Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

USHUL FIQH

“PENGERTIAN IJMA”

DOSEN PEMBIMBING

M.SYAHDANI HRP,S.HI, MH

DISUSUN OLEH : KELOMPOK VII

ARI GUNAWAN 119.005

DAHWIR 119.008

TJIPTO SUBUR 119.036

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


STAI YDI LUBUK SIKAING
KABUPATEN PASAMAN
2020
A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan sehari- hari kita selalu melakukan kegiatan- kegiatan yang tidak
lepas dari peranan syari’at atau hukum- hukum seperti shalat, puasa, jual beli dan lain
sebagainya. Semua itu membutuhkan hukum agar kita tidak salah arah dalam
landasan agama. Untuk mengetahui hukum - hukum syariat agama, para ulama telah
berjihad untuk mengetahui hukum yang telah dijelaskan didalam Al- Qur’an dan
hadist agar jelas dan tidak subhat. Dalam era sekarang, banyak kita jumpai hal- hal
yang pada zaman rasul tidak terjadi, untuk mengetahui bagaimanya hukumnya hal
tersebut, maka dibutuhkan kesepakatan para ulama ( ijma’), maka dalam makalah ini
akan dibahas tentang pengertian ijma’, macam- macam ijma’, kedudukan ijma’ dalam
hukum islam, dan disertai pula contoh ijma’dan Syarat ijma’.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Ijma’ dan Macam- Macamnya

       Arti Ijma’ menurut bahasa adalah sepakat, setuju, atau sependapat dan  definisi
Ijma’ menurut bahasa terbagi dalam dua arti:

a. Bermaksud atau berniat, sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran


suratYunus ayat 71

‫أَجْ ِمعُوا‬KKَ‫ت ف‬
ُ ‫و َّك ْل‬Kَ Kَ‫ت هَّللا ِ فَ َعلَى هَّللا ِ ت‬
ِ ‫ا‬KKَ‫يري بِآي‬ِ ‫ذ ِك‬Kْ Kَ‫ا ِمي َوت‬KKَ‫ال لِقَوْ ِم ِه يَا قَوْ ِم إِ ْن َكانَ َكبُ َر َعلَ ْي ُك ْم َمق‬
َ َ‫وح إِ ْذ ق‬
ٍ ُ‫َوا ْت ُل َعلَ ْي ِه ْم نَبَأ َ ن‬
ِ ‫ي َواَل تُ ْن ِظر‬
‫ُون‬ َّ َ‫أَ ْم َر ُك ْم َو ُش َر َكا َء ُك ْم ثُ َّم اَل يَ ُك ْن أَ ْم ُر ُك ْم َعلَ ْي ُك ْم ُغ َّمةً ثُ َّم ا ْقضُوا إِل‬

Artinya:”Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia
berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal
(bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada
Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah)

2
sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu
dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi
tangguh kepadaku”.1

Maksudnya, semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temannya harus mengikuti


jalan beliau tempu. Dan hadis Rasulullah SAW. Yang artiny, “barang siapa yang
belum berniat untuk berpuasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.2

b. Kesepakatan terhadap, sesuatu. kaum dikatakan telah berijma bila mereka


sepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat
Yusuf ayat 15, yang menerangkan keadaan saudara-saudara a.s.:

َ‫ت ْالجُبِّ ۚ َوأَوْ َح ْينَا إِلَ ْي ِه لَتُنَبِّئَنَّهُ ْم بِأ َ ْم ِر ِه ْم ٰهَ َذا َوهُ ْم اَل يَ ْش ُعرُون‬
ِ َ‫فَلَ َّما َذهَبُوا بِ ِه َوأَجْ َمعُوا أَ ْن يَجْ َعلُوهُ فِي َغيَاب‬

Artinya: “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar


sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami
wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka
perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi."3

Yakni mereka bersepakat terhadap perencana tersebut  adapun perbedaan


antara kedua arti diatas adalah: yang pertama bisa dilakukan oleh satu orang atau
banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih,
karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya.4

Sedangkan menurut istilah para ahli ushul  fiqih dirumuskan sebagai berikut :

‫ شرع ّى فى الواقعة‬ ‫اجماع هو اتّاق مجتهدين فى عصر من العصور وفاة الرسول الى حكم‬

1
Departemen Agama, Al-Quran Terjemah Asbabun Nuzul, ( Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi,
2011). Hlm, 217
2
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung,: CV Pustaka Setia, 2010). Hlm, 68

3
Departemen Agama, op cit, Hal, 237
4
Rachmat Syafe’I, op cit, Hal: 69

3
“   Ijma’ ialah kesepakatan ( konsensus ) seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu
stelah wafatnya rosul terhadap suatu hukum syara’ untuk suatu peristiwa
(kejadian )”.5

            Dari pengertian ijma’ sebagaimana disebutkan diatas, dapat dijelaskan sebagai


berikut:

a. Kesepakatan adalah kesamaan pendapat atau kebulatan pendapat para


mujtahid pada suatu masa baik secara lisan maupun tertulis atau dengan
beramal sesuai dengan hukum yang disepakati itu. 
b. Seluruh mujtahid berarti masing – masing mujtahid menyatakan
kesepakatannya. Jika ada seorang saja yang tidak menyetujuinya maka
tidaklah terjadi ijma’. Dan apabila pada suatu masa hanya ada seorang
mujtahuid saja, maka tidak terjadi ijma’, sebab tidak terjadi kesepakatan.
c. Ijma’ hanya terjadi pada masalah yang berhubungan dengan syara’ dan harus
berdasarkan pada Al – Qur’an dan Hadits mutawwatir, tidak sah jika
didasarkan pada yang lainnya.6

Dari definisi diatas pengertian Ijma’ itu sendiri adalah kesepakatan antara para
ulama-ulama atau mujtahid untuk membahas suatu masalah didalam kehidupan
dalam  masalah-masalah sosial yang tidak ada didalam Al-quran dan as-sunnah.

Ijma’ dilihat dari segi caranya ada dua macam, yaitu sebagai berikut :

a. Ijma’ Qauli = Ijma’ Qath’i

Ijma’ yang qoth’i dalalahnya atas hukum ( yang dihasilkan),yaitu ijma shorikh,
dengan artian bahwa hukumnya telah dipastikan dan tidak ada jalan mengeluarkan
5
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih,  (Jakarta:PustakaFirdaus 2003), hlm. 308

6
Suratno, Modul Siap Un Kemenag, ( Semarang: Dina Utama, 2011 ), hlm 131

4
hukum lain yang bertentangan. Tidak pula diperkenankan mengadakan ijtihad
mengenai suatu kejadian setelah terjadinya Ijma Shorikh atas hukum syara’ mengenai
kejadian itu.7

b. Ijma’ Sukuti = Ijma’ Zanni

Yaitu ijma’ dimana para mujathid berdiam diri tanpa mengeluarkan pendapatnya
atas mujtahid lain. Dan diamnya itu bukan karena malu atau takut. Sebab diam atau
tidak memberi tanggapan itu dipandang telah menyetujui terhadap hukum yang sudah
ditetapkan. Hal ini sesuai dengan pendapat ulama ushul fiqh yang menyatakan :

“ diam ketika suatu penjelasan diperlukan, dianggap sebagai penjelasan”.8

Sedang dari segi waktu dan tempat ijma’ ada beberapa macam antara lain sebagai
berikut :

a. Ijma’ Sahaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah
pada masa tertentu.
b. Ijma’ Ahli Madinah, yaitu persesuaian paham ulama – ulama madinah
terhadap sesuatu urusan hukum.
c. Ijma’ Ulama Kuffah, yaitu kesepakatan ulam – ulama kuffah dalam  suatu
masalah.
d. Ijma’  Khulafaur Rasyidin, yaitu :           
 ‫اتفاق الخلفء االربعة على امر من االمور ال ّشر ّعة‬
“Persesuaian paham khalifah yang empat terhadap sesuatu soal yang diambil
dalam satu masa atas suatu hukum.”9

7
Abdul Wahhab Khallaf, kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000),
Hlm. 73

8
Suratno, op cit, Hal: 132
9
Totok Jumantoro,  Samsul Munir, Kamus ilmu Ushul fiqh, (Jakarta:Bumi Aksara  2009), hlm. 106

5
e. Ijma’ Ahlul Bait ( Keluarga Nabi ), yaitu kesepakatan keluarga Nabi dalam
suatu masalah.
2. Kedudukan Ijma’ dalam Pembinaan Hukum Islam

Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu


sumber atau dalil hukum sesudah Al-Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat
menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada
ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunnah.10

Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan suatu hukum dan menjadi sumber hukum islam yang qathi. Jika sudah
terjadi ijma ( kesepakatan ) diantara para mujtahid terhadap ketetapan hukum suatu
masalah atau peristiwa, maka umat islam wajib menaati dan mengamalkannya.

Alasan jumhur ulama ushul fiqh bahwa ijma’ merupakan hujjah yang
qathi’sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai berikut :

a. Firman Allah SWT :

‫ امنو اطيعوهّللا واطيعواال ّرسول واولى االمر منكم (النساء‬K‫يا ايهاالذذين‬    

Artinya :“ wahai orang – orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul
( Muhammad ) dan Ulil amri ( Pemegang kejuasaan ) diantara kamu.” ( Q.S. an –
Nisa’ 59 )

Maksud Ulil ‘Amri itu ada dua penafsiran yaitu Ulil ‘Amri Fiddunnya adalah
penguasa dan Ulil ‘Amri fiddin adalah mujtahid atau para ulama’, sehingga dari ayat
ini berarti juga memerintahkan untuk taat kepada para ulama mengenai suatu
keputusan hukum yang disepakati mereka.

b. Hadist RasulullahSAW                                   

10
Amir S, Ushul Fiqh.( Jakarta: Fajar Interpratama , 2009 ), hlm. 138

6
ّ
) ‫امذتي ال تجمع على ضاللة ( رواه ابن حاجه‬  ‫ان‬

Artinya :” Sesungguhnya umatKu tidak akan bersepakat atas kesesatan.”

‫مارءاه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن‬

Artinya : “ apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut
pandangan Allah juga baik”.11

Dalam hadist ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat
yang sama – sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma’ itu
terpelihara dari kesalahan, sehingga putusannya merupakan hukum yang mengikat
umat islam.

Pandangan ulama’ mengenai Ijma’ sukuti :

Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan
landasan pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid
belum tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan
menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat karena dianggap senior.

Hanafiyah dan Hanabilah Ijma’ sukuti syah jika digunakan sebagai landasan
hukum, karena diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka
tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya. Jika tidak
menentang dengan tegas, berarti mereka setuju.

Hanafiyah dan Malikiyah  mengatakan jika diamnya sebagian ulama’ mujtahid


tidak dapat dikatakan telah terjadi ijma’.  Dan pendapat ini dianggap lebih kuat
daripada pendapat perorangan.12

3. Contoh- Contoh Hukum yang Didasari Ijma’

11
Suratno, op cit, hlm: 133
12
Satria M. Zein, Ushul fiqh, ( Jakart: Fajar Interpratama Offset, 2005), Hlm, 56

7
a. Pengangkatan Abu Bakar As-  Shiddiq sebagai khalifah menggantikan
Rasulullah SAW.
b. Pembukuan Al- Qur’an yang dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar r.a.
c. Menentukan awal bulan ramdhan dan bulan syawal..

Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al
Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat,
apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka
wajib bagi kita mengambilnya dan beramal.13

Bukti komplit diatas bahwa contoh hukum Ijma’ yaitu didalam pengangkatan Abu
Bakar as yaitu mengantikan Rasulullah SAW, menjadi Khalifa untuk menetapkan 
dasar-dasar hukum sesudah Nabi Muhammad.

4. Syarat Ijma’

Jumhur Ulama ushul fiqh, mengemukakan pula syarat-syarat ijma’, yaitu:

a. Yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi


persyaratan ijtihad.
b. Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian
kuat terhadap agamanya).
c. Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari
ucapan atau perbuatan bid’ah.

Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqh. Ada juga syarat lain,
tetapi tidak disepakati para ulama, diantaranya:

a. Para mujtahid itu adalah sahabat. 


b. Mujtahid itu kerabat Rasulullah, apabila memenuhi dua syarat ini, para ulama
ushul fiqh menyebutnya dengan ijma’ shahabat.

13
Suratno, op cit, Hlm:134

8
c. Mujtahid itu adalah ulama Madinah.
d. Hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya
seluruh mujtahid yang menyepakatinya.

Tidak terdapat hukum ijma’ sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang


sama.14

C. PENUTUP
1. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan bahwapengertian Ijma’ itu sendiri


adalah kesepakatan antara para ulama-ulama atau mujtahid untuk membahas suatu
masalah didalam kehidupan dalam  masalah-masalah sosial yang tidak ada didalam
Al-quran dan as-sunnah.

Kedudukan Ijma’ itu menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al-
Qur’an dan Sunnah. Dan Ijma’dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib
dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun
sunnah.

Syarat-syarat Ijma’  itu harus memenuhi persyaratan ijtihad dan Kesepakatan


dalam suatu masalah untuk menyelesaikannya harus  muncul pendapat-pendapat  dari
para mujtahid-mujtahid yang bersifat adil dan paham agama dan Para mujtahid itu
harus berusaha  dan menghindari dari perbuatan-perbuatan  bid’ah.

Dari keterangan diatas dapat juga di pahami bahwa ijma harus menyandar kepada
dalil yang ada yaitu kitab, sunah, atau yang mempunyai kaitan kepadanya baik
langsung maupun tidak dan tidak mungkin terlepas sama sekali dari kaitan tersebut.

14
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997). Hlm.53-54

9
Dari beberapa macam Ijma’dapat kami simpulkan bahwa dari semua macam
Ijma’ itu  yang pertama Ijma’ qoth’i , Ijma’ Sukuti, Ijma’Sahaby,Ijma’ Ahli
Madinah, Ijma’ Ulama Kuffah, Ijma’  Khulafaur Rasyidin.

2. Saran

Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak kesalahan
dan kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian dalam makalah ini,
maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna
memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya. Kepada Dosen pengajar ( Bapak Drs.
H. Henderi Kusmidi, M. H. I ) diharapkan bimbingan lebih untuk mengingatkan mutu
dan kwalitas mahasiswa PAI pada khususnya didalam mengembangkan ilmutafsir
demi terwujudnya hubungan mahasiswa dengan masyarakat. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

D. DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. 2003. UshulFiqh.Jakarta: PustakaFirdaus.
Amir, Syarifuddin.2009.UshulFiqh.Jakarta: Fajar Interpratama.
Efendi, Satria. 2005. UshulFiqh. Jakarta: Fajar Interpratama Offset.
Jumant Haroen,Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Jumantoro, Totok. 2005.KamusIlmuUshulFiqh. Jakarta: BumiAksara.
Suratno, dkk. 2011. ModulSiap Un Kemenag. Semarang: Dina utama.
Syafe’I Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Wahhab Abdul Khalaf. 2000. Kaidah- KaidahHukum Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.

10

Anda mungkin juga menyukai