Anda di halaman 1dari 4

Hipodontia

Hipodontia merupakan kondisi absennya beberapa gigi atau benih gigi, biasanya kurang dari
enam gigi dan tidak termasuk molar ketiga. Hypodontia biasanya menurun, meskipun juga
dapat terjadi pada pasien tanpa riwayat keluarga dengan hypodontia. Kondisi ini juga dapat
dikenali sebagai gejala dari kelainan tertentu seperti pada kondisi ektodermal displasia dan
down syndroma. Pada kedua syndroma tersebut menunjukkan karakteristik agenesis yang
berbeda dengan populasi secara umum (Mc Donald and Avery, 2016; Al-ani et al, 2017).

Agenesi pada gigi sulung jarang terjadi dan kasus tersering terjadi pada gigi permanen. Pada
penelitian menunnjukkan bahwa setidaknya 1 dari 5 individu yang tidak memiliki gigi molar
tiga, disertai dengai absennya satu sampai dua gigi (Al-Ani et al, 2017). Kondisi ini
cenderung terjadi molar ketiga, premolar kedua, dan insisive lateral pada kedua rahang.
Jarang terjadi pada gigi insisive sentral rahang bawah, molar pertama dan caninus (Mc
Donald and Avery, 2016). Berdasarkan studi yang dilakukan di Amerika, Australia, dan
Eropa menunjukkan bahwa individu yang mengalami agenesis paling sering megalami
kehilangan gigi sebanyak satu hingga dua gigi dan paling sering terjadi pada premolar kedua
mandibula dan insisive lateral maksila (Al-ani et al, 2017). Hipodontia dapat terjadi secara
unilateral maupun bilateral. Pada kebanyakan kasus terjadi secara unilateral dengan absennya
satu hingga dua gigi (Mc Donald and Avery, 2016).

Agenesis gigi biasanya merupakan kondisi non-syndromic, namun dapat dihubungkan


dengan kejadian celah bibir/palatum dan beberapa syndroma lainnya. Prevalensi hipodontia
lebih tinggi pada pasien celah bibir/oral yang parah, tersering berupa hilangnya gigi insisive
lateral maxilla. Pada pasien hipodontia banyak dilaporkan mengalami anomali gig berupa
ukuran gigi yang lebih kecil atau microdontia pada beberapa gigi. Pada 46% pasien dengan
kondisi agenesis menunjukkan akar gigi yang sangat pendek dan dihubungkan dengan
keterlambatan erupsi dari gigi tersebut. Manifestasi lainnya dari hipodontia menunjukkan
erupsi gigi ektopik, hal ini disebabkan karena hilangnya gigi tetangga mengakibatkan tidak
adanya eruption guidance. Agenesis gigi juga dihubungkan dengan terjadinya enamel
hypoplasia, infraoklusi molar pertama, dan peg shape pada insisive lateral maxilla. Selain itu
pada pasien hypodontia menunjukkan penampakan cranifacial yang berbeda dari populasi
umum (Al-ani et al, 2017).

Kondisi hypodontia dapat diklasifikan kedalam beberapa kondisi. Hypodontia dihubungkan


dengan adanya mutasi heterozigot pada gen MSX1, tanpa atau disertai dengan orofacial cleft
dan dikenal sebagai STHAG1, sedangkan hipodontia yang dihubungkan dengan malformasi
gigi, enamel hypoplasia, dan kegagalan erupsi digolongkan sebagai STHAG2. Bukti lanjutan
berkaitan dengan keberagaman genetik pada pasien hypodontia menunjukkan bahwa
ditemukan mutasi berupa translasi yang premature dan pemendekan protein dari gen PAX9
pada keluarga dengan autosomal –dominant oligodontia dan kondisi ini dikenal sebagai
STHAG tipe 3. STHAG tipe 4 dikenal sebagai sekunder hypodontia yang terjadi akibat
mutasi pada gen WNT10A. Pada STHAG6 terdapat mutasi autosomal-resesif dari gen
LTBP3 dan yang terakhir STHAGX1/ hypohirotic ectodermal displasia.
Gambar. Pasien wanita menunjukkan gejala hypodontia. Perhatikan agenesis pada insisive
lateral maxilla dan premolar kedua mandibula, tooth persistent dari molar sulung mandibulla,
spacing, dan deep bite.

Oligodontia

Oligodontia merupakan sebuah kondisi agenesis yang ditandai dengan tidak adanya gigi atau
gigi yang jumlahnya lebih dari enam (Mc Donald and Avery, 2016). Menurut sebuah studi
menunjukkan bahwa 0,14% populasi mengalami oligodontia. Berdasarkan studi mengenai
genetik, oligodontia disebabkan oleh karena perubahan gen atau hubungan genetik yang yang
mempengaruhi pada proses pembentukan gigi. Oligodontia biasanya muncul secara
independen akibat perubahan genetik, namun juga dapat muncul sebagai bagian dari
syndroma. Non-isolate oligodontia menjadi gejala dari lebih 120 syndroma dan menjadi
gejala awal dari kelainan tersebut (Dhamo et al, 2017).

Oligodontia sering dihubungkan dengan kelaian ektodermal displasia. Ectodermal displasia


merupakan kelainan pembentukan 2 atau lebih jaringan ektoderm seperti kulit, rambut, kuku,
kelenjar saliva, kelenjar keringat, dan gigi. Oligodontia sebagai bagian dari suatu syndroma
menunjukkan manifestasi yang luas termasuk malformasi gigi dan craniofacial (Dhamo et al,
2017).

MSX1, PAX9, AXIN2, EDA, EDAR, EDARAD, D dan WNT10A merupakan varian gen
yang sering dihubungkan dengan abnormalitas pembentukan gigi berkaitan dengan strukturm
jumlah, posisi, dan morfologi gigi serta bertanggung jawab terhadap terjadinya oligodontia.
Kegagalan pembentukan gigi yang dihubungkan dengan oligodontia menunjukkan
manifestasi berupa perubahan ukuran dan bentuk gigi (Dhamo et al, 2017).

Pada studi yang dilakukan oleh Dhamo berusaha untuk membandingkan fenotip pada
isolated-oligodontia dan ectodermal dysplasia (ED)-oligodontia. Studi tersebut menunjukkan
bahwa gangguan pembentukkan gigi mengakibatkan absennya insisive sentral dan molar
kedua pada kedua rahang, serta insisive lateral mandibula. Selain itu pada ED-oligodontia
lebih sering didapatkan abnormal shape daripada isolated-oligodontia. Studi ini juga
menyatakan bahwa agenesis lebih sering terjadi pada mandibula dari pada maxilla, diduga
karena terjadi keterlambatan pembentukan gigi pada mandibula. Dhamo juga menyatkan
terdapat keterkaitan antara agenesis gigi premolar kedua rahang atas dengan keterlambatan
pembentukan pada gigi antagonis (Dhamo et al, 2017).

Pada pasien dengan ED-oligodontia menunjukan malformasi gigi lebih tinggi dibandingkan
dengan isolated-oligodontia, dimana caninus dengan conical shape dan notched marginal
edge pada insisive 64% ditemukan pada pasien dengan kondisi ED-oligodontia. Malformasi
bentuk diduga akibat gangguan pembentukan dan mineralisasi lapisan enamel gigi
dihubungkan dengan kondisi ectodermal dysplasia.

Supernumerary Teeth

Supernumerary teeth merupakan kondisi dimana terdapat gigi atau bentukan menyerupai gigi
baik itu erupsi maupun tidak erupsi yang bukan bagian dari 20 gigi sulung dan 32 gigi
permanen. Angka kejadian supernumerary teeth lebih tinggi pada laki-laki daripada wanita
dan lebih banyak terjadi pada gigi permanen, serta dapat bersifat herediter. Morfologi dari
supernumerary teeth dapat menyerupai gigi normal atau gigi yang mengalami malformasi dan
dapat diklasifikasi berdasarkan morfologinya kedalam cone type, tuberculate type,
supplemental teeth, dan odontoma. Gigi tambahan tersebut dapat berjumlah satu atau
beberapa, dapat terjadi secara bilateral maupun unilateral, serta dapat terjadi pada seluruh
regio gigi. Supernumerary teeth sering terjadi pada regio diantara insisive sentral maxilla.
Berdasarkan regionya dapat dikelompokkan sebagai mesiodens, peridense, dan distodense.
Mesiodense lebih sering terjadi pada laki-laki dengan teeth shape berupa conical tuberculated
form, sedangkan supernumerary teeth pada regio insisive lebih sering terjadi pada wanita (Lu
et al, 2017). Mesiodense biasanya berupa peg-atau cone-shaped crown dengan akar tunggal
dan sering terjadi pada maxilla. 75% kasus mesiodense merupakan berupa gigi yang tidak
erupsi sehingga membutuhkan tindakan pembedahan (Mc Donald and Avery, 2016).

Supernumerary teeth pada gigi permanen biasanya disertai dengan adanya dental anomali
seperti, odontoloxia, impaksi, rotasi gigi, delayed eruption, ectopic eruption, overcrowding,
resorpsi periapikal gigi permanen, persistensi gigi sulung, defleksi akar gigi, dan adanya kista
dentigerous (Lu et al, 2017; Mc Donald and Avery, 2016).

Faktor yang mendorong morfogenesis supernumerary teeth masih belum jelas sampai
sekarang. Etiologi yang mungkin mendorong inisiasi morfogenesi supernumerary teeth antara
lain atavisme, dikotomi, hiperaktivitas lamina gigi, hereditas, progress zone theory dan
etiologi terpadu. Teori mengenai hiperaktivitas dental lamine merupakan teori yang lebih
banyak diterima dan menyatakan morfogenesi supernumerary teeth merupakan hasil
hiperaktivitas dari sisa sel epitel dari dental lamina. Hiperaktivitas ini diduga disebabkan oleh
faktor genetik (Lu et al 2017).

Supernumerary teeth terkadang timbul sebagai kasus sporadik, namun biasanya dihubungkan
dengan adanya syndromic disease atau herediter.Multiple supernumerary teeth biasanya erat
dihubungkan dengan adanya syndromic disease seperti cleidocranial dysplasia dan Gardner’s
syndrome. Selain itu supernumerary juga menjadi manifestasi klinis dari beberapa kelainan
seperti, Enamel-Renal-Gingival syndrome, craniosynostosis, Crauzon syndrome, Ehlers-
Danlos sydnrome, Incontinentiapigmenti, Ellis-Van Creveld syndrome, Hallerman-Streiff
syndrome, Nance-Horan syndrome, Noonan syndrome, Robinow syndrome, dan
Trichorhinophalangea (Lu et al, 2017).

Gambar 4. Gambar radiografi yang menunjukkan midline supernumerary teeth


(mesiodense) dengan posisi gigi inverted.

Gambar 5. Merupakan gambar fotografo yang menunjukkan supernumerary teeth, dimana


terdapat insisive lateral maxilla yang berlebih.

Anda mungkin juga menyukai