USHUL FIQH
“PENGERTIAN IJMA”
DOSEN PEMBIMBING
M.SYAHDANI HRP,S.HI, MH
DAHWIR 119.008
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Ijma’ dan Macam- Macamnya
Arti Ijma’ menurut bahasa adalah sepakat, setuju, atau sependapat dan definisi
Ijma’ menurut bahasa terbagi dalam dua arti:
أَجْ ِمعُواKKَت ف
ُ و َّك ْلKَ Kَت هَّللا ِ فَ َعلَى هَّللا ِ ت
ِ اKKَيري بِآيِ ذ ِكKْ Kَا ِمي َوتKKَال لِقَوْ ِم ِه يَا قَوْ ِم إِ ْن َكانَ َكبُ َر َعلَ ْي ُك ْم َمق
َ َوح إِ ْذ ق
ٍ َُوا ْت ُل َعلَ ْي ِه ْم نَبَأ َ ن
ِ ي َواَل تُ ْن ِظر
ُون َّ َأَ ْم َر ُك ْم َو ُش َر َكا َء ُك ْم ثُ َّم اَل يَ ُك ْن أَ ْم ُر ُك ْم َعلَ ْي ُك ْم ُغ َّمةً ثُ َّم ا ْقضُوا إِل
Artinya:”Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia
berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal
(bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada
Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah)
2
sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu
dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi
tangguh kepadaku”.1
َت ْالجُبِّ ۚ َوأَوْ َح ْينَا إِلَ ْي ِه لَتُنَبِّئَنَّهُ ْم بِأ َ ْم ِر ِه ْم ٰهَ َذا َوهُ ْم اَل يَ ْش ُعرُون
ِ َفَلَ َّما َذهَبُوا بِ ِه َوأَجْ َمعُوا أَ ْن يَجْ َعلُوهُ فِي َغيَاب
Sedangkan menurut istilah para ahli ushul fiqih dirumuskan sebagai berikut :
شرع ّى فى الواقعة اجماع هو اتّاق مجتهدين فى عصر من العصور وفاة الرسول الى حكم
1
Departemen Agama, Al-Quran Terjemah Asbabun Nuzul, ( Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi,
2011). Hlm, 217
2
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung,: CV Pustaka Setia, 2010). Hlm, 68
3
Departemen Agama, op cit, Hal, 237
4
Rachmat Syafe’I, op cit, Hal: 69
3
“ Ijma’ ialah kesepakatan ( konsensus ) seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu
stelah wafatnya rosul terhadap suatu hukum syara’ untuk suatu peristiwa
(kejadian )”.5
Dari definisi diatas pengertian Ijma’ itu sendiri adalah kesepakatan antara para
ulama-ulama atau mujtahid untuk membahas suatu masalah didalam kehidupan
dalam masalah-masalah sosial yang tidak ada didalam Al-quran dan as-sunnah.
Ijma’ dilihat dari segi caranya ada dua macam, yaitu sebagai berikut :
Ijma’ yang qoth’i dalalahnya atas hukum ( yang dihasilkan),yaitu ijma shorikh,
dengan artian bahwa hukumnya telah dipastikan dan tidak ada jalan mengeluarkan
5
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta:PustakaFirdaus 2003), hlm. 308
6
Suratno, Modul Siap Un Kemenag, ( Semarang: Dina Utama, 2011 ), hlm 131
4
hukum lain yang bertentangan. Tidak pula diperkenankan mengadakan ijtihad
mengenai suatu kejadian setelah terjadinya Ijma Shorikh atas hukum syara’ mengenai
kejadian itu.7
Yaitu ijma’ dimana para mujathid berdiam diri tanpa mengeluarkan pendapatnya
atas mujtahid lain. Dan diamnya itu bukan karena malu atau takut. Sebab diam atau
tidak memberi tanggapan itu dipandang telah menyetujui terhadap hukum yang sudah
ditetapkan. Hal ini sesuai dengan pendapat ulama ushul fiqh yang menyatakan :
Sedang dari segi waktu dan tempat ijma’ ada beberapa macam antara lain sebagai
berikut :
a. Ijma’ Sahaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah
pada masa tertentu.
b. Ijma’ Ahli Madinah, yaitu persesuaian paham ulama – ulama madinah
terhadap sesuatu urusan hukum.
c. Ijma’ Ulama Kuffah, yaitu kesepakatan ulam – ulama kuffah dalam suatu
masalah.
d. Ijma’ Khulafaur Rasyidin, yaitu :
اتفاق الخلفء االربعة على امر من االمور ال ّشر ّعة
“Persesuaian paham khalifah yang empat terhadap sesuatu soal yang diambil
dalam satu masa atas suatu hukum.”9
7
Abdul Wahhab Khallaf, kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000),
Hlm. 73
8
Suratno, op cit, Hal: 132
9
Totok Jumantoro, Samsul Munir, Kamus ilmu Ushul fiqh, (Jakarta:Bumi Aksara 2009), hlm. 106
5
e. Ijma’ Ahlul Bait ( Keluarga Nabi ), yaitu kesepakatan keluarga Nabi dalam
suatu masalah.
2. Kedudukan Ijma’ dalam Pembinaan Hukum Islam
Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan suatu hukum dan menjadi sumber hukum islam yang qathi. Jika sudah
terjadi ijma ( kesepakatan ) diantara para mujtahid terhadap ketetapan hukum suatu
masalah atau peristiwa, maka umat islam wajib menaati dan mengamalkannya.
Alasan jumhur ulama ushul fiqh bahwa ijma’ merupakan hujjah yang
qathi’sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai berikut :
Artinya :“ wahai orang – orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul
( Muhammad ) dan Ulil amri ( Pemegang kejuasaan ) diantara kamu.” ( Q.S. an –
Nisa’ 59 )
Maksud Ulil ‘Amri itu ada dua penafsiran yaitu Ulil ‘Amri Fiddunnya adalah
penguasa dan Ulil ‘Amri fiddin adalah mujtahid atau para ulama’, sehingga dari ayat
ini berarti juga memerintahkan untuk taat kepada para ulama mengenai suatu
keputusan hukum yang disepakati mereka.
10
Amir S, Ushul Fiqh.( Jakarta: Fajar Interpratama , 2009 ), hlm. 138
6
ّ
) امذتي ال تجمع على ضاللة ( رواه ابن حاجه ان
Artinya : “ apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut
pandangan Allah juga baik”.11
Dalam hadist ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat
yang sama – sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma’ itu
terpelihara dari kesalahan, sehingga putusannya merupakan hukum yang mengikat
umat islam.
Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan
landasan pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid
belum tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan
menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat karena dianggap senior.
Hanafiyah dan Hanabilah Ijma’ sukuti syah jika digunakan sebagai landasan
hukum, karena diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka
tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya. Jika tidak
menentang dengan tegas, berarti mereka setuju.
11
Suratno, op cit, hlm: 133
12
Satria M. Zein, Ushul fiqh, ( Jakart: Fajar Interpratama Offset, 2005), Hlm, 56
7
a. Pengangkatan Abu Bakar As- Shiddiq sebagai khalifah menggantikan
Rasulullah SAW.
b. Pembukuan Al- Qur’an yang dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar r.a.
c. Menentukan awal bulan ramdhan dan bulan syawal..
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al
Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat,
apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka
wajib bagi kita mengambilnya dan beramal.13
Bukti komplit diatas bahwa contoh hukum Ijma’ yaitu didalam pengangkatan Abu
Bakar as yaitu mengantikan Rasulullah SAW, menjadi Khalifa untuk menetapkan
dasar-dasar hukum sesudah Nabi Muhammad.
4. Syarat Ijma’
Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqh. Ada juga syarat lain,
tetapi tidak disepakati para ulama, diantaranya:
13
Suratno, op cit, Hlm:134
8
c. Mujtahid itu adalah ulama Madinah.
d. Hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya
seluruh mujtahid yang menyepakatinya.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Kedudukan Ijma’ itu menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al-
Qur’an dan Sunnah. Dan Ijma’dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib
dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun
sunnah.
Dari keterangan diatas dapat juga di pahami bahwa ijma harus menyandar kepada
dalil yang ada yaitu kitab, sunah, atau yang mempunyai kaitan kepadanya baik
langsung maupun tidak dan tidak mungkin terlepas sama sekali dari kaitan tersebut.
14
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997). Hlm.53-54
9
Dari beberapa macam Ijma’dapat kami simpulkan bahwa dari semua macam
Ijma’ itu yang pertama Ijma’ qoth’i , Ijma’ Sukuti, Ijma’Sahaby,Ijma’ Ahli
Madinah, Ijma’ Ulama Kuffah, Ijma’ Khulafaur Rasyidin.
2. Saran
Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak kesalahan
dan kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian dalam makalah ini,
maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna
memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya. Kepada Dosen pengajar ( Bapak Drs.
H. Henderi Kusmidi, M. H. I ) diharapkan bimbingan lebih untuk mengingatkan mutu
dan kwalitas mahasiswa PAI pada khususnya didalam mengembangkan ilmutafsir
demi terwujudnya hubungan mahasiswa dengan masyarakat. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
D. DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. 2003. UshulFiqh.Jakarta: PustakaFirdaus.
Amir, Syarifuddin.2009.UshulFiqh.Jakarta: Fajar Interpratama.
Efendi, Satria. 2005. UshulFiqh. Jakarta: Fajar Interpratama Offset.
Jumant Haroen,Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Jumantoro, Totok. 2005.KamusIlmuUshulFiqh. Jakarta: BumiAksara.
Suratno, dkk. 2011. ModulSiap Un Kemenag. Semarang: Dina utama.
Syafe’I Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Wahhab Abdul Khalaf. 2000. Kaidah- KaidahHukum Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
10