Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Diskusi pertama modul 411 oleh kelompok E paralel 1 angkatan 2018 telah
dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 10 Maret 2020 dengan dr. Kurniasari, M. Biomed
sebagai fasilitator diskusi dan telah berjalan lancar. Diskusi ini diketuai oleh Kharissa
Kemala Vychaktami (040001800082) didampingi oleh Krysta Yosvara (040001800085)
sebagai sekretaris dengan jumlah peserta diskusi sebanyak 19 orang. Diskusi berlangsung
selama 120 menit dilakukan pukul 08.00-10.00.
Diskusi kedua modul 411 oleh kelompok E paralel 1 angkatan 2018 telah dilaksanakan
pada hari Selasa, tanggal 12 Maret 2020 dengan dr. Joice Kalumpiu, Sp. FK sebagai
fasilitator diskusi dan telah berjalan lancar. Diskusi ini diketuai oleh Jonathan Steven
(040001800077) sebagai ketua dan Jeremy Hans Budiyanto (040001800074) sebagai
sekretaris dengan jumlah peserta diskusi sebanyak 18 orang. Diskusi berlangsung selama 90
menit dilakukan pukul 10.00-11.45.
Anggota diskusi kelompok E telah berusaha untuk berpartisipasi secara aktif dengan
berpendapat, berargumentasi dan bertanya mengenai topik diskusi yang telah diberikan oleh
para fasilitator. Demikian makalah ini telah dibuat atas hasil diskusi kami dengan bimbingan
para fasilitator.

BAB II
PEMBAHASAN
Diskusi 1
Soal A
Seorang perempuan berusia 75 tahun, diantar putranya ke dokter gigi, karena gigi
depannya terbentur dinding akibat terpeleset dari bangku saat membetulkan letak lukisan
cucunya. Diskusikan masalah yang dihadapi pasien tersebut

2.1 Masalah yang Dihadapi Pasien

Dari skenario dapat diketahui bahwa pasien merupakan seorang wanita berumur 75
tahun yang gigi depannya terbentur dinding akibat terpeleset. Untuk mengetahui masalah
yang dihadapi oleh pasien kita perlu melakukan anamnesis lebih lanjut karena data yang
diterima masih belum dapat digunakan untuk menentukan diagnosis. Hal hal yang dapat
ditanyakan dalam anamnesis sebagai berikut :
1. Keluhan pasien pada kasus pasien apakah merasa sangat kesakitan, apakah
terjadi perdarahan atau terjadi fraktur
2. Nyeri yang dirasakan (apakah berdenyut, tajam atau tumpul)
3. Lama pasien merasakan nyeri
4. Intensitas nyeri
5. Apakah nyeri timbul setelah ada rangsangan atau tidak
6. Ada atau tidaknya penyakit sistemik pada pasien itu berpengaruh untuk tindakan
yang akan dilakukan dokter gigi
7. Sudah berapa lama sakit yang diderita
8. Apakah sudah ada obat yang diminum, jika ada obat apa yang diminum
9. Ada atau tidak alergi obat
10. Keadaan ekstraoral apakah wajah simetris (ada pembengkakan) atau tidak

Selain itu untuk menentukan masalah dokter perlu melakukan pemeriksaan


penunjang, seperti :
1. Rontgen Panoramik
Pada skenario pasien mengalami benturan pada gigi depannya. Dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk mengetahui seberapa dalam fraktur yang dialami pasien
dan untuk mengetahui apakah fraktur mencapai jaringan pulpa.
Dari skenario dan hasil diskusi dapat disimpulkan beberapa masalah yang mungkin
terjadi kepada pasien, antara lain :
1. Gigi goyang, karena gigi depan anteriornya terbentur dinding
2. Gigi sensitif, dikarenakan gigi fraktur dan membuat pulpa gigi terbuka
3. Mukosa gigi terluka
4. Inflamasi
Soal B
Pada pemeriksaan intra oral, nampak gigi 11 dan 21 mengalami fraktur hingga ½
bagian mahkota. Pulpa gigi terbuka, berdarah dan pasien sangat kesakitan.

a. Diskusikan mengenai patofisiologi nyeri pada pasien tersebut


b. Diskusikan tindakan yang harus

2.2 Patofisiologi Nyeri pada Pasien


Rasa nyeri disebabkan oleh inflamasi. Inflamasi di rongga mulut melibatkan
pelepasan berbagai mediator yang memiliki peran berbeda. Beberapa mediator mengaktivasi
nosiseptor yaitu histamin dan bradikinin, mediator lain yang menyebabkan sensitisasi
nosiseptor yaitu prostaglandin. Dalam skenario ini mediator yang paling berperan yaitu
prostaglandin karena merangsang sensitisasi nosiseptor. Jika produksi prostaglandin
meningkat, rasa nyeri yang dirasakan juga meningkat. Saat terjadi inflamasi (adanya
rangsangan), membran sel akan dirusak maka sel dan akan mengeluarkan enzim fosfolipase
A yang akan membentuk asam arakidonat. Kemudian, asam arakidonat akan diubah menjadi
prostaglandin oleh siklooksigenase (COX). Prostaglandin akan mensensitisasi nosiseptor
hingga akhirnya dapat merasakan nyeri.
Jalur pengiriman sinyal nyeri gigi bermula dari neuron trigeminal yang menghasilkan
sinyal nosiseptif pada akson dari pulpa dan menghantarkan ke SSP dalam bentuk potensial
aksi. Kanal ion Natrium memiliki peran yang sangat besar dalam membangkitkan potensial
aksi. Pada pulpa ditemukan dua serabut aferen nosiseptif, yaitu serabut C dan serabut A-delta.
Bila kedua serabut tersebut dirangsang, maka sinyal nyeri akan dihantarkan melalui ganglion
trigeminalis ke subnukleus kaudalis yang terletak di medula pada susunan saraf pusat melalui
pelepasan substansi P dan asam amino glutamate. Selanjutnya, sinyal nyeri diteruskan ke
korteks serebral melalui jalur talamokortikal. Sinyal yang sampai di korteks inilah yang akan
dipersepsikan oleh otak sebagai rasa nyeri.

2.3 Tindakan yang Harus Dilakukan Dokter Gigi Untuk Meredakan Nyeri
Pasien
2.3.1 Pemberian Anestesi Lokal
Anestesi lokal yaitu obat yang diberikan secara lokal (topikal atau suntikan) dalam
kadar yang dapat menghambat hantaran impuls pada saraf yang dikenai oleh obat tersebut.
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan ester dan
golongan amida.
● Golongan Ester
1. Prokain
2. Benzokain
3. Tetrakain
● Golongan amida
1. Lidokain
2. Mepivakain
3. Prilokain
4. Artikain
Perbedaan ini direfleksikan dalam perbedaan tempat metabolisme, golongan ester
terutama dimetabolisme oleh enzim pseudokolinesterase di plasma, sedangkan golongan
amida terutama melalui degradasi enzimatis dihati. Dan juga berkaitan dengan besarnya
kemungkinan terjadi alergi.
Anestesi lokal juga diklasifikasi berdasarkan mula kerjanya. Lidokain, mepivakain,
prilokain dan etidokain memiliki mula kerja yang relatif cepat. Bupivakain memiliki mula
kerja sedang, sedangkan prokain dan tetrakain bermula kerja lambat. Obat anestesi lokal yang
biasanya dipakai di negara kita untuk golongan ester yaitu prokain, sedangkan golongan
amida yaitu lidokain dan bupivakain.

Tabel 2.1: Jenis anestesi lokal


Selain itu, pada anestesi lokal ditambahkan vasokonstriktor. Penambahan
vasokonstriktor pada anestesi lokal berfungsi untuk meningkatkan pemasukan anestesi lokal
oleh serabut saraf yang akan menambah masa kerja anestesi lokal dan mengurangi jumlah
anestesi lokal yang disuntikan, maka absorbsi berlangsung lambat. Kadar obat dalam plasma
berkurang, karena absorbsi berlangsung lambat maka absorbsi ke pembuluh darah menjadi
seimbang dengan metabolisme dan ekskresinya, maka dari itu resiko toksisitas berkurang.

2.3.2 Pemberian obat AINS


Untuk meredakan nyeri yang dirasakan pasien, dokter gigi dapat memberikan obat
AINS (Anti Inflamasi Non-Steroid). AINS merupakan obat yang memiliki khasiat analgesik,
antipiretik, dan antiinflamasi. Namun, obat ini tidak bisa bekerja dalam waktu yang singkat,
karena obat ini juga mengalami proses absorbsi dan biotransformasi.
Aspirin merupakan prototipe AINS, sehingga AINS juga disebut sebagai aspirin-like-
drugs. Secara umum, kelompok obat ini bersifat heterogen secara kimia namun memiliki efek
terapeutik dan efek samping yang hampir sama. Obat AINS dapat diklasifikasikan
berdasarkan selektivitasnya terhadap (enzim) siklooksigenase (COX).
Dalam kasus ini, dokter disarankan untuk memberikan AINS berupa Diklofenak atau
dengan nama dagang Cataflam, dikarenakan efeknya yang kuat menjadi bloker COX-2,
sehingga pasien dengan cepat tidak merasa nyeri lagi. Namun dalam pemberian obat
golongan AINS seperti Diklofenak, tidak diperuntukan untuk orang dengan kelainan hepar,
mengingat bahwa metabolisme obat Diklofenak ada di hepar.

2.3.3 Perawatan penunjang


Pada kasus ini, gigi mengalami fraktur hingga ½ bagian mahkota yang menyebabkan
jaringan pulpa menjadi terbuka sehingga dapat menyebabkan rasa sakit dan kerusakan pada
pulpa. Maka dari itu, tindakan yang perlu dilakukan dokter adalah perawatan endodontik.
Proses ini melibatkan pengangkatan pulpa dan serabut saraf yang terinfeksi dari pusat gigi
dan mengisi rongga pulpa, dan dapat dilakukan pemasangan crown untuk estetika pasien.
2.3.4 Mekanisme cara kerja AINS
Obat AINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrien,yang diketahui
turut berperan dalam inflamasi. AINS menghambat enzim cyclooxygenase (COX) sehingga
konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat
cyclooxygenase dengan cara yang berbeda. AINS dikelompokkan berdasarkan struktur kimia,
tingkat keasaman dan ketersediaan awalnya. Dan sekarang yang populer dikelompokkan
berdasarkan selektifitas hambatannya pada penemuan dua bentuk enzim constitutive
cyclooxygenase-1 (COX-1) dan inducible cyclooxygenase-2 (COX-2). COX-1 selalu ada di
berbagai jaringan tubuh dan berfungsi dalam mempertahankan fisiologi tubuh seperti
produksi mukus di lambung tetapi sebaliknya, COX-2 merupakan enzim indusibel yang
umumnya tidak terpantau di kebanyakan jaringan, tapi akan meningkat pada keadaan
inflamasi atau patologik. AINS yang bekerja sebagai penghambat COX akan berikatan pada
bagian aktif enzim, pada COX-1 dan atau COX-2, sehingga enzim ini menjadi tidak
berfungsi dan tidak mampu merubah asam arakidonat menjadi mediator inflamasi
prostaglandin.
Gambar 2.1 Biosintesis prostaglandin

Soal C

Pasien masih sangat kesakitan,namun menolak untuk disuntik karena takut dengan
jarum suntik. Dokter gigi terpaksa mengoleskan anestesi topikal dan kemudian memberi
tablet analgesik yang dilarutkan dalam setengah gelas air dan nyeri giginya berkurang dalam
waktu 5 menit. Diskusikan mengenai sediaan dan farmakologi obat tersebut.

2.4 Sediaan dan Farmakologi Obat yang Diberikan pada Pasien

2.4.1 Anestesi lokal

Anestesi lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara
lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Obat ini bekerja pada tiap bagian susunan saraf
pusat. Pemberian anastesi lokal pada batang saraf menyebabkan paralisis sensorik dan
motorik didaerah yang dipersarafinya. Paralisis saraf oleh anestesi lokal bersifat reversibel,
tanpa merusak serabut saraf atau sel saraf. Sifat anestesi lokal yang ideal yaitu anestesi lokal
sebaiknya tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen. Kebanyakan
anestesi lokal memenuhi syarat ini. Mula kerja harus sesingkat mungkin sedangkan masa
kerja harus cukup lama sehingga cukup waktu untuk melakukan tindakan operasi, tetapi tidak
demikian lama sampai memperpanjang masa pemulihan. Secara kimia anestesi lokal
digolongkan menjadi 2 senyawa yaitu senyawa ester dan senyawa amid.

2.4.1.1 Farmakokinetik Anestesi Lokal

Anestesi lokal biasanya diberikan sangat dekat dengan lokasi kerja atau langsung ke
target (ke serabut saraf). Absorbsi, distribusi dan ekskresi secara sistemik hanya berfungsi
untuk mengakhiri kerja anestesi lokal.

● Absorbsi

Pemberian anastesi lokal dengan vasokonstriktor hanya memperlambat


absorbsi sehingga masa kerja anestesi lokal lebih lama. Anestesi lokal yang larut
dalam lemak akan lebih poten, masa kerja akan lebih lama dan obat akan bereaksi
lebih lambat

● Distribusi
Anestesi lokal golongan amida lebih banyak di distribusi jika dilakukan
melalui intravena. Fase distribusi dibagi menjadi dua yaitu fase distribusi cepat
terjadi pengambilan obat di organ-organ yang memiliki daya perfusi tinggi seperti
otak, hati, ginjal dan jantung. Fase kedua fase distribusi lambat terjadi
pengambilan obat oleh organ yang memiliki daya fusi sedang seperti otot dan
saluran pencernaan.

● Metabolisme dan Ekskresi

Anestesi lokal diubah menjadi senyawa yang mudah larut dalam air di dalam
hati dan plasma dan kemudian diekskresi melalui urin. Karena anestesi lokal yang
bentuknya tak bermuatan mudah berdifusi melalui lipid, maka sedikit atau tidak
sama sekali bentuk netralnya yang diekskresikan. Pengasaman urin akan
meningkatkan ionisasi basa tersier menjadi bentuk bermuatan yang mudah larut
dalam air sehingga mudah diekskresikan karena bentuk ini tidak mudah diserap
kembali oleh tubulus ginjal. Anestesi lokal jenis ester dimetabolisme lebih cepat
daripada jenis amida karena jenis ester langsung masuk ke dalam darah. Pasien
dengan gangguan fungsi hati akan mudah mengalami keracunan anestesi lokal
amida.

2.4.1.2 Farmakodinamik Anestesi Lokal

Anestesi lokal bekerja dengan mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf.
Pada keadaan normal, potensial aksi saraf dapat terjadi akibat depolarisasi ringan pada
membran. Depolarisasi ini menyebabkan naiknya permeabilitas membran terhadap ion
natrium. Pemberian anestesi lokal menyebabkan adanya interaksi pada zat anestesi lokal dan
kanal natrium. Anestesi lokal dalam bentuk non ion dapat menembus membran akson. Dalam
sitoplasma, zat anestesi lokal akan berikatan dengan ion hidrogen dan kemudian mengikat
kanal Nav (kanal Natrium yang sensitif terhadap perubahan muatan listrik) pada sisi dalam
(gambar 2.2). Hal ini menyebabkan tidak adanya ion natrium yang masuk sehingga potensial
aksi tidak terjadi dan rangsang sensorik tidak dapat diteruskan ke sistem saraf pusat. Anestesi
lokal dapat bekerja pada semua jenis saraf, baik saraf sensorik maupun motorik.
Gambar 2.2 Mekanisme Kerja Anestesi Lokal. Permeabilitas membran
meningkat. Tingginya permeabilitas membran menyebabkan masuknya ion
natrium.
2.4.1.3 Bentuk Sediaan Obat Anestesi Lokal
Skenario diskusi menyebutkan bahwa obat anestesi lokal digunakan secara topikal
(dioleskan). Oleh karena itu, bentuk sediaan obat tersebut adalah obat setengah padat, yaitu
unguentum (salep, krim) atau bisa juga dalam bentuk pasta.
Unguentum (salep) adalah obat luar lembek yang merupakan campuran homogen
dengan konsistensi seperti mentega, tak mencair pada suhu biasa tetapi dapat dioleskan diatas
kulit tanpa memakai kekerasan/pemanasan. Secara terapeutik, salep dibedakan menjadi salep
penutup (melindungi kulit), salep resorbsi (mengandung bahan-bahan untuk diresorbsi), dan
salep penyejuk (mengandung banyak air, bila dioleskan menimbulkan rasa sejuk). Anestesi
lokal dalam skenario ini tergolong ke dalam salep resorbsi. Konstituen (vehikulum) salep
yang penting di antaranya adalah vaselinum, paraffinum, adeps lanae, dan adeps suillus.
Pasta adalah campuran homogen dengan konsistensi seperti adonan (lebih plastis dari
salep) yang dibuat dengan mencampurkan sejumlah bahan padat indiferen yang dapat
mengabsorbsi eksudat yang kurang lebih sama dengan dasar salep.

2.4.2 AINS

AINS adalah obat-obat analgesik yang selain memiliki efek analgesik juga memiliki
efek anti inflamasi, sehingga obat-obat jenis ini digunakan dalam pengobatan inflamasi pada
gigi. Contohnya ibuprofen, indometasin,diklofenak, fenilbutazon dan piroxicam. Inflamasi
rongga mulus misalnya, inflamasi gigi pada jaringan pulpa menyebabkan pelepasan
prostaglandin E2 dan bradikinin, PGE2 menurunkan ambang rangsang nyeri dan sensitisasi
reseptor nyeri terhadap bradikinin. Tugas dari AINS sendiri adalah untuk membok
siklooksigenase dimana siklooksigenase yang seharusnya menghasilkan prostaglandin, akan
dihambat, sehingga mengurangi respon nyeri pada pasien.

2.4.2.1 Farmakokinetik AINS


● Absorpsi
Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian ke
sirkulasi sistemik. Cara pemberian obat dapat berupa sistemik dan topikal. Cara
pemberian obat secara sistemik meliputi enteral (oral, sublingual, rektal),
parenteral (intradermal, subkutan, intramuskular, intravena, intra arteri, dll),
inhalasi dan transdermal. Sedangkan, obat dapat dioleskan pada kulit atau mukosa
pada pemberian secara topikal.
Proses absorpsi melibatkan adanya transpor lintas membran. Transpor lintas
membran dapat berupa transpor aktif dan transpor pasif. Transpor aktif
memerlukan energi dalam bentuk ATP karena adanya pergerakan molekul dari
konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Contoh dari transpor aktif adalah pompa
ion (Na-K ATPase).
Transpor pasif tidak memerlukan energi karena molekul berpindah mengikuti
gradien konsentrasi, yaitu dari tinggi ke rendah. Transpor pasif terbagi menjadi
difusi pasif dan difusi terfasilitasi. Pada difusi pasif (lipid diffusion), obat (bentuk
non ion) melintasi membran dengan melarut pada lemak membran, dari sisi
berkadar tinggi ke rendah sampai kadar di kedua sisi sama. Sedangkan difusi
terfasilitasi (tidak larut dalam lemak) terbagi menjadi 2, yaitu channel mediated
facilitated diffusion dan carrier mediated facilitated diffusion (menggunakan
transporter). Contoh channel mediated facilitated diffusion adalah difusi pada
kanal hidrofilik (aqueous diffusion) dan kanal ion. Ion tidak dapat masuk kanal
hidrofilik karena mengikat air sehingga ukurannya besar.
Gambar 2.3 Jenis transpor pasif. Jenis transpor ini
merupakan transpor ion dimana ion melewati membran plasma
tanpa menggunakan energi

● Distribusi

Obat mengalami distribusi dalam 2 fase. Pada fase 1, obat


didistribusikan ke organ dengan perfusi darah sangat baik (memiliki
banyak pembuluh darah) seperti jantung, ginjal, hati ,dan otak.
Selanjutnya, pada fase 2, obat akan ke otot, viscera, kulit, dan lemak. Obat
diikat oleh protein plasma dan ikatan tersebut bersifat lemah sehingga obat
mudah terdisosiasi menjadi obat bebas. Kemudian, obat bebas masuk ke
jaringan tubuh. Jumlah obat dalam tubuh dibagi dengan konsentrasi obat
dalam darah adalah volume distribusi (VD). Apabila kadar obat dalam
darah tinggi, maka volume distribusi mengecil karena obat terkonsentrasi
dalam darah. Apabila kadar obat dalam darah rendah, maka volume
distribusi membesar karena obat tersebar dalam tubuh.

● Biotransformasi/Metabolisme

Metabolisme obat berlangsung terutama di hati. Reaksi biokimia


pada transformasi obat meliputi 2 fase. Pada fase 1 (reaksi non sintetik),
obat mengalami oksidasi/reduksi/hidrolisis untuk menambahkan gugus
fungsional (-OH, -SH, dll) sehingga obat menjadi lebih polar. Pada fase 2
(reaksi sintetik/konjugasi), obat bereaksi dengan substrat endogen
(contohnya: asam glukoronat) untuk menjadi sangat polar. Molekul obat
diubah menjadi polar supaya mudah larut dalam air sehingga lebih mudah
diekskresi oleh ginjal. Pada umumnya, metabolisme obat akan
mengakibatkan obat aktif menjadi inaktif, obat aktif menjadi metabolit
kurang aktif, obat aktif diubah menjadi metabolit toksik dan prodrug
inaktif menjadi aktif.

● Ekskresi

Obat dikeluarkan dari tubuh oleh organ ekskresi. Salah satu organ
ekskresi yang paling berperan adalah ginjal. Obat mengalami filtrasi pasif
di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan reabsorpsi pasif di
tubuli proksimal dan distal. Selain itu, obat juga dapat diekskresi melalui
sirkulasi enterohepatik dimana obat diekskresi aktif melalui P-gp dan MRP
ke empedu, masuk ke duodenum dan diabsorbsi kembali ke sirkulasi
sistemik sehingga masa kerja obat lebih lama. Organ ekskresi lain dapat
berupa traktus gastrointestinal (faeces) dan paru-paru (zat berbentuk gas).

2.4.2.2 Farmakodinamik AINS

Obat analgesik anti inflamasi non steroid merupakan suatu kelompok sediaan dengan
struktur kimia yang sangat heterogen, dimana efek samping dan efek terapinya berhubungan
dengan kesamaan mekanisme kerja sediaan ini pada enzim cyclooxygenase (COX).
Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir memberikan penjelasan mengapa kelompok
yang heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping, ternyata hal ini
terjadi berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG). AINS menghambat
enzim cyclooxygenase (COX) sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu.
Setiap obat menghambat cyclooxygenase dengan cara yang berbeda.

AINS dikelompokkan berdasarkan struktur kimia,tingkat keasaman dan ketersediaan


awalnya. Dan sekarang yang populer dikelompokkan berdasarkan selektifitas hambatannya
pada penemuan dua bentuk enzim constitutive cyclooxygenase-1 (COX-1) dan inducible
cyclooxygenase-2 (COX-2). COX-1 selalu ada di berbagai jaringan tubuh dan berfungsi
dalam mempertahankan fisiologi tubuh seperti produksi mukus di lambung tetapi sebaliknya,
COX-2 merupakan enzim indusibel yang umumnya tidak terpantau di kebanyakan jaringan,
tapi akan meningkat pada keadaan inflamasi atau patologik. AINS yang bekerja sebagai
penghambat COX akan berikatan pada bagian aktif enzim, pada COX-1 dan atau COX - 2,
sehingga enzim ini menjadi tidak berfungsi dan tidak mampu mengubah asam arakidonat
menjadi mediator inflamasi prostaglandin.

AINS yang termasuk dalam tidak selektif menghambat sekaligus COX-1 dan COX-2
adalah ibuprofen, indometasin dan naproksen. Asetosal dan ketorokal termasuk sangat
selektif menghambat COX-1. Piroksikam lebih selektif menghambat COX-1, sedangkan yang
termasuk selektif menghambat COX-2 antara lain diklofenak, meloksikam, dan nimesulid.
Celecoxib dan rofecoxib sangat selektif menghambat COX-2.

2.4.2.3 Bentuk Sediaan AINS

Pada skenario, disebutkan bahwa tablet analgesik yang diberikan dilarutkan dalam
setengah gelas air. Dengan demikian, bentuk sediaan obat analgesik tersebut adalah obat
padat, yaitu tablet dispersible. Tablet dispersible adalah tablet yang dapat terdisintegrasi
secara cepat di dalam air, menghasilkan suatu dispersi yang stabil atau dapat terdispersi
segera di dalam mulut dan dapat ditelan tanpa membutuhkan air. Keuntungan tablet
dispersible yaitu memiliki onset yang cepat sehingga dapat meningkatkan efektifitas obat.
Hal itu dikarenakan tablet tidak perlu melalui proses disintegrasi (pecahnya tablet menjadi
granul) dan deagregasi (pecahnya granul menjadi partikel) di dalam tubuh tetapi langsung
terdisolusi dalam medium air sehingga dapat langsung diabsorbsi oleh pembuluh darah.
Selain itu, keuntungan tablet dispersible adalah mudah diminum dengan cara melarutkan
tablet di dalam air agar terdispersi dalam larutan (Sulaiman, 2007). Hal ini pun dapat
memudahkan sang pasien yang sudah berumur 75 tahun dalam meminum obat tersebut.

Diskusi 2

Soal D

Ketika hendak memberikan obat analgesik (AINS) kepada pasien, seorang dokter
gigi harus mampu memilih sediaan yang cocok dan yang memang dibutuhkan oleh pasien,
sehingga pasien tidak terpapar oleh efek samping obat.
Diskusikan:
A. Pilihan obat AINS berdasarkan kemampuannya menghambat enzim
siklooksigenase.
B. Efek samping obat AINS beserta mekanisme kerjanya
C. Alasan analgesik opioid bukan merupakan pilihan yang tepat untuk mengatasi
nyeri pada pasien tersebut.

2.5. Obat AINS

2.5.1 Penggolongan Obat AINS Berdasarkan Kemampuan Menghambat Enzim


Siklooksigenase (COX)
AINS merupakan obat inflamasi non steroid yang digunakan untuk mengurangi
peradangan sehingga meredakan nyeri. Ada empat golongan AINS berdasarkan kemampuan
AINS untuk menghambat jenis enzim COX tertentu. Terdapat 2 tipe utama enzim COX, yaitu
COX-1 dan COX-2. COX-1 berperan dalam menjaga fungsi fisiologis tubuh seperti memberi
efek protektif terhadap saluran cerna, mengakibatkan agregasi trombosit, dan menjalankan
fungsi renal. Enzim COX-2 memiliki efek patologis (inflamasi, nyeri, dan demam) dan juga
efek fisiologis. Berikut adalah klasifikasi AINS.

● Selective COX-1 inhibitor – menghambat COX-1 dibanding COX-2.


Contoh obat: aspirin
● Non-selective COX inhibitor – menghambat enzim COX-1 dan COX-2
Contoh obat: ibuprofen, naproksen, asam mefenamat, flurbiprofen, piroksikam
● Preferentially COX-2 inhibitor – menghambat COX- 2, tetapi tidak sekuat
Highly selective COX-2 inhibitor
Contoh obat: diclofenac, meloksikam
● Highly selective COX-2 inhibitor – menghambat COX-2 lebih kuat dibanding
COX-1.
Contoh obat: Celecoxib

2.5.2 Obat AINS yang Digunakan pada Kasus

Untuk mengatasi nyeri yang dialami pasien, obat AINS yang digunakan adalah obat
dari golongan preferentially COX-2 inhibitor seperti meloksikam dan diklofenak. Inflamasi
menginduksi COX-2 sehingga pada akhirnya menimbulkan rasa nyeri. Sehingga untuk
mengatasi rasa nyeri tersebut, diperlukan obat yang memiliki efek penghambatan terhadap
COX-2 yaitu preferentially COX-2 inhibitor. Obat AINS golongan Highly selective COX-2
inhibitor tidak dianjurkan untuk digunakan karena memiliki efek samping yang lebih tinggi
jika dibandingkan dengan preferentially COX-2 inhibitor. Salah satu efek samping yang
berbahaya dari penghambat selektif COX-2 adalah menyebabkan tromboemboli, edema, dan
hipertensi. Contohnya jika celecoxib (Highly selective COX-2 inhibitor) dibandingkan
dengan meloksikam (preferentially COX-2 inhibitor), celecoxib 10-20x lebih kuat
menghambat COX-2 daripada COX-1, sedangkan meloksikam hanya 4-5x lebih kuat
menghambat COX-2 daripada COX-1. Jadi, efek yang ditimbulkan oleh Highly selective
COX-2 inhibitor lebih kuat dibandingkan dengan preferentially COX-2 inhibitor, begitu pula
efek sampingnya.

2.6 Efek Samping Obat AINS dan Mekanisme Kerjanya

AINS atau obat antiinflamasi non-steroid termasuk golongan obat yang paling sering
digunakan. Namun, perlu diingat bahwa golongan obat-obat ini juga dapat menimbulkan
beberapa efek samping. Berikut adalah efek samping AINS yang paling sering terjadi:

● Iritasi saluran cerna

Hal ini disebabkan karena Obat AINS bekerja dengan menghambat COX-1
yang memiliki efek gastro intentional cytoprotection yaitu efek melindungi
saluran cerna dari asam lambung dengan mengeluarkan mukus, sehingga saat
COX-1 dihambat maka pengeluaran mukus juga ikut terhambat dan
menyebabkan iritasi pada saluran cerna.

● Gangguan fungsi ginjal

COX-1 berperan dalam menghasilkan prostaglandin yang berperan dalam


renal function, yang berarti prostaglandin membantu mempertahankan fungsi
normal dari ginjal dengan mengatur kandungan garam dan air serta
mempertahankan aliran darah ginjal. Penggunaan AINS dapat mempengaruhi
keseimbangan elektrolit dan menimbulkan kerusakan fungsi ginjal berupa nefritis
papilaris. AINS dapat menghambat aliran darah ke ginjal, sehingga melukai
jaringan ginjal.

● Gangguan kardiovaskular (infark miokard, hipertensi, gagal jantung)

COX-1 dapat menyebabkan agregasi trombosit, dimana darah cepat


menggumpal dan menyebabkan suplai darah ke jantung menurun. COX-1
Inhibitor dapat menghabat agregrasi trombosit sehingga menurunkan resiko
terjadinya penggumpalan darah. Pada penggunaan COX-2 selektif Inhibitor,
COX-2 tersebut tidak memiliki efek menghambat agregrasi trombosit seperti
yang dimiliki pada COX-1 Inhibitor, sehingga berbahaya untuk pasien dengan
gangguan kardiovaskular.

● Beberapa AINS juga dapat menyebabkan alergi, contohnya celecoxib.

Hal ini terjadi berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin(PG).


Hambatan terhadap aktivitas COX akan menurunkan produksi vasodilator
prostaglandin sehingga tidak ada mediator yang mampu mengatasi efek
vasokonstriktor katekolamin, akibatnya akan meningkatkan tekanan darah
penderita.

Mekanisme obat AINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrien,yang


diketahui turut berperan dalam inflamasi. AINS menghambat enzim cyclooxygenase (COX)
sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat
menghambat cyclooxygenase dengan cara yang berbeda. AINS dikelompokkan berdasarkan
struktur kimia, tingkat keasaman dan ketersediaan awalnya. Dan sekarang yang populer
dikelompokkan berdasarkan selektifitas hambatannya pada penemuan dua bentuk enzim
constitutive cyclooxygenase-1 (COX-1) dan inducible cyclooxygenase-2 (COX-2). COX-1
selalu ada di berbagai jaringan tubuh dan berfungsi dalam mempertahankan fisiologi tubuh
seperti produksi mukus di lambung tetapi sebaliknya, COX-2 merupakan enzim indusibel
yang umumnya tidak terpantau di kebanyakan jaringan, tapi akan meningkat pada keadaan
inflamasi atau patologik. AINS yang bekerja sebagai penghambat COX akan berikatan pada
bagian aktif enzim, pada COX-1 dan atau COX-2, sehingga enzim ini menjadi tidak
berfungsi dan tidak mampu merubah asam arakidonat menjadi mediator inflamasi
prostaglandin.

2.7 Analgesik Opioid

Analgesik opioid merupakan obat yang bekerja di reseptor opioid pada sistem saraf
pusat (SSP). Obat ini diberikan untuk mengatasi nyeri sedang sampai nyeri berat sesuai
dengan kekuatan dari nyeri yang dirasakan dan kekuatan dari obat tersebut (Ikawati, 2011).
Obat ini bekerja pada SSP secara selektif sehingga dapat mempengaruhi kesadaran dan
menimbulkan ketergantungan jika dikonsumsi dalam jangka panjang. Mekanisme obat ini
yaitu mengaktivasi reseptor opioid pada SSP untuk mengurangi rasa nyeri. Aktivasi dari obat
tersebut diperantarai oleh reseptor mu (μ) yang dapat menghasilkan efek analgesik di SSP dan
perifer (Nugroho, 2012). Contoh dari obat analgesik opioid antara lain: morfin, kodein,
fentanil, nalokson, nalorfin, metadon, tramadol, dan sebagainya.

2.7.1 Indikasi Penggunaan Analgesik Opioid

Analgesik opioid seringkali diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri


sedang sampai berat yang tidak dapat diobati dengan obat analgesik non-opioid. Morfin
sering digunakan sebagai obat terapi nyeri yang menyertai infark miokard; neoplasma; kolik
renal atau kolik empedu; oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner;
perikarditis akut, pleuritis dan pneumotoraks spontan dan nyeri akibat trauma.
Selain untuk terapi nyeri yang sedang hingga berat, analgesik opioid juga dapat
digunakan sebagai antitusif (anti batuk). Obat-obat yang biasa digunakan adalah kodein,
noskapin, dekstrometorfan dan levopropoksifen. Obat analgesik opioid juga dapat digunakan
untuk terapi diare karena salah obat golongan analgesik opioid dapat menurunkan motilitas
pada GI (gastrointestinal tract), dan memperlambat pengosongan lambung sehingga memicu
konstipasi. Obat-obat yang digunakan untuk terapi diare adalah loperamid dan difenoksilat.
Kemudian obat analgesik opioid juga dapat digunakan untuk terapi keracunan karena obat
analgesik opioid dapat merangsang muntah dengan cara merangsang Chemoreceptor Trigger
Zone (CTZ) yang terdapat pada sistem saraf pusat. Obat analgesik opioid juga dapat
digunakan sebagai premedikasi anestetik dan juga anestesi primer.

2.7.2 Efek Samping Penggunaan Analgesik Opioid


Obat analgesik opioid memiliki efek samping yang cenderung lebih berat jika
dibandingkan dengan AINS. Salah satu efek samping yang harus dipertimbangkan pada saat
meresepkan obat analgesik opioid adalah ketergantungan fisik dan psikis. Hal ini juga dapat
disertai dengan toleransi sehingga dosis harus ditingkatkan dari waktu ke waktu untuk
mencapai efek yang diinginkan. Jika konsumsi obat dihentikan secara tiba-tiba maka akan
timbul withdrawal syndrome pada pasien. Efek samping lain yang dapat muncul seperti mual,
muntah, pusing-pusing, depresi pernafasan, sedasi, konstipasi, gatal-gatal, bronkokonstriksi,
dan hipotensi.
Jika dikaitkan dengan pasien pada kasus diatas, dengan kondisi dimana pasien sudah
berumur 75 tahun dan nyeri yang dirasakan timbul dari iritasi pada pulpa gigi, maka nyeri
yang dirasakan pasien dapat diatasi dengan pemberian anestesi lokal dan AINS dimana obat-
obat tersebut memiliki efek samping yang lebih ringan dibanding obat analgesik opioid.
Soal E

Setelah dilakukan pemeriksaan radiografi, didapati kedua insisivus sentral atas juga
fraktur di akarnya, sehingga harus dicabut. Dari anamnesis, diketahui bahwa pasien
menderita hipertensi dan sudah diberi obat antihipertensi oleh seorang dokter internis. Obat
yang diberikan adalah amlodipin.

Diskusikan:
A. Tindakan yang harus dilakukan oleh dokter gigi.
B. Farmakologi obat antihipertensi.

2.8 Tindakan yang Harus Dilakukan oleh Dokter Gigi

Tindakan yang dokter gigi bisa lakukan adalah memastikan bahwa tekanan darah
pasien sudah dalam batas aman untuk melakukan ekstraksi atau pencabutan gigi. Untuk
memastikan tekanan darah pasien, sebaiknya dilakukan pengecekkan menggunakan tensi,
jika tekanan darah sudah dibawah 140/90 mmHg maka pencabutan gigi bisa dilakukan.
Jika tekanan darah pasien masih dalam keadaan tinggi atau melebihi 140/90 mmHg
dokter gigi sebaiknya memberi edukasi kepada pasien bahwa tindakan pencabutan gigi belum
bisa dilakukan karena tekanan darahnya masih tinggi, dan jika tetap dilakukan pencabutan
gigi maka akan sangat berisiko, dan bisa menyebabkan perdarahan yang hebat atau darah
susah untuk dihentikan. Selain memberi edukasi kepada pasien, dokter gigi harus
mengembalikan pasien ke dokter internisnya agar diberikan obat yang lebih efektif untuk
menurunkan tekanan darahnya atau untuk mengetahui penyebab lain dari tingginya tekanan
darah pasien walaupun sudah diberi obat. Sebaliknya, jika tekanan darah pasien sudah
dibawah 140/90 mmHg, maka pencabutan gigi dapat dilakukan.

2.9 Farmakologi Obat Antihipertensi

Secara umum, tekanan darah ditentukan oleh curah jantung (cardiac output) dan
resistensi perifer (peripheral vascular resistance). Curah jantung dihitung berdasarkan
perkalian antara kecepatan/ frekuensi jantung dan isi sekuncup. Resistensi perifer ditentukan
oleh jari-jari pembuluh darah dan kekentalan (viskositas) darah (Gambar 2.4)
Gambar 2.4 Mekanisme pengaturan tekanan darah
Sistem hormon terpenting dan paling terkenal yang terlibat dalam regulasi ion
Natrium adalah sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (SRAA). Sel granular aparatus
jukstaglomerulus mengeluarkan suatu hormon enzimatik, renin, ke dalam darah sebagai
respons terhadap penurunan NaC1, volume cairan ekstraseluler (CES), dan tekanan darah
arteri. Setelah disekresikan ke dalam darah, enzim renin bekerja sebagai enzim untuk
mengaktifkan Angiotensinogen menjadi Angiotensin I. Angiotensinogen adalah suatu protein
plasma yang disintesis oleh hati dan selalu terdapat di plasma dalam konsentrasi tinggi.
Ketika melewati paru-paru, Angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh Angiotensin-
Converting Enzyme (ACE) yang banyak terdapat di kapiler paru. ACE terletak pada sel
endotel kapiler paru. Angiotensin II adalah perangsang utama sekresi hormon aldosteron dari
korteks adrenal, khususnya pada zona glomerulosa. Korteks adrenal adalah kelenjar endokrin
yang menghasilkan beberapa hormon, masing-masing disekresikan sebagai respons terhadap
rangsangan yang berbeda.Angiotensin II dapat menyebabkan vasopresin, rasa haus, dan
vasokonstriksi pada pembuluh darah arteriol. Aldosteron akan menyebabkan reabsorbsi ion
Natrium oleh tubulus ginjal dan ion Klorida secara pasif ikut diserap. Baik ion Natrium
maupun ion Klorida akan secara osmosis menahan air dalam cairan ekstraseluler sehingga
tekanan darah akan naik.

Gambar 2.5 Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron


Adanya gangguan pada mekanisme pengaturan tekanan darah dapat menyebabkan
perubahan pada tekanan darah. Pada skenario, pasien mengalami hipertensi dan meminum
obat amlodipin. Amlodipin merupakan obat antihipertensi golongan antagonis kalsium/
penghambat kanal kalsium (Calcium Channel Blocker/ CCB).
Secara umum, obat-obatan yang dapat menurunkan tekanan darah tinggi antara lain
adalah sebagai berikut.
1. Diuretik
Apabila terjadi peningkatan ekskresi ion Na dan air, mengakibatkan turunnya
volume plasma darah sehingga curah jantung akan menurun, oleh karena itu tekanan
darah ikut menurun. Terdapat beberapa diuretik yang digunakan untuk obat anti
hipertensi seperti Diuretik Tiazid, Diuretik Kuat, dan Diuretik Hemat Kalium. Obat-
obat yang termasuk diuretik tiazid, yaitu HCT (Hidroklorotiazid), Klortalidon, dan
Metolazon. Sedangkan obat-obat diuretik kuat, yaitu Furosemid, Torsemid, dan
Bumetanid. Obat-obat untuk diuretik hemat kalium, yaitu Spironolakton dan
Eplerenon.
2. Penghambat Adrenergik
A. Penghambat adrenoreseptor beta (β-blocker)
Mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian β-blocker
dikaitkan dengan hambatan reseptor β1, antara lain penurunan frekuensi
denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah
jantung, hambatan sekresi renin akibat penurunan produksi angiotensin II,
efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada
sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergik, perifer dan
peningkatan biosintesis prostasiklin. Contohnya, acebutolol, atenolol,
metoprolol dan propanolol.

B. Penghambat adrenoreseptor alfa (α-blocker)


Hanya α-blocker yang selektif menghambat reseptor α1 yang
digunakan sebagai antihipertensi. Alfa-blocker non selektif kurang efektif
sebagai antihipertensi karena hambatan reseptor α2 di ujung saraf adrenergik
akan meningkatkan pelepasan norepinefrin dan meningkatkan aktivitas
simpatis. Prazosin, terazosin, dan doxazosin merupakan contoh dari α-blocker.

C. Penghambat Saraf Adrenergik


Reserpin merupakan salah satu penghambat saraf adrenergik. Reserpin
akan menghambat dopamin masuk ke vesikel. Pada keadaan normal, dopamin
dapat masuk ke dalam vesikel melalui VMAT (Vesicular Monoamine
Transporter). Reserpin akan menyebabkan dopamin tidak bisa masuk ke
vesikel sehingga tidak dapat diubah menjadi nor-epinefrin.
Selain itu, terdapat zat lainnya yang dapat menghambat saraf
adrenergik, yaitu guanetidin. Guanetidin akan menyebabkan nor-epinefrin
tetap berada dalam vesikel sehingga tidak terjadi transmisi adrenergik.
Gambar 2.6 Mekanisme transmisi adrenergik beserta penghambat saraf
adrenergik

D. Adrenolitik Sentral
Klonidin merupakan contoh obat yang bekerja sebagai adrenolitik
sentral. Klonidin merupakan agonis α2, yang bekerja sebagai negative
feedback, yaitu menghambat pelepasan norepinefrin. Metil Dopa juga bekerja
secara simpatolitik.
3. Vasodilator
Vasodilator dapat menghasilkan efek langsung pada dinding otot polos
pembuluh darah, apabila arteriol mengalami dilatasi maka resistensi perifer akan
menurun sehingga tekanan darah juga ikut mengalami penurunan. Mekanisme
kerja ini berlaku untuk semua vasodilator kecuali Nitroprusid. Sedangkan
Minoksidil dan Diazoksid akan bekerja membuka kanal ion K+. Obat-obat yang
termasuk vasodilator untuk anti hipertensi, yaitu Hidralazin, Minoksidil,
Diazoksid, Nitroprusid, dan Fenoldopam. Penggunaan vasodilator dapat melalui
intravena untuk hypertensive emergency, sedangkan penggunaan secara oral
dapat digunakan untuk hipertensi berat.
4. Penghambat Renin
Renin bekerja untuk mengaktifkan angiotensinogen menjadi
angiotensin I. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron akan menyebabkan tekanan
darah meningkat. Dengan mengonsumsi obat penghambat renin, maka sistem
tersebut tidak terjadi sehingga dapat menghambat naiknya tekanan darah. Contoh
obat ini adalah aliskiren.

Gambar 2.7 Mekanisme Kerja penghambat renin, penghambat ACE, dan


penghambat reseptor Angiotensin II
5. Penghambat ACE
Penghambat ACE (Angiotensin Converting Enzyme) akan menyebabkan tidak
terbentuknya angiotensin II. Biasanya obat golongan ini digunakan untuk hipertensi
ringan hingga berat dan juga gagal jantung kongestif (cardiac heart failure). Contoh
obat-obatan ini adalah sebagai berikut.
A. Captopril
B. Lisinopril
C. Enalapril
D. Ramipril
E. Fosinopril
F. Quinapril
6. Penghambat Angiotensin II
Penghambat Angiotensin II dikenal juga sebagai inhibitor kompetitif/
antagonis reseptor angiotensin II. Berikut adalah contoh obat golongan penghambat
Angiotensin II.
A. Losartan
B. Valsartan
C. Telmisartan
D. Irbesartan
7. Penghambat Kanal Kalsium
Antagonis kalsium menghambat masuknya ion Kalsium ke dalam sel otot
polos pembuluh darah dan jantung sehingga tidak terjadi vasokonstriksi pembuluh
darah dan menurunkan resistensi perifer yang disebabkan oleh angiotensin II.
Terdapat dua golongan:
A. Golongan dihidropiridin (DHP)
Efek vasodilatasinya amat kuat, contohnya antara lain Nifedipin,
Nisoldipin, Amlodipin, Felodipin, Nicardipin, dan Nimodipin.
B. Golongan non dihidropiridin (Non DHP)
Non dihidropiridin menurunkan denyut jantung dan memperlambat
konduksi nodus atrioventrikular, contohnya Verapamil dan Diltiazem.
Soal F
Seminggu kemudian, pasien kembali dengan membawa surat jawaban dari dokter
internis. Kedua insisivus sentral atas harus dicabut dengan catatan tekanan darah pasien saat
akan dilakukan pencabutan di bawah 140/ 90 mmHg. Setelah diukur, ternyata tekanan darah
pasien adalah 125/80 mmHg.
Diskusikan:
A. Tindakan yang harus dilakukan oleh dokter gigi.
B. Campuran yang digunakan dalam sediaan anestesi lokal.

2.10 Tindakan yang Harus Dilakukan oleh Dokter Gigi pada Kunjungan Ketiga
Tindakan yang dokter lakukan sebelum pencabutan yaitu memberikan antiseptik
seperti Povidone Iodine pada mukosa mulut untuk mengurangi adanya infeksi. Setelah itu,
dokter memberikan anestesi lokal dengan cara topikal supaya mengurangi rasa sakit pada saat
diberikan anestesi lokal injeksi. Selanjutnya, dokter memberikan anestesi lokal injeksi supaya
pada pencabutan gigi, pasien tidak merasa kesakitan. Jenis obat yang biasa digunakan yaitu
Lidokain.

2.11 Campuran yang Digunakan dalam Sediaan Anestesi Lokal

Anestesi lokal dapat dilakukan penambahan vasokonstriktor seperti epinefrin.


Penambahan epinefrin bertujuan untuk menambahkan masa kerja dari anestesi lokal, selain
itu juga dapat digunakan agar anestesi lokal yang diberikan lebih sedikit. Kadar obat dalam
plasma berkurang, karena absorbsi ke pembuluh darah seimbang dengan metabolisme dan
ekskresinya sehingga toksisitas sistemik berkurang. Penambahan vasokonstriktor tidak boleh
diberikan di daerah dengan sirkulasi kolateral maksimum (seperti pulpa) karena dapat
menyebabkan toksisitas pada serabut saraf. Vasokonstriktor juga tidak boleh diberikan pada
end organ, seperti pada sirkumsisi karena dapat menyebabkan terjadinya nekrosis jaringan
akibat sedikitnya vaskularisasi. Selain itu, pemberian vasokonstriktor dapat menyebabkan
pembuluh darah mengalami vasokonstriksi, sehingga tekanan darah dapat naik.

BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Vane J.R., Botting R.M. Inhibition of prostaglandin synthesis’ as a mechanism of


action for aspirin-like drugs. Nature 1971; 231: 232 – 5.
2. Goodman., Gillman’s. The Pharmacological Basis of Therapeutics, 8th ed. Millan
Publishing Company, 1990; 207-300.
3. Lelo A. 2005. NSAIDS: Friend or Foe, Journal of the Indonesia Dental Association.
Makassar.
4. Sala A., Folco G. Actual Role of Prostaglandin in inflammation, in Drug invest, 1999.
4-9
5. Sulaiman, T.N.S. 2007. Teknologi & Formulasi Sediaan Tablet, Pustaka
Laboratorium Teknologi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
6. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2012. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Badan Penerbit FKUI. Jakarta
7. Ikawati, Zullies. 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat. Yogyakarta: Bursa
Ilmu.
8. Nugroho, A. E. 2012. Farmakologi: Obat-Obat Penting Dalam Pembelajaran Ilmu
Farmasi Dan Dunia Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
9. Sherwood L. 2013. Introduction to human physiology. 8th ed. Canada: Nelson
education, Ltd. p. 165, 204-206.

2.5 Obat AINS

2.5.1 Penggolongan Obat AINS Berdasarkan Kemampuan Menghambat Enzim


Siklooksigenase (COX)

2.5.2 Obat AINS yang Digunakan pada Kasus


2.6 Efek Samping Obat AINS

2.7 Analgesik Opioid

2.7.1 Indikasi Penggunaan Analgesik Opioid

2.7.2 Efek Samping Penggunaan Analgesik Opioid

2.8 Tindakan yang Harus Dilakukan oleh Dokter Gigi

2.9 Farmakologi Obat Antihipertensi

2.10 Tindakan yang Harus Dilakukan oleh Dokter Gigi pada Kunjungan Ketiga

2.11 Campuran yang Digunakan dalam Sediaan Anestesi Lokal

Anda mungkin juga menyukai