Anda di halaman 1dari 7

UJIAN AKHIR SEMESTER

SEJARAH PERADABAN DAN PEMIKIRAN ISLAM

Dosen Pengampu Dr. Nanang Nurcholis, S.Th.I, MA

Oleh :
MUHAMAD YUNUS
NIM: 19200011003

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS WAHID HASYIM


SEMARANG 2020

JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER PROGRAM PASCASARJANA


UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

Mata kuliah : Sejarah Peradaban dan Pemikiran Islam


Dosen Pengampu : Dr. Nanang nurcholis, S.Th.I, MA
Hari/tanggal : senin, 27 juli 2020

Nama : Muhamad Yunus NIM


: 192000110003

1. Hagia Sophia a. Fakta historis


Hagia Sophia atau Aya Sofya (dari bahasa Yunani: Ἁγία Σοφία
Bizantium Yunani [aˈʝia soˈfia]; bahasa Latin: Sancta Sophia atau Sancta
Sapientia; bahasa Arab: ‫وفيا‬9‫ا ص‬9‫" ;آي‬Kebijaksanaan Suci") adalah sebuah tempat
ibadah di Istanbul, Republik Turki. Dari masa pembangunannya pada tahun
537 M sampai 1453 M, bangunan ini merupakan katedral Ortodoks dan
tempat kedudukan Patriark Ekumenis Konstantinopel, kecuali pada tahun
1204 sampai 1261, ketika tempat ini diubah oleh Pasukan Salib Keempat
menjadi Katedral Katolik Roma di bawah kekuasaan Kekaisaran Latin
Konstantinopel. Bangunan ini menjadi masjid mulai 29 Mei 1453 sampai
1931 pada masa kekuasaan Kesultanan Utsmani. Kemudian bangunan ini
disekulerkan dan dibuka sebagai museum pada 1 Februari 1935 oleh Republik
Turki. Namun menjadi masjid kembali pada Jumat, 10 Juli 2020 setelah
pengadilan Turki memutuskan bahwa konversi Hagia Sophia pada tahun 1934
menjadi museum adalah ilegal. Keputusan ini membuka jalan untuk kembali
mengubah monumen tersebut menjadi masjid. Terkenal akan kubah besarnya,
Hagia Sophia dipandang sebagai lambang arsitektur Bizantium dan dikatakan
"telah mengubah sejarah arsitektur." Bangunan ini tetap menjadi katedral
terbesar di dunia selama hampir seribu tahun sampai Katedral Sevilla
diselesaikan pada tahun 1520.
Bangunan yang sekarang ini awalnya dibangun sebagai sebuah gereja
antara tahun 532-537 atas perintah Kaisar Romawi Timur Yustinianus I dan
merupakan Gereja Kebijaksanaan Suci ketiga yang dibangun di tanah yang
sama, dua bangunan sebelumnya telah hancur karena kerusuhan. Bangunan ini
didesain oleh ahli ukur Yunani, Isidore dari Miletus dan Anthemius dari
Tralles.
Gereja ini dipersembahkan kepada Kebijaksanaan Tuhan, sang Logos,
pribadi kedua dari Trinitas Suci, pesta peringatannya diadakan setiap 25
Desember untuk memperingati kelahiran dari inkarnasi Logos dalam diri
Kristus. Walaupun sesekali disebut sebagai Sancta Sophia (seolah dinamai
dari Santa Sophia), sophia sebenarnya pelafalan fonetis Latin dari kata Yunani
untuk kebijaksanaan. Nama lengkapnya dalam bahasa Yunani adalah Ναὸς τῆς
Ἁγίας τοῦ Θεοῦ Σοφίας, Naos tēs Hagias tou Theou Sophias, "Tempat
Peziarahan Kebijaksaan Suci Tuhan".
Pada 1453 M, Konstantinopel ditaklukkan oleh Utsmani di bawah
kepemimpinan Sultan Mehmed II, yang kemudian memerintahkan
pengubahan gereja utama Kristen Ortodoks menjadi masjid. Dikenal sebagai
Aya Sofya dalam ejaan Turki, bangunan yang berada dalam keadaan rusak ini
memberi kesan kuat pada penguasa Utsmani dan memutuskan untuk
mengubahnya menjadi masjid. Berbagai lambang Kristen seperti lonceng,
gambar, dan mosaik yang menggambarkan Yesus, Maria, orang-orang suci
Kristen, dan para malaikat ditutup dengan kain hitam. Berbagai atribut
Keislaman seperti mihrab, minbar, dan empat menara, ditambahkan. Aya
Sofya tetap bertahan sebagai masjid sampai tahun 1931 M. Kemudian
bangunan ini ditutup bagi umum oleh pemerintah Republik Turki dan dibuka
kembali sebagai museum empat tahun setelahnya pada 1935. Pada tahun
2014, Aya Sofya menjadi museum kedua di Turki yang paling banyak
dikunjungi, menarik hampir 3,3 juta wisatawan per tahun. Berdasarkan data
yang dikeluarkan oleh Kementerian Budaya dan Pariwisata Turki, Aya Sofya
merupakan tempat di Turki yang paling menarik perhatian wisatawan pada
2015.
Dari pengubahan awal bangunan ini menjadi masjid sampai
pembangunan Masjid Sultan Ahmed (juga dikenal dengan Masjid Biru) pada
1616, Aya Sofya merupakan masjid utama di Istanbul. Arsitektur Bizantium
pada Aya Sofya mengilhami banyak masjid Utsmani, seperti Masjid Biru,
Masjid Şehzade (Masjid Pangeran), Masjid Süleymaniye, Masjid Rüstem
Pasha, dan Masjid Kılıç Ali Pasha.

b. Perspektif politik global


Erdogan mendedikasikan perubahan Hagia Sophia menjadi masjid
untuk peradaban Islam “dari Bukhara ke Andalusia”. Erdogan tampaknya
tidak menyadari bahwa (tidak seperti tempat suci Islam di Mekah, Madinah,
dan sebagian kecil Yerusalem) Hagia Sophia tidak memiliki arti penting dalam
Islam. Namun, bagi orang Kristen, Hagia Sophia memiliki nilai agama yang
sangat besar. Erdogan berusaha keras untuk menghidupkan kembali sejarah di
mana orang-orang Turki dibayangkan sebagai pemimpin Islam dan penguasa
dunia. Namun, narasinya tidak akurat, Hussain Abdul-Hussain mencatat.
Kepemimpinan Turki di dunia Muslim selalu diperdebatkan oleh kaum
Hashemit di Mekah, oleh para sultan Oman dan Zanzibar, oleh dinasti Saadi
dan Alawite di Maroko, oleh Mamluk di Kairo, dan oleh Safawi di Teheran.
Sultan Utsmaniyah tidak pernah menjadi pemimpin Islam, sama seperti tidak
ada kaisar yang bisa mengklaim mantel kepemimpinan Kristen. Erdogan
memanfaatkan Hagia Sophia dimainkan menjadi isu besar dunia Islam.
Sehingga reputasi Erdogan naik tajam. Tak perlu mahkota untuk menjadi
pemimpin dunia Islam sebab Erdogan telah merebut banyak hati umat sebagai
simbol ghirah dan kebangkitan Islam.

2. Komparasi kritis antara tafsir klasik dan tafsir modern-kontemporer


Pendekatan yang di gunakan dalam penafsiran klasik adalah
penedekatan tekstual, pendekatan tekstual adalah sebuah pendekatan studi al-
Qur’ān yang menjadikan lafal-lafal al-Qur’ān sebagai obyek. Pendekatan ini
menekankan analisisnya pada sisi kebahasaan dalam memahami al-Qur’ān.
Secara praktis, pendekatan ini dilakukan dengan memberikan perhatian pada
ketelitian redaksi dan bingkai teks ayat-ayat al-Qur’ān. Penafsiran tekstual
mengarah pada pemahaman teks semata, tanpa mengaitkannya dengan situasi
lahimya teks, maupun tanpa mengaitkannya dengan sosiokultural yang
menyertainya. Sehingga kesan yang ditimbulkannya mengarah pada pemahaman
yang sempit dan kaku, sehingga sulit untuk diterapkan pada era modern ini dan
sulit pula untuk diterima.
Tafsir modern-kontemporer menggunakan Metode hermeneutic yaitu
berusaha menghapus otoritarianisme sebuah teks, seperti yang diungkapan oleh
Khaled M. Abou ElFadl, “hermeneutik menghapus otoritas yang dilakukan oleh
penafsir, pembaca penafsiran seorang penafsir, maupun sikap selektif terhadap
penggunaan bukti atau dalil atas suatu permasalahan. metode hermeneutik
merupakan perkembangan dari metode Tafsīr klasik (tahlily, ijmali, muqaran dan
maudhu’i) dimana metode hermeneutik lebih sistematis dan kritis.
Tafsīr ini kemudian berkembang menjadi dua aliran tafsīr bi al-ma’tsūr
dan tafsīr bi al-ra’y. Tafsīr bi al-ma’tsūr adalah interpretasi al-Qur`ān yang
didasarkan atas penjelasan alQur`ān dalam sebagian ayat-ayatnya, berdasarkan
atas penjelasan Rasul, para shahabat atau orang-orang yang mempunyai otoritas
untuk menjelaskan maksud Tuhan, sementara tafsīr bi al-ra’y adalah interpretasi
yang didasarkan atas ijtihad.
Dalam perbandingan diantara keduanya, model Tafsīr bi al-ma`tsūr
sesuai dengan model hermeneutik objektif. Sebagaimana hermeneutik objektif
yang berusaha memahami maksud pengarang dan masuk dalam tradisinya, Tafsīr
bi alma`tsūr juga berusaha menangkap maksud Tuhan dalam al-Qur`an dengan
cara masuk pada kondisi realitas historisnya saat turunnya ayat.Dalam pandangan
Tafsīr bi al-ma`tsūr, yang paling mengetahui maksud Tuhan adalah Rasul, para
shabat dan mereka yang sezaman. Kita tidak akan dapat menangkap maksud al-
Qur`an tanpa bantuan mereka dan memahami realita historis yang
melingkupinya. Karena itu metode Tafsīr bi al-ma’tsūr senantiasa mengikatkan
dan menyandarkan diri pada tradisi masa Rasul, shahabat dan yang berkaitan
dengan periode awal turunnya al-Qur`an.
Sementara itu, Tafsīr bi al-ra’y sesuai dengan model hermeneutik
subjektif. Sebagaimana konsep hermeneutik subjektif, Tafsīr bi al-ra’y tidak
memulai penafsirannya berdasarkan realitas-realitas historis atau analisa-analisa
linguistik melainkan memulai dari prapemahaman si penafsir sendiri kemudian
berusaha mencari legitimasinya atau kesesuaiannya dalam teks tersebut.

3. Review kitab

Judul kitab : Kasyifatussaja fi Syarakh Safinatin Najah


Penulis : Syekh Nawawi Al Bantani
(Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani)
Tahun : Tahun 1875 M
Isi Kitab : Mengulas pembahasan asas Islam dan iman melalui uraian
tauhid, kemudian membahas thaharah (bersuci), shalat,
zakat dan shaum (puasa) saja.

Sistem penulisan : Setiap tema diberikan batasan dan definisi, ayat al-Quran
dan hadits yang menjadi dalil, kemudian permasalahan
yang mungkin timbul dan penekanan atas tema tertentu
disajikan dalam uraian faidah, tanbih ataupun khatimah.
Kelebihan : kata-kata yang mudah diingat dan dimengerti oleh
pembaca, karena itu kitab ini layak dipelajari oleh
pengkaji fiqh dari masyarakat awam hingga kelompok
terpelajar.

Anda mungkin juga menyukai