epitelioid, serta sedikit giant cells dan sel plasma.
Nodul Dalen Fuchs terletak di antara RPE dan membrana Bruch.1,9
Gambar 5. Sel epitelioid yang mengandung pigmen pada nodul Dalen Fuchs
(panah)1
Reynard dkk (1985) membagi lesi pada level RPE menjadi tiga tipe,
yaitu : 12
1. Tipe 1, berupa hiperplasia fokal dan penumpukan sel RPE (Gambar 6)
5
Gambar 6. Hiperplasia fokal dan penumpukan sel RPE12
2. Tipe 2, berupa tumpukan sel epiteloid yang dilapisi oleh RPE (Gambar 7)
3. Tipe 3, berupa nodul Dalen Fuchs dengan RPE yang sudah berdegenerasi
(Gambar 8)
6
BAB III
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
3.1 Diagnosis
Diagnosis simpatetik oftalmia terutama didapatkan dari riwayat trauma
pada mata dan gambaran klinis pasien. Onset dari penyakit ini sering tidak
disadari oleh pasien dan sifat perjalanan penyakitnya lambat. Periode laten
penyakit ini biasanya antara 2 minggu sampai 3 bulan. Mata dengan riwayat
trauma dapat sangat nyeri dan silau, serta terjadi penurunan tajam penglihatan.
Mata kontralateral (tanpa riwayat trauma) juga mengalami hal yang sama. Pada
pemeriksaan okular, didapatkan adanya panuveitis bilateral yang dapat asimetris,
dengan reaksi inflamasi lebih berat pada mata yang terkena trauma.1,2,11
7
merupakan suatu kelainan multisistemik yang jarang ditemukan dan diduga
etiologinya berupa proses autoimun.1
VKH lebih sering ditemukan pada etnis berpigmen gelap, misalnya Asia,
India, Hispanik, dan Indian, jarang ditemukan pada etnis Kaukasia. Insiden VKH
di Amerika Serikat sekitar 1-4% dari semua kasus uveitis, sedangkan di Jepang
sekitar 8%. Wanita lebih sering menderita VKH daripada laki-laki.1
Etiologi dan patogenesis pasti VKH masih belum diketahui. Diperkirakan
berhubungan dengan proses autoimun cell-mediated yang dipengaruhi oleh
limfosit T. Autoantigennya yaitu melanosit. Proses perubahan melanosit ini
menjadi antigen diduga dipengaruhi oleh adanya luka di kulit atau infeksi virus.
Protein tirosinase pada melanosit diduga berperan sebagai target antigen. Selain
cell-mediated pada VKH, ditemukan juga adanya keterlibatan imunitas humoral
yang tidak ditemui pada simpatetik oftalmia, yaitu dengan ditemukannya sel
plasma dan limfosit B pada mata.1,9
Pasien dengan VKH tidak memiliki riwayat trauma ataupun operasi
intraokular. Diagnosis VKH dibuat berdasarkan temuan klinis. Karakteristiknya
berupa panuveitis, granulomatous, kronik, bilateral dan difus dengan atau tanpa
manifestasi ekstraokular berupa kelainan pada kulit, saraf, dan pendengaran.
Nodul Dalen Fuchs juga dapat ditemukan pada VKH (Gambar 7) tetapi secara
histopatologis, nodul Dalen Fuchs pada VKH memiliki jumlah sel plasma yang
lebih banyak. Pada VKH juga lebih sering ditemukan keterlibatan pada
koriokapilaris. Depigmentasi (alopesia, poliosis, vitiligo) merupakan manifestasi
lanjut pada kasus VKH, sebaliknya depigmentasi jarang ditemukan pada kasus
simpatetik oftalmia. 1,2
8
Pada VKH stadium akut, diberikan terapi kortikosteroid topikal dan
sistemik serta sikloplegik. Dosis awal prednison oral 1-1,5 mg/kg/hari atau
metilprednisolon intravena 200mg selama 3 hari dan diikuti dengan kortikosteroid
oral. Kortikosteroid sistemik biasanya diberikan lebih dari 6 bulan untuk
mencegah munculnya stadium kronik rekuren dan mengurangi munculnya
manifestasi ekstraokular pada stadium konvalesen.1
BAB IV
PENATALAKSANAAN DAN PROGNOSIS
4.1.1 Kortikosteroid
Uveitis merupakan suatu reaksi inflamasi. Pada reaksi inflamasi, fosfolipid
diubah menjadi asam arakidonat. Asam arakidonat kemudian diubah menjadi
prostaglandin. Kortikosteroid berperan dalam menghambat pembentukan asam
arakidonat. Penggunaan kortikosteroid untuk terapi inflamasi okular pertama kali
dideskripsikan pada awal tahun 1950-an. Kortikosteroid tidak dapat
menghilangkan penyebab inflamasi.13,14
Terapi primer pada simpatetik oftalmia adalah kortikosteroid dosis tinggi
(misal prednison 1-1.5 mg/kgBB/hari) selama minimal 3 bulan. Bila efektif dalam
menurunkan inflamasi dan memperbaiki tajam penglihatan, pemberian
kortikosteroid dilanjutkan dengan dosis tappering dan terapi maintenance selama
9
6-12 bulan setelah resolusi. Tujuan terapi adalah untuk menekan reaksi inflamasi
sesegera mungkin.2
Selain diberikan secara oral, kortikosteroid juga dapat diberikan melalui
intravena. Gupta dan kawan-kawan (2011) memberikan terapi metilprednisolon
dengan dosis 30 mg/kg selama 3 hari dan diikuti dengan prednison oral 50
mg/hari, siklosporin 60 mg 2 x sehari (5 mg/kg), dan metotreksat 12,5 mg/minggu
pada seorang anak umur 7 tahun yang mata kanannya terkena anak panah 2 bulan
sebelumnya.15
Terapi kortikosteroid sistemik dan topikal diketahui dapat memperbaiki
penglihatan pasien dan menurunkan risiko relaps pada simpatetik oftalmia. Dosis
tinggi kortikosteroid diberikan selama beberapa hari sampai penyakit ini dapat
dikontrol. Akan tetapi, pemberian kortikosteroid sebagai profilak tidak dapat
mencegah perkembangan simpatetik oftalmia.9
Sayangnya, pemberian kortikosteroid sistemik dan topikal tidak dapat
mencapai dosis terapeutik yang optimal di segmen posterior mata karena harus
melewati blood retina barrier. Pemberian kortikosteroid intravitreal merupakan
alternatif yang berguna untuk mencapai dosis terapeutik di segmen posterior mata
tapi harus diulangi setiap beberapa minggu. Karena hal itulah, mulai
dikembangkan implan kortikosteroid intraokular.16,17
FDA menyetujui penggunaan implan fluocinolone acetonide 0.59 mg
(Retisert) pada tahun 2005 untuk pengobatan uveitis posterior non infeksi
(Gambar 9). Dengan demikian, penggunaan kortikosteroid sistemik dapat
dikurangi sehingga efek sampingnya dapat dihindari. Pada tahun 2009, FDA
menyetujui penggunaan implan deksametason 0.7 mg (Ozurdex) untuk
pengobatan uveitis posterior non infeksi.18,19
Arcinue dkk (2013) membandingkan efektivitas antara Retisert dengan
Ozurdex, didapatkan bahwa kedua implan ini sama-sama efektif dalam
mengontrol dan mencegah rekurensi uveitis non infeksi serta sama-sama dapat
memperbaiki tajam penglihatan. Walaupun demikan, Retisert dan Ozurdex
masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan.2
10
Gambar 9. Implan Retisert bila dibandingkan dengan ujung pensil19
Berger menggunakan implan Retisert pada pasien yang telah menjalani
injeksi kortikosteroid intravitreal sebanyak 6x dengan selang waktu beberapa
bulan. Tidak didapatkan adanya rekurensi selama 2 tahun follow up. Tajam
penglihatan membaik dari 20/40 menjadi 20/20.21
11
Siklosporin merupakan suatu inhibitor sinyal sel T, suatu makrolida yang
dihasilkan oleh jamur Beauveria nivea, dapat mengurangi aktivitas dan
pertumbuhan sel T yang akhirnya akan menurunkan respon imun. Efek
imunomodulator pada siklosporin pertama kali ditemukan pada tahun 1972 oleh
Hartmann F. Stahelin. Siklosporin awalnya diberikan pada pasien transplantasi
organ untuk mencegah reaksi penolakan.1
Siklosporin berikatan dengan protein sitosolik (siklofilin) dari limfosit
terutama sel T. Kompleks siklosporin dan siklofilin ini akan menghambat
kalsineurin yang dalam kondisi normal bertanggung jawab untuk aktivasi
transkripsi interleukin-2. Pada sel T, aktivasi reseptor sel T normalnya akan
meningkatkan kalsium intraselular yang akan mengaktivasi kalsineurin.
Kalsineurin kemudian akan mengalami defosforilasi dan mengaktifkan sel T dan
meningkatkan aktivitas gen untuk sitokin, terutama interleukin-2. Sitokin
merupakan protein yang dihasilkan sistem imun yang berperan sebagai mediator
untuk mengatur interaksi antar sel dan memicu sistem imun. Interleukin-2
merupakan sitokin yang berperan sebagai faktor pertumbuhan untuk sel T.
Siklosporin mencegah proses defosforilasi sel T dengan mengikat siklofilin serta
menghambat produksi limfokin dan pelepasan interleukin sehingga fungsi sel T
berkurang.1
Kortikosteroid juga dapat diberikan secara kombinasi dengan siklosporin.
Pada mata dengan simpatetik oftalmia ditemukan banyak sel T yang teraktivasi
maka siklosporin yang dapat menghambat fungsi sel T, efektif sebagai terapi
simpatetik oftalmia. Dosis kombinasi yang dianjurkan yaitu siklosporin 3-5
mg/kgBB/hari + prednison 15-20 mg/hari.22,23
Gupta dan kawan-kawan (2011) memberikan terapi metilprednisolon
dengan dosis 30 mg/kg selama 3 hari dan diikuti dengan prednison oral 50
mg/hari, siklosporin 60 mg 2xsehari (5mg/kg), dan metotreksat 12,5 mg/minggu
pada seorang anak umur 7 tahun yang mata kanannya terkena anak panah 2 bulan
sebelumnya.15
4.1.3 Sikloplegik
12
Sikloplegik merupakan obat parasimpatolitik yang bekerja dengan
menghambat sfingter iris dan otot siliaris. Sikloplegik menyebabkan dilatasi pupil
dan paralisis fungsi akomodatif. Sikloplegik topikal berguna untuk melepaskan
atau mencegah terbentuknya sinekia posterior dan mengurangi fotofobia karena
spasme iris.1,14
4.2 Enukleasi
Penatalaksanaan yang efektif terhadap simpatetik oftalmia adalah dengan
mencegah kemunculannya, yaitu dengan membersihkan luka secara hati-hati dan
menutup semua luka penetrasi. Segala usaha harus dilakukan untuk
menyelamatkan mata yang masih memiliki prognosis penglihatan yang berguna,
tetapi pada mata yang tidak ada lagi fungsi penglihatannya, dan dengan kerusakan
okular yang berat, dianjurkan untuk dilakukan enukleasi sebelum 2 minggu
setelah trauma. Enukleasi merupakan suatu cara untuk mencegah timbulnya
simpatetik oftalmia. Tindakan enukleasi dalam 2 minggu setelah munculnya
inflamasi dapat mengurangi proses inflamasi dan kemungkinan besar akan
memperbaiki visus pada mata sebelahnya. Bila mata yang terkena trauma masih
mempunyai tajam penglihatan yang masih berguna, enukleasi dini tidak
direkomendasikan.16
Demissie (2014) melakukan enukleasi pada mata kanan dengan ptisis
bulbi akibat trauma 5 bulan setelah trauma dengan tetap meneruskan
kortikosteroid sistemik dengan dosis tapering dan disertai kortikosteroid topikal.
Tiga bulan kemudian didapatkan perbaikan inflamasi pada mata kiri dan
perbaikan tajam penglihatan dari 1/300 menjadi 6/36.11
Gupta dan kawan-kawan (2011) melakukan enukleasi pada mata kanan
yang terkena anak panah 2 bulan sebelumnya dengan tetap melakukan pemberian
kortikosteroid sistemik yang dikombinasi dengan obat imunomodulator. Akan
tetapi, inflamasi masih tetap berulang.15
4.3 Prognosis
Simpatetik oftalmia merupakan penyakit yang serius karena dapat
menyebabkan kebutaan bila tidak diobati. Bila diobati lebih cepat dan dengan
terapi yang tepat, pasien dengan simpatetik oftalmia mempunyai kesempatan
13
untuk memiliki tajam penglihatan yang baik, terutama dengan adanya obat
kortikosteroid dan obat imunomodulator.2
Hakin dan kawan-kawan (1992) mendapatkan bahwa 10 dari 18 pasien
simpatetik oftalmia (55.56%) memiliki tajam penglihatan 6/9 atau lebih baik pada
sympathizing eye. Kilmartin dan kawan-kawan (2000) menemukan bahwa dengan
pengobatan yang tepat, tajam penglihatan pasien simpatetik oftalmia dapat
membaik setelah 1 tahun. 12 dari 16 pasien (75%) mempunyai tajam penglihatan
6/12 atau lebih baik. 7 pasien (44%) mengalami perbaikan tajam penglihatan
minimal 2 baris Snellen.4,19
BAB V
KESIMPULAN
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Skuta GL, Cantor LB, & Weiss JS. Basic and Clinical Course Section 9 :
Intraocular Inflammation and Uveitis. San Fransisco : American Academy of
Ophthalmology; 2013.p.178-183.
2. Power WJ. Sympathetic Ophthalmia. Dalam : Diagnosis and Treatment of
Uveitis. Philadelphia : W.B.Saunders Company; 2002.p.742-6.
3. Chu XK, Chan C. Sympathetic Ophthalmia : To The Twenty-First Century
And Beyond. Journal Of Ophthalmic Inflammation And Infection 2013;3:
p.49
4. Kilmartin DJ, Dick AD, Forrester JV. Prospective Surveillance Of
Sympathetic Ophthalmia In The UK And Republic Of Ireland. British
Journal Ophthalmology 2000;84: pp.259-263.
5. Trattler WB, Kaiser PK, Friedman NJ. Review Of Ophthalmology 2nd
Edition. Philadelphia : Elsevier Saunders; 2012.p.245
6. Rao NA. Sympathetic Ophthalmia. Dalam : Ryan SJ (eds.) Retina Volume 2.
Missouri : C.V.Mosby Company; 2006.pp.1821-1826.
7. McNew K. Sympathetic Ophthalmia. Journal Of Ophthalmic Medical
Technology [Online]. Diambil dari : http://www.JOMTonline.com [diakses
17 Desember 2014]
15
8. Arevalo JF, Garcia RA, Al-Dhibi HA, Sanchez JG, Suarez-Tata L. Update On
Sympathetic Ophthalmia. Middle East African Journal Of Ophthalmology
2012;19(1): pp.13-20.
9. Chan C, Whitcup SM, & Nussenblatt RB. Sympathetic Ophthalmia And Vogt
Koyanagi Harada Syndrome. [Online]. Diambil dari :
http://80.36.73.149/almacen/medicina/oftalmologia/enciclopedias/duane/page
s/v4/v4c051.html [diakses 17 Desember 2014]
10. Skuta GL, Cantor LB, & Weiss JS. Basic and Clinical Course Section 8 :
External Disease And Cornea. San Fransisco : American Academy of
Ophthalmology;2013.pp.178-180.
11. Demissie BS. Sympathetic Ophthalmia. Advances In Ophthalmology &
Visual System 2014;1(1): p.4
12. Reynard M, Riffenburgh RS, Minckler DS. Morphological Variation Of
Dalen Fuchs Nodules In Sympathetic Ophthalmia. British Journal Of
Ophthalmology 1985;69: pp.197-201.
13. Sarao V, Veritti D, Boscia F, Lanzetta P. Intravitreal Steroid. Scientific World
Journal [Online] 2014. Diambil dari :
http://www.hindawi.com/journals/tswj/2014/989501/ [diakses 22 Desember
2014]
14. Duvall B, Kershner R. Ophthalmic Medications And Pharmacology 2nd
Edition. SLACK Incorporated.pp.53-61.
15. Gupta SR, Phan IT, Suhler EB. Successful Treatment Of Refractory
Sympathetic Ophthalmia In A Child. Arch Ophthalmology 2011;129(2):
pp.250-251.
16. Phan LT, Hwang TN, McCulley. Evisceration In The Modern Age. Middle
East Africa Journal Ophthalmology 2012;19(1): pp.24-33.
17. Hazirolan D & Pleyer U. Think Global – Act Local : Intravitreal Drug
Delivery Systems In Chronic Noninfectious Uveitis. Ophthalmic Research
2013;49: pp.59-65.
18. Nentwich MM, Ulbig MW. Therapeutic Potential Of Intraocular Depot
Steroid Systems. Deutsches Arzteblatt International 2012;109(37): pp.584-
590.
16
19. Brumm MV, Nguyen QD. Fluocinolone Acetonide Intravitreal Sustained
Release Device – A New Addition To The Armamentarium Of Uveitic
Management. International Journal Of Nanomedicine 2007:2(I): pp.55-64.
20. Arcinue CA, Ceron OM, Foster CS. A Comparison Between The
Fluocinolone Acetonide (Retisert) And Dexamethasone (Ozurdex)
Intravitreal Implants in Uveitis. Journal Of Ocular Pharmacology And
Therapeutics 2013;29(5): pp.501-506.
21. Berger BB. Fluocinolone Implant For Idiopathic Non-Infectious Posterior
Uveitis. [Online]. 2012. Diambil dari :
http://www.retinalphysician.com/articleviewer.aspx?articleID=107063
[diakses 20 Desember 2014]
22. Hakin KN, Pearson V, & Lightman SL. Sympathetic Ophthalmia: Visual
Result With Modern Immunosuppresive Therapy. Eye 1992;6: pp.453-455.
23. Kapoor R, Sharma AK, Bhardwaj S. Sympathetic Ophthalmia Management
And Role Of Immunosuppressants. JK Science 2000;2(2): pp.99-101.
17