Anda di halaman 1dari 6

Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK bidang Perekonomian: Pondasi Ekonomi Bagus Jadi

Modal Dasar

17/10/2017

JAKARTA - Menko Darmin Nasution menegaskan, ekonomi Indonesia terus menunjukkan


perbaikan yang menggembirakan. Hal itu ditunjukkan dari berbagai indikator ekonomi,
antara lain: kemiskinan yang menurun, per tumbuh ekonomi yang stabil, inflasi terkendali,
ketimpangan pendapatan menurun dan pengangguran yang juga menurun.

“Untuk inflasi, tiga tahun terakhir selalu di bawah persen,” kata Darmin Nasution dalam
paparan tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo- Wakil Presiden Jusuf Kalla di Bina
Graha, Selasa, 17 Oktober 2017.

Dalam konferensi pers yang diinisiasi Kantor Staf Kepresidenan bersama Kementerian
Komunikasi dan Informatika, Menko Darmin didampingi Menteri Pariwisata Arief Yahya,
Kepala BKPM Thomas Lembong, dan Kepala Bekraf Triawan Munaf. Acara dipandu Staf
Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi.

Menurut Darmin, pertumbuhan ekonomi yang tadinya melambat, kini berbalik lebih cepat
lagi. "Kita beharap bergerak ke 5,2 persen. Syukur-syukur lebih sedikit,” katanya.

Pondasi ekonomi kita, lanjut Darmin, sangat bagus. Ini jadi modal dasar bagi perekonomian
kedepan. Terlebih dari sisi infrakstruktur, kini sudah merata di seluruh Indonesia.

Dari sisi inflasi, kata Darmin, pemerintah berhasil mengelola dengan baik. “Sejarah ekonomi
Indonesia, sebelum krisis 1998, inflasi kita selalu double digit. Setelah krisis eknomi, inflasi
pelan-pelan menurun. Tiga tahun terakhir selalu di bawah 4 persen,” jelasnya.

Darmin optimistis, inflasi akan terus menurun hingga 3,5 persen plus minus 1. “Di
pemerintah mendatang, bila terus terjaga bisa jadi 3 persen, lalu 2 persen plus minus 1. Saat
itu, kita bisa sejajar dengan negara maju yang lain,” tegas Darmin.
Sektor Pariwisata jadi Primadona

Pada ssi yang sama, Menteri Pariwisata Arief Yahya menegaskan bahwa sektor pariwisata
nasional kini menjadi primadona baru bagi pembangunan nasional. Sumbangan devisa
maupun penyerapan tenaga kerja dalam sektor ini amat signifikan bagi devisa negara.
Bahkan, diperkirakan pada tahun 2019 sudah mengalahkan pemasukan devisa dari industri
kelapa sawit (CPO).

“Presiden Jokowi sudah menyadari dan meminta agar pariwisata menjadi sektor unggulan
terbesar nasional,” jelas Menpar Arief.

Arief menjelaskan dari hasil riset World Bank 2016, sektor pariwisata adalah penyumbang
yang paling mudah untuk devisa dan pendapatan domestik bruton (PDB) suatu negara.
Pasalnya, dampak turunan dari investasi di sektor pariwisata terhadap PDB memang amat
besar.

“Untuk Indonesia, pariwisata sebagai penyumbang PDB, devisa dan lapangan kerja yang
paling mudah dan murah.” kata Arief.

World Bank mencatat hanya dengan investasi di industri pariwisata sebesar US$1 juta
mampu menyumbang 170% dari PDB. Ini merupakan dampak ikutan tertinggi suatu industri
kepada negaranya. Sebab, industri pariwisata mampu menggerakkan usaha kecil menengah
seperti kuliner, cinderamata, transportasi dan lainnya.

“Perolehan devisa negara dari sektor sektor pariwisata sejak tahun 2016 sudah mengalahkan
pemasukan dari migas dan di bawah pemasukan dari CPO. Diperkirakan pada tahun 2019,
sektor pariwisata menjadi penhyumbang utama devisa utama Indonesia sebesar US$24
miliar,” tukasnya.

Satu hal, Indonesia dinilai oleh media top Inggris, The Telegraph sebagai salah satu dari 20
negara dengan pertumbuhan paling cepat di sektor pariwisata. Dikatakan, pertumbuhan
pariwisata Indonesia dalam kurun waktu Januari-Agustus 2017 mencapai 25,68%. Sedangkan
industri pelesiran di kawasan ASEAN hanya tumbuh 7% dan semantara dunia hanya
berkembang 6%.
Selain itu, dibandingkan dengan negara jiran seperti Malaysia, Singapura dan Thailand,
Indonesia juga lebih unggul dalam hal Tourism Branding ‘Wonderful Indonesia’ dan Paket
Destinasi dengan berbagai penghargaan internasional yang diraih Indonesia.

Indeks Daya Saing Pariwisata Indonesia menurut World Economy Forum (WEF)
menunjukkan perkembangan menggembirakan. Peringkat Indonesia naik 10 poin dari 50
pada tahun 2015 menjadi 42 pada tahun ini.

Satu hal dari peningkatan jumlah wisatawan mancanegara yang meningkat selama tiga tahun
terakhir dari 10 juta orang pada tahun 2015 menjadi 12 juta pada tahun lalu menambah tebal
pemasukan devisa negara dari US$12,336 miliar menjadi US$12,441 miliar. Adapun dalam
paruh pertama tahun 2017 ini tercatat jumlah pelancong asing sudah mencapai 7,8 juta orang.

Demi meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dengan targetnya 20 juta kunjungan


pada 2019, Kementerian Pariwisata mempromosikan 10 destinasi wisata baru di Indonesia.

Menpar menjelaskan bahwa destinasi pariwisata Indonesia yang gencar dipasarkan karena
sudah berkembang, serta ada juga destinasi yang masih dikembangkan. Berbagai destinasi
memang dikategorikan berdasarkan kesiapan amenitas (saranan dan prasarana), atraksi dan
akses masing-masing, untuk menyambut wisatawan.

Destinasi yang pengembangannya prioritas ada 10, meliputi: Tanjung Kelayang, Tanjung
Lesung, Mandalika, Morotai, Borobudur, Danau Toba, Kepulauan Seribu, Bromo Tengger
Semeru, Wakatobi, dan Labuan Bajo. Sementara itu, 10 daerah yang sektor pariwisatanya
sudah berkembang dan lebih siap menyambut banyak turis meliputi 3 destinasi diving:
Wakatobi, Raja Ampat, Bunaken, serta 3 destinasi pemasaran utama: Bali, Jakarta, Kepri,
serta Banyuwangi, Bandung, serta Joglosemar.

Kekuatan baru itu bernama Ekonomi kreatif

bekrafSektor ekonomi kreatif, terbukti bisa jadi sumber kekuatan ekonomi baru. Di tengah
melambatnya harga komoditas dan bahan mentah secara global, sektor ekonomi kreatif,
memberikan sumbangan yang positif bagi perekonomian Indonesia.
“Di masa depan, ekonomi tidak semata-mata, bergantung pada sumber daya alam mentah,”
tegas Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Triawan Munaf dalam paparan 3 Tahun Jokowi-JK di
Kantor Staf Presiden.

Tugas ekonomi kreatif adalah memberikan nilai tambah. Sehingga dapat menghasilkan
produk yang bernilai tinggi dan berkontribusi besar pada perekonomian.

Berdasarkan data terakhir, dalam catatan Triawan Munaf, ekonomi kreatif memberikan
kontribusi sebesar 7,38 persen terhadap total perekonomian nasional dengan total PDB
sekitar Rp. 852,24 Triliun.

“Dari total kontribusi tersebut, sub-sektor kuliner, kriya dan fashion memberikan kontribusi
terbesar pada ekonomi kreatif,” jelas Triawan.

Tercatat sub-sektor Kuliner berkontribusi sebesar 41,69%, disusul sub-sektor Fashion sebesar
18,15% dan Kriya sebesar 15,70%. Kepala Bekref juga menambahkan bahwa terdapat sekitar
empat sub-sektor yang juga sangat potensial menjadi kekuatan ekonomi baru yakni Film,
Musik, Art dan Game (Animasi).

Empat sub-sektor ini tercatat mengalami pertumbuhan paling pesat, yakni Film mencatatkan
pertumbuhan sekitar 10,28%, Musik 7,26%, Art/Arsitektur 6,62% dan Game tumbuh sekitar
6,68%.

Namun Triawan menyampaikan ada beberapa hambatan dan kendala dalam pengembangan
ekonomi kreatif ini, terutama terkendala oleh ekosistem bisnis dan investasi.

Menurutnya, ekosistem bisnis nasional belum mendukung dalam proses pengembangan


ekonomi kreatif, terutama dalam hal infrastruktur untuk menunjang kegiatan kreatif para
pelaku usaha ekonomi kreatif dan masyarakat.
Kedua, menurutnya, banyak sektor ekonomi kreatif yang masih masuk dalam daftar negatif
investasi, terutama untuk investasi asing. Padahal menurutnya adanya investasi masuk
berperan penting untuk menunjang minimnya infrastuktur dan teknologi dalam negeri.

“Kita bisa bekerja sama, menjalin co-production, dari sini kita bisa mengembangkan film
nasional misalnya. Itu bisa membantu dan positif untuk perekonomian”, katanya

Namun Triawan mengaku Badan Ekonomi Kreatif masih terus melakukan upaya untuk
mengembangkan sektor kreatif di Tanah Air. Terutama dalam hal ketersediaan data dan
informasi statistik yang menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan serta keputusan, baik
bagi pemerintah maupun pelaku ekonomi kreatif

Realisasi Target Investasi

lemnTarget investasi 2017 adalah 678 triliun. Sementara itu, bicara realisasi investasi pada
semester I-2017 mencapai Rp337 triliun atau 49,6% dari target 2017, di mana komposisinya
Rp207 triliun PMA dan Rp130 triliun PMDN.

Bila dibandingkan semester I-2016, berarti terjadi kenaikan sebesar 12,9%. Walaupun jika
dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya, realisasi investasi di semester I sudah di atas
50% dari target.

Terkait itu, Kepala BKPM Thomas Lembong membeberkan salah satu penyebab
melambatnya investasi. Yakni, sambung dia, karena harga komoditas turun.

Bagi iklim usaha di Indonesia, menurut Thomas, naik dan turunnya harga komoditas
memiliki pengaruh dengan realisasi investasi PMDN. “Sedangkan, bicara realisasi PMA
masih didominasi oleh Singapura, Jepang, Tiongkok, Hongkong, dan Amerika Serikat,”
katanya, dalam Diskusi Media bertema “Pembangunan Ekonomi Baru dan Peningkatan
Produktivitas untuk Menunjang Pemerataan,” kata Thomas Lembong.

Meski demikian, BKPM tetap yakin pada akhir tahun nanti target investasi dapat tercapai.
Untuk itu BKPM akan menggelar promosi investasi di banyak negara. Menarik dicatat di
sini, menurut UNCTAD posisi Indonesia berada di peringkat keempat tujuan utama investasi
di dunia 2016 – 2018. Urutan pertama ialah AS, kemudian disusul Tiongkok dan India.

Juga penting disimak bagaimana sejak krisis moneter 1997, S&P Global Ratings kembali
mendudukkan posisi Indonesia sebagai negara layak investasi dengan kata kunci ‘stabil’ .
Sedangkan merujuk survei Ease of Doing Business (EODB) 2017 yang dilakukan World
Bank-International Finance Corporation (World Bank-IFC) Indonesia menduduki peringkat
91 dari 190 negara, naik 15 peringkat dari posisi 106 di 2016.

Indikator penting lainnya ialah naiknya kontribusi investasi terhadap PDB. Jika pada 2013
tercatat tumbuh 31,7% maka pada 2016 nilai prosentasenya naik jadi 32,6%. Sedangkan yang
menonjol di bidang investasi ini ialah mulai maraknya Sumatra dan Sulawesi sebagai daerah
tujuan investasi. Ini menunjukkan sudah mulai muncul atau tercipta tren investasi di luar
Jawa, sekaligus menunjukkan mulai bekerjanya skema membangun Indonesia dari pinggiran.

enggarSementara itu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito menjelaskan, pemerintah


terus menggenjot revitalisasi pasar tradisional. “Kita mengusahakan bagaimana pedagang
pasar tradisional bisa mendapatkan alternatif sumber pendapatan serta akses harus bisa
mudah didapat. Setiap renovasi revitalisasi pasar omset pasti meningkat contoh Pasar Sindu,
di Denpasar. Di sana bisa terlihat bagaimana mengelolanya dengan sangat baikm juga bersih,
tidak bau. Bahkan, di koridornya pun orang bisa duduk di lantai,” kata Enggar.

Anda mungkin juga menyukai