C. Untuk Masyarakat
1. Pihak Keluarga
Berbagai upaya pencegahan bunuh diri bisa dilakukan oleh pihak keluarga. Upaya
pencegahan itu dimaksudkan untukmeningkatkan faktor proteksi. Beberapa tindakan itu di
antaranya:
Mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak
Membangun hubungan yang positif di dalam rumah dimana rumah diciptakan sebagai
tempat untuk saling berbagi diantara anggota keluarga,
Membangun kecerdasan emosional anak, dan
Menanamkan pendidikan moral dan agama yang sebaik-baiknya.
2. Lingkungan
Lingkungan jelas merupakan determinan penting dalam upaya prevensi. Beberapa hal yang
semestinya disediakan lingkungan untuk mencegah terjadinya bunuh diri:
Adanya tekanan sosial terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga
Tidak memberitakan secara berlebihan tentang kejadian bunuh diri agar tidak menjadi
model bagi remaja
Menciptakan kegiatan yang positif di dalam lingkungan untuk para remaja
3. Sekolah
Monitoring terhadap keadaan siswa
Berkonsultasi dengan pihakkeluarga, melakukan bimbingan dan konseling terhadap
siswa yang mengalami penuruan prestasi belajar dan terlihat depresi.
Meningkatkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap anak didiknya
Tokoh masyarakat, Habib Mahdi mengatakan, di dalam agama hukum bunuh diri itu
haram dan tidak diperbolehkan. Dikatakannya, jika setiap orang yang hidup di dunia tentunya
akan mengalami masalah. Baik ringan maupun berat.Yang menjadi persoalan adalah ketika
manusia menghadai suatu masalah yang dianggap berat. Mereka acap kali merasa memikul
beban berat tersebut.
“Dan akhirnya, mereka pun sering kali mengambil tindakan keliru dengan cara bunuh diri,”
katanya yang juga Ketua FPI Sumsel.
Menurutnya, bunuh diri bukan suatu solusi untuk melepaskan impitan masalah yang
menimpanya dan tidak juga menyelesaikan permasalahan yang menimpa mereka.
Dalam pandangan Islam tentunya tindakan ini diharamkan dan masuk dalam kategori dosa
besar.
Hal ini tertulis dalam ayat QS: An-Nisa 29-30 yang berisi ‘Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang
siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan
memasukkan ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah’.
Selain itu, dalam hadis HR Bukhari nomor 6105, Muslim nomor 110 juga dijelaskan
‘Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan diazab dengan itu di hari
kiamat.
“Jadi apapun permasalahannya, bunuh diri bukan suatu solusi dari permasalahan tersebut.
Dan itu hanyalah bentuk pelarian dari masalah tersebut,” ujarnya.
“Karena itu, solusinya yang mendekatkan diri dan berserah kepada Allah SWT serta jauhi
semua larangannya, karena tidak akan dibebankan suatu masalah kecuali dalam batas
kemampuan kita,” tutupnya.
Akitab mencatat enam orang yang bunuh diri: Abimelekh (Hakim-hakim 9:54), Saul (1
Samuel 31:4), Pembawa Senjata Saul (1 Samuel 31:4-6), Ahitofel (2 Samuel 17:23), Zimri (1
Raja-Raja 16:18), dan Yudas (Matius 27:5).
Lima dari keenam orang tersebut terdeskripsi jelas mengenai kejahatannya, kecuali
pembawa senjata Saul – yang tidak diulas secara mendetail. Beberapa ahli menganggap
kematian Samson sebagai tindakan bunuh diri, karena ia sudah mengetahui bahwa
tindakannya akan mematikan dirinya (Hakim-Hakim 16:26-31). Berhubung tujuan Samson
saat itu ingin membunuh para Filistin, bukan dirinya saja, maka pendapat ini masih
diperdebatkan.
Allah hanyalah satu-satunya yang boleh memutuskan waktu dan dengan cara apa
seseorang akan meninggal. Seperti diungkapkan dalam Mazmur 31:15, "Masa hidupku ada
dalam tangan-Mu."
Allah adalah pemberi kehidupan. Ia memberi, dan Ia mengambilnya kembali (Ayub
1:21). Bunuh diri, bentuk pembunuhan kepada diri sendiri, menjadi tindakan durhaka, karena
hal itu menjadi bentuk penolakan manusia atas karunia kehidupan dari Allah.
Tidak satu pun, pria ataupun wanita, diperbolehkan mengambil alih otoritas Allah dan
mengakhiri kehidupan pribadi mereka.
Ada beberapa tokoh di dalam Alkitab yang mengalami keputusasaan. Salomo, sambil
mengejar segala kenikmatan hidup, mencapai suatu titik dimana ia "membenci hidup"
(Pengkhotbah 2:17). Elia sangat takut hingga mengalami depresi dan merindukan kematian (1
Raja-Raja 19:4). Yunus juga begitu marah dengan Allah sampai ia berharap mati (Yunus
4:8). Rasul Paulus dan para rekan misionarisnya sampai pernah berkata, "beban yang
ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa
juga akan hidup kami" (2 Korintus 1:8).
Akan tetapi, dari semua tokoh itu, tidak ada yang bunuh diri.
Salomo belajar "takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya,
karena ini adalah kewajiban setiap orang" (Pengkhotbah 12:13). Elia dihibur oleh malaikat,
diperbolehkan beristirahat, dan diberi sebuah amanat baru. Yunus dikoreksi dan diberi
pelajaran dari Allah. Paulus belajar bahwa, walaupun beban yang ia hadapi melampaui
kemampuan dirinya menanggungnya, Allah dapat membantu menanggung segala hal: "Tetapi
hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya
kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati" (2 Korintus 1:9).
Jadi, menurut Alkitab, bunuh diri adalah dosa.
Menurut pandangan agama Buddha, dalam Kodhana Sutta, Avyakata Vagga, Aṅguttara
Nikāya VII, Sang Buddha mengidentifikasi kecenderungan-kecenderungan penyebab bunuh
diri adalah ketidakseimbangan pikiran. Ada beberapa orang di masyarakat serta hal-hal
lainnya membuat mereka menjadi rendah diri, mudah kecewa, dan putus asa. Biasanya orang
yang bunuh diri itu tidak memahami ajaran Sang Buddha tentang dukkha.
Dalam Pañcasīla Buddhis diterangkan bahwa bunuh diri termasuk pelanggaran sila
pertama yaitu membunuh. Jadi, di dalam Pañcasīla Buddhis, sasaran pembunuhan makhluk
hidup itu selain makhluk hidup lain juga termasuk diri sendiri.
Oleh karena itu bunuh diri termasuk pelanggaran sila pertama, di mana pelakunya akan
terlahir kembali di alam yang rendah sebagaimana yang tertulis dalam Jātaka Aṭṭhakathā:
’makhluk yang bunuh diri dengan senjata, minum racun, gantung leher, terjun ke tebing
dengan didasari kemarahan, akan terlahir di alam neraka dan alam rendah lainnya.’ Dari
kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa kamma ditentukan oleh niat. Orang yang bunuh
diri umumnya karena kebencian dan tidak tahan karena menghadapi penderitaan hidup. Hal
ini akan membuat kembali ia lahir di alam rendah.
Sang Buddha bersabda: ’sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia, sungguh sulit
kehidupan manusia, sungguh sulit untuk dapat mendengarkan ajaran benar, begitu pula,
sungguh sulit munculnya seorang Buddha.’ (Dhammapada 182). Maka, sungguh
menyedihkan apabila kehidupan yang berharga ini hancur dengan cara yang bodoh.
Seseorang yang membunuh diri tidak dapat diancam dengan hukuman. Akan tetapi
orang yang sengaja menghasut, menolong orang lain untuk bunuh diri dapat dikenakan Pasal
345 KUHP apabila orang yang bersangkutan benar-benar bunuh diri dan menyebabkan
kematian pada dirinya.
Isi dari Pasal 345 KUHP adalah:
“Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri,menolongnya dalam perbuatan
itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun kalau orang itu jadi bunuh diri”.
Untuk berlakunya Pasal 345 ini, membunuh diri itu harus benar-benar terjadi
dilakukan, artinya adalah bagi orang yang bersangkutan harus sampai menyebabkan kematian
daripadanya. Apabila tidak sampai terjadi kematian tersebut, maka yang melakukan
pembujukan atau membantu memberikan ikhtiar bunuh diri dapat dituntut atas dasar
mencoba.
Inti dari Pasal 345 KUHP : melarang orang yang dengan sengaja melakukan
mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolong orang lain dalam melakukan bunuh diri
dan larangan memberikan sarana pada orang yang akan bunuh diri.
Dari apa yang penulis jabarkan diatas, bahwa agama manapun baik itu Islam, Kristen,
Katolik, Budha dan Hindu, menolak keras bunuh diri. Sebab bunuh diri, tidak sesuai dengan
ciri khas masing-masing agama. Setiap agama menolak dengan keras bunuh diri, sebab
dinilai seseorang yang melakukan bunuh diri dinilai tidak mau menyukuri hidupnya.
Setiap agama juga berpesan, bahwa dalam hidup memang harus mengalami berbagai
kesulitan/pergumulan. Untuk itulah agama menuntun kita, agar semakin mendalami arti
hidup dan menghayati karya-Nya dalam hidup kita.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bunuh diri sebagai upaya pelarian dalam tekanan hidup adalah suatu tidakan yang tepat.
Sebab bunuh diri bukan menyelesaikan setiap persoalan yang terjadi, melainkan menambah
banyak masalah.Selain berdosa, bunuh diri juga menimbukan keresahan publik sebab bunuh
diri dapat memicu tidak bunuh diri lainnya.
Oleh karena itu, perlu ditanamkan sikap percaya diri dan pemikiran yang mengarah ke
arah positif. Selain itu keintiman dengan sang Pecipta juga perlu lebih kuat lagi, agar
terhindar dari ancaman bunuh diri.
3.2 Saran
Saran penulis untuk pembaca makalah ini adalah, lebih banyak mendekatkan diri pada
sang Pencipta. Mengikuti kegiatan yang bermanfaat, seperti Karang Taruna, OMK, Youth
Gereja, Remaja Masjid, UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), klub musik, dll. Selain itu, bila
dirasa mengalami depresi haruslah sesegera mungkin menemui konselor ( Ustadz,
Pendeta,Romo,Guru BK, Psikater,dll).
Peran masyarakat juga sangat penting dalam mengurangi tingkat bunuh diri, yaitu dengan
melapor pada polisi, serta mencegahnya melakukan tindak bunuh diri.