PENDAHULUAN
Diskusi pertama modul 411 oleh kelompok E paralel 1 angkatan 2018 telah
dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 10 Maret 2020 dengan dr. Kurniasari, M. Biomed
sebagai fasilitator diskusi dan telah berjalan lancar. Diskusi ini diketuai oleh Kharissa
Kemala Vychaktami (040001800082) didampingi oleh Krysta Yosvara (040001800085)
sebagai sekretaris dengan jumlah peserta diskusi sebanyak 19 orang. Diskusi berlangsung
selama 120 menit dilakukan pukul 08.00-10.00.
Diskusi kedua modul 411 oleh kelompok E paralel 1 angkatan 2018 telah dilaksanakan
pada hari Selasa, tanggal 12 Maret 2020 dengan dr. Joice Kalumpiu, Sp. FK sebagai
fasilitator diskusi dan telah berjalan lancar. Diskusi ini diketuai oleh Jonathan Steven
(040001800077) sebagai ketua dan Jeremy Hans Budiyanto (040001800074) sebagai
sekretaris dengan jumlah peserta diskusi sebanyak 18 orang. Diskusi berlangsung selama 90
menit dilakukan pukul 10.00-11.45.
Anggota diskusi kelompok E telah berusaha untuk berpartisipasi secara aktif dengan
berpendapat, berargumentasi dan bertanya mengenai topik diskusi yang telah diberikan oleh
para fasilitator. Demikian makalah ini telah dibuat atas hasil diskusi kami dengan bimbingan
para fasilitator.
BAB II
PEMBAHASAN
Diskusi 1
Soal A
Seorang perempuan berusia 75 tahun, diantar putranya ke dokter gigi, karena gigi
depannya terbentur dinding akibat terpeleset dari bangku saat membetulkan letak lukisan
cucunya. Diskusikan masalah yang dihadapi pasien tersebut
Dari skenario dapat diketahui bahwa pasien merupakan seorang wanita berumur 75
tahun yang gigi depannya terbentur dinding akibat terpeleset. Untuk mengetahui masalah
yang dihadapi oleh pasien kita perlu melakukan anamnesis lebih lanjut karena data yang
diterima masih belum dapat digunakan untuk menentukan diagnosis. Hal hal yang dapat
ditanyakan dalam anamnesis sebagai berikut :
1. Keluhan pasien pada kasus pasien apakah merasa sangat kesakitan, apakah
terjadi perdarahan atau terjadi fraktur
2. Nyeri yang dirasakan (apakah berdenyut, tajam atau tumpul)
3. Lama pasien merasakan nyeri
4. Intensitas nyeri
5. Apakah nyeri timbul setelah ada rangsangan atau tidak
6. Ada atau tidaknya penyakit sistemik pada pasien itu berpengaruh untuk tindakan
yang akan dilakukan dokter gigi
7. Sudah berapa lama sakit yang diderita
8. Apakah sudah ada obat yang diminum, jika ada obat apa yang diminum
9. Ada atau tidak alergi obat
10. Keadaan ekstraoral apakah wajah simetris (ada pembengkakan) atau tidak
2.3 Tindakan yang Harus Dilakukan Dokter Gigi Untuk Meredakan Nyeri
Pasien
2.3.1 Pemberian Anestesi Lokal
Anestesi lokal yaitu obat yang diberikan secara lokal (topikal atau suntikan) dalam
kadar yang dapat menghambat hantaran impuls pada saraf yang dikenai oleh obat tersebut.
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan ester dan
golongan amida.
● Golongan Ester
1. Prokain
2. Benzokain
3. Tetrakain
● Golongan amida
1. Lidokain
2. Mepivakain
3. Prilokain
4. Artikain
Perbedaan ini direfleksikan dalam perbedaan tempat metabolisme, golongan ester
terutama dimetabolisme oleh enzim pseudokolinesterase di plasma, sedangkan golongan
amida terutama melalui degradasi enzimatis dihati. Dan juga berkaitan dengan besarnya
kemungkinan terjadi alergi.
Anestesi lokal juga diklasifikasi berdasarkan mula kerjanya. Lidokain, mepivakain,
prilokain dan etidokain memiliki mula kerja yang relatif cepat. Bupivakain memiliki mula
kerja sedang, sedangkan prokain dan tetrakain bermula kerja lambat. Obat anestesi lokal yang
biasanya dipakai di negara kita untuk golongan ester yaitu prokain, sedangkan golongan
amida yaitu lidokain dan bupivakain.
Soal C
Pasien masih sangat kesakitan,namun menolak untuk disuntik karena takut dengan
jarum suntik. Dokter gigi terpaksa mengoleskan anestesi topikal dan kemudian memberi
tablet analgesik yang dilarutkan dalam setengah gelas air dan nyeri giginya berkurang dalam
waktu 5 menit. Diskusikan mengenai sediaan dan farmakologi obat tersebut.
Anestesi lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara
lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Obat ini bekerja pada tiap bagian susunan saraf
pusat. Pemberian anastesi lokal pada batang saraf menyebabkan paralisis sensorik dan
motorik didaerah yang dipersarafinya. Paralisis saraf oleh anestesi lokal bersifat reversibel,
tanpa merusak serabut saraf atau sel saraf. Sifat anestesi lokal yang ideal yaitu anestesi lokal
sebaiknya tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen. Kebanyakan
anestesi lokal memenuhi syarat ini. Mula kerja harus sesingkat mungkin sedangkan masa
kerja harus cukup lama sehingga cukup waktu untuk melakukan tindakan operasi, tetapi tidak
demikian lama sampai memperpanjang masa pemulihan. Secara kimia anestesi lokal
digolongkan menjadi 2 senyawa yaitu senyawa ester dan senyawa amid.
Anestesi lokal biasanya diberikan sangat dekat dengan lokasi kerja atau langsung ke
target (ke serabut saraf). Absorbsi, distribusi dan ekskresi secara sistemik hanya berfungsi
untuk mengakhiri kerja anestesi lokal.
● Absorbsi
● Distribusi
Anestesi lokal golongan amida lebih banyak di distribusi jika dilakukan
melalui intravena. Fase distribusi dibagi menjadi dua yaitu fase distribusi cepat
terjadi pengambilan obat di organ-organ yang memiliki daya perfusi tinggi seperti
otak, hati, ginjal dan jantung. Fase kedua fase distribusi lambat terjadi
pengambilan obat oleh organ yang memiliki daya fusi sedang seperti otot dan
saluran pencernaan.
Anestesi lokal diubah menjadi senyawa yang mudah larut dalam air di dalam
hati dan plasma dan kemudian diekskresi melalui urin. Karena anestesi lokal yang
bentuknya tak bermuatan mudah berdifusi melalui lipid, maka sedikit atau tidak
sama sekali bentuk netralnya yang diekskresikan. Pengasaman urin akan
meningkatkan ionisasi basa tersier menjadi bentuk bermuatan yang mudah larut
dalam air sehingga mudah diekskresikan karena bentuk ini tidak mudah diserap
kembali oleh tubulus ginjal. Anestesi lokal jenis ester dimetabolisme lebih cepat
daripada jenis amida karena jenis ester langsung masuk ke dalam darah. Pasien
dengan gangguan fungsi hati akan mudah mengalami keracunan anestesi lokal
amida.
Anestesi lokal bekerja dengan mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf.
Pada keadaan normal, potensial aksi saraf dapat terjadi akibat depolarisasi ringan pada
membran. Depolarisasi ini menyebabkan naiknya permeabilitas membran terhadap ion
natrium. Pemberian anestesi lokal menyebabkan adanya interaksi pada zat anestesi lokal dan
kanal natrium. Anestesi lokal dalam bentuk non ion dapat menembus membran akson. Dalam
sitoplasma, zat anestesi lokal akan berikatan dengan ion hidrogen dan kemudian mengikat
kanal Nav (kanal Natrium yang sensitif terhadap perubahan muatan listrik) pada sisi dalam
(gambar 2.2). Hal ini menyebabkan tidak adanya ion natrium yang masuk sehingga potensial
aksi tidak terjadi dan rangsang sensorik tidak dapat diteruskan ke sistem saraf pusat. Anestesi
lokal dapat bekerja pada semua jenis saraf, baik saraf sensorik maupun motorik.
Gambar 2.2 Mekanisme Kerja Anestesi Lokal. Permeabilitas membran
meningkat. Tingginya permeabilitas membran menyebabkan masuknya ion
natrium.
2.4.1.3 Bentuk Sediaan Obat Anestesi Lokal
Skenario diskusi menyebutkan bahwa obat anestesi lokal digunakan secara topikal
(dioleskan). Oleh karena itu, bentuk sediaan obat tersebut adalah obat setengah padat, yaitu
unguentum (salep, krim) atau bisa juga dalam bentuk pasta.
Unguentum (salep) adalah obat luar lembek yang merupakan campuran homogen
dengan konsistensi seperti mentega, tak mencair pada suhu biasa tetapi dapat dioleskan diatas
kulit tanpa memakai kekerasan/pemanasan. Secara terapeutik, salep dibedakan menjadi salep
penutup (melindungi kulit), salep resorbsi (mengandung bahan-bahan untuk diresorbsi), dan
salep penyejuk (mengandung banyak air, bila dioleskan menimbulkan rasa sejuk). Anestesi
lokal dalam skenario ini tergolong ke dalam salep resorbsi. Konstituen (vehikulum) salep
yang penting di antaranya adalah vaselinum, paraffinum, adeps lanae, dan adeps suillus.
Pasta adalah campuran homogen dengan konsistensi seperti adonan (lebih plastis dari
salep) yang dibuat dengan mencampurkan sejumlah bahan padat indiferen yang dapat
mengabsorbsi eksudat yang kurang lebih sama dengan dasar salep.
2.4.2 AINS
AINS adalah obat-obat analgesik yang selain memiliki efek analgesik juga memiliki
efek anti inflamasi, sehingga obat-obat jenis ini digunakan dalam pengobatan inflamasi pada
gigi. Contohnya ibuprofen, indometasin,diklofenak, fenilbutazon dan piroxicam. Inflamasi
rongga mulus misalnya, inflamasi gigi pada jaringan pulpa menyebabkan pelepasan
prostaglandin E2 dan bradikinin, PGE2 menurunkan ambang rangsang nyeri dan sensitisasi
reseptor nyeri terhadap bradikinin. Tugas dari AINS sendiri adalah untuk membok
siklooksigenase dimana siklooksigenase yang seharusnya menghasilkan prostaglandin, akan
dihambat, sehingga mengurangi respon nyeri pada pasien.
● Distribusi
● Biotransformasi/Metabolisme
● Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh oleh organ ekskresi. Salah satu organ
ekskresi yang paling berperan adalah ginjal. Obat mengalami filtrasi pasif
di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan reabsorpsi pasif di
tubuli proksimal dan distal. Selain itu, obat juga dapat diekskresi melalui
sirkulasi enterohepatik dimana obat diekskresi aktif melalui P-gp dan MRP
ke empedu, masuk ke duodenum dan diabsorbsi kembali ke sirkulasi
sistemik sehingga masa kerja obat lebih lama. Organ ekskresi lain dapat
berupa traktus gastrointestinal (faeces) dan paru-paru (zat berbentuk gas).
Obat analgesik anti inflamasi non steroid merupakan suatu kelompok sediaan dengan
struktur kimia yang sangat heterogen, dimana efek samping dan efek terapinya berhubungan
dengan kesamaan mekanisme kerja sediaan ini pada enzim cyclooxygenase (COX).
Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir memberikan penjelasan mengapa kelompok
yang heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping, ternyata hal ini
terjadi berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG). AINS menghambat
enzim cyclooxygenase (COX) sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu.
Setiap obat menghambat cyclooxygenase dengan cara yang berbeda.
AINS yang termasuk dalam tidak selektif menghambat sekaligus COX-1 dan COX-2
adalah ibuprofen, indometasin dan naproksen. Asetosal dan ketorokal termasuk sangat
selektif menghambat COX-1. Piroksikam lebih selektif menghambat COX-1, sedangkan yang
termasuk selektif menghambat COX-2 antara lain diklofenak, meloksikam, dan nimesulid.
Celecoxib dan rofecoxib sangat selektif menghambat COX-2.
Pada skenario, disebutkan bahwa tablet analgesik yang diberikan dilarutkan dalam
setengah gelas air. Dengan demikian, bentuk sediaan obat analgesik tersebut adalah obat
padat, yaitu tablet dispersible. Tablet dispersible adalah tablet yang dapat terdisintegrasi
secara cepat di dalam air, menghasilkan suatu dispersi yang stabil atau dapat terdispersi
segera di dalam mulut dan dapat ditelan tanpa membutuhkan air. Keuntungan tablet
dispersible yaitu memiliki onset yang cepat sehingga dapat meningkatkan efektifitas obat.
Hal itu dikarenakan tablet tidak perlu melalui proses disintegrasi (pecahnya tablet menjadi
granul) dan deagregasi (pecahnya granul menjadi partikel) di dalam tubuh tetapi langsung
terdisolusi dalam medium air sehingga dapat langsung diabsorbsi oleh pembuluh darah.
Selain itu, keuntungan tablet dispersible adalah mudah diminum dengan cara melarutkan
tablet di dalam air agar terdispersi dalam larutan (Sulaiman, 2007). Hal ini pun dapat
memudahkan sang pasien yang sudah berumur 75 tahun dalam meminum obat tersebut.
Diskusi 2
Soal D
Ketika hendak memberikan obat analgesik (AINS) kepada pasien, seorang dokter
gigi harus mampu memilih sediaan yang cocok dan yang memang dibutuhkan oleh pasien,
sehingga pasien tidak terpapar oleh efek samping obat.
Diskusikan:
A. Pilihan obat AINS berdasarkan kemampuannya menghambat enzim
siklooksigenase.
B. Efek samping obat AINS beserta mekanisme kerjanya
C. Alasan analgesik opioid bukan merupakan pilihan yang tepat untuk mengatasi
nyeri pada pasien tersebut.
Untuk mengatasi nyeri yang dialami pasien, obat AINS yang digunakan adalah obat
dari golongan preferentially COX-2 inhibitor seperti meloksikam dan diklofenak. Inflamasi
menginduksi COX-2 sehingga pada akhirnya menimbulkan rasa nyeri. Sehingga untuk
mengatasi rasa nyeri tersebut, diperlukan obat yang memiliki efek penghambatan terhadap
COX-2 yaitu preferentially COX-2 inhibitor. Obat AINS golongan Highly selective COX-2
inhibitor tidak dianjurkan untuk digunakan karena memiliki efek samping yang lebih tinggi
jika dibandingkan dengan preferentially COX-2 inhibitor. Salah satu efek samping yang
berbahaya dari penghambat selektif COX-2 adalah menyebabkan tromboemboli, edema, dan
hipertensi. Contohnya jika celecoxib (Highly selective COX-2 inhibitor) dibandingkan
dengan meloksikam (preferentially COX-2 inhibitor), celecoxib 10-20x lebih kuat
menghambat COX-2 daripada COX-1, sedangkan meloksikam hanya 4-5x lebih kuat
menghambat COX-2 daripada COX-1. Jadi, efek yang ditimbulkan oleh Highly selective
COX-2 inhibitor lebih kuat dibandingkan dengan preferentially COX-2 inhibitor, begitu pula
efek sampingnya.
AINS atau obat antiinflamasi non-steroid termasuk golongan obat yang paling sering
digunakan. Namun, perlu diingat bahwa golongan obat-obat ini juga dapat menimbulkan
beberapa efek samping. Berikut adalah efek samping AINS yang paling sering terjadi:
Hal ini disebabkan karena Obat AINS bekerja dengan menghambat COX-1
yang memiliki efek gastro intentional cytoprotection yaitu efek melindungi
saluran cerna dari asam lambung dengan mengeluarkan mukus, sehingga saat
COX-1 dihambat maka pengeluaran mukus juga ikut terhambat dan
menyebabkan iritasi pada saluran cerna.
Analgesik opioid merupakan obat yang bekerja di reseptor opioid pada sistem saraf
pusat (SSP). Obat ini diberikan untuk mengatasi nyeri sedang sampai nyeri berat sesuai
dengan kekuatan dari nyeri yang dirasakan dan kekuatan dari obat tersebut (Ikawati, 2011).
Obat ini bekerja pada SSP secara selektif sehingga dapat mempengaruhi kesadaran dan
menimbulkan ketergantungan jika dikonsumsi dalam jangka panjang. Mekanisme obat ini
yaitu mengaktivasi reseptor opioid pada SSP untuk mengurangi rasa nyeri. Aktivasi dari obat
tersebut diperantarai oleh reseptor mu (μ) yang dapat menghasilkan efek analgesik di SSP dan
perifer (Nugroho, 2012). Contoh dari obat analgesik opioid antara lain: morfin, kodein,
fentanil, nalokson, nalorfin, metadon, tramadol, dan sebagainya.
Setelah dilakukan pemeriksaan radiografi, didapati kedua insisivus sentral atas juga
fraktur di akarnya, sehingga harus dicabut. Dari anamnesis, diketahui bahwa pasien
menderita hipertensi dan sudah diberi obat antihipertensi oleh seorang dokter internis. Obat
yang diberikan adalah amlodipin.
Diskusikan:
A. Tindakan yang harus dilakukan oleh dokter gigi.
B. Farmakologi obat antihipertensi.
Tindakan yang dokter gigi bisa lakukan adalah memastikan bahwa tekanan darah
pasien sudah dalam batas aman untuk melakukan ekstraksi atau pencabutan gigi. Untuk
memastikan tekanan darah pasien, sebaiknya dilakukan pengecekkan menggunakan tensi,
jika tekanan darah sudah dibawah 140/90 mmHg maka pencabutan gigi bisa dilakukan.
Jika tekanan darah pasien masih dalam keadaan tinggi atau melebihi 140/90 mmHg
dokter gigi sebaiknya memberi edukasi kepada pasien bahwa tindakan pencabutan gigi belum
bisa dilakukan karena tekanan darahnya masih tinggi, dan jika tetap dilakukan pencabutan
gigi maka akan sangat berisiko, dan bisa menyebabkan perdarahan yang hebat atau darah
susah untuk dihentikan. Selain memberi edukasi kepada pasien, dokter gigi harus
mengembalikan pasien ke dokter internisnya agar diberikan obat yang lebih efektif untuk
menurunkan tekanan darahnya atau untuk mengetahui penyebab lain dari tingginya tekanan
darah pasien walaupun sudah diberi obat. Sebaliknya, jika tekanan darah pasien sudah
dibawah 140/90 mmHg, maka pencabutan gigi dapat dilakukan.
Secara umum, tekanan darah ditentukan oleh curah jantung (cardiac output) dan
resistensi perifer (peripheral vascular resistance). Curah jantung dihitung berdasarkan
perkalian antara kecepatan/ frekuensi jantung dan isi sekuncup. Resistensi perifer ditentukan
oleh jari-jari pembuluh darah dan kekentalan (viskositas) darah (Gambar 2.4)
Gambar 2.4 Mekanisme pengaturan tekanan darah
Sistem hormon terpenting dan paling terkenal yang terlibat dalam regulasi ion
Natrium adalah sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (SRAA). Sel granular aparatus
jukstaglomerulus mengeluarkan suatu hormon enzimatik, renin, ke dalam darah sebagai
respons terhadap penurunan NaC1, volume cairan ekstraseluler (CES), dan tekanan darah
arteri. Setelah disekresikan ke dalam darah, enzim renin bekerja sebagai enzim untuk
mengaktifkan Angiotensinogen menjadi Angiotensin I. Angiotensinogen adalah suatu protein
plasma yang disintesis oleh hati dan selalu terdapat di plasma dalam konsentrasi tinggi.
Ketika melewati paru-paru, Angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh Angiotensin-
Converting Enzyme (ACE) yang banyak terdapat di kapiler paru. ACE terletak pada sel
endotel kapiler paru. Angiotensin II adalah perangsang utama sekresi hormon aldosteron dari
korteks adrenal, khususnya pada zona glomerulosa. Korteks adrenal adalah kelenjar endokrin
yang menghasilkan beberapa hormon, masing-masing disekresikan sebagai respons terhadap
rangsangan yang berbeda.Angiotensin II dapat menyebabkan vasopresin, rasa haus, dan
vasokonstriksi pada pembuluh darah arteriol. Aldosteron akan menyebabkan reabsorbsi ion
Natrium oleh tubulus ginjal dan ion Klorida secara pasif ikut diserap. Baik ion Natrium
maupun ion Klorida akan secara osmosis menahan air dalam cairan ekstraseluler sehingga
tekanan darah akan naik.
D. Adrenolitik Sentral
Klonidin merupakan contoh obat yang bekerja sebagai adrenolitik
sentral. Klonidin merupakan agonis α2, yang bekerja sebagai negative
feedback, yaitu menghambat pelepasan norepinefrin. Metil Dopa juga bekerja
secara simpatolitik.
3. Vasodilator
Vasodilator dapat menghasilkan efek langsung pada dinding otot polos
pembuluh darah, apabila arteriol mengalami dilatasi maka resistensi perifer akan
menurun sehingga tekanan darah juga ikut mengalami penurunan. Mekanisme
kerja ini berlaku untuk semua vasodilator kecuali Nitroprusid. Sedangkan
Minoksidil dan Diazoksid akan bekerja membuka kanal ion K+. Obat-obat yang
termasuk vasodilator untuk anti hipertensi, yaitu Hidralazin, Minoksidil,
Diazoksid, Nitroprusid, dan Fenoldopam. Penggunaan vasodilator dapat melalui
intravena untuk hypertensive emergency, sedangkan penggunaan secara oral
dapat digunakan untuk hipertensi berat.
4. Penghambat Renin
Renin bekerja untuk mengaktifkan angiotensinogen menjadi
angiotensin I. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron akan menyebabkan tekanan
darah meningkat. Dengan mengonsumsi obat penghambat renin, maka sistem
tersebut tidak terjadi sehingga dapat menghambat naiknya tekanan darah. Contoh
obat ini adalah aliskiren.
2.10 Tindakan yang Harus Dilakukan oleh Dokter Gigi pada Kunjungan Ketiga
Tindakan yang dokter lakukan sebelum pencabutan yaitu memberikan antiseptik
seperti Povidone Iodine pada mukosa mulut untuk mengurangi adanya infeksi. Setelah itu,
dokter memberikan anestesi lokal dengan cara topikal supaya mengurangi rasa sakit pada saat
diberikan anestesi lokal injeksi. Selanjutnya, dokter memberikan anestesi lokal injeksi supaya
pada pencabutan gigi, pasien tidak merasa kesakitan. Jenis obat yang biasa digunakan yaitu
Lidokain.
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
2.10 Tindakan yang Harus Dilakukan oleh Dokter Gigi pada Kunjungan Ketiga