Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MODUL 313

KELAINAN JUMLAH PADA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN GIGI

Disusun Oleh:
Kelompok C

Siti Rofilah Sandaeng 040001800128


Siti Tika Kamilla 040001800129
Siti Sara Safirah 040001800130
Sophie Ailsa Arthur 040001800131
Stephannie Alvinsia 040001800132
Syarifah Aulia 040001800133
Tania Nabila 040001800134
Tasha Nadila Mandiri 040001800135
Thomas Aurelius D 040001800136
Tiffany Hartono 040001800137
Tirza Oktarina 040001800138
Vallerie Trisha 040001800139
Vanessa Wangsanegara 040001800140
Vedda Lucia 040001800141
Vella Bougenvil 040001800142
Verenli 040001800143
Vivi Angelina 040001800144
Wafa Toriq Hayaza 040001800145

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS TRISAKTI 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan cukup baik meskipun banyak
kekurangan di dalamnya. Kami berterima kasih kepada para dosen yang membimbing kami pada
modul 313 FKG Universitas Trisakti.
Kami sangat berharap tulisan ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan laporan yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.
Semoga tulisan ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Kami mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan memohon kritik serta saran yang
membangun demi perbaikan di masa depan.

Jakarta, 21 Oktober 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan 3
BAB II PEMBAHASAN 4
2.1 Hipodontia 4
2.2 Oligodontia 5
2.3 Anodontia 7
2.4 Supernumerary Teeth 8
BAB III PENUTUPAN 12
3.1 Kesimpulan 12
DAFTAR PUSTAKA 13

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gigi sudah mulai berkembang pada usia 4 bulan dalam kandungan. Pertumbuhan dan
perkembangan gigi melalui beberapa tahap, yaitu tahap inisiasi, proliferasi, histodiferensiasi,
morfodiferensiasi, aposisi, kalsifikasi dan erupsi. Pada masing-masing tahap dapat terjadi
kelainan yang menyebabkan anomali dalam jumlah gigi, ukuran gigi, bentuk gigi, struktur
gigi, warna gigi dan gangguan erupsi gigi.
Jumlah gigi manusia yang normal adalah 20 gigi sulung dan 32 gigi tetap, tetapi
dapat dijumpai jumlah yang lebih atau kurang dari jumlah tersebut. Kelainan jumlah gigi
adalah dijumpainya gigi yang berlebih karena benih berlebih atau penyebab lain dan
kekurangan jumlah gigi disebabkan karena benih gigi yang tidak ada atau kurang.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
- Apa saja kelainan jumlah pada tumbuh kembang gigi ?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengidentifikasi kelainan jumlah pada tumbuh kembang gigi

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hypodontia
Agenesis beberapa (kurang dari 6) gigi (tidak termasuk molar ketiga) disebut
hipodonsia. Oligodontia adalah sebutan untuk kekurangan lebih dari 6 gigi permanen.
Hipodontia biasanya terkait dengan keturunan namun bisa juga secara sporadic (tanpa sejarah
keluarga dengan hipodonsia).Kondisi ini juga ditemukan sebagai suatu bagian dari sindroma,
terutama pada salah satu dari displasia ektodermal.
Hipodonsia bisa terjadi di seluruh gigi tetapi, gigi yang cenderung tidak ada adalah
gigi molar ketiga, premolar kedua rahang bawah, insisivus kedua rahang atas, dan premolar
kedua, rahang atas, insisivus pertama rahang bawah (menurut study Glenn dan Granhen).
Tidak adanya benih gigi bisa terjadi unilateral atau bilateral.
Hipodonsia dapat terjadi karena hipoplasia autosomal dominan atau agenesis dari
insisivus lateral rahang atas, peneliti (Vastardis, DKK) menemukan pada ketiadaan premolar
kedua pada seorang keluarga menunjukkan suatu pola pewarisan dominan autosomal yang
disebabkan oleh mutasi heterozigot pada gen MSX1 4p16. Hipodonsia yang diasosiasikan
dengan mutasi pada gen MSX1, dengan atau tanpa celah orofasial, diacu sebagai tipe
STHAG1 (​Selective Tooth Agenesis 1). ​Hipodonsia yang diwariskan secara autosomal resesif
dan diasosiasikan dengan malformasi gigi, hipoplasia email, dan kegagalan erupsi
dihubungkan dengan 16q12.1. Tipe agenesis gigi selektif ini disebut sebagai STHAG2
(​Selective Tooth Agenesis2)(​ Ahmad, DKK). Bukti lebih lanjut bahwa hipodonsia merupakan
suatu heterogenitas genetik disediakan dengan ditemukannya mutasi ​frameshift pada gen
PAX9, yang disebut STHAG3 (​Selective Tooth Agenesis 3). Hipodonsia sekunder dari mutasi
WNT10A diacu sebagai STHAG4 (​Selective Tooth Agenesis 4),y​ ang dihubungkan dengan
10q11.2-q21. STHAG6 (​Selective Tooth Agenesis 6) disebabkan oleh mutasi resesif
autosomal pada gen LTBP3. Mutasi pada gen EDA x-linked dapat menyebabkan oligodonsia

4
atau hipodonsia (STHAGX1) non-sindromik, atau displasia ektodermal hipohidrotik.
Agenesis gigi dapat dikaitkan dengan anomali gigi lainya, seperti mahkota yang pendek dan
kecil, mahkota berbentuk kerucut, hipoplasia email, taurodontisme, gangguan erupsi, dan
lain-lain.

Gambar 2.1.1 Agenesis gigi insisivus kedua kanan dan kiri

2.2 Oligodontia
Oligodontia merupakan suatu kelainan genetik langka yang menunjukkan tidak
adanya lebih dari enam gigi secara kongenital pada periode gigi sulung, periode gigi
permanen, maupun keduanya.
Kemungkinan penyebab oligodontia termasuk penyakit virus selama kehamilan,
kecenderungan genetik, ketidakseimbangan metabolisme, kelainan perkembangan dan faktor
lingkungan. Mutasi dominan autosomal pada ​PAX9 dan ​MSX1 telah ditemukan pada pasien
dengan oligodontia non-sindrom pada gigi molar. Gen terbaru yang diidentifikasi sebagai
penyebab oligodontia adalah mutasi resesif autosom pada ​LTBP3 yang ditemukan dalam satu
kasus. Mutasi gen ​WNT10A​, bertanggung jawab untuk ​HED y​ ang bersifat autosomal resesif,
odonto-onycho-dermal dysplasia dan sindrom ​Schöpf-Schulz-Passarge juga terlihat dalam
proporsi yang substansial (30 hingga 50% kasus menurut penelitian) dari kasus oligodontia
non-sindrom. ​EDA dan ​EDARADD,​ gen yang terlibat dalam berbagai bentuk displasia
ektodermal terkait-X dan hipohidrotik, juga dimutasi dalam oligodontia non-sindrom.

5
Fenotipe gigi yang terkait dengan ​HED yang diwariskan secara autosomal dominan biasanya
kurang parah daripada yang terlihat pada ​HED yang diwariskan secara autosomal resesif.
Selain itu, sindrom predisposisi kanker-Oligodontia disebabkan oleh mutasi gen ​AXIN2.​
Mutasi gen ​IKBKG​ juga terkait dengan sindrom oligodontia.
Hal yang juga perlu dipertimbangkan dalam diagnosis oligodontia adalah ​isolated
oligodontia harus dibedakan dari yang bentuk sindrom. Oligodontia terlihat pada X-linked
hipohidrotik ektodermal displasia dengan imunodefisiensi (HED), sindrom ECC, sindrom
orofaciodigital tipe I dan sindrom clefting wajah oral seperti sindrom Van Der Woude,
sindrom Ellis-Van Creveld atau sindrom Rapp-Hodgkin, hidrotik displasia, displasia
ektodermal displasia dermal wajah fokal, sindrom oligodontia-taurodontism-hypotrichosis
atau ​trichothiodystrophies.​
Oligodontia sering dihubungkan dengan gigi berbentuk kerucut, mikrodontia,
terlambatnya erupsi pada gigi permanen, meingkatnya freeway space dan retensi pada gigi
sulung. Bentuk sindromik dan non-sindromik Oligodontia dapat dibedakan dengan
melakukan pemeriksaan fisik rambut, kuku, kelenjar keringat, mata, dan untuk memeriksa
gangguan bawaan sejak lahir.
Oligodontia merupakan kondisi yang relatif langka yang mempengaruhi kira-kira
0.1-1.2% populasi. Gigi permanen yang sering kali tidak ditemui adalah molar 3 (9-37%),
premolar 2 mandibula (<3%), Incisivus 2 maxila (<2%) dan premolar 2 maxila dan incisivus
mandibula (<1%).

6
Gambar 2.2.1 Oligodontia

2.3 Anodontia
Anodontia adalah kegagalan seluruh gigi untuk berkembang. Keadaan ini langka dan
sulit ditemukan. Meskipun tidak terbentuknya gigi sulung atau permanen sering dikatakan
sebagai absen kongenital, biasanya gigi juga tidak muncul saat lahir (kecuali pada ​Natal
Teeth)​ . Anodontia disebabkan oleh kelainan secara ​genetik yang umumnya diturunkan dari
orang tua lewat ​gen dominan​. Selain itu, ​mutasi genetik juga dapat terjadi bila seseorang
menderita ​displasia ektodermal​, ​sindrom Down​, ​sindrom Rieger​, ​sindrom Book​, ​sindrom
Robinson​, dan sindrom lainnya. Faktor lain yang jarang terjadi namun dapat menyebabkan
anodontia adalah ​radiasi ​x-ray pada bagian wajah anak-anak. Radiasi sinar x-ray berpotensi
merusak calon gigi atau menghentikan pertumbuhan gigi yang baru terjadi. ​Ketika anodontia
muncul tanpa sindrom lainnya, biasanya gigi sulung tidak terpengaruh dan merupakan resesif
autosom. Meskipun anomali jumlah gigi seperti hipodontia dan oligodontia dapat muncul
pada banyak tipe ​ectodermal dysplasia, ​keadaan anodontia sangat jarang ditemukan.
Anodonotia atau oligodontia dapat menjadi bagian dari ​ectodermal dysplasia ​yang juga
mempengaruhi kulit, rambut, dan kuku, yang disebabkan oleh mutasi homozigot atau
heterozigot pada gen WNT10A. Mutasi pada gen WNT10A juga menyebabkan ​isolated
hipodontia (tanpa disertai sindrom). Pada kasus yang ekstrem, terjadi kegagalan

7
perkembangan lamina gigi sehingga tidak ada pembentukan gigi sama sekali, tetapi
umumnya gigi-geligi susu terbentuk. Gigi-geligi umumnya berbentuk seperti pasak atau
konus.
Pada anodonsia, prosesus alveolaris tanpa adanya dukungan oleh gigi menjadi tidak
berkembang membuat profil menyerupai orang yang sudah tua karena hilannya dimensi
vertikal.
Contoh kasus yang muncul biasanya seorang anak yang memiliki gigi sulung yang
jumlahnya normal, tetapi tidak memiliki benih gigi permanen sama sekali. Biasanya kasus ini
diturunkan lewat autosom resesif, sehingga ​consanguinity (perkawinan antar saudara) dapat
meningkatkan munculnya keadaan anodontia ini. Terapi dan perawatan yang dapat diberikan
salah satunya adalah pembuatan gigi tiruan

Gambar 2.3.1 Absennya gigi

2.4 Supernumerary Teeth


Supernumerary teeth atau hyperdontia dapat didefinisikan sebagai kelebihan jumlah
gigi pada satu set gigi, baik gigi sulung maupun permanen. Supernumerary teeth dapat
berupa gigi tunggal, multiple, unilateral atau bilateral dan pada maksila, mandibula maupun
keduanya. Gigi ini dapat erupsi ataupun terbenam dalam tulang alveolar. Kasus yang
melibatkan satu atau dua supernumerary teeth biasanya paling sering terjadi di anterior
maksila, lebih tepatnya yaitu pada daerah median. Sedangkan yang melibatkan

8
supernumerary multiple biasanya berada di regio premolar mandibula dan dapat juga pada
daerah distal gigi molar.

Gigi yang tumbuh pada supernumerary teeth memiliki bentuk serta ukuran yang
bervariasi. Supernumerary teeth yang tumbuh diantara gigi incisal pertama atas dinamakan
mesiodens .​ Gigi ​mesiodens terletak pada anterior maksila, atau di samping ​midline​. Biasanya
gigi ini berukuran kecil, berbentuk seperti pasak, dan tidak menyerupai bentuk gigi normal
pada daerah tersebut. Sedangkan gigi supernumerary yang tumbuh pada bagian posterior
biasanya memiliki bentuk menyerupai pin dan biasa disebut sebagai ​paramolar / distomolar.
Gigi paramolar terletak pada distal regio molar​. ​Namun tidak menutup kemungkinan bahwa
gigi-gigi supernumerary tersebut dapat tumbuh menyerupai gigi aslinya yang dinamakan
sebagai ​suplemen teeth ​atau ​additional teeth​.

Supernumerary teeth sering dikaitkan dengan perkembangan dental lamina yang


berlebih namun penyebab pasti dari kasus ini belum diketahui. Supernumerary teeth sering
dikaitkan dengan Gardner's syndrome, Ehlers–Danlos syndrome, Fabry–Anderson syndrome,
facial cleft ataupun cleidocranial dysplasia. Akibat supernumerary teeth bisa menimbulkan
gangguan erupsi gigi, diastema, pergeseran gigi, gigi berjejal, resorpsi akar dan pembentukan
kista dentigerous. Predileksi pada laki-laki dua kali lebih banyak daripada perempuan.

Supernumerary (​extra teeth)​ dikaitkan sebanyak 0.2-0.8% di ras Caucasian pada gigi
geligi primer dan 1.5-3.5% pada gigi geligi permanen di populasi yang sama. Terdapat ratio
antara pria dan wanita sekitar 2 : 1. Pasien dengan gigi susu yang supernumerary
diperkirakan memiliki kemungkinan sebesar 30-50% dilanjutkan dengan gigi tetap yang
supernumerary. Gigi supernumerary lebih sering terlihat pada maksila dibandingkan di
mandibula, dengan rasio sekitar 5 : 1.

9
Gambar 2.4.1 Supplemental Tooth (menyerupai insisivus kedua)

Gambar 2.4.2 Mesiodens

10
Gambar 2.4.3 Paramolar / Distomolar

11
BAB III

PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan
Kelainan tumbuh kembang gigi merupakan penyimpangan dari bentuk normal
akibat gangguan pada fase pertumbuhan. Kelainan gigi umumnya dipengaruhi oleh hereditas
dan juga disebabkan oleh perkembangan. Maka dari itu, kesehatan gigi dan mulut merupakan
bagian integral secara keseluruhan dan perihal hidup sehingga perlu dibudidayakan di
seluruh masyarakat. Kelainan pada tumbuh kembang gigi berdasarkan jumlah terbagi
menjadi empat ; Hipodontia merupakan kekurangan gigi yang kurang dari 6 gigi,
Oligodontia adalah kekurangan gigi yang melebihi 6 gigi, Anodontia merupakan absennya
gigi secara keseluruhan, dan Supernumerary Teeth yang merupakan penambahan atau
kelebihan jumlah. Kelainan-kelainan ini bisa menyebabkan gangguan pada pasien dan hanya
dapat dicapai dengan perawatan yang khusus oleh dokter gigi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Arbi, Teuku Ahmad. 2015. MULTIPLE SUPERNUMERARY TEETH YANG LANGKA:


SEBUAH LAPORAN KASUS. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala. Cakradonya
Dent J; 7(2):807-868. Diambil dari:
http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ/article/viewFile/10449/8227

Tangade, Pradeep and Manu Batra. 2012. Non Syndromic Oligodontia : Case Report. Ethiopian
Journal of Health Science; ​22(3): 219–221. Diambil dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3511903/

Dean, J, Jones, J, Vinson, L, & McDonald, R. 2016. ​McDonald and Avery's Dentistry for the
Child and Adolescent​. St. Louis, Missouri: Elsevier.

Sudiono, Janti. 2008. Gangguan Tumbuh Kembang Dentokraniofasial. Jakarta: EGC.

Richard Welbury, Monty S. Duggal, Marie Therese Hosey. (2012) ​Pediatric Dentistry​, page
256. UK : ​Oxford University Press.

13

Anda mungkin juga menyukai