PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan Internasional tidak bisa dihindari, merupakan hal alamiah apabila antar Negara
saling membutuhkan dalam berbagai aspek. Kemampuan dalam hubungan internasional juga
merupakan syarat sekunder untuk dianggap sebagai Negara. Karena jika Negara tidak
melakukan hubungan internasional dalam arti menutup diri maka konsekuensinya akan
dikucilkan dan kekurangan bantuan apabila terjadi masalah internal Negara. Perjanjian
adalah dasar untuk melakukan kerjasama internasional agar terjadi keseimbangan dan
keteraturan hubungan antar Negara dan untuk menyelesaikan konflik pula. Sejak
merdeka, hubungan luar negeri Indonesia berpatokan pada kebijakan luar negeri "bebas dan
aktif" dengan mencoba mengambil peran dalam berbagai masalah regional sesuai ukuran dan
lokasinya, namun menghindari keterlibatan dalam konflik di antara kekuatan-kekuatan besar
dunia. Kebijakan luar negeri Indonesia pada masa Orde Baru yang dipimpin
Presiden Soeharto beralih dari sikap anti-Barat dan anti-Amerika yang menjadi ciri
pemerintahan Soekarno. Setelah Soeharto mengundurkan diri tahun 1998, pemerintah
Indonesia mempertahankan garis besar kebijakan luar negeri Soeharto yang moderat dan
independen. Banyaknya masalah di dalam negeri tidak berhasil mencegah presiden-presiden
selanjutnya untuk bepergian ke luar negeri serta partisipasi Indonesia dalam panggung
internasional. Invasi ke Timor Leste oleh Indonesia pada bulan Desember 1975, aneksasinya
tahun 1976, serta referendum kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia pada bulan Agustus
1999 memperkuat hubungan Indonesia dengan komunitas internasional. Dalam menjalankan
kegiatan politik internasional, Indonesia melakukan cara yaitu dengan melakukan kerjasama
dengan negara yang ada di dunia, sehingga Indonesia membuat konsep Lingkaran konsentris
politik luar negeri. Lingkaran konsentris merupakan pembagian regional hubungan luar
negeri yang dianggap mampu menjadi acuan Indonesia untuk melakukan hubungan
internasional. Lingkaran konsentris juga dapat didefinisakan sebagai dua lingkaran atau lebih
yang memiliki pusat yang sama. Dua lingkaran atau lebih tersebut dapat diartikan bahwa
Indonesia dapat menjalin kerjasama dengan dua negara atau lebih agar dapat mewujudkan
kepentingan nasional bangsa Indonesia. Dalam menjalankan konsep lingkaran konsentris ini,
merupakan strategi Indonesia untuk dapat mewujudkan kepentingan nasional melalui
menjalin kerjasama dengan negara yang ada di dunia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Perjanjian Internasioal?
2. Apa dasar hukum Perjanjian Internasional di Indonesia?
3. Apa fungsi dari Perjanjian Internasional?
4. Bagaimana berakhirnya Perjanjian Internasional?
5. Bagaimana Hubungan Negara Indonesia dengan Negara Bangladesh?
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
1. G. Schwarzenberger
2. Oppenheim
3. Mochtar Kusumaatmadja
Perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung
ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersangkutan
Dalam pelaksanaan perjanjian multilateral terdapat beberapa tahapan penting yang harus
dilalui oleh masing-masing negara, yaitu:
1. Tahap Perundingan
Dalam tahap perundingan, setiap negara yang tergabung wajib mengirimkan satu delegasi
yang memiliki kuasa penuh atas negaranya. Sehingga delegasi tersebut memiliki wewenang
untuk menandatangani perjanjian atas nama negaranya.
Namun, bisa menjadi pengecualian apabila dalam perjanjian internasional yang dibentuk
tidak perlu melibatkan kuasa penuh. Perundingan ini bertujuan untuk melakukan
musyawarah dan diskusi dalam konferensi diplomatik mencakup perumusan perjanjian
multilateral dalam bentuk naskah.
Keputusan dalam sebuah perjanjian multilateral hanya bisa dianggap sah apabila disetujui
minal 2/3 dari negara yang bergabung dan naskah masih dapat bisa di sempurnakan di
kemudian hari untuk menghindari kesalahan tafsir. Perundingan memiliki beberapa proses,
antara lain:
Penjajakan
Dalam proses ini dilakukan telaah terhadap manfaat perjanjian bagi kepentingan nasional.
Delegasi yang memiliki kuasa akan melakukan konsultasi dengan DPR jika perjanjia tersebut
berkaitan dengan kepentingan politis.
Perundingan
Perundingan untuk merancang perjanjian melibatkan salah satu delegasi negara terutama
menteri atau bisa juga pejabat negara untuk materi perjanjian sesuai lingkup masing-masing.
Perumusan Naskah
Seluruh negara yang tergabung dalam perjanjian multilateral berhak secara aktif untuk ikut
dalam perumusan naskah perjanjian
Penerimaan
Penerimaan yang dimaksud adalah setiap anggota negara yang tergaung berhak menimbang
lalu memutuskan apakah naskah perjanjian diterima atau tidak
2. Tahap Penandatanganan
Naskah perjanjian internasional yang sudah disempurnakan dan sudah tidak ada
permasalahan prinsip dalam naskah maka naskah tersebut akan ditandatangani setiap wakil
negara yang bergabung dalam perjanjian.
Penandatanganan berarti setiap negara sudah menyetujui dan terikat terhadap perjanjia
tersebut. Penandatanganan ini harus dilakukanan oleh menteri atau presiden, bisa juga
delegasi yang secara sah sudah mendapatkan kuasa untuk mewakiliki negaranya.
3. Tahap Pengesahan
Naskah perjanjian yang sudah ditandatangani seluruh anggota negara yang bergabung, akan
diserahkan kepada masing-masing negara.
Proses pengesahan terdiri dari tiga macam ratifikasi, yakni Ratifikasi Badan Eksekutif,
Ratifikasi Badan Legislatif dan gabungan keduanya. Beberapa perjanjian dapat dilakukan
dengan UU maupun Kepres seperti masalah politik, pertahanan, keamanan dan perdamaian.
B. Dasar Hukum
Dasar Hukum Perjanjian Internasional dalam ketentuan UUD 1945 setelah mengalami
perubahan ialah Pasal 11 yang menyatakan:
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan bebankeuangan Negara,
Sejarah perjanjian internasional dimulai dengan konvensi yang diadakan di Wina, Austria
pada tahun 1969 dan dianggap sebagai induk perjanjian internasional. Konvensi Wina atau
Vienna Convention on The Law of Treaties adalah suatu perjanjian yang mengatur mengenai
hukum internasional antar negara sebagai subjek hukum internasional yang berlangsung pada
23 Mei 1969 dan memasuki into force pada 27 Januari 1980. Sebelum diadakan konvensi
Wina 1969 ini perjanjian antar negara secara bilateral dan multilateral diselenggarakan
dengan dasar asas – asas dan persetujuan dari negara – negara yang terlibat di dalamnya.
Perjanjian internasional antar negara sebelum tahun 1969 diatur berdasarkan kebiasaan
internasional yang dasarnya ada pada praktek negara dan pada keputusan – keputusan dari
Mahkamah Internasional atau Mahkamah Permanen Internasional yang sudah tidak lagi
eksis, juga didasarkan pada pendapat para ahli hukum internasional.
Konvensi Wina disusun oleh International Law Commission (ILC) of The United Nation,
yang memulai pekerjaannya sehubungan dengan konvensi tersebut pada 1949. Selama 20
tahun persiapan, beberapa versi draft dari konvensi dan komentar disiapkan oleh petugas
pelapor khusus dari ILC. Para pelapor khusus ini adalah James Brierly, Hersch Lauterpacht,
Gerald Fitzmaurice dan Humphrey Waldock. Pada tahun 1966, ILC telah mengadopsi 75
draft artikel yang membentuk dasar dari pekerjaan finalnya. Selama dua sesi di tahun 1968
dan 1969, Konvensi Wina telah lengkap sehingga dapat diterapkan pada 22 Mei 1969 dan
dibuka penanda tanganan pada keesokan harinya.
Konvensi Wina 1969 dianggap sebagai induk dari perjanjian internasional kerena pertama
kali memuat mengenai ketentuan – ketentuan atau code of conduct yang mengikat
sehubungan dengan perjanjian internasional. Konvensi ini mengatur semua hal terkait
perjanjian internasional mulai dari ratifikasi, reservasi sampai ketentuan mengenai
pengunduran diri negara dari suatu perjanjian yang dilakukan secara internasional, contohnya
ketika Amerika Serikat mengundurkan diri dari Vienna Convention 1969 pada tahun 2002
yang lalu.
Keberadaan konvensi ini membuat perjanjian antar negara tidak lagi diatur oleh kebiasaan
yang berlaku secara internasional, tetapi diatur oleh suatu perjanjian yang mengikat,
menuntut nilai kepatuhan tinggi dari negara – negara anggotanya dan hanya bisa diubah jika
ada persetujuan dari seluruh negara anggota konvensi Wina tersebut. Hal ini membuat
sejarah perjanjian internasional tidak lagi sama seperti aturan pada kebiasaan internasional
sebelumnya yang dapat berubah apabila ada tren internasional yang baru. Hal – hal yang
dapat membatalkan perjanjian bisa terjadi apabila terjadi kecurangan, pelanggaran, pihak
yang dirugikan dan ancaman dari satu pihak. Sementara penyebab berakhirnya perjanjian
adalah jika salah satu pihak punah, masa perjanjian habis, salah satu atau kedua pihak ingin
mengakhiri dan ada pihak yang dirugikan oleh pihak lainnya. Dengan demikian Vienna
Convention 1969 dalam sejarah perjanjian internasional dianggap sebagaii induk dari
pengaturan mengenai perjanjian internasional. Konvensi ini juga merupakan konvensi
pertama yang berisi pengaturan perjanjian internasional baik pengaturan secara taknis
maupun material dan berisi ketentuan yang merupakan kumpulan dari berbagai kebiasaan
internasional yang berlaku selama ini, yang berkaitan dengan perjanjian internasional.
1. Pacta Sun Servanda, yaitu para pihak yang terkait pada suatu perjanjian, harus mentaati
perjanjian yang telah dibuatnya (perjanjian internasional mengikat dan berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak).
2. Good Fith (itikat baik), yaitu semua pihak yang terikat pada suatu perjanjian
internasional harus beritikad baik untuk melaksanakan isi perjanjian.
3. Rebus Sic Stantibus, yaitu suatu perjanjian internasional boleh dilanggar dengan syarat
adanya perubahan yang fundamental, artinya jika perjanjian internasional tersebut
dilaksanakan maka akan bertentangan dengan kepentingan umum pada negara
bersangkutan.
Sebuah negara akan mendapatkan pengakuan umum dari anggota masyarakat bangsa-
bangsa
Setelah mengetahui apa itu perjanjian multilateral dan bagaimana tahapannya, kita juga harus
tahu bahwa perjanjian ini bisa batal atas dasar hukum.
International agreement memang bersifat mengikat bagi anggota negaranya yang tergabung.
Namun, ada beberapa hal dapat menyebabkan batalnya perjanjian internasional meskipun
sudah disepakati, diantaranya:
1. Salah satu negara yang tergabung dalam perjanjian tersebut melanggar ketentuan yang
tercantum dalam naskah perjanjian. Maka negara lain yang merasa dirugikan berhak
mengundurkan diri dari ikatan perjanjian
2. Unsur kesalahan dari isi perjanjian sehingga dalam pelaksanaannya kurang maksimal
3. Indikasi penipuan dari negara satu terhadap negara lain pada saat pembuatan perjanjian
yang bersifat merugikan bisa dalam bentuk penyalahgunaan perjanjian maupun
pencurangan yang bisa dilakukan dengan segala cara
4. Adanya ancaman atau paksaan dari suatu negara yang dapat berupa acaman kekuatan
Suatu kesepakatan internasional memiliki periode, namun jika dalam rentang periode yang
sudah ditetapkan ternyata tujuan sudah tercapai maksimal maka kesepakatan tersebut dapat
dibubarkan. Tentu saja ini berdasarkan kesepakatan masing-masing anggota.
Indonesia dan Bangladesh memiliki hubungan bilateral yang sangat baik, terutama dalam hal
penguatan kerja sama di bidang ekonomi khususnya sektor industri. Ini
terlihat dari nilaiperdagangan kedua negara yang mengalami peningkatan, di mana tahun
2014 mencapai USD1,38 miliar dan menjadi USD1,65 miliar pada tahun 2017.
1. Kawasan lingkar Samudera Hindia dinilai sebagai kawasan yang memiliki potensi
ekonomi yang sangat besar. Karena itulah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin
Indonesia dan Bangladesh sebagai dua negara yang berada di kawasan tersebut
untuk lebih aktif dalam menggerakkan kerja sama di Samudera Hindia. Presiden
Jokowi juga menilai bahwa sudah saatnya pula kerja sama di lingkar Samudera
Hindia dikaitkan dengan kerjasama di Samudera Pasifik, atau kerja sama Indo-
Pasifik. Peran Asosiasi Negara-negara Lingkar Samudera Hindia (IORA) dalam
hal ini dinilai sangat penting dalam upaya membangun sebuah arsitektur kawasan.
Indonesia dan Bangladesh merupakan anggota dari organisasi tersebut.
Selain membahas mengenai arsitektur kawasan Samudera Hindia, kedua
pemimpin juga menyoroti mengenai krisis yang terjadi di Provinsi Rakhine
Myanmar. Presiden Jokowi juga menyatakan akan terus bekerjasama dengan
Bangladesh menyebarkan ukhuwah Islamiyah serta nilai-nilai toleransi dan
perdamaian. Usai pertemuan, Indonesia dan Bangladesh menandatangani lima
nota kesepahaman (MoU) dalam berbagai bidang kerjasama, yaitu:
- MoU on Foreign Office Consultation;
- Joint Communique on the cooperation to Combat IUU Fishing;
- Joint Ministerial Statement on the Launching of the Negotiations for Indonesia-
Bangladesh Prefential Trade Agreement;
- MoU antara Bangladesh Power Development Board (BPDB) dan PT Pertamina
mengenai Project Integrated Power; dan
- LoI mengenai kesepakatan suplai gas alam cair dari Pertamina ke Petrobangla.
2. Kerja sama perdagangan pada tahun 2019 yang akan ditingkatkan melalui
PTA (Preferential Tariff Agreement), yang negosiasinya akan dimulai akhir
Februari mendatang di Dhaka.
3. Menperin mewakili Pemerintah Indonesia menyampaikan apresiasinya terhadap
Bangladesh yang telah mempercayai PT INKA untuk mendukung dalam
pengembangankonektivitas Bangladesh. Perusahaan industri kereta api ini secara
bertahap mengirimkan 400 gerbong kereta ke Bangladesh. Kerjasama antara PT.
INKA dengan Kereta Api Bangladesh dalam pembelian gerbong kereta api sudah
ditandatangani sejak tahun 2017. Hal ini akan menjadi tonggak sejarah
berbagai peningkatan kerjasama kedua belah pihak untuk yang akan datang. Pada
2019 acara Perayaan Hari Kemerdekaan ke-47 Bangladesh di Jakarta Menperin
juga menyampaikan, PT. Japfa Comfeed Indonesia berencana mendirikan pabrik
baru di Bangladesh yang akan fokus menghasilkan produk pakan ternak. Ini
menandakan geliat industri nasional yang mampu berinvestasi dan melakukan
ekspansi di luar negeri, sekaligus menunjukkan daya saingnya di tingkat global.
4. Indonesia, melalui CV Laksana, mulai mengekspor bus ke Bangladesh. Menteri
Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi mengatakan pengiriman bus ini
adalah realisasi dari diplomasi ekonomi. Pengiriman pertama berjumlah empat
unit, ini bukan kali pertama CV Laksana mengekspor bus buatan mereka.
Sebelumnya, CV Laksana sukses mengekspor 200 bus ke Fiji dan Timor Leste.
Sementara itu, Direktur Teknik CV Laksana, Stefan Arman, mengatakan bus
diproduksi perusahaan sudah mendapatkan sertifikat keamanan dari Eropa.
Sertifikat ini diperoleh setelah pihaknya berkolaborasi dengan Komite Nasional
Keselamatan Transportasi (KNKT) dan sejumlah universitas di Indonesia dalam
pengembangan standar keamanan bus.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang dibuat berdasarkan hukum
internasional oleh beberapa negara atau organisasi internasional untuk mengatur hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Sebuah perjanjian multilateral dibuat oleh beberapa pihak yang
mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian bilateral dibuat antara dua negara.
Sedangkan, perjanjian multilateral adalah perjanjian yang dibuat oleh lebih dari dua negara.
Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada
kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling
menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang
berlaku. Mengenai hubungan antara Indonesia dengan Bangladesh, hubungan diplomatik resmi
didirikan pada tahun 1972 setelah Indonesia menjadi salah satu negara Muslim pertama yang
mengakui Bangladesh independen. Salah satu kerjasama yang sudah dilakukan diantaranya,
mengenai pengiriman Bus, kereta api, muslim rohingya, pendirian pabrik makanan sebagai
bentuk untuk memperkokoh hubungan Indonesia dengan Bangladesh.
DAFTAR PUSTAKA