Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa hingga terdapat perbedaan


antara uveitis pada anak dan uveitis pada dewasa. Pertimbangan khusus dan
beberapa modifikasi diperlukan dalam pendekatan terhadap uveitis pada anak.(1)
Anak-anak dengan uveitis memiliki tantangan diagnostik dan terapi yang unik.
Pasien usia muda sering tidak mampu menyatakan riwayat penyakit yang akurat
atau menggambarkan onset dan keluhan gejala visual mereka.(2) Semua ini dapat
menyebabkan keterlambatan diagnosa. Keterlambatan diagnosa uveitis pada anak
menyebabkan prevalensi kehilangan penglihatan lebih tinggi pada pasien anak
dibandingkan dengan pada pasien dewasa.(3)

Selain itu, pemeriksaan mata lengkap pada pasien yang sangat muda lebih
sulit untuk dilakukan. Dibutuhkan hubungan yang baik antara si anak,
orangtuanya, dan dokter untuk mendapatkan pemeriksaan mata yang baik.
Pemeriksaan menjadi sulit dan sering mengharuskan untuk pemeriksaan di bawah
anestesi pada pasien yang tidak kooperatif. (4,5) Tantangan terapi juga ada ketika
merawat penyakit pada anak. Kepatuhan pemakaian obat secara oral dan tetes
mata dapat jauh lebih rendah pada anak.(3)

Inflamasi okuler akut dan kronis dapat memberi beban yang berat pada
pasien anak, baik karena respons imun yang berat serta potensi kerusakan akibat
inflamasi di masa mendatang. Selain itu, pengendalian inflamasi dapat lebih sulit
pada pasien anak, yang dapat memunculkan komplikasi yang mengancam
penglihatan. Anak-anak memiliki komplikasi uveitis yang unik yang tidak
dijumpai pada dewasa, seperti resiko timbulnya ambliopia, di mana menyebabkan
gangguan penglihatan ireversibel yang terjadi lama setelah inflamasi dapat
terkontrol. Selain itu, operasi membawa risiko tambahan pada anak dibandingkan
dengan dewasa, baik karena anak cenderung untuk lebih memiliki inflamasi
setelah prosedur bedah dibanding dewasa.(1,2)

1
Terapi kortikosteroid dan imunomodulator jangka panjang pada anak
menciptakan efek samping yang berpotensi mengancam kehidupan dengan risiko
tambahan keterlambatan pertumbuhan dan gangguan perkembangan. Masalah
yang unik ini dapat menunda atau menghambat pengobatan lebih lanjut. (3) Anak
lebih rentan dan memiliki efek samping sistemik yang berbeda dengan dewasa.
Misalnya, gangguan pertumbuhan akibat kortikosteroid pada anak praremaja serta
meningkatnya kecenderungan kortikosteroid untuk menginduksi peningkatan
tekanan intra okuler dan katarak. Kondisi ini menyebabkan munculnya pemakaian
corticosteroid-sparing agents seperti methotrexate.(6)

Uveitis pada anak memiliki insidens dan prevalensi yang jauh lebih rendah
dari pada dewasa. Uveitis dalam kelompok usia ini dengan insidens 4,3 hingga 6
dalam 100.000 penduduk (di Amerika Serikat dan Inggris). Prevalensi sekitar 30
kasus per 100.000. Kasus anak sekitar 5-10% dari semua kasus uveitis dalam
pelayanan kesehatan tersier. Secara historis, uveitis posterior menyumbang 40-
50% dari kasus uveitis pediatrik, 30-40% uveitis anterior, uveitis intermedia 20%,
dan 10% panuveitis. Namun, uveitis anterior merupakan bentuk yang paling
umum ditemukan pada hampir semua seri penelitian. Studi berdasarkan populasi
lainnya telah menunjukkan bahwa uveitis segmen anterior adalah lebih umum di
usia 0-7 tahun dan uveitis posterior lebih lazim di usia 8-15 tahun.(7,8,9)

2
BAB II

EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI

2.1. Epidemiologi

Uveitis pada anak adalah penyakit yang tidak umum. Sebuah survei
berbasis populasi yang dipublikasikan tahun 2000, dilakukan di Finlandia dan
menggunakan data dari tahun 1980-an, memperkirakan bahwa kejadian uveitis
pada anak usia <16 tahun adalah 4,3 per 100 000 orang per tahun. Ini secara
signifikan lebih rendah dari tingkat kejadian 27,2 per 100 000 orang per tahun
yang diukur untuk orang dewasa selama periode yang sama. Studi berbasis
populasi lainnya, dilakukan dalam dekade beberapa sebelumnya di Amerika
Serikat, memberikan hasil yang hampir sama, dilaporkan kejadian uveitis menjadi
6 per 100 000 orang berusia ≤ 14 tahun per tahun. Studi yang dilakukan di India
pada 1990-an, menunjukkan prevalensi relatif tinggi uveitis anak di negara
berkembang, namun juga melaporkan prevalensi penyakit ini lebih tinggi secara
keseluruhan.(10)

Telaah komprehensif terhadap survei berbasis populasi dan berbasis klinik


oleh Cunningham mendukung kesimpulan bahwa uveitis pada anak relatif kurang
umum dibandingkan dewasa, dan memperkirakan bahwa sekitar 5 sampai 10%
dari pasien yang dirawat di pusat rujukan untuk uveitis adalah anak-anak. Dalam
semua inflamasi intraokuler pada anak, uveitis anterior 30-40%, uveitis posterior
40-50%, uveitis intermedia 10-20%, dan panuveitis 5-10%. Penyebab paling
umum dari uveitis anterior adalah Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) / Juvenile
Rheumatoid Arthritis (JRA), sedangkan jenis uveitis posterior yang paling sering
berupa Toksoplasma. Sebagian besar kasus uveitis intermedia dan panuveitis,
bersifat bilateral, kronis, dan idiopatik. Penyebab kehilangan penglihatan paling
umum akibat uveitis pada anak adalah katarak, band keratopathy, dan glaukoma.
Sampai sepertiga dari kasus uveitis pada anak mengalami gangguan penglihatan
hebat sebagai akibat dari komplikasi.(2,10)

3
Tabel 1. Prevalensi dan Pola Uveitis Anak Hasil Penelitian Berbasis Klinis
(Penelitian-penelitian yang dipublikasikan sebelum tahun 2000) (dikutip dari 2)

Pada penelitian lain oleh Janine A. Smith dan rekan-rekan tahun 2009
yang meneliti uveitis pada anak dengan setting klinis menunjukkan bahwa
penyebab terbanyak adalah idiopatik, JIA/JRA, dan Toksoplasma.(11)

Tabel 2. Perbandingan Distribusi Etiologi Uveitis dan Lokasi Anatomis


(Penelitian-penelitian Uveitis Anak yang dipublikasikan setelah tahun 2000) (dikutip
dari 11)

2.2. Etiologi

Secara umum, etiologi dari uveitis pada anak mirip dengan yang pada
dewasa dengan pengecualian dari penyebab sistemik. Secara umum, uveitis
idiopatik adalah penyebab paling umum dari uveitis pada anak (6,2 % - 59 %),
namun penyebab paling umum yang dapat diidentifikasi uveitis pada dewasa dan
anak-anak bervariasi. Pada dewasa, penyebab uveitis yang diidentifikasi paling
umum adalah HLA-B27 associated spondiloartropathy, sementara pada anak

4
penyebab diidentifikasi paling umum adalah JIA/JRA. JIA/JRA adalah penyakit
sistemik terkait yang paling sering, sekitar 40% dari semua kasus uveitis pada
anak dan 80% dari uveitis anterior pada anak.(2,7)

Bentuk uveitis endogen yang paling sering pada anak adalah JIA/JRA.
Penyebab paling umum dari uveitis anterior infeksius pada anak adalah herpes,
sedangkan Toksoplasma adalah bentuk uveitis posterior infeksius yang paling
sering.(2)

Diagnosa diferensial etiologi uveitis pada anak berbeda dengan pada


dewasa. Menariknya, ketika diagnosa uveitis-nya sama, gejala penyakit dan / atau
perjalanannya, mungkin berbeda untuk anak dibandingkan dengan dewasa.
Keganasan mungkin meniru uveitis pada anak termasuk yang terjadi pada
retinoblastoma dan leukemia, perlu dipikirkan diagnosa Sindroma Masquerade.(6)

5
BAB III

DIAGNOSA, GAMBARAN KLINIS, DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

3.1. Diagnosa

Evaluasi yang khusus dibuat dengan memperhatikan efektifitas biaya,


digunakan untuk memproses perbedaan parameter yang ada. Suatu metode
pendekatan langsung dan logis untuk evaluasi uveitis pada anak disebut ”Seven-
Step Method” diajukan dalam buku “The Challenges of Pediatric Uveitis” (2009):
(3)

1. Evaluasi Klinis: Pengumpulan data

Evaluasi klinis menjadi langkah pertama dalam mengevaluasi pasien


uveitis. Riwayat lengkap penyakit pasien adalah sangat penting. Pemeriksaan fisik
penting untuk menentukan lokasi anatomis uveitis. Harus dicari korelasi sistemik
yang ada. Masing-masing kategori ini dapat membantu menyempitkan diagnosa
diferensial.

2. Penamaan

Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik harus terorganisir secara


bijaksana untuk lanjut ke sebuah diagnosa diferensial. Penamaan dibuat dengan
menggunakan istilah medis untuk kemungkinan diskusi lebih lanjut dengan ahli
medis lainnya.

3. Meshing: Diagnosa banding berdasarkan peringkat probabilitas

Meshing adalah proses pencocokan temuan dalam kasus yang


bersangkutan dengan ciri penyakit tertentu. Dengan membandingkan parameter
pasien untuk menegakkan entitas uveitis, profil dimasukkan dalam diagnosa
diferensial awal dan kemudian digolongkan dalam urutan kemungkinan.

6
4. Pengujian di Ruang Periksa Dokter

Banyak tes diagnostik dan prosedur dapat dilakukan saat pasien di ruang
praktek dokter, sering kali selama kunjungan konsultasi awal.

5. Pengujian Laboratorium Spesifik dan Non-Spesifik

Bekerja dengan daftar kemungkinan diagnostik yang dihasilkan oleh


proses penamaan dan meshing, tes laboratorium dilakukan secara sistematis guna
mengevaluasi setiap kemungkinan diagnosa.

6. Konsultasi Spesialistik

Bantuan dari rekan-rekan di spesialisasi lainnya penting untuk standarisasi


perawatan.

7. Terapi Percobaan Klinis: Uji diagnosa dengan pengobatan yang tepat

Sering kali, suatu diagnosa dapat tegas ditegakkan hanya jika pasien
benar-benar merespon terapi medis tertentu, biasanya pada antibiotika.

Penegakan diagnosa yang benar adalah langkah pertama yang penting


dalam pengelolaan uveitis pada anak. Diagnosa memiliki implikasi untuk
pengobatan mata dan sistemik serta prognosa jangka panjang. Beberapa aspek
pemeriksaan mata anak bersifat unik. Sering kali, anamnesa dari pasien terbatas,
dan informasi tambahan dari orang tua mungkin sangat berguna. Selain itu,
kerjasama dari anak dalam pemeriksaan mata mungkin kurang baik. Tanda-tanda
kelainan mata mungkin sedikit pada uveitis tertentu, namun pengenalannya
mungkin penting untuk menegakkan diagnosa. Misalnya, pada uveitis terkait
dengan JRA, sejumlah kecil keratik presipitat halus dan sel pada akuos mungkin
menjadi satu-satunya tanda dari proses inflamasi kronis. Karena itu, dalam
beberapa kasus, pemeriksaan di bawah anestesi umum mungkin diperlukan untuk
menyelesaikan aspek penilaian. Pemeriksaan laboratorium yang sesuai dipilih atas
dasar riwayat dan pemeriksaan klinis, untuk mendukung atau menyingkirkan
diagnosa.(8)

7
3.2. Gambaran Klinis

Pada dewasa, gambaran yang paling umum dari uveitis adalah mata merah
akut yang menyakitkan, sedangkan pada anak adalah uveitis persisten kronis dan
dapat asimtomatik. Karena itu, diagnosa uveitis sering tertunda pada anak karena
tidak terdiagnosa atau salah diagnosa.(1)

Tabel 3. Diagnosa Diferensial Uveitis pada Anak (dikutip dari 12)

8
Berikut ini disajikan beberapa gambaran klinis uveitis yang banyak pada anak dan
sindroma Masquerade:

Uveitis Idiopatik

Sekitar 6% sampai 59% dari pasien yang awalnya didiagnosa dengan


uveitis anterior akut atau pun kronis, tidak ada hubungan dengan kondisi sistemik.
Kasus-kasus ini disebut idiopatik. Dalam kasus-kasus sisanya, diagnosa sistemik
tertentu dapat ditetapkan. Entitas ini termasuk kasus uveitis yang tidak memiliki
hubungan penyakit sistemik, tidak dapat dikenal sebagai salah satu dari beberapa
sindroma mata tertentu, dan bukan merupakan hasil dari infeksi atau sindroma
Masquerade. (13)

Uveitis terkait Juvenile Rheumatoid Arthritis

Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA), juga disebut Juvenile Chronic


Arthritis atau Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA), adalah penyebab paling umum
uveitis anterior pada anak. JRA mempengaruhi 60.000 sampai 120.000 anak-anak
di Amerika Serikat setiap tahun. Onset yang paling sering antara usia 2 dan 4
tahun; kondisi ini lebih sering terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-
laki dengan rasio 3:2. Uveitis terkait JRA terlihat di 20% dari semua pasien yang
didiagnosa dengan penyakit ini. Uveitis dalam kasus dengan JRA sering tanpa
gejala. Uveitis cenderung untuk berkembang setelah munculnya arthritis.(13)

JRA adalah sinovitis kronis yang secara karakteristik dibagi menjadi tiga
kelompok utama berdasarkan gambaran klinis: sistemik, polyarticular, dan
pauciarticular. JRA sistemik terlihat pada anak di bawah usia 5 tahun. Hal ini
ditandai dengan demam tinggi dengan salah satu dari tanda-tanda berikut:
limfadenopati, splenomegali, hepatomegali, perikarditis, atau transient
maculopapular rash pada tubuh dan tungkai. Arthralgia atau arthritis biasanya
absen atau pun minimal saat onset awal, dan pada pasien jarang muncul tanda-
tanda inflamasi mata.(13)

9
Pasien dalam kelompok polyarticular berkisar 40% dari semua kasus JRA.
Lima atau lebih sendi yang terkena selama 3 bulan pertama, lutut yang paling
sering terkena, diikuti oleh pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Kondisi ini
memiliki insiden 7% sampai 14% kemunculan uveitis.(13)

Bentuk pauciarticular dari JRA terlihat pada 40% dari pasien yang
terkena. Empat sendi atau lebih sedikit terpengaruhi, dengan lutut menjadi sendi
paling sering terlibat. Uveitis paling umum dalam kelompok ini, dengan kejadian
78% hingga 91%.(13,14)

Pars Planitis

Pars planitis adalah kondisi inflamasi idiopatik dengan uveitis yang


ditandai dengan infiltrasi sel inflamasi pada pars plana dan vitreus yang
berdekatan. Berkaitan dengan adanya inflamasi segmen anterior ringan, pars
planitis dianggap sebagai uveitis intermedia. Kelompok kerja Standardization of
Uveitis Nomenclature telah merekomendasikan bahwa istilah "pars planitis" atau
"sindroma pars planitis" disediakan untuk "subset dari uveitis intermedia terkait
dengan snowbank dan pembentukan snowball dimana tidak adanya hubungan
dengan infeksi atau penyakit sistemik". Karena itu, sebelum diagnosa pars planitis
dibuat, penyebab infeksi dan penyakit sistemik harus dikesampingkan. Pars
planitis merupakan suatu diagnosa eksklusi.(3)

Uveitis terkait Toksoplasmosis

Toksoplasmosis sistemik kongenital terjadi pada 1 dari setiap 10.000


kelahiran dan hadir dalam salah satu dari tiga bentuk. Bentuk pertama adalah
inaktif saat lahir dan tidak dikenal sampai inflamasi kemudian terlihat. Jenis yang
kedua adalah aktif saat lahir dan dikenali dengan kejang-kejang, kalsifikasi
intrakranial, dan khorioretinitis. Yang terakhir adalah tipe bentuk berulang yang
paralel dengan bentuk yang didapat.(13)

10
Ada lima jenis toksoplasmosis didapat: exanthematous,
meningoencephalitic, lymphadenopathic, influenzal, dan okuler. Toksoplasmosis
okuler dapat hadir sebagai papilitis, retinitis, dan iridosiklitis. Jenis ini merupakan
yang paling umum dari uveitis posterior pada anak, berkisar hingga 50 % kasus.
Pasien datang dengan keluhan floaters atau penurunan penglihatan. Pada
pemeriksaan, lesi putih kekuningan terlihat di retina dan merupakan daerah fokal
retinitis infeksius dengan inflamasi khoroid yang mendasarinya. Ketika lesi ini
sembuh, meninggalkan daerah atrofi dengan pigmentasi sekitar tepi (chorioretinal
scar).(13)

Sindroma Masquerade

Kondisi yang menyerupai uveitis dikenal sebagai sindroma Masquerade.


Sindroma Masquerade adalah patologi okuler yang meniru kondisi uveitis atau
menyebabkan uveitis sebagai efek sekunder. Meskipun kondisi ini mungkin
utamanya tidak berupa infeksi atau inflamasi, kepentingannya terhadap kondisi
keseluruhan pasien tidak dapat diabaikan. Kondisi ini harus dipertimbangkan
dalam diagnosa diferensial inflamasi mata. Sindroma Masquerade dapat mewakili
sebanyak 5% dari pasien yang dirujuk untuk uveitis. Beberapa penyakit termasuk
dalam kategori ini dan masing-masing harus dipertimbangkan selama evaluasi
anak dengan uveitis. Sindroma Masquerade maligna termasuk di dalamnya
retinoblastoma, leukemia, limfoma, sedang yang termasuk non maligna adalah
pseudotumor orbita dan intraocular foreign body.(13,14)

3.2. Pemeriksaan Penunjang

Pendekatan untuk evaluasi etiologi haruslah atas dasar riwayat penyakit


dan efektivitas biaya. Pemeriksaan darah rutin harus mencakup pemeriksaan
jumlah sel darah lengkap. Sejumlah pemeriksaan serologis dapat dilakukan untuk
menentukan etiologi uveitis. Ini termasuk penentuan tingkat angiotensin
converting enzyme, elevasi lisozim serum, elektroforesis protein serum, antibodi

11
antinuklear, dan HLA-B27. Tes tuberkulin kulit, yang digunakan untuk
mendiagnosa kasus uveitis TB, mengidentifikasi pasien yang memerlukan terapi
antituberkulosis ketika kortikosteroid sistemik digunakan.(2,14)

Pemeriksaan radiografi terutama meliputi roentgen dada untuk


menyingkirkan sarkoidosis dan TBC. Pemeriksaan radiografi sendi sakroiliaka
untuk menyingkirkan spondilitis rheumatoid, dan pemeriksaan serial
gastrointestinal pada pasien yang diduga kolitis ulserativa.(2,14)

BAB IV

TERAPI, KOMPLIKASI, DAN PROGNOSA

4.1. Terapi

12
Tujuan terapi uveitis pada anak adalah menurunkan inflamasi pada mata
sebelum terjadi komplikasi. Bila muncul komplikasi, tujuannya untuk menangani
tanpa menghasilkan efek samping dari terapi medis ataupun bedah.(12,15)

4.1.1. Terapi Lokal

Pengobatan sering dimulai saat diagnosa uveitis pertama kali dibuat.


Terlepas dari penyebabnya, pengobatan awal uveitis anterior dimulai dengan
kortikosteroid topikal. Prednisolon asetat 1% sering menjadi obat pilihan.
Frekuensi pemberian sampai per jam, tergantung intensitas reaksi inflamasi.
Penelaahan cermat sering diperlukan untuk menghindari penggunaan
kortikosteroid topikal berlebihan yang meningkatkan risiko efek samping.
Demikian pula tappering off kortikosteroid topikal yang cepat dapat menyebabkan
rebound inflamasi.(1,10)

Zat sikloplegik-midriatik penting dalam pengobatan uveitis pada anak


karena kecenderungan pembentukan sinekia posterior. Pada fase awal inflamasi,
Atropin 1% dapat digunakan dua sampai empat kali sehari. Segera setelah
inflamasi telah berkurang, Homatropin 5% empat kali sehari dapat menggantikan
Atropin. Pada uveitis anterior kronis dengan reaksi kamera anterior minimal,
pemberian sekali sehari. Orangtua diinstruksikan untuk memberikan Homatropin
5% satu jam sebelum jam tidur anak, agar memeriksa pupil secara hati-hati untuk
melihat perubahan ukuran dan regularitasnya, serta melaporkan setiap perubahan
pupil keesokan harinya.(1,10)

4.1.2. Terapi Sistemik

4.1.2.1. Kortikosteroid Sistemik

Keputusan untuk meresepkan kortikosteroid sistemik tergantung pada


lokasi (intermedia atau posterior), keterlibatan bilateral, penurunan visus yang
hebat, dan hasil terapi lokal yang tidak adekuat. Dosis kortikosteroid yang
dibutuhkan untuk mengendalikan inflamasi bervariasi sesuai dengan tingkat
uveitis. Dosis yang biasa adalah 60 mg/m 2/hari, yang diberikan pagi hari, dengan

13
maksimal 60 mg/hari selama periode 4 minggu. Dosis ini secara bertahap
diturunkan hingga mencapai 5 sampai 10 mg/m 2/hari pada 6 bulan dan berhenti
pada 9 sampai 12 bulan. Kortikosteroid sistemik biasanya ditoleransi dengan baik,
selama pemberian disertai ajuvan yang umum diterapkan (misalnya, diet protein
normal, suplementasi kalium, kalsium dan vitamin, serta gastric protectors).(1,10,17)

Kortikosteroid efektif dalam mencapai kontrol yang cepat selama


inflamasi, namun efek samping perlu diwaspadai. Beberapa diantaranya hambatan
pertumbuhan, osteoporosis, dan peningkatan risiko infeksi. Pada mata dapat
meningkatkan resiko glaukoma dan katarak. (10)

Penggunaan imunosupresan untuk meminimalkan pemakaian


kortikosteroid telah berkembang saat ini. Immunosupresan digunakan dalam
kombinasi dengan kortikosteroid pada kasus di mana dosis tinggi sistemik
kortikosteroid diperlukan untuk lebih dari 3 bulan (lebih dari 30 mg/m 2), karena
kekambuhan penyakit, penurunan penglihatan berat, keterlibatan bilateral,
keterlibatan posterior atau intoleransi (misalnya gejala gastrointestinal).
Kombinasi kortikosteroid sistemik dan imunosupresan dalam uveitis pada anak
memungkinkan pemulihan ketajaman visual, lebih sedikit komplikasi, dan efek
samping yang minimal. Kemanjuran kortikosteroid lebih besar dalam pengobatan
corticosteroid-sparing dari pada ketika kortikosteroid digunakan sendiri.
Pengobatan corticosteroid-sparing memungkinkan perbaikan visual serta
penyembuhan penyakit yang mendasari. (1,10,16)

4.1.2.2. Methotrexate

Methotrexate adalah salah satu obat imunosupresif yang paling umum


digunakan karena biaya rendah dan profil keamanannya. Dosis sekali seminggu
memungkinkan kepatuhan pemakaian. Dosis 10-25 mg/m² diberikan secara oral
atau parenteral. Hal ini umumnya baik ditoleransi, namun, beberapa efek samping
yang paling ditemui meliputi keluhan gastrointestinal. Efek samping lain termasuk
peningkatan risiko infeksi oportunistik, toksisitas hematologi, dan toksisitas

14
hepar. Direkomendasikan pemantauan laboratorium untuk jumlah sel darah
lengkap dan tes fungsi hati pada interval 4-6 mingguan.(10,17)

4.1.2.3. Siklosporin

Dosis umum siklosporin untuk pengobatan uveitis adalah 3-5 mg/kg.


Beberapa efek samping yang umum dari siklosporin termasuk gangguan fungsi
ginjal, hipertensi, toksisitas hepar, hiperplasia gusi dan hipertrikosis. Penting
memantau secara ketat toksisitas yang dapat terjadi pada awal terapi. Jumlah sel
darah dan tes fungsi hati harus dipantau secara bulanan. (10,17)

Obat imunosupresif lainnya seperti azathioprin, mycophenolate mofetil,


dan cyclophosphomide yang digunakan dalam penyakit inflamasi anak lainnya
telah digunakan dalam pengobatan uveitis pada anak. Namun, sedikit data
penelitian yang telah diterbitkan tentang penggunaan obat dalam uveitis pada
anak.(10,17)

4.1.2.4. Biologic Agent

Biologic agents telah diperkenalkan dalam banyak pengobatan penyakit


autoimun termasuk uveitis. Tumor Necrosis Factor (TNF) alpha meningkat dalam
akuos humor dan darah perifer pada pasien uveitis kronis. Sitokin ini diperkirakan
berpartisipasi aktif dalam patogenesa inflamasi proses uveitis, namun perannya
masih belum jelas. Ada tiga jenis anti-TNF antagonis yang meliputi Etanercept,
Infliximab, dan Adalimumab. Harus diwaspadai masalah yang terkait dengan
penggunaan obat, beberapa di antaranya termasuk peningkatan risiko infeksi
oportunistik dan keganasan. Penggunaan biologic agents dalam pengobatan
inflamasi mata inflamasi kondisi masih perlu dieksplorasi lebih lanjut.(10,17,18)

4.2 Komplikasi

15
Dengan diagnosa dini dan pengobatan yang tepat, inflamasi umumnya
reda dalam waktu 2 sampai 6 minggu. Respon yang jelek dilaporkan pada uveitis
anterior anak yang secara langsung berkaitan dengan keterlambatan dalam
diagnosa. Penundaan ini yang membuat komplikasi dari uveitis lebih umum pada
anak-anak daripada dewasa. Demikian pula, bahkan ketika komplikasi, seperti
glaukoma, muncul sekunder untuk uveitis dewasa dan anak-anak, komplikasi
cenderung lebih parah pada anak. Anak memiliki komplikasi uveitis yang unik,
yang tidak terlihat pada dewasa, seperti risiko ambliopia. (1,2,3)

Band keratopathy adalah komplikasi yang paling sering muncul dari


semua komplikasi yang berhubungan dengan inflamasi kronis kamera okuli
anterior pada anak. Meskipun hiperkalsemia dan pthisis bulbi juga menyebabkan
band keratopathy, kebanyakan pembentukan band keratopathy yang paling sering
adalah sekunder akibat uveitis. Mekanisme untuk terjadinya glaukoma pada
uveitis anak adalah bervariasi seperti halnya dalam bentuk dewasa dari kelainan
ini. Sayangnya, prognosa untuk anak-anak dengan komplikasi glaukoma jauh
lebih buruk daripada untuk orang dewasa. Meskipun prognosa tetap baik dalam
manajemen katarak yang terkait dengan inflamasi, perbaikan dalam teknik
memberi harapan yang signifikan untuk pasien anak dengan komplikasi katarak.
Inaktivitas relatif inflamasi selama 6 bulan disukai sebelum dilakukan operasi.
Kortikosteroid oral pasca operasi diberikan hanya jika diperlukan atas dasar kasus
per kasus.(1,2,3)

Selain itu, anak-anak lebih rentan dibandingkan dewasa dan berbeda


dalam sisi efek samping sistemik dari terapi. Dapat muncul retardasi pertumbuhan
akibat kortikosteroid pada anak-anak praremaja dan peningkatan kecenderungan
kortikosteroid untuk menginduksi glaukoma dan katarak. (1,2,3)

4.2.1. Terapi Pembedahan pada Komplikasi Uveitis

16
Band keratopathy dapat diobati dengan pengangkatan epitel kornea diikuti
calcium chelation dengan EDTA. Terapi ulangan mungkin diperlukan.
Phototherapeutic Keratectomy (PTK) juga telah digunakan untuk mengobati band
keratopathy.(12)

Operasi katarak untuk pasien dengan uveitis anak dapat menjadi rumit
oleh komplikasi-komplikasi lainnya. Uveitis harus diobati secara agresif sehingga
terkontrol baik sebelum dan setelah operasi. Implantasi lensa intraokuler pada
anak dengan uveitis masih kontroversial. Operasi mata pada anak-anak umumnya
lebih rumit karena karakteristik anatomi dan fungsional yang khas, meliputi
ukuran bola mata yang kecil, peningkatan reaktivitas jaringan, dan kekakuan
sklera yang rendah.(12)

Operasi glaukoma mungkin perlu pada anak dengan uveitis.


Trabekulektomi standar dikaitkan dengan tingkat tinggi kegagalan karena
scarring. Pemakaian mitomycin C intraoperatif dapat meningkatkan hasil.
Penggunaan shunts akuos saat ini teknik yang paling populer untuk manajemen
pembedahan glaukoma dalam uveitis pada anak.(4, 19, 20)

4.3. Prognosa

Perbedaan utama lain antara uveitis pada anak dan pada dewasa adalah
prognosa uveitis biasanya lebih buruk di anak, sampai dengan 35% dari anak yang
komplikasi. Prognosa secara keseluruhan pada uveitis lebih buruk dibanding pada
dewasa akibat keterlambatan dalam diagnosa dan memulai terapi. (7,15)

Uveitis pada anak umumnya asimtomatik dan kronis. Bahkan dengan


kehadiran sel di kamera okuli anterior yang hebat, pada anak jarang memiliki
gejala dan muncul dengan mata yang tenang. Meskipun ketajaman penglihatan
berkurang, sebagian besar anak tidak mengeluh. Karena itu, uveitis pada anak
sering terdeteksi selama pemeriksaan skrining rutin untuk ketajaman penglihatan.
Faktor prognosa positif dari hasil akhir visus meliputi visus yang baik pada awal
munculnya penyakit, jenis kelamin pria, dan usia lebih tua usia saat onset

17
penyakit. Inflamasi berkepanjangan yang tidak terkendali menyebabkan beberapa
komplikasi yang menghambat penglihatan, seperti katarak dan band keratopathy
dan glaukoma. Munculnya hipotoni menandakan prognosa hasil yang buruk.(7,15)

BAB V

KESIMPULAN

18
1. Terdapat banyak tantangan diagnostik dan terapetik yang berkaitan dengan
uveitis pada anak di mana hal ini berkaitan dengan banyak perbedaan
antara uveitis pada anak dan pada dewasa.

2. Uveitis pada anak yang terbanyak sesuai penelitian berbasis populasi dan
penelitian berbasis klinis adalah Idiopatik, JRA, dan Toksoplasma.

3. Pengobatan uveitis pada anak hendaklah memperhatikan efek samping


penggunaan obat jangka panjang, mengingat pengobatan (terutama
kortikosteroid) dapat mempengarui tumbuh kembang anak.

4. Kortikosteroid merupakan terapi utama karena dapat menekan inflamasi.


Selain itu saat ini telah berkembangan pemakaian kombinasi dengan terapi
imunosupresif, namun harus memperhatikan dosis, efek samping, dan
pengawasan terapi yang ketat.

5. Dalam manajemen uveitis pada anak, perlu diwaspadai kemungkinan


diagnosa sindroma Masquerade.

6. Hubungan yang erat haruslah dibina antara dokter mata, dokter anak, dan
ahli-ahli bidang lain untuk memonitor pasien yang memiliki kebutuhan
manajemen yang berbeda-beda.

19

Anda mungkin juga menyukai