Anda di halaman 1dari 6

Tujuh Belas Terakhir

Karya : Nadia Dwi Lestari


Kelas : XI IPA 3

Aku tertatih-tatih mendekati meja makan lama sekali. Padahal hanya sejarak 3 m
dari kamarku. Perlahan–lahan tapi aku rasa ini gerakan tercepatku untuk meraih gelas.
Terus dan terus sampai aku akan mendapatkannya tapi kenapa gerakan jari–jari ini tak
beraturan sama sekali? Kenapa gelas itu sangat susah aku genggam?.
Praaak… Gelasku menyenggol botol, botol menumpahi bakul nasi dan menggeser
semangkuk sup di sebelahnya.
Pyaaar… Mangkuk itu tumpah ke lantai, aku tersentak takut sekali.

“Aduh! Tati apa yang kau lakukan nak, ibu sudah capek marah sama kamu tolong
jangan buat ulah Ti. Bapakmu bentar lagi pulang cuma ini lauk yang bisa ibu siapkan,
malah kau tumpahkan! Dasar anak nakal! Ayo masuk kamarmu lagi!” Ibu menarik
tanganku dan menyeretku ke kamar. Ini terjadi berkali–kali, sepuluh kali dalam sehari
bahkan lebih, aku mencoba bicara tapi lidah pendekku ini tak bisa membantuku. Untuk
menjelaskan satu kata saja tak bisa aku lisankan dangan baik, aku susah sekali bicara.
“I hu i hu a wus.” Aku berusaha bicara tapi percuma ibu sudah menghambur pergi
dengan marahnya.

Aku ini kehausan, haus sekali. Aku tak bermaksud menumpahkan sup itu. Aku
hanya ingin mengambil minum sendiri seperti teman–teman yang lain. Malah, aku ingin
membantu ibu memasak. Aku kasihan pada ibu. Sebelumnya, ibu tak pernah bersikap
kasar padaku dia begitu menyayangi aku. Tapi, dua tahun terakhir perlakuan ibu mulai
kasar padaku. Aku memahaminya, mungkin ibu sudah capek atas ulahku seperti yang
telah dia katakan tadi. Sekarang aku semakin sendiri, biasanya ibulah satu–satunya
orang yang mengerti aku. Kerap kali aku melihat ibu menangis sesenggukan saat sholat,
saat masak, saat duduk sendiri. Tubuhnya semakin kurus, dia kecewa dan mulai putus
asa. Segala pengobatan sudah dicoba tapi kondisiku biasa saja, hasilnya nihil.

Dua tahun yang lalu, pada bulan dimana banyak diadakan lomba disana–sini. Yang
paling kerap aku temui adalah perlombaan dimana puluhan kardus dan keresek besar.
Bahkan, seekor ayam jago yang dibalut dengan anyaman daun kelapa, tergantung
melingkar menyerupai payung di atas pohon tinggi tegak dan lurus. Yang dilumuri
cairan hitam menyerupai cat tapi sangat licin. Sehingga, para pria dewasa yang bersusun
menaiki pundak rekannya berkali–kali jatuh ke dalam lumpur. Tujuh belasan, orang–
orang menyebutnya dan aku tahu bulan ini adalah bulan Agustus. Bulan dimana
masyarakat Indonesia merayakan kemerdekaan. Walaupun aku menyandang predikat
gadis keterbelakangan mental atau yang biasa anak–anak kecil bilang, idiot. Tapi aku
sudah hidup 14 tahun aku sudah paham dengan apa yang orang–orang lakukan.
Bedanya, aku lambat dan sering bertindak tanpa sadar. Syaraf–syaraf pada tubuhku tak
berfungsi dengan baik. Biarpun aku ini Autis, Dislexia atau apalah istilah–istilah yang
biasa diucapkan dokter pada ibu tentang penyakitku. Tapi aku masih punya hati. Otakku
memang kacau tapi perasaanku ini masih normal, aku masih bisa merasakan lapar dan
sedih. Aku masih merasakan sakit saat anak–anak kecil yang saking jijiknya padaku,
sehingga mereka tega melempariku dengan kerikil, mencubiti tanganku dengan kuku–
kuku manis di tangannya. Kondisiku ini membuatku teraniaya tanpa sebab.

Dan di bulan Agustus itu, aku telah mempermalukan keluargaku. Sebenarnya,


masalahnya sama aku tak bisa menyampaikan maksudku dengan baik. Saat anak–anak
sedang berlomba makan kerupuk aku ingin ikut. Hanya saja mereka pikir aku akan
mengacau.
“Woy…, ngapain si Tati ikut–ikutan kesini?”
“Iya ni! Gaya–gaya aja, mau ikut lomba Ti?”
“Apa…!? Ikut lomba? Ha…, yang ada kacau anak sarap! Idiot! Pulang aja sana!”
Mereka terus saja mengejekku, hinaan hingga kerikil–kerikil kecil menghujani diriku.
Untunglah, seperti biasa ibu datang menolongku. Memarahi anak–anak nakal itu lalu
memelukku oh… ibu, ibu pahlawanku.
Tak kapok dengan kerikil–kerikil tadi, kembali aku mendekati kerupuk–kerupuk
yang tergantung. Aku mencoba menggigitnya tapi tak bisa, spontan gerakanku seperti
orang yang sedang mengamuk. Aku rasa sangat gembira. Aku tarik semua kerupuk–
kerupuk itu hingga jatuh berceceran ke tanah.
“Hey Tati jangan dirusak itu buat lomba.”
“Wah jangan-jangan Tati ngamuk nih cepet panggil ibunya.”
“Bu… ibu Asih Tati ngamuk bu.” Teriak pak RW.

Aku tak bisa menahan diri. Walau orang lain menyebutku mengamuk, aku tak
peduli yang penting aku senang bukan main. Sebelum ibu datang, aku sudah berlari.
Sebenarnya pelan bisa dikatakan bukan lari, tapi tidak ada yang berani menahanku
karena gerakanku yang tak beraturan ini. Tiba–tiba anting di telinga kananku lepas dan
menggelinding ke sungai. Aku berniat mengambilnya, spontan anak–anak SMA yang
sedang lomba dayung hiseris.
“Woy… Tati ngapain ke sungai bosan hidup ya!?”
“Hey… cegah itu hey entar tenggelam”
“Ini sih bukan idiot tapi gila!”
“Tati…, Tati…” Teriak orang–orang yang panik dengan tindakanku.

Pak RW pontang–panting mancari ibu atau ayahku, peserta lomba dayung mendarat
dan berteriak–teriak tanpa tindakan, penonton dan panitia bengong tak tahu apa yang
harus dilakukan. Sedangkan aku, aku sudah berada pada kedalaman setinggi dada. Aku
meraung–raung, senang sekali. Baru pertama kali ini aku bisa bermain bebas di air.
Kondisi tetap seperti semula mereka menganggapku mengamuk. Padahal, aku ini
sedang berekspresi maksimal, dimana kenakalan masa kecilku tak tersalurkan. Aku
puas!.

Tak berakhir begitu saja. Setelah ibu, ayah dan saudara–saudaraku datang dengan
geram mereka menyeretku ke rumah.
“Dasar anak tak bisa disayang. Bisanya cuma buat ulah! Lama-lama ibu bosan Ti!”
Omel ibu.
“Malu–maluin saja! pingin mati kamu ya!” Bentak ayah sambil memukuli pantatku
dengan sebilah ranting pohon jambu.

Inilah kali pertamanya aku melihat ibu semarah itu, sekasar itu. Ibu sudah mulai
malu dengan keadaanku.
Sejak itulah, aku tak diizinkan menghirup udara bebas meski hanya di halaman rumah.
Aku terikat dan terpenjara di kamarku sendiri. Suasana rumah tak seindah dulu. Aku
bagai pembawa sial di rumahku sendiri. Perhiasan dan harta benda ibu sedikit demi
sedikit habis hanya untuk mengobatiku. Kalau dulu, dokter jiwa, psikiater dan
pengobatan theraphy yang jadi langgananku. Sekarang, dukun dan tabib pun jadi tamu
bulanan rumahku. Aku sudah bosan dengan pengobatan–pengobatan. Andai mereka
paham, aku hanya ingin dimengerti, disayang dan dikenali bahasaku itu saja. Sekarang
bebanku makin berat, bukan hanya penyandang gadis keterbelakangan mental. Tapi juga
gadis yang kesurupan penunggu pohon belakang rumah. Tragis keadaanku sekarang ini.
Aku semakin sendiri saja. Bagaimana aku akan sembuh, didekati pun tak pernah.
Bagaimana aku mau diam, siapa yang tahu kalau aku sedang menjerit-jerit karena takut
dengan kecoa, sesak karena pengap lama-lama di penjara kotor ini.

Siapakah yang masih berbelas kasihan padaku, yang masih peduli melihat
keadaanku. Aku sudah tak berdaya, rambut acak–acakan. Senyum–senyum tapi hati ini
teriris.Tubuhku yang gemuk kini mongering dan dekil. Aku berontak, aku lemparkan
barang–barang yang ada di kamar, hingga suatu ketika aku mendapatkan kesempatan
untuk menyelusup kabur, itu pun karena kamarku mau dibersihkan. Selama berbulan–
bulan tak tersentuh cahaya sedikitpun. Saat ayah lengah aku belari aku ingin
bernosatalgia dengan alam.

Kembali tragedi 2 tahun silam terulang, aku dianggap mengamuk lagi. Aku
menggemparkan seluruh kampung. Tapi kali ini aku mengamuk betulan. Aku berontak
sejadi-jadinya, aku tendangi kandang–kandang ayam milik ayah sampai ayamnya lari
tunggang–langgang, aku dorong jemuran baju hingga baju–baju yang masih basah kotor
karena jatuh ke tanah. Aku berteriak–teriak hingga mereka pikir aku kesurupan lagi.
Dukun sudah dipanggil, para ibu mengambil irus yang katanya untuk mengusir arwah
yang merasuk ke tubuhku. Mereka seperti orang-orang yang tak punya hati saja.

Saat kondisi mulai membaik, saatnya aku menerima ganjaran atas ulahku, kaki dan
tanganku diikat. Malamnya pak RW datang ke rumah.
“Assalamu’laikum”
“Wa’alaikumsalam, eh pak RW tumben ada apa ya…, silahkan duduk Pak.”
“Terimakasih pak, begini lho maksud kedatangan saya kasini adalah untuk mencoba
memberikan solusi mengenai Tati.”
“Aduh pak mau diobatin kemana lagi? Bapak kan tahu sudah bertahun–tahun usaha
kami menyembuhkan Tati gagal terus.” Pak RW dan Ayah bicara panjang lebar, aku
sudah tak dengar apa lagi yang mereka bicarakan.

Entah dapat bisikan dari algojo mana pak RW datang ke rumah hanya untuk
berunding ide yang sama sekali tak berperikemanusiaan. Beliau menyarankan untuk
membuatkan gubuk kecil di sebelah rumah untuk mengurungku. Pak RW pikir aku
perlu diasingkan, bahkan kalau perlu dipasung. Karena aku sudah meresahkan warga.
Dan entah atas dasar apa keluargaku setuju begitu saja.

Satu hari penjara baruku siap menjadi hunianku. Gubuk setinggi 1,5 m dengan luas
2 x 1 m. Beralaskan terpal dan dinding kayu yang tersusun tak rapat. Sehingga angin
malam dapat dengan bebas mendinginkanku. Serta atap seng–seng bekas membalut
gadis gila ini. Aku gila, aku idiot, apa liangkunganku yang tidak waras?. Gubuk kecil
yang lebih mirip dengan kandang kambing ini menjadi saksi ratapanku. Apa ada yang
tahu gadis gila ini merasa kedinginan di tengah malam, lapar karena jatah yang tak
teratur, takut kala hujan dengan petir yang menyambar–nyambar. Takut pada angsa yang
kerap menjulurkan lehernya kepundakku serta bau busuk dari comberan di sebelah
gubukku. Keluargaku, pelindungku malah menjadi serdadu yang tak kenal ampun pada
tahanan.

Tak bisa lagi aku membedakan antara adzan magrib dan adzan subuh, tak tahu
sudah berapa siang dan malam bergilir, tak tahu kapan lagi bulan Agustus datang,
mengenang kembali musabab terpuruknya aku, sang gadis idiot di gubuk derita ini.

Anda mungkin juga menyukai