Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN

PENGALIHAN KEWENANGAN PENDIDIKAN MENENGAH


DARI PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA KE PEMERINTAH PROVINSI
(STUDI KASUD DI SURABAYA)

A. Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara hukum, yang mana semua aspek dan tata kelola
kehidupan pemerintahannya dilandaskan atas dasar hukum dengan mengacu pada pancasila
dan undang-undang dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945. Lahirnya UU
No. 23 tahun 2014 merupakan kesepakatan antara Komisi II DPR RI dengan Kementrian
Dalam Negeri pada awal tahun 2010 sebagai jalan untuk memperbaiki kelemahan dari UU
No. 32 tahun 2004 (Kemendagri, 2011). Kelemahan tersebut terdiri atas 22 isu strategis,
beberapa diantaranya adalah: (1) ketidakpastian pengaturan dalam undang-undang ini
seringkali menimbulkan interpretasi yang berbeda dari berbagai kelompok kepentingan; (2)
perlunya penambahan pengaturan baru tentang pelayanan publik dan partisipasi masyarakat;
(3) banyaknya urusan pemerintahan yang dilimpahkan ke kabupaten/kota tidak sejalan
dengan sumber pendanaan yang dialokasikan, banyaknya urusan pemerintahan cenderung
membuat pemerintahan daerah dengan otonomi luasnya memperbanyak struktur
kelembagaan sehingga terjadilah pembengkakan biaya aparatur atau overhead cost. Untuk
meminimalisir hal tersebut, dalam undangundang pemerintahan daerah yang baru ini
pemerintah memangkas 31 urusan pemerintahan kabupaten/kota menjadi 20 urusan
pemerintahan. Urusan pemerintahan yang tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah daerah
kabupaten/kota salah satu diantaranya adalah kewenangan dalam mengelola pendidikan
menengah.
Pasca ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagai undang-undang
pemerintahan daerah (UU Pemda) yang baru, pemerintah merumuskan regulasi baru terkait
perubahan pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Pembagian urusan tersebut salah satunya dalam bidang pendidikan.
Bahwa mulai tahun 2016 kewenangan pendidikan menengah di seluruh Indonesia dialihkan
dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi. Penetapan kebijakan ini
merupakan perwujudan dari tujuan desentralisasi pendidikan yakni untuk menyeragamkan
pengelolaan pendidikan, khususnya jenjang SMA/SMK antar kabupaten/kota di wilayah
provinsi (Sendhikasari, 2016). Perubahan kewenangan pendidikan menengah tersebut telah
diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 pada pasal 11, pasal 12 ayat 1 huruf a, pasal 15 ayat 1
dan lampiran rumawi I, huruf A. Perubahan tersebut merupakan perubahan dari UU Pemda
sebelumnya yakni UU No. 32 Tahun 2004. Perubahan kewenangan pendidikan menengah
tersebut bisa dilihat pada bagan berikut:

Gambar 1. Perubahan Kewenangan Pemerintah


dalam Manajemen Pendidikan Menengah
Sumber: http://www.slideshare.net/btkip kalteng/undang-undang-23-tahun-2014-terhadap-kebijakan-
anggaran-pendidikan-2016-plk

Kebijakan tersebut berdasarkan pada Undang-Undang (UU) No 23/2014 tentang


Pemerintahan Daerah pengganti UU No. 32/2004, khususnya pada Pasal 9 bahwa urusan
pemerintahan terdiri atas 3 urusan, yaitu: absolut, konkuren, dan umum3 . Sementara itu,
Pasal 11 ayat (1) dijelaskan Pendidikan adalah pelayanan dasar, yang menjadi kewenangan
daerah atas urusan pemerintahan wajib yang termasuk dalam urusan pemerintahan
konkuren. Pada Pasal 20 ayat (1) dinyatakan pula bahwa urusan pemerintahan konkuren
yang menjadi kewenangan daerah provinsi: diselenggarakan sendiri oleh daerah provinsi,
menugasi daerah kabupaten/kota berdasarkan asas tugas pembantuan; atau menugasi Desa,
ataupun seperti dinyatakan pada Pasal 22 ayat (1) bahwa pada perangkat daerah yang
melaksanakan urusan pemerintahan yang hanya diotonomikan kepada daerah provinsi, dapat
dibentuk cabang dinas pada kabupaten/kota.
Dengan adanya ketentuan terkait kewenangan pendidikan menengah dalam UU No 23
Tahun 2014, semua provinsi di Indonesia berlomba-lomba mengambil alih kewenangan
pendidikan menengah, salah satunya Provinsi Jawa Timur, sebagaimana yang diteliti oleh
Sella Nova Damayanti (2017) tentang “Analisis Prospektif Kebijakan Pengalihan
Kewenangan Pendidikan Menengah dari Pemerintah Kota Surabaya ke Pemerintah Provinsi
Jawa Timur Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah” dengan
hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya ketidakoptimisan yang dapat dilihat dari masih
adanya keberatan yang disampaikan oleh para informan atas pengalihan kewenangan kepada
provinsi. Perihal lain juga belum dilakukan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur
adalah dalam pengalokasian anggaran Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA) di
masing-masing daerah Kabupaten/Kota Jawa Timur yang masih dalam tahapan agenda
publik.
Dalam pasal 12 ayat 1 dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 disebutkan
bahwa pendidikan merupakan salahsatu urusan pemerintah wajib. Pembagian urusan
pemerintahan bidang pendidikan antara pemerintahan pusat, pemerintah provinsi dan
pemerintahan kabupaten/kota sebagai berikut:
Tabel 1. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan

Pemerintah
No Sub Urusan Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi
Kabupaten/Kota
1 Manajemen Penetapan standar nasional Pengelolaan pendidikan Pengelolaan pendidikan
Pendidikan pendidikan. Pengelolaan menengah. Pengelolaan dasar. Pengelolaan
Pendidikan Tinggi. pendidikan khusus. pendidikan usia dini dan
pendidikan non formal.
2 Kurikulum Penetapan kurikulum nasional Penetapan kurikulum Penetapan kurikulum muatan
pendidikan menengah, muatan lokal pendidikan lokal pendidikan dasar,
pendidikan dasar, pendidikan menengah dan muatan lokal pendidikan anak usia dini,
anak usia dini, dan pendidikan pendidikan khusus. dan pendidikan nonformal.
nonformal.
3 Akreditasi Akreditasi perguruan tinggi, - -
pendidikan menengah,
pendidikan dasar, pendidikan
anak usia dini, dan pendidikan
nonformal.
4 Pendidik dan Pengendalian formasi Pemindahan pendidik dan Pemindahan pendidik dan
Tenaga pendidik, pemindahan tenaga kependidikan lintas tenaga kependidikan dalam
Kependidikan pendidik, dan pengembangan daerah kabupaten/ kota daerah kabupaten/ kota
karier pendidik. Pemindahan dalam 1 (satu) daerah
pendidik dan tenaga provinsi.
kependidikan lintas daerah
provinsi.
5 Perizinan Penerbitan izin perguruan Penerbitan izin pendidikan Penerbitan izin pendidikan
Pendidikan tinggi swasta yang menengah yang dasar yang diselenggarakan
diselenggarakan oleh diselenggarakan oleh oleh masyarakat. Penerbitan
masyarakat. Penerbitan izin masyarakat. Penerbitan izinizin pendidikan anak usia
penyelenggaraan satuan pendidikan khusus yang dini dan pendidikan
pendidikan asing. diselenggarakan oleh nonformal yang
masyarakat. diselenggarakan oleh
masyarakat.
6 Bahasa dan Pembinaan bahasa dan sastra Pembinaan bahasa dan Pembinaan bahasa dan sastra
Sastra Indonesia. sastra yang penuturnya yang penuturnya dalam
lintas daerah kabupaten/ daerah kabupaten/ kota.
kota dalam 1 (satu) daerah
provinsi.

B. Kajian Pustaka
1. Kewenangan
Kewenangan adalah “bentuk lain dari kekuasaan yang sering kali dipergunakan
dalam sebuah organisasi. Kewenangan merupakan kekuasaan yang formal dan
terlegitimasi” (Sule, 2005). Atmosudirjo (1986:78) menyebutkan kewenangan adalah
apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif
(diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif. Kewenangan
yang biasanya terdiri dari beberapa wewenang adalah kekuasaan terhadap segolongan
orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan. Kewenangan yang
dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata (riil),
mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan
yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Di dalam
makalah ini merupakan bentuk dari delegasi wewenang kepada Pemerintah provinsi
Jawa Timur dari Pemerintah Pusat.
2. Pendidikan Menengah
Pendidikan merupakan komponen penting didalam suatu negara untuk membentuk
sumber daya manusia yang berkualitas. Menurut Undang-undang No. 20 tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan sendiri merupakan:

“Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan


proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.”

Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar


Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdasaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut
pemerintah 7 menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
3. Pro dan Kontra Pemindahan Wewenang
Kebijakan alih pengelolaan sekolah menengah kepada pemerintah provinsi
tentunya membawa perubahan dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia. Perubahan
tersebut antara lain: 1) terjadinya proses pelimpahan wewenang bidang pendidikan
menengah yang dilaksanakan pada bulan Maret s.d. Oktober 2016, pelimpahan ini
menyangkut masalah personel, sarana dan prasarana, serta dokumen, kemudian
diharapkan bulan Desember 2016 nanti serah terima pendanaan dari pemerintah kab/kota
ke provinsi dapat terlaksana; 2) pelaksanaan dan pengelolaan pendidikan menengah dan
pendidikan khusus nantinya juga dialihkan seperti usulan kenaikan pangkat dan
peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dan pendataan sarana
prasarana, personel, dan kesiswaan akan dipegang oleh pemerintah provinsi; 3) terdapat
koordinasi antar pemerintah daerah dalam penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD), pendidikan masyarakat (dikmas) dan pendidikan dasar seperti penyelenggaraan
ujian nasional, penyetaraan paket C, pengukuran IKU dan IKK di semua jenjang
pendidikan; 4) pelaksanaan lomba-lomba dan fasilitasi pelaksanaan kesiswaan tingkat
provinsi, nasional, internasional juga memerlukan koordinasi yang baik di pemerintah
provinsi. Jika dilihat lebih dalam terdapat beberapa dampak positif dari perubahan
regulasi ini diantaranya; pertama pengelolaan pendidikan lebih fokus dan efisien. Karena
adanya pembagian pengelolaan pendidikan, yaitu pemerintah pusat mengelola
pendidikan tinggi (Dikti), pemerintah provinsi mengelola pendidikan menengah
(Dikmen) dan pemerintah kota/kabupaten mengelola pendidikan dasar (Dikdas).
Pengelolaan ini selain lebih fokus juga akan lebih efisien dan jika terjadi
keberhasilan serta kegagalan pada dunia pendidikan pada tiap jenjangnya akan mudah
dideteksi dan mudah diambil solusinya. Setelah adanya otonomi daerah memang
sebagian besar urusan pendidikan lebih banyak dikelola oleh kota/kabupaten, sementara
pemerintah pusat dan pemerintah provinsi hanya sedikit mengelola pendidikan. Dengan
perubahan pembagian pengelolaan ini diharapkan pengelolaan pendidikan di Indonesia
akan lebih adil dan proporsional. Kedua, praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)
di dunia pendidikan semakin berkurang. Praktik KKN pendidikan di Indonesia sangat
banyak, yaitu di antaranya PPDB (Pendaftaran Peserta Didik Baru). Setiap ada PPDB
praktik nepotisme sangat sering terjadi. Untuk mengurangi kecurangan pada PPDB ini
bisa ditempuh dengan PPDB On-Line tingkat provinsi.
Praktik KKN selanjutnya adalah pada pengangkatan kepala sekolah, khususnya di
sekolah negeri sangat rawan kolusi. Banyak kepala sekolah yang tidak kompeten, bisa
jadi kepala sekolah lantaran kepala sekolah ini dekat dengan kepala daerah atau kepala
sekolah ini menjadi tim sukses kepala daerah tersebut. Atau tidak terbukanya rotasi antar
kepala sekolah di kota atau kabupaten. Politisasi guru seperti ini bisa dihapus dengan
cara guru di Indonesia harus ikut organisasi profesi seperti PGRI (Persatuan Guru
Republik Indonesia). Ketiga, terjadinya pemerataan mutu pendidikan. Selama ini hanya
beberapa kota dan kabupaten yang bermutu dan berprestasi pendidikannya, diharapkan
dengan pengelolaan SMA/SMK berpindah ke pemerintah provinsi, maka pemerintah
provinsi berhak untuk merotasi dan memutasi guru dan kepala sekolah yang berprestasi
di wilayah kota dan kabupaten/ kotanya. Dengan regulasi rotasi dan mutasi oleh
pemerintah provinsi, kecil kemungkinan terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme,
dibandingkan jika regulasi ini dikelola oleh kota atau kabupaten. Regulasi rotasi dan
mutasi juga bisa berlaku pada semua guru dan kepala sekolah untuk memenuhi
kekurangan atau kelebihan guru dan kepala sekolah di daerah tertentu dalam wilayah
satu provinsi. Keempat, lebih fokusnya pengelolaan anggaran di kota dan kabupaten.
Dengan regulasi baru, maka pemerintah kota dan kabupaten sangat diuntungkan, karena
urusan yang menjadi wewenangnya berkurang maka pengelolaan anggaran pendidikan
dasar akan lebih optimal. Dana transfer ke daerah yang dialokasikan kepada pemerintah
daerah dimungkinkan dapat lebih terarah dan pemerintah kabupaten/kota tidak lagi
dipusingkan dengan dana untuk pendidikan.
Dampak negatif dari regulasi baru ini adalah: pertama, sulitnya mengadakan
koordinasi. Koordinasi untuk setingkat kota dan kabupaten saja sulit apalagi untuk
tingkat provinsi. Hal ini wajar, karena wilayah pemerintahan provinsi lebih luas daripada
wilayah kota dan kabupaten. Namun hal tersebut tidak boleh dijadikan alasan birokrasi
untuk tidak bekerja maksimal, justru pemerintah provinsi dituntut untuk bekerja lebih
baik melayani dengan pelayanan prima pada SMA/SMK di seluruh kota dan kabupaten
yang ada di wilayah provinsi. Koordinasi bisa tetap dilakukan dengan beberapa alternatif
seperti memberikan tugas pembantuan bagi pemerintah kabupaten/kota, atau bisa juga
dibentuk cabang/dinas di kabupaten/kota. Selain dampak di atas, muncul banyak
kekhawatiran masyarakat terkait pemindahan kewenangan sekolah menengah kepada
pemerintah provinsi, diantaranya hilangnya kebijakan pendidikan gratis, hilangnya
tunjangan guru, serta diberhentikannya beberapa tenaga honorer di daerah. Namun jika
dicermati, beberapa hal tersebut masih berupa kekhawatiran.

C. Pembahasan
Implementasi pengelolaan pendidikan menengah oleh pemerintah provinsi
merupakan tindak lanjut kebijakan pengalihan kewenangan pendidikan menengah di Kota
Surabaya yang direalisasikan oleh Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Kota Surabaya.
Dalam pelaksanaannya, tidak terlepas oleh adanya pertimbangan berbagai faktor-faktor yang
turut mempengaruhi proses implementasi kebijakan ini. Sebagaimana faktor-faktor
implementasi kebijakan yang disampaikan oleh Van Metter dan Van Horn (1975),
setidaknya terdapat enam faktor yang turut mempengaruhi proses implementasi sebuah
kebijakan. Ke enam faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan tersebut di
antaranya adalah : 1) Ukuran (standar) dan tujuan kebijakan; 2) Sumber daya; 3)
Komunikasi dan aktivitas pelaksana; 4) Karakteristik agen pelaksana; 5) Kondisi sosial
politik dan ekonomi; 6) Kecenderungan (disposition) dari para pelaksana. Adapun hasil
pemerolehan dan analisis data dari ke enam faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ukuran (Standar) dan Tujuan Kebijakan
Tujuan dari kebijakan pengalihan kewenangan pendidikan menengah dari
Pemerintah Kabupaten/Kota ke Pemerintah Provinsi Jawa Timur di dalam UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah berkaitan dengan tujuan kebijakan secara
nasional, yakni pemerataan pelayanan pendidikan. Kebijakan ini juga bersifat
redistribusi kewenangan, artinya pengambilan kembali kewenangan yang telah
diberikan untuk kemudian dilakukan pengaturan pemerataan. Dalam konteks kebijakan
pengalihan kewenangan pendidikan menengah ini di Provinsi Jawa Timur, redistribusi
kewenangan dilakukan dari dan oleh Pemerintah Kota Surabaya kepada Pemerintah
Provinsi Jawa Timur. Untuk operasional pelaksanaan pengelolaan pendidikan
menengah, standar kinerja Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur telah diatur dalam
Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 81 Tahun 2016 dan standar kinerja cabang dinas
telah diatur dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 94 Tahun 2016.
2. Sumber Daya
Implementasi pengelolaan pendidikan menengah di Kota Surabaya didukung
oleh sumber daya manusia, sumber daya pendanaan, dan sarana prasarana. Dalam aspek
sumber daya manusia, dapat diketahui bahwa permasalahan yang dihadapi oleh Cabang
Dinas Pendidikan Wilayah Kota Surabaya dalam aspek sumber daya manusia ini adalah
permasalahan secara kuantitas maupun secara kualitas. Adapun dalam aspek sumber
daya keuangan/pendanaan, dapat diketahui bahwa pada implementasi pengelolaan
pendidikan menengah di Kota Surabaya, sumber pendanaan dikelola langsung oleh
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Sumber pendanaan dalam pengelolaan
pendidikan menengah ini adalah berasal dari Anggaran Pendapatan Daerah Provinsi
Jawa Timur.
3. Komunikasi dan Aktivitas Pelaksana
Pada awal pengalihan kewenangan pendidikan menengah ini, proses komunikasi
telah dilakukan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur dengan pihak Pemerintah Kota
Surabaya dalam proses penyerahan kewenangan pendidikan menengah dalam aspek
P3D. Setelah selesai dialihkan dan dikelola oleh pemerintah provinsi, pengelola teknis
dipegang oleh Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Kota Surabaya. Proses komunikasi
yang dilakukan dalam pengelolaan teknis pendidikan menengah ini dilakukan di internal
Cabang Dinas Pendidikan dan dengan pihak eksternal yang terlibat dalam proses
pelaksanaan kebijakan.
4. Karakteristik Agen Pelaksana
Dalam konteks implementasi kebijakan pengalihan kewenangan pendidikan
menengah di Kota Surabaya, karakteristik pelaksana mengacu pada karakteristik
Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Kota Surabaya sebagai lembaga pelaksana teknis
pengelolaan pendidikan menengah di Kota Surabaya. Karakteristik cabang dinas
pendidikan sangat ditentukan bagaimana karakter para pegawai yang bekerja di
dalamnya.
Dilihat dari aspek kompetensi dan ukuran pegawai di cabang dinas pendidikan
bisa dikatakan masih berada dalam kondisi kurang ideal. Kondisi ini yang kemudian
mempengaruhi tingkat pelayanan yang diberikan yang masih belum sepenuhnya bisa
dilaksanakan dengan maksimal. Meskipun masalah ini telah dirasakan dampaknya oleh
kelompok sasaran, dalam ini para siswa dan guru. Namun demikian, karena cabang
dinas pendidikan memprioritaskan pelayanan kepada masyarakat, maka dalam
melaksanakan pekerjaan mereka, peneliti mendapati para pegawai cabang dinas
mengupayakan memberikan pelayanan yang baik dengan kondisi yang ada.
5. Kondisi Sosial Politik dan Ekonomi
Kondisi sosial, politik dan ekonomi berhubungan dengan kondisi masyarakat kota
Surabaya. Dalam proses pelaksanaannya masyarakat bisa menerima kebijakan yang ada
dengan diberikannya pengertian dari pihak Dinas Pendidikan Provinsi melalui Cabang
Dinas Pendidikan Wilayah Kota Surabaya. Begitu juga dengan konteks sosial ekonomi
masyarakat Kota Surabaya pada konteks pelaksanaan kebijakan ini. Secara sosial
ekonomi masyarakat Kota Surabaya sebenarnya masih banyak yang masih berada dalam
kondisi ekonomi yang lemah, oleh karenanya membutuhkan bantuan untuk kebutuhan
pendidikan anak-anak mereka. Namun karena kebijakan alih kelola pendidikan
menengah ini tetap harus dilaksanakan, akhirnya masyarakat tetap bisa menyesuaikan
kebijakan yang ada. Tentu peran pemerintah dalam hal ini, juga turut mencarikan
pemecahan terhadap kondisi siswa SMA/SMK yang masih membutuhkan bantuan biaya
sekolah.
6. Kecenderungan (disposition) dari Para Pelaksana
Berhubungan dengan sikap para pegawai Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Kota
Surabaya ini, peneliti melihat bahwa secara kecenderungan para pegawai mempunyai
pemahaman dan penerimaan yang baik terhadap kebijakan pengalihan kewenangan
pendidikan menengah ini. Hal ini bisa dilihat beberapa indikasi yang bisa dilihat pada
pola kinerja para pegawai dalam menjalankan tugas dan fungsinya yang mengutamakan
pelayanan kepada masyarakat.
D. Penutup
Berdasarkan data yang telah diperoleh di lapangan dan analisis data yang telah
dilakukan oleh peneliti, secara makro dapat disimpulkan bahwa proses implementasi
pengelolaan pendidikan menengah jenjang SMA/SMK di Kota Surabaya oleh Cabang Dinas
Pendidikan Wilayah Kota Surabaya dapat dilaksanakan dengan semestinya sebagaimana
tugas dan fungsinya, namun demikian dalam proses implementasi dihadapkan dengan
beberapa permasalahan seperti keterbatasan sumber daya manusia, kurangnya kesiapan
sumber daya manusia dan permasalahan pendanaan. Hal ini yang kemudian menimbulkan
dampak terhadap siswa dan guru SMA/SMK di Kota Surabaya, seperti pembebanan biaya
sekolah dan penurunan tunjangan bagi para guru.
Daftar Pustaka
Amin, Z. I. (2014). Pendidikan Kewarganegaraan. Tanggerang: Universitas Terbuka.
BTKIP Kalimantan Tengah. 2015. Undang-Undang 23 tahun 2014 terhadap kebijakan
anggaran pendidikan, (Online), (http://www.slideshare.net/btkipkalteng/undang-
undang-23-tahun-2014-terhadap-kebijakan anggaran-pendidikan-2016-plk, diakses 11
April 2017).
Damayanti, S. N. 2017. “Analisis Prospektif Kebijakan Pengalihan Kewenangan Pendidikan
Menengah dari Pemerintah Kota Surabaya ke Pemerintah Provinsi Jawa Timur
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah”. Jurnal
Kebijakan dan Manajemen Publik. Vol. 5 (3).
Dinas Pendidikan Kota Surabaya. 2017. Paparan Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Surabaya.
Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: UGM Press.
Hajiriyan, Y. F. (2018). Implementasi Kebijakan Pengalihan Kewenangan Sekolah Luar Biasa
(Slb) Negeri Ungaran Dari Pemerintah Kabupaten Semarang Kepada Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah (Doctoral Dissertation, Faculty of Social and Political Science).
Meter, Donald Van dan Horn, Carl Van. 1975. The Policy Implementation Procces: A
Conceptual Framework. London: Sage.
Saputro, A., & Rahaju, T. (2018). Implementasi Kebijakan Pengalihan Kewenangan Pendidikan
Menengah dari Pemerintah Kabupaten/Kota ke Pemerintah Provinsi Jawa Timur
(Studi di Kota Surabaya). Publika, 6(5).
Sendhikasari, Dewi. 2016. “Pengalihan Kewenangan Manajemen Pendidikan Menengah dari
Kabupaten/Kota ke Provinsi”. Dalam Info Singkat, April. Pusat Penelitian Badan
Keahlian DPR RI.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 48 Tahun 2008 Tentang PendanaanPendidikan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah
Permendagri No. 54 tahun 2010 tentang Tata Cara Pengolahan Data dan Informasi Pembangunan
Daerah
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 11 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan
Perangkat Daerah.
https://berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/public-file/buletin-apbn-public-16.pdf

Anda mungkin juga menyukai