Anda di halaman 1dari 35

0

PERAWATAN ORTODONTI

Disusun Oleh :
Arum Dewi RH 10611012
Ason Leite 10612096
Dewantari Kris W 10613007
Dian Permata P 10613007
Fransisco Xavier P 10613107
Freedian Natasa ERW 10613052
Latifatul Umami 10613015
Lidia Borges Ximenes 10613111
Linda Agustin E 10613057
Nuno Da Costa DJ 10613114
Ruth Restina Datu 10611060
Samsul Arifin 10613070
Shobibur Rochmah 10613023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI


INSTITUT ILMU KESEHATAN KEDIRI

2015
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Upaya manusia untuk menfapatkan susunan gigi yang baik dapat ditelusuri
pada bukti peninggalan masa lalu sampai sejauh tahun 3000 sebelum Masehi,
misalnya peranti untuk memperbaiki gigi yang tidak terletak normal dapat
ditemukan di Mesir. Kemudian pada tahun 1850 Norman Williams Kingsley di
Amerika Serikat menulis Oral Deformities yang berisi etiologi, diagnosis dan
perawatan kelainan letak gigi (Rahardjo, 2012).
Diagnosis di bidang ortodontik dapat didefinisikan sebagai suatu studi dan
interpretasi data klinis untuk menetapkan ada tidaknya maloklusi. Diagnosis
merupakan suatu langkah dalam perawatan ortodontik sebelum merencanakan
perawatan ortodontik (Rahardjo, 2011).
Pengertian ortodonti yang lebih luas menurut American Board of
Orthodontics (ABO adalah cabang spesifik dalam profesi kedokteran gigi yang
bertanggung jawab pada studi dan supervise pertumbuhkembangan geligi dan
struktur anatomi yang berkaitan, sejak lahir sampai dewasa, meliputi tindakan
preventif dan korektif pada ketidakteraturan letak gigi yang membutuhkan
reposisi gigi dengan peranti fungsional dan mekanik untuk mencapai oklusi
normal dan muka yang menyenangkan. Tujuan perawatan ortodonti adalah
memperbaiki letak gigi dan rahang yang tidak normal sehingga didapatkan fungsi
geligi dan estetik geligi yang baik maupun wajah yang menyenangkan dan dengan
hasil akan meningkatkan kesehatan psikososial seseorang (Rahardjo, 2012).
Maloklusi yang merupakan penyimpangan pertumbuhkembangan geligi dan
struktur anatomi yang terkait dapat menganggu kondisi psikologi seseorang.
Maloklusi dapat dirawat dengan menggunakan peranti ortodonti agar didapat
oklusi yang normal dan muka yang menyenangkan (Rahardjo, 2012).

1
2

1.2 Rumusan Masalah


Apakah maloklusi berpengaruh terhadap diagnosa dalam perawatan
ortodonti.

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh maloklusi terhadap diagnosa dalam perawatan
ortodonti.

1.4 Hipotesa
Maloklusi berpengaruh terhadap diagnosa dalam perawatan ortodonti.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Maloklusi
Pengertian Maloklusi adalah penyimpangan letak gigi dan atau malrelasi
lengkung geligi (rahang) diluar rentang kewajaran yang dapat diterima. Maloklusi
juga bisa merupakan variasi biologi sebagaimana variasi biologi yang terjadi pada
bagian tubuh yang lain, tetapi karena variasi letak gigi mudah diamati dan
menggangu estetik sehingga menarik perhatian dan memunculkan keinginan
untuk melakukan perawatan. Terdapat bukti bahwa prevalensi maloklusi
meningkat, peningkatan ini sebagian dipercayai sebagai suatu proses evolusi yang
diduga akibat meningkatnya variabilitas gen dalam populasi yang bercampur
dalam kelompok ras atau bisa juga dikatakan Maloklusi merupakan keadaan yang
menyimpang dari oklusi normal (Mavreas, 2008).
2.1.2 Etiologi Maloklusi
Kadang-kadang suatu maloklusi sukar ditentukan secara tepat etiologinya
karena adanya berbagai faktor (multifaktor) yang mempengaruhi proses tumbuh
kembang. Secara garis besar, etiologi atau penyebab suatu maloklusi dapat
digolongkan dalam faktor herediter (genetik) dan faktor lokal (Rahardjo, 2012).
1. Faktor herediter
Menurut Rahardjo (2012), pengaruh herediter dapat bermanifestasi
dalam dua hal, yaitu:
a. Disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan
maloklusi berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa diastema
multipel meskipun yang terakhir ini jarang dijumpai (Rahardjo, 2012).
b. Disproporsi ukuran, posisi, dan bentuk rahang atas dan rahang bawah
yang menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis (Rahardjo, 2012).

3
4

Beberapa hal yang terjadi akibat faktor herediter menurut Rahardjo


(2012), yaitu:
a. Kelainan Gigi
Beberapa kelainan gigi yang dipengaruhi faktor herediter ialah
kekurangan jumlah gigi (hipodonsia), kelebihan jumlah gigi
(hiperdonsia), misalnya adanya mesiodens, bentuk gigi yang khas
misalnya karabeli pada molar, kaninus yang impaksi di palatal,
transposisi gigi misalnya kaninus yang terletak di antara premolar
pertama dan kedua (Rahardjo, 2012).
b. Kekurangan Jumlah Gigi
Kelainan jumlah gigi dapat berupa tidak ada pembentukan gigi atau
agenesis gigi. Anodonsia adalah suatu keadaan tidak terbentuk gigi
sama sekali, untungnya frekuensinya sangat jarang dan biasanya
merupakan bagian dari sindrom dysplasia ectodermal. Bentuk
gangguan pertumbuhan yang tidak separah anodonsia adalah
hipodonsia, yaitu suatu keadaan beberapa gigi mengalami agenesis
(sampai dengan 4 gigi), sedangkan oligodonsia adalah gigi yang tidak
terbentuk lebih dari 4 gigi. Sebagai panduan dapat dikatakan apabila
gigi sulung agenesis maka gigi permanennya juga agenesis, tetapi
meskipun gigi sulung ada bisa saja gigi permanennya agenesis
(Rahardjo, 2012).
c. Kelebihan Jumlah Gigi
Umumnya, yang paling sering ditemukan adalah gigi kelebihan yang
terletak di garis median rahang atas yang biasa disebut mesiodens. Jenis
gigi kelebihan lainnya adalah yang terletak di sekitar insisivus lateral
sehingga ada yang menyebut laterodens, premolar tambahan bisa
sampai dua premolar tambahan pada satu sisi sehingga pasien
mempunyai empat premolar pada satu sisi (Rahardjo, 2012).
d. Disharmoni Dentomaksiler
Disharmoni dentomaksiler ialah suatu keadaan disproporsi antara besar
gigi dan rahang dalam hal ini lengkung geligi. Menurut Anggraini
5

(1975) etiologi disharmoni dentomaksiler adalah faktor herediter.


Karena tidak adanya harmoni antara besar gigi dan lengkung gigi maka
keadaan klinis yang dapat dilihat adalah adanya lengkung geligi dengan
diastema yang menyeluruh pada lengkung geligi bila gigi-geligi kecil
dan lengkung geligi normal, meskipun hal ini jarang dijumpai. Keadaan
yang sering dijumpai adalah gigi-geligi yang besar pada lengkung geligi
yang normal atau gigi yang normal pada lengkung geligi yang kecil
sehingga menyebabkan letak gigi berdesakan. Meskipun pada
disharmoni dentomaksiler didapatkan gigi-geligi berdesakan tetapi
tidak semua gigi yang berdesakan disebabkan karena disharmoni
dentomaksiler. Disharmoni dentomaksiler mempunyai tanda-tanda
klinis yang khas. Gambaran maloklusi seperti ini bisa terjadi di rahang
atas maupun di rahang bawah (Rahardjo, 2012).
2. Faktor Lokal
Menurut Rahardjo (2012), beberapa faktor lokal yang dapat
menyebabkan maloklusi yakni:
a. Gigi Sulung Tanggal Prematur
Gigi sulung yang tanggal prematur dapat berdampak pada susunan gigi
permanen. Semakin muda umur pasien pada saat terjadi tanggal
prematur gigi sulung, semakin besar akibatnya pada gigi permanen
(Rahardjo, 2012).
b. Persistensi Gigi Sulung
Persistensi gigi sulung atau disebut juga over retained decicuous teeth
berarti gigi sulung yang sudah melewati waktu nya tanggal tetapi tidak
tanggal. Perlu diingat bahwa waktu tanggal gigi sulung sangat
bervariasi. Keadaan yang jelas menunjukkan persistensi gigi sulung
adalah apabila gigi permanen pengganti telah erupsi tetapi gigi
sulungnya tidak tanggal. Bila diduga terjadi persistensi gigi sulung
tetapi gigi sulungnya tidak ada di rongga mulut, perlu diketahui
anamnesis pasien, dengan melakukan wawancara medis kepada orang
6

tua pasien apakah dahulu pernah terdapat gigi yang bertumpuk di regio
tersebut (Rahardjo, 2012).
c. Trauma
Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi
permanen. Bila terjadi trauma pada saat mahkota gigi permanen sedang
terbentuk dapat terjadi gangguan pembentukan enamel, sedangkan bila
mahkota gigi permanen telah terbentuk dapat terjadi dilaserasi, yaitu
akar gigi yang mengalami distorsi bentuk (biasanya bengkok). Gigi
yang mengalami dilaserasi biasanya tidak dapat mencapai oklusi yang
normal bahkan kalau parah tidak dapat dirawat ortodontik dan tidak ada
pilihan lain kecuali dicabut (Rahardjo, 2012).
d. Pengaruh Jaringan Lunak
Tekanan dari otot, bibir, pipi, dan lidah memberi pengaruh yang besar
terhadap letak gigi, Meskipun tekanan dari otot-otot ini jauh lebih kecil
daripada tekanan otot pengunyahan tetapi berlangsung lebih lama.
Menurut penelitian, tekanan yang berlangsung selama 6 jam dapat
mengubah letak gigi. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa bibir,
pipi, dan lidah yang menempel terus pada gigi hampir selama 24 jam
dapat sangat mempengaruhi letak gigi (Rahardjo, 2012).
e. Kebiasaan Buruk
Suatu kebiasaan yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari, berfrekuensi
cukup tinggi dengan intensitas yang cukup dapat menyebabkan
maloklusi. Kebiasaan mengisap jari atau benda lain dalam waktu yang
berkepanjangan dapat menyebabkan maloklusi. Faktor yang paling
berpengaruh adalah durasi atau lama kebiasaan berlangsung. Beberapa
kebiasan buruk yang dapat menyebabkan maloklusi, yaitu:
- Kebiasaan mengisap jari pada fase geligi sulung tidak mempunyai
dampak pada gigi permanen bila kebiasaan tersebut telah berhenti
sebelum gigi permanen erupsi. Bila kebiasaan ini terus berlanjut
sampai gigi permanen erupsi akan terdapat maloklusi dengan tanda-
tanda berupa insisivus atas proklinasi dan terdapat diastema, gigitan
7

terbuka, lengkung atas sempit, serta retroklinasi insisivus bawah.


Maloklusi yang terjadi ditentukan oleh jari mana yang diisap dan
bagaimana pasien meletakkan jarinya pada waktu mengisap
(Rahardjo, 2012).
- Kebiasaan mengisap bibir bawah dapat menyebabkan proklinasi
insisivus atas disertai jarak gigit yang bertambah dan retroklinasi
insisivus bawah (Rahardjo, 2012).
- Kebiasaan mendorong lidah, sebetulnya bukan merupakan kebiasaan
tetapi lebih berupa adaptasi terhadap adanya gigitan terbuka
misalnya karena mengisap jari. Dorongan lidah pada saat menelan
tidak lebih besar daripada yang tidak mendorongkan lidahnya
sehingga kurang tepat untuk mengatakan bahwa gigitan terbuka
anterior terjadi karena adanya dorongan lidah pada saat menelan
(Rahardjo, 2012).
- Kebiasaan menggigit kuku juga dapat menyebabkan maloklusi tetapi
biasanya dampaknya hanya pada satu gigi (Rahardjo, 2012).
f. Faktor Iatrogenik
Pengertian kata iatrogenik adalah berasal dari suatu tindakan
professional. Perawatan ortodontik mempunyai kemungkinan terjadinya
kelainan iatrogenik. Misalnya, pada saat menggerakkan kaninus ke
distal dengan piranti lepasan, tetapi karena kesalahan desain atau dapat
juga saat menempatkan pegas tidak benar sehingga yang terjadi gerakan
gigi ke distal dan palatal (Rahardjo, 2012).
2.1.3 Jenis-jenis Maloklusi
Berdasarkan pergerakan giginya, maloklusi dibagi menjadi:
1. Protusi
Protrusi adalah gigi yang posisinya maju ke depan. Protrusi dapat
disebabkan oleh faktor keturunan, kebiasaan jelek seperti menghisap jari
dan menghisap bibir bawah, mendorong lidah ke depan, kebiasaan
menelan yang salah serta bernafas melalui mulut (Rahardjo, 2009).
8

Gambar Protrusi
2. Intrusi dan Ekstrusi
Intrusi adalah pergerakan gigi menjauhi bidang oklusal. Pergerakan
intrusi membutuhkan kontrol kekuatan yang baik. Ekstrusi adalah
pergerakan gigi mendekati bidang oklusal (Rahardjo, 2009).
3. Crossbite
Crossbite adalah suatu keadaan jika rahang dalam keadaan relasi
sentrik terdapat kelainan-kelainan dalam arah transversal dari gigi geligi
maksila terhadap gigi geligi mandibula yang dapat mengenai seluruh atau
setengah rahang, sekelompok gigi, atau satu gigi saja (Rahardjo, 2009).

Gambar Crossbite
Berdasarkan lokasinya crossbite dibagi dua yaitu:
a. Crossbite anterior
Suatu keadaan rahang dalam relasi sentrik, namun terdapat satu atau
beberapa gigi anterior maksila yang posisinya terletak di sebelah
lingual dari gigi anterior mandibula (Rahardjo, 2009).
b. Crossbite posterior
Hubungan bukolingual yang abnormal dari satu atau beberapa gigi
posterior mandibula (Rahardjo, 2009).
4. Deepbite
Deepbite adalah suatu keadaan dimana jarak menutupnya bagian insisal
insisivus maksila terhadap insisal insisivus mandibula dalam arah vertikal
melebihi 2-3 mm. Pada kasus deep bite, gigi posterior sering linguoversi
9

atau miring ke mesial dan insisivus madibula sering berjejal, linguo versi,
dan supra oklusi (Rahardjo, 2009).

Gambar. Deepbite
5. Openbite
Openbite adalah keadaan adanya ruangan oklusal atau insisal dari gigi
saat rahang atas dan rahang bawah dalam keadaan oklusi sentrik (Rahardjo,
2009).

Gambar. Openbite
Macam-macam openbite menurut lokasinya adalah:
a. Anterior open bite
b. Klas I Angle anterior openbite terjadi karena rahang atas yang
sempit, gigi depan inklinasi ke depan, dan gigi posterior supra
oklusi, sedangkan klas II Angle divisi I disebabkan karena kebiasaan
buruk atau keturunan.
c. Posterior openbite pada regio premolar dan molar
d. Kombinasi anterior dan posterior (total openbite) terdapat baik di
anterior, posterior, dapat unilateral atau bilateral (Rahardjo, 2009).
6. Crowded
Crowded adalah keadaan berjejalnya gigi di luar susunan yang normal.
Penyebab crowded adalah lengkung basal yang terlalu kecil daripada
lengkung koronal. Lengkung basal adalah lengkung pada prossesus
alveolaris tempat dari apeks gigi itu tertanam, lengkung koronal adalah
10

lengkungan yang paling lebar dari mahkota gigi atau jumlah mesiodistal
yang paling besar dari mahkota gigi geligi (Rahardjo, 2009).

Gambar. Gigi crowded

Derajat keparahan gigi crowded:


a. Crowded ringan
Terdapat gigi-gigi yang sedikit berjejal, sering pada gigi depan
mandibula,dianggap suatu variasi yang normal, dan dianggap tidak
memerlukan perawatan (Rahardjo, 2009).
b. Crowded berat
Terdapat gigi-gigi yang sangat berjejal sehingga dapat menimbulkan
hygiene oral yang jelek (Rahardjo, 2009).
7. Diastema
Diastema adalah suatu keadaan adanya ruang di antara gigi geligi yang
seharusnya berkontak (Rahardjo, 2009).

Gambar. Diastema
2.1.4 Klasifikasi Maloklusi
Edward Angle memperkenalkan sistem klasifikasi maloklusi ini pada tahun
1899. Berdasarkan hubungan antara molar permanen pertama maksila dan
mandibula, Angle mengklasifikasikan maloklusi ke dalam tiga klas, yaitu :
1. Klas I
Klas I maloklusi menurut Angle dikarakteristikkan dengan adanya hubungan
normal antar-lengkung rahang. Cusp mesio-buccal dari molar permanen pertama
11

maksila beroklusi pada groove buccal dari molar permanen pertama mandibula.
Pasien dapat menunjukkan ketidakteraturan pada giginya, seperti crowding,
spacing, rotasi, dan sebagainya. Maloklusi lain yang sering dikategorikan ke
dalam Klas I adalah bimaxilary protusion dimana pasien menunjukkan hubungan
molar Klas I yang normal namun gigi-geligi baik pada rahang atas maupun rahang
bawah terletak lebih ke depan terhadap profil muka (Bhalaji, 2006).
2. Klas II
Klas II maloklusi menurut Angle dikarakteristikkan dengan hubungan molar
dimana cusp disto-buccal dari molar permanen pertama maksila beroklusi pada
groove buccal molar permanen pertama mandibula (Bhalaji, 2006).
a. Klas II, divisi 1.
Klas II divisi 1 dikarakteristikkan dengan proklinasi insisiv maksila
dengan hasil meningkatnya overjet. Overbite yang dalam dapat terjadi
pada region anterior. Tampilan karakteristik dari maloklusi ini adalah
adanya aktivitas otot yang abnormal (Bhalaji, 2006).
b. Klas II, divisi 2.
Seperti pada maloklusi divisi 1, divisi 2 juga menunjukkan hubungan
molar Klas II. Tampilan klasik dari maloklusi ini adalah adanya insisiv
sentral maksila yang berinklinasi ke lingual sehingga insisiv lateral yang
lebih ke labial daripada insisiv sentral. Pasien menunjukkan overbite yang
dalam pada anterior (Bhalaji, 2006).
3. Klas III
Maloklusi ini menunjukkan hubungan molar Klas III dengan cusp mesio-buccal
dari molar permanen pertama maksila beroklusi pada interdental antara molar
pertama dan molar kedua mandibula (Bhalaji, 2006).
a. True Class III
Maloklusi ini merupakan maloklusi skeletal Klas III yang dikarenakan
genetic yang dapat disebabkan karena :
· Mandibula yang sangat besar.
· Mandibula yang terletak lebih ke depan.
· Maksila yang lebih kecil daripada normal.
12

· Maksila yang retroposisi.


· Kombinasi penyebab diatas (Bhalaji, 2006).
b. Pseudo Class III
Tipe maloklusi ini dihasilkan dengan pergerakan ke depan dari
mandibula ketika rahang menutup, karenya maloklusi ini juga disebut
dengan maloklusi ‘habitual’ Klas III. Beberapa penyebab terjadinya
maloklusi Klas III adalah:
· Adanya premature kontak yang menyebabkan mandibula bergerak
ke depan.
· Ketika terjadi kehilangan gigi desidui posterior dini, anak
cenderung menggerakkan mandibula ke depan untuk
mendapatkan kontak pada region anterior (Bhalaji, 2006).
c. Klas III, subdivisi
Merupakan kondisi yang dikarakteristikkan dengan hubungan molar Klas
III pada satu sisi dan hubungan molar Klas I di sisi lain (Bhalaji, 2006).
2.1.5 Perawatan Maloklusi Klas I Gigi Berjejal
Perawatan kasus gigi berjejal pada masa gigi-geligi bercampur bukan
merupakan satu petunjuk bahwa harus dilakukan pencabutan gigi permanen yang
sehat untuk mendapatkan ruangan yang cukup. Kekurangan ruangan dapat
diperoleh dengan beberapa cara, yaitu (Foster, 1997):
1. Slicing
Slicing disebut juga pengasahan gigi pada bagian aproximal yang dilakukan
pada kasus gigi berjejal dengan kekurangan ruangan 1-2 mm. Kontra indikasi
perawatan ini pada keadaan gigi dengan presentase karies yang tinggi (Nurhayati,
2000).
2. Ekspansi
Sekrup ekspansi dapat digunakan untuk mendapatkan ruangan pada
lengkung rahang dengan kekurangan 3-4 mm. Metode untuk ekspansi ada dua
macam yaitu rapid expansion dan slow expansion (Proffit, 1993).
13

3. Ekstraksi
Indikasi ekstraksi bila kekurangan ruangan lebih besar dari 4 mm atau
kontra indikasi untuk ekspansi yang biasanya dilakukan pencabutan premolar
pertama. Pada kasus gigi bercampur pencabutan gigi kaninus susu dapat dilakukan
untuk memberi kesempatan agar gigi insisivus yang berjejal tersusun rapi dalam
lengkung gigi. Di samping itu ekstraksi juga dilakukan untuk mendapatkan
keseimbangan antara gigi-gigi kiri dan kanan. Namun bila tempat yang
dibutuhkan untuk gigi permanen belum juga cukup maka dapat digunakan sekrup
ekspansi (Proffit, 1993).

2.2 Prosedur Penegakan Diagnosis


Diagnosis bidang ortodontik dapat didefinisikan sebagai interpretasi data klinis
untuk menetapkan ada tidaknya maloklusi. Diagnosis ortodontik hendaknya
bersifat komprehensif dan tidak terfokus pada satu aspek saja. Adapun tahapan
penegakan diagnosis ortodontik, antara lain:
a) Analisis Umum
b) Analisis Lokal
c) Analisis Fungsional
d) Analisis Model
e) Analisis Sefalometri
f) Diagnosis dan Klasifikasi Maloklusi (Rahardjo, 2011).
2.2.1 Analisa Umum
Biasanya pada bagian awal suatu status pasien tercantum nama, kelamin, umur,
dan alamat pasien. Kelamin dan umur pasien selain sebagai identitas pasien juga
sebagai data yang berkaitan dengan pertumbuh-kembangan dentomaksilofasial
pasien, misalnya perubahan fase gigi geligi dari sulung ke permanen (Rahardjo,
2011).
Keluhan utama pasien biasanya tentang keadaan susunan giginya yang
dirasakan kurang baik sehingga mengganggu estetik dentofasial dan memengaruhi
status sosial serta fungsi pengunyahannya (Rahardjo, 2011).
14

a. Keadaan Sosial, Riwayat Kesehatan Pasien dan Keluarga


Maloklusi merupakan penyimpangan dari proses pertumbuhkembangan
normal, bukan merupakan penyakit. Meskipun demikian perlu dilakukan
pemeriksaan medis. Beberapa pertanyaan yang bisa diajukan seputar pengalaman
trauma pada muka/ kepala, masalah jantung, diabetes, artritis, dan tonsil
(Rahardjo, 2011).
b. Berat dan Tinggi Pasien
Dengan menimbang berat dan mengukur tinggi dapat mengetahui
pertumbuhkembangan pasien normal sesuai umur dan jenis kelaminnya
(Rahardjo, 2011).
c. Ras
Penetapan ras pasien dimaksudkan untuk mengetahui ciri fisik pasien karena
setiap ras mempunyai ciri fisik tertentu (Rahardjo, 2011).
d. Bentuk Skelet
Sheldon, seorang antropologis menggolongkan bentuk skelet berdasarkan
jaringan dominan yang memengaruhi bentuk skelet (Rahardjo, 2011).
- Ektomorfik: seorang yang langsing, sedikit jaringan otot/ lemak
- Endomorfik: seorang yang pendek, otot kurang berkembang, lapisan lemak
tebal
- Mesomorfik: seorang yang berotot
e. Ciri Keluarga
Suatu keadaan dapat dikategorikan sebagai ciri keluarga bila keadaan ini
selalu berulang pada suatu keluarga secara turun-temurun (Rahardjo,
2011). f. Penyakit
Hal yang perlu diketahui adalah penyakit yang dapat mengganggu tumbuh
kembang normal seseorang (Rahardjo, 2011).
g. Alergi
Alergi terhadap bahan perlu diketahui oleh operator dengan jalan
menanyakan pada pasien. Beberapa alergi (Rahardjo, 2011):
- Obat-obatan
- Produk kesehatan (misal lateks)
15

- Lingkungan (misal debu)


h. Kelainan Endokrin
Kelainan endokrin yang terjadi pralahir dapat menyebabkan percepatan atau
hambatan pertumbuhan muka, memengaruhi derajat pematangan tulang,
penutupan sutura, resorpsi akar gigi sulung, dan erupsi gigi permanen. Membran
periodontal dan gusi sangat sensitif terhadap beberapa disfungsi endokrin (dapat
berakibat langsung ke gigi) (Rahardjo, 2011). i. Tonsil

Bila tonsil dalam keadaan radang, dorsum lidah dapat menekan tonsil
tersebut. untuk menghindar keadaan ini mandibula secara refleks diturunkan, gigi
tidak kontak sehingga terdapat ruangan yang lebih luas untuk lidah dan biasanya
terjadi perdorongan lidah kedepan saat menelan (Rahardjo, 2011).
j. Kebiasaan Bernapas
Pasien yang biasa bernapas melalui mulut akan mengalami kesukaran pada
saat dilakukan pencetakan untuk model studi maupun model kerja (Rahardjo,
2011).
2.2.2 Analisa Lokal
Analisis lokal terdiri atas analisis ekstraoral dan intraoral, untuk mengetahui
lebih terperinci keadaan yang menunjang penentuan diagnosis. Analisis
ekstraoral meliputi bentuk kepala, simetri wajah, tipe wajah, tipe profil, bibir,
fungsi bicara, kebiasaan jelek. Analisis intraoral meliputi lidah, palatum,
kebersihan mulut, karies, dan gigi yang ada (Rahardjo, 2011).
A. Ekstraoral
1. Bentuk Kepala

- Dolikosefalik: panjang, sempit (indeks ≤ 0,75)


- Mesosefalik: bentuk rata-rata (indeks 0,76-0,79)
- Brakisefalik: lebar dan pendek (indeks ≥ 0,80)

Lebar Kepala
Indeks Sefalik = X 100
Panjang Kepala
16

a. Pola Mesosefalik
Pola ini sering dikaitkan dengan kelas I
oklusi karena pasien ini ditandai dengan
hubungan maksila dan mandibula relatif normal
yang menghasilkan keseimbangan wajah yang
baik (Rahardjo, 2011).

Gambar. Mesosefalik

b. Pola dolichosefalik
Pola ini biasanya dengan wajah panjang
dan otot lemah karena kecendrungan untuk
pertumbuhan vertikal. Oklusi molar sering kelas
I variasi divisi 1 (Rahardjo, 2011).

Gambar. Dolikosefalik

c. Pola Brachisefalik
Wajah pendek dan lebar, mandibula persegi.
Pasien dengan pola brachysefalik sering dikaitkan
dengan kelas II, divisi II maloklusi. Pertumbuhan
mandibula pasien ini ke depan daripada ke bawah.
Akibatnya, pasien biasanya menunjukan overbite
anterior berlebihan dan dagu yang kuat (Rahardjo,
2011).

Gambar. Brachisefalik
17

2. Simetri Wajah
Asimetri akan mudah dikenali bila dilihat dari depan muka pasien, dapat
dikenali asimetri rahang terhadap muka secara keseluruhan. Penyebab tidak
simetri (Rahardjo, 2011):
- Variasi biologis
- Patologis
- Kelainan kongenital

Gambar.Wajah yang asimetris


3. Tipe Wajah
- Leptoprosop (muka sempit): kepala dolikosefalik membentuk muka
yang sempit, panjang, dan potrusif (Rahardjo, 2011).
- Euriprosop (muka lebar): kepala brakisefalik menentukan muka yang
lebih datar, kurang protusif (Rahardjo, 2011).
- Mesoprosop: muka yang sedang antara leptoprosop dan euriprosop
(Rahardjo, 2011).

Lebar Wajah
Indeks Wajah = X 100
Panjang Wajah

4. Tipe Profil
Tujuan pemeriksaan profil (Rahardjo, 2011):
- Menentukan posisi rahang dalam jurusan sagital
- Evaluasi bibir dan letak insisivi
- Evaluasi proporsi wajah dan sudut
mandibula Tipe profil dibagi 3 (Rahardjo, 2011):
- Lurus
- Cembung: mengarah ke maloklusi kelas II
18

- Cekung: mengarah ke maloklusi kelas III


Profil wajah diperiksa dengan melihat pasien dari samping. Profil wajah
membantu dalam mendiagnosis penyimpangan dalam hubungan maksila-
mandibula. Profil diilai dengan menggabungkan dua garis berikut
(Donals,2006):
- Garis yang terhubung dari dahi dan jaringan lunak titik A (titik terdalam
di lengkung bibir atas)
- Garis yang menghubungkan titik A dan jaringan lunka pogonion (titik
paling anterior dagu)
Berdasarkan hubungan diantara dua garis, ada 3 jenis profil yaitu:
- Straight profil (profil lurus): Dua garis membentuk garis lurus
- Convex profil (profil cembung): Dua garis membentuk sudut cekung
terhadap jaringan. Jenis profil ini terjadi sebagai akibat maksila prognatik
atau mandibula retrognatik seperti yang terlihat dalam kelas II, divisi 1
maloklusi (Balajhi,2006).
- Concave profil (profil cekung): Dua garis membentuk sudut cembung
terhadap jaringan. Tipe ini dikaitkan dengan mandibula prognasi atau
maksila retrognasi seperti dalam kelas III maloklusi.

Gambar. Bentuk profil wajah


Penentuan wajah pasien adalah penting dalam prediksi pertumbuhan
serta dalam rencana perawatan. Oleh karena itu salah satu penilaian pertama
yang diperlukan untuk diagnosis kraniofasial akurat adalah klasifikasi dari
tipe wajah pasien (Bhalajhi,2006).
5. Bibir
Bila bibir cukup panjang untuk dapat mencapai kontak bibir atas tanpa
kontraksi otot pada saat madibula dalam keadaan istirahat disebut bibir yang
19

kompeten. Bila diperlukan kontraksi otot untuk mencapai kontak bibir atas
dan bawah saat pada saat mandibula dalam keadaan istirahat dinamakan
bibir yang tidak kompeten (Rahardjo, 2011).

Gambar. A. Bibir kompeten B. bibir tidak kompeten


6. Fungsi Bicara
Terdapat hubungan maloklusi dengan kelainan bicara tetapi karena
adanya mekanisme adaptasi, pasien dengan maloklusi parah masih dapat
berbicara tanpa gangguan (Rahardjo, 2011).
7. Kebiasaan Jelek
Kebiasaan jelek perlu diperiksa karena
kebiasaan jelek dapat menjadi penyebab suatu
maloklusi. Tidak semua kebiasaan jelek dapat
menyebabkan maloklusi, syaratnya:
- Kebiasaan berlangsung lama
- Frekuensi cukup
Gambar. Menghisap jempol
- Intensitas melakukan kebiasaan itu yang lebih
(Rahardjo, 2011)
B. Intraoral
1. Lidah
Pemeriksaan lidah meliputi ukuran, bentuk, dan fungsi. Ukuran dan betuk
diperiksa secara subjektif Makroglosia atau pun adanya tumor dapat
mengubah keseimbangan letak gigi sehingga gigi terdorong ke arah
bukal/labial (Rahardjo, 2011).
2. Palatum
Bentuk palatum dapat mempengaruhi retensi peranti lepasan. Pada
palatum yang lebih tinggi akan memberikan retensi yang lebih baik. Perlu
20

diperhatikan kadang-kadang terdapat torus palatinus yang dapat mengurangi


kenyamanan pasien bila pasien memakai peranti lepasan (Rahardjo, 2011).
3. Kebersihan Mulut
Kebersihan mulut yang terjaga dengan baik merupakan indikator perhatian
pasien terhadap giginya serta dapat diharapkan adanya kerjasama antara
dokter dengan pasien. Perawatan ortodontik tidak boleh dimulai bila
kebersihan mulut pasien tidak baik. Sebab:
- Bila kebersihan mulut jelek, pemakaian peranti akan memperparah
keadaan kebersihan mulut.
- Belum tentu ada kerjasama yan baik dengan pasien (Rahardjo, 2011).
4. Karies
Pemeriksaan gigi dengan karies perlu dilakukan karena gigi yang karies
merupakan penyebab utama maloklusi lokal. Karies merupakan penyebab
terjadinya tanggal prematur gigi sulung sehingga terjadi pergeseran gigi
permanen, erupsi gigi permanen yang lambat (Rahardjo, 2011).
5. Fase Gigi
Pasien yang datang untuk perawatan ortodontik biasanya dalam fase geligi
pergantian atau permanen dan jarang pada fase geligi sulung (Rahardjo,
2011).
6. Gigi yang Ada
Perlu diperiksa gigi yang ada dan dicatat keadaannya. Kelainan gigi, gigi
permanen yang belum ada dalam rongga mulut pada fase geligi pergantian
bisa dilihat melalui foto rontgen. Gigi dengan karies maupun tumpatan
yaang lebar hendaknya diperiksa juga prognosisnya dalam jangka panjang
(Rahardjo, 2011).
2.2.3 Analisis Fungsional
A. Path of Closure
Posisi istirahat merupakan posisi normal mandibula dalam hubungannya
dengan kerangka muka bagian atas. Otot yang bekerja pada mandibula dalam
keadaan relasksi dan kondili mandibula pada posisi retrusi pada fosa glenoidalis.
21

Posisi istirahat ditentukan oleh panjang anatomis otot yang bekerja pada
mandibula (Rahardjo, 2011).
Path of closure adalah arah gerakan mandibula dari posisi istirahat ke oklusi
sentrik. Idealnya path of closure dari posisi istirahat ke posisi oklusi maksimum
berupa gerakan engsel sederhana melewati freeway space yang besarnya 2-3 mm,
arahnya ke atas dan ke depan. Freeway space = interocclusal clearance adalah
jarak antarklusal pada saat mandibula dalam posisi istirahat (Rahardjo, 2011).
Menurut Rahardjo (2011), ada 2 macam perkecualian path of closure yang bisa
dilihat yaitu deviasi mandibula dan displacement mandibula.
- Path of closure yang berawal dari posisi kebiasaan mandibula akan tetapi
ketika gigi mencapai oklusi maksimum mandibula dalam posisi relasi sentrik.
Ini disebut deviasi mandibula.
- Path of closure yang berawal dari posisi istirahat, akan tetapi oleh karena
adanya halangan oklusal maka didapatkan displacement mandibula.
B. Deviasi Mandibula
Keadaan ini berhubungan dengn posisi kebiasaan mandibula. Bila
mandibula dalam posisi kebiasaan, maka jarak antaroklusal akan bertambah
sedangkan kondili letaknya maju di dalam fosa glenoidales. Arah path of closure
adalah ke atas dan ke belakang akan tetapi bila gigi telah mencapai oklusi
mandibula terletak dalam relasi sentrik (kondili dalam keadaan posisi normal pada
fosa glenoidalis) (Rahardjo, 2011).
C. Displacement Mandibula
Displacement dapat terjadi dalam jurusan sagital dan transversal. Kontak
prematur dapat menyebabkan displacement mandibula untuk mendapatkan
hubungan antartonjol gigi yang maksimum. Dalam jangka panjang displacement
dapat terjadi selama pertumbuhan geligi. Pada beberapa keadaan displacement
terjadi pada fase geligi sulung, kemudian pada saat gigi permanen erupsi gigi
tersebut akan diarahkan oleh kekuatan otot ke letak yang memperparah terjadinya
displacement. Displacement dapat juga terjadi pada usia lanjut karena gigi yang
maju dan tidak terkontrol yang disebabkan hilangnya gigi posterior akibat
pencabutan (Rahardjo, 2011).
22

Displacement dalam jurusan transversal sering berhubungan dnegan adanya


gigitan silang posterior. Bila lengkung geligi atas dan bawah sama lebarnya, suatu
displacement mandibula ke transversal diperlukan untuk mencapai posisi oklusi
maksimum. Bila hal tersebut terjadi maka akan didapatkan relasi gigitan silang
gigi posterior pada satu sisi. Displacement ke transversal tidak berhubungan
dnegan bertambahnya jarak antaroklusal atau adanya over closure. Pada beberapa
kasus akan terjadi rasa sakit pada otot dan akan hilang bilamana displacement
dikoreksi (Rahardjo, 2011).
Adanya gigitan silang unilateral gigi posterior yang disertai adanya garis
median atas dan bawah yang tidak segaris akan menimbulkan dugaan adanya
displacement ke transversal. Keadaan ini perlu diperiksa secara seksama dengan
memperhatikan pasien pada saat menutupkan mandibulanya dari posisi istirahat
ke oklusi. Keadaan yang perlu diperhatikan adalah letak garis median baik pada
saat posisi istirahat maupun pada saat oklusi (Rahardjo, 2011).

Gambar 23. Relasi gigi molar dalam arah transversal


A. posisi istirahat B. Relasi sentrik C. Oklusi sentrik
Displacement ke arah sagital dapat terjadi karena adanya kontak prematur pada
daerah insisivi. Pada keadaan ini biasanya didapatkan over closure mandibula.
Pada kasusu kelas III ringan terdapat gigitan edge to edge pada insisivi, mandibula
bergeser ke anterior untuk mendapatkan oklusi di daerah bukal (Rahardjo, 2011).
D. Sendi Temporomandibula
Sebagai panduan umum bila pergerakan mandibula normal berarti fungsinya
tidak terganggu, sebaliknya bila pergerakan mandibula terbatas biasanya
menunjukkan adanya masalah fungsi. Oleh karena itu, satu indikator penting
tentang fungsi sendi temporomandibula adalah lebar pembukaan maksimal, yang
23

pada keadaan normal berkisar 35-40 mm, 7 mm gerakan ke lateral dan 6 mm ke


depan. Palpasi pada otot pengunyahnya dan sendi temporomandibula merupakan
bagian pemeriksaan rutin dan perlu dicatat tanda-tanda adanya maslah pada sendi
temporomandibula, misalnya adanya rasa sakit pada sendi, suara dan keterbatasan
pembukaan (Rahardjo, 2011).
Pada pemeriksaan pasien yang membutuhkan perawatan ortodontik, adanya
pergeseran mandibula baik ke lateral maupun sagital pada saat menutup
mandibula perlu mendapat perhatian yang saksama. Oleh karena articular
eminence kurang berkembang pada anak-anak maka sukar untuk mendapatkan
relasi sentrik sedangkan pada orang dewasa lebih mudah. Anak dengan pergeseran
mandibula ke lateral yang jelas biasanya mempunyai lebar lengkung geligi atas
yang sempit dalam jurusan transversal pada kedua sisinya. Banyak anak dan orang
dewasa dengan pola skelet kelas II memajukan mandibula ke depan untuk
mendapatkan profil yang lebih baik daripada keadaan sebenarnya. hal ini disebut
Sunday bite. Kadang-kadang suatu keadaan yang nampak seperti kelas III berawal
dari kebiasaan memajukan mandibula untuk menghindari halangan oklusal di
anterior agarterhindar dari keadaan edge to edge(Rahardjo, 2011).
Rasa sakit dan disfungsi sendi temporomandibula jarang didapatkan pada anak-
anak tetapi kadang-kadang, pada pasien dewasa, merupakan motivator untuk
mendapatkan perawatan ortodontik. Hubungan oklusi geligi dengan simtom sendi
temporomandibula merupakan kontroversi yang besar sehingga perlu ditelaah
secara objektif. Perawatan ortodontik kadang-kadang dapat menghilangkan
problema pada pasien dengan gangguan pada sendi temporomandibula. Pasien
perlu diberi pengertian tentang apa yang mungkin terjadi pada simtomnya semasa
dan sesudah perawatan ortodontik (Rahardjo, 2011).

2.2.4 Analisis Model


Model studi adalah rekam ortodontik yang paling sering digunakan untuk
menganalisis suatu kasus dan memberikan banyak informasi, pembuatannya
informasi mudah dan murah. Keadaan yang dapat dilihat pada model menurut
Rahardjo (2011) adalah sebagai berikut:
24

A. Bentuk Lengkung Geligi


Model dilihat dari oklusai kemudian diamati bentuk lengkung geligi.Bentuk
lekung geligi yang normal adalah berbentuk parabola; ada beberapa bentuk lekung
geligi yang tidak normal misalnya lebar, menyempit di daerah anterior dan lain-
lain (Rahardjo, 2011).
Bentuk lengkung geligi ini berhubungan dengan bentuk kepala misalnya pasien
dengan bentuk kepala brakisefalik cenderung mempunyai bentuk geligi yang lebar
(Rahardjo, 2011).
B. Diskrepansi pada Model
Diskrepansi pada model adalah perbedaan antaratempat yang tersedia
(available space) dengan lempat yang dibutuhkan (required space). Diskrepansi
pada model merupakan bagian dari diskrepansi total yang terdiri atas: diskrepansi
model, diskrepansi sefalometrik, kedalaman kurva Spee dan pergeseran molar ke
mesial. Diskrepansi pada model digunakan untuk menentukan macam perawalan
pasien tersebut, apakah termasuk perawatan pencabutan gigi permanen atau tanpa
pencabutan gigi permanen (Rahardjo, 2011).
Untuk mengetahui diskrepansi pada model perlu diketahui tempat yang
tersedia dan tempat yang dibutuhkan. Pengertian tempat yang tersedia available
space adalah tempat di sebelah mesial molar pertama permanen kiri sampai mesial
molar pertama permanen kanan yang akan ditempati gigi-gigi permanen (premolar
kedua kiri sampai premolar kedua kanan) dalam kedudukan/letak yang benar
(Rahardjo, 2011).
Ada berbagai cara untuk mengukur tempat yang tersedia. Salah satu cara untuk
mengukur tempat yang tersedia di rahang atas adalah dengan membuat
lengkungan dari kawat tembaga (brass wire) mulai dari mesial molar pertama
permanen kiri melewati fisura gigi-gigi di depannya terus melewati insisal insisivi
yang letaknya benar terus melewati fisura gigi-gigi posterior sampai mesial molar
pertama permanen sisi kanan. Kawat ini kemudian diluruskan dan diukur
panjangnya. Panjang kawat ini merupakan tempat yang tersedia. Untuk rahang
bawah lengkung kawat tidak melewati fisura gigi posterior tetapi lewat tonjol
bukal gigi posterior rahang bawah (Rahardjo, 2011).
25

1. Analisis Ukuran Gigi


Untuk mendapat oklusi yang baik diperlukan ukuran gigi yang proporsional.
Bila gigi-gigi atas besar sedangkan gigi-gigi bawah kecil tidak mungkin untuk
mendapatkan oklusi yang ideal. Meskipun pada kebanyakan orang proporsi
giginya sangat sesuai tetapi kurang lebih 5% tidak mencapai proporsi ini karena
adanya variasi ukuran gigi secara individual. Keadaan ini biasa disebut tooth size
discrepancy. Insisivi lateral atas merupakan gigi yang paling banyak mengalami
anomali, meskipun gigi-gigi lain juga mempunyai banyak variasi ukuran
(Rahardjo, 2011).
Tooth size analysis atau lebih sering disebut analisis Bolton (sesuai dengan
yang menemukan) dilakukan dengan mengukur lebar mesiodistal setiap gigi
permanen. Ukuran ini kemudian dibandingkan dengan tabel standar jumlah lebar
gigi anterior atas maupun anterior bawah (dari kaninus ke kaninus) dan juga
jumlah lebar mesiodistal semua gigi atas dan bawah (molar pertama ke molar
pertama) tidak termasuk molar kedua dan ketiga. Bila pengukuran menggunakan
sarana digital maka komputer dengan cepat dapat menentukan tooth size analysis.
Pemeriksaan cepat untuk mengetahui perbedaan gigi anterior dapat dilakukan
dengan membandingkan ukuran insisivi lateral atas dan bawah. Bila insisivi
lateral atas lebih besar maka hampir dapat dipastikan akan didapatkan perbedaan.
Untuk rahang bawah dapat dilakukan dengan membandingkan ukuran premolar
kedua atas dan bawah yang ukurannya kurang lebih sama. Bila perbedaan ukuran
gigi ini kurang dari 1,5 mm jarang berpengaruh secara signifikan, tetapi kalau
melebihi 1,5 mm akan menimbulkan masalah pada perawatan ortodontik dan
sebaliknya hal ini dimasukkan dalam pertimbangan perawatan ortodontik
(Rahardjo, 2011).
2. Kurva Spee
Lengkung yang menghubungkan insisal insisivi dengan bidang oklusal
molar terakhir pada rahang bawah. Pada keadaan normal kedalamannya tidak
melebihi 1,5 mm. Pada kurva Spee yang positif (bentuk kurvanya jelas dan dalam)
biasanya didapatkan gigi insisivi yang supra posisi atau gigi posterior yang infra
posisi atau gabungan kedua keadaan tadi (Rahardjo, 2011).
26

Kurva Spee adalah kurva dengan pusat pada suatu titik di tulang lakrimal
(Lakrimal) dengan radius pada orang dewasa 65-70 mm. Kurva ini berkontak di
empat lokasi yaitu permukaan anterior kondili, daerah kontak distooklusal molar
ketiga, daerah kontak mesiooklusal molar pertama dan tepi insisisal. Mungkin
karena sampel yang dipakai berbeda dengan peneliti (Hitchcock, Dale) mencoba
mengukur sesuai dengan yang dilakukan oleh Spee, tetapi tidak memperoleh hasil
yang sama dengan Spee (Rahardjo, 2011).
3. Diastema
Ruang antara dua gigi yang berdekatan, gingiva di antara gigi-gigi kelihatan.
Adanya diastema pada fase geligi pergantian masih merupakan keadaan normal,
tetapi adanya diastema pada fase geligi permanen perlu diperiksa lebih lanjut
untuk mengetahui apakah keadaan tersebut suatu keadaan yang tidak normal
(Rahardjo, 2011).
4. Simetri Gigi-gigi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui simetri gigi senama dalam jurusan sagital
maupun transversal dengan cara membandingkan letak gigi permanen senama kiri
dan kanan. Berbagai alat bisa digunakan untuk keperluan pemeriksaan ini,
misalnya suatu transparent ruled grid atau simetroskop yang dapat dibuat sendiri
(Rahardjo, 2011).
Letakkan model studi pada dasamya kemudian simetroskop diletakkan pada
bidang oklusal gigi mulai dari yang paling anterior, bagian simetroskop
menyentuh gigi yang paling labial, garis tengah simetroskop garis berimpit
dengan median model. Kemudian geser simetroskop ke distal sambil mengamati
apakah gigi yang senama terletak pada jarak yang sama baik dalam jurusan sagital
maupun transversal (Rahardjo, 2011).
Sebagai acuan, molar yang lebih distal dianggap lebih stabil karena belum
terjadi pergeseran, atau pun seandainya telah terjadi pergeseran ke jurusan sagital
pergeseran tersebut tidak sebanyak pada molar yang terletak lebih mesial. Dengan
demikian dapat diketahui penyebab adanya perubahan relasi molar pada satu sisi.
Perubahan relasi molar dapat terjadi karena adanya tanggal prematur molar sulung
(Rahardjo, 2011).
27

5. Gigi yang Terletak Salah


Pemeriksaan dilakukan pada gigi secara individu. Menurut Angle (1907)
dengan diketahuinya kelainan letak gigi secara individu dapat direncanakan
perawatan untuk meletakkan gigi tersebut pada letaknya yang benar.Penyebutan
letak gigi yang digunakan di antaranya adalah sebagai berikut.
Versi : mahkota gigi miring ke arah tertentu tetapi akar gigi
tidak(misalnya mesioversi, distoversi, labioversi, linguoversi).
Infra oklusi : gigi yang tidak mencapai garis oklusal dibandingkan dengan
gigi lain dalam lengkung geligi.
Supra oklusi : gigi yang melebihi garis oklusal dibandingkan dengan gigi lain
dalam lengkung geligi.
Rotasi : gigi berputar pada sumbu panjang gigi, bisa sentris atau
eksentris.
Transposisi : dua gigi yang bertukar tempat, misalnya kaninus
menempatitempat insisivi lateral dan insisivi lateral menempati
tempatkaninus.
Ektostema : gigi yang terletak di luar lengkung geligi (misalnya
kaninusatas).
Cara penyebutan lain seperti yang dianjurkan Lischer untuk gigi secara
individual adalah sebagai berikut:
Mesioversi : mesial terhadap posisi normal gigi
Distoversi : distal terhadap posisi normal gigi
Linguoversi : lingual terhadap posisi normal gigi
Labioversi : labial terhadap posisi normal gigi
Infravesi : inferior terhadap garis oklusi
Supravesi : superior terhadap garis oklusi
Aksiversi : inklinasi aksial yang salah (tipped)
Torsiersi : berputar menurut sumbu panjang gigi
Transbersi : perubahan urutan posisi gigi

Kelainan letak gigi dapat juga merupakan kelainan sekelompok gigi.


28

Protrusi : kelainan kelompok gigi anterior atas yang sudut inklinasinya


0
terhadap garis maksila > 110 untuk rahang bawah sudutnya >
0
90 terhadap garis mandibula.
Retrusi : kelainan kelompok gigi anterior atas yang sudut inklinasinya
0 0
terhadap garis maksila < 110 untuk rahang bawah < 90
Berdesakan : gigi yang tumpang tindih
Diastema : terdapat ruangan diantara dua gigi yang berdekatan

2.2.5 Analalisis Sefalometri


Untuk memudahkan penapakan hendaknya dilakukan pada ruangan yang tidak
terlalu terang, sefalogram diletakkan pada tracing box dengan iluminasi baik,
kertas penapakan asetat yang bagus yang terfiksasi dengan pita adhesif transparan
serta menggunakan pensil yang keras (Rahardjo, 2011).

Pertama kali perlu diketahui titik-titik penting dua titik dihubungkan jadi

garis garis yang berpotongan jadi sudut. Pembacaan biasanya pada besar sudut
untuk menentukan apakah struktur anatomi normal atau menyimpang (Rahardjo,
2011).
Titik yang harus diketahui adalah:
- S (sella): terletak di tengah sela tursika, ditentukan secara visual
(diperkirakan)
- N (nasion): terletak pada perpotongan bidang sagital dengan sutura
frontonasalis
- SNA (spina nasalis anterior): ujung spina nasalis anterior
- SNP (spina nasalis posterior): ujung spina nasalis posterior
- A (subspinale): titik paling dalam pada kurvatura alveolaris rahang atas, secara
toritis merupakan batas tulang basal mandibula dan tulang alveolaris
- B (supramentale): titik paling dalam pada kurvatura alveolaris rahang bawah,
secara teori merupakan batas tulang basal mandibula dan tulang alveolaris
- Go (gonion): titik tengah pada lengkungan sudut mandibula di antara ramus
dan korpus
- Me (menton): titik terendah pada dagu
29

- Prosthion (Pr): titik paling bawah dan paling anteriorprosessus alveolaris


maksila, pada bidangtengah, antara gigi insisivus sentral atas
- Insisif superior (Is):ujung mahkota paling anterior gigiinsisivus sentral atas
- Insisif inferior (Ii):ujung mahkota paling anterior gigiinsisivus sentral bawah
- Infradental (Id):titik paling tinggi dan paling anteriorprosessus alveolaris
mandibula, padabidang tengah, antara gigi insisivussentral bawah
- Gnathion (Gn): titik paling anterior dan paling inferiordagu
- Orbital (Or): titik yang paling bawah pada tepi bawahtulang orbita
- Porion (Po): titik paling luar dan paling superior ear rod
- Pogonion (Pog/Pg): titik paling anterior tulang dagu, pada bidang tengah
Garis yang digunakan untuk menghubungkan dua titik tertentu:
- S – N: garis yang menghubungkan Sela tursika (S) dan Nasion (N),
merupakan garis perpanjangan dari basis kranial anterior
- N–A
- N–B
- SNA – SNP (garis palatal / garis maksila)
- Me – garis singgung tepi bawah mandibula (garis mandibula)
- Nasion-Pogonion (N-Pg) : garis yang menghubungkan Nasion (N) dan
Pogonion (Pg), merupakan garis fasial
- Y-Axis: garis yang menghubungkan sela tursika (S) dan gnathion (Gn),
digunakan untuk mengetahui arah/jurusan pertumbuhan mandibula

Gambar . Titik antropometri, garis dan bidang referensi


30

Sudut SNA menyatakan letak maksila terhadap kranium. Rata-rata untuk


kaukasoid 82°. Sudut SNB menyatakan letak mandibula terhadap kranium. Rata-
rata untuk kaukasoid 80°. Sudut ANB menyatakan hubungan maksila terhadap
mandibula. Sudut ANB didapatkan dari selisih sudut SNA dan sudut SNB. Pada

keadaan normal, sudut ANB = 2° (kelas I), kelas II = 4° dan kelas III ANB
negatif (Rahardjo, 2011).
2.3 Tingkatan Perawatan Ortodontik
Perawatan ortodontik mempunyai tingkatan perawatan, di antaranya tergantung
pada usia si penderita yang akan di rawat. Tahapan tersebut meliputi:
1. Perawatan
Pencegahan Batasan :
a. Ilmu ortodonti pencegahan adalah ilmu yang mempelajari segala macam
usaha untuk mencegah terjadinya kelainan oklusi (maloklusi)
b. Ilmu ortodonti pencegahan merupakan bagian dari ilmu kedokteran gigi
pencegahan (preventif dentistry)
c. Berbeda dengan cabang ilmu kedokteran gigi yang lain yang
memerlukan perawatan singkat, ortodonti pencegahan memerlukan
perawatan yang lama, terus menerus mengikuti waktu pertumbuhan dan
perkembangan dentofasial.
d. Ortodonti pencegahan berarti tindakan yang dinamis, terus menerus dan
disiplin bagi dokter gigi dan pasiennya (Rahardjo, 2011).
Tujuan mempelajari ortodonti pencegahan adalah untuk mempertahankan
oklusi normal (Rahardjo, 2011).
2. Perawatan Interseptif
Perawatan ortodonti interseptif adalah suatu prosedur ortodontik yang
dilakukan pada maloklusi yang baru atau sedang dalam proses terjadi dengan
tujuan memperbaiki ke arah oklusi normal. Beda antara ortodonti preventif
dengan ortodonti interseptif adalah pada waktu tindakan dilakukan. Ortodonti
preventif dilakukan apabila diperkirakan ada keadaan yang akan menyebabkan
terjadinya suatu maloklusi sedang ortodonti Interseptif adalah suatu tindakan
yang harus segera dilakukan karena terdapat suatu gejala atau proses terjadi
31

maloklusi walau dalam tingkatan yang ringan sehingga maloklusi dapat dihindari
atau tidak berkembang (Rahardjo, 2011).
Macam-macam perawatan ortodonti interseptif :
a. Penyesuaian atau koreksi disharmoni oklusal
b. Perawatan crossbite anterior pada mixed dentition
c. Perawatan diastema anterior
d. Perawatan kebiasaan jelek (bad habbit)
e. Latihan otot (myofunctional therapic)
f. Pencabutan seri (serial ectraction) (Rahardjo, 2011).
3. Perawatan Kuratif
Perawatan ini merupakan tingkat perawatan ortodontik untuk menghilangkan
kelainan gigi geligi yang telah berkembang yang telah menyebabkan keluhan
secara estetik maupun fungsi yang melibatkan maloklusi klas I, klas II, dan klas
III (Rahardjo, 2011).
32

BAB III
CONCEPTUAL MAPPING

Maloklusi

Etiologi Maloklusi Jenis Maloklusi

Klasifikasi Maloklusi

Klas I Klas II Klas III

Prosedur Penegakan
Diagnosa

Analisis Umum Analisis Lokal Analisis Fungsional Analisis Model Analisis Sefalometri

Perawatan ortodonti

32
33

BAB IV

PEMBAHASAN

Pengertian maloklusi adalah penyimpangan letak gigi dan atau malrelasi


lengkung gigi (rahang) di luar rentang kewajaran yang dapat diterima. maloklusi
dapat disebabkan adanya kelainan gigi dan malrelasi lengkung geligi atau rahang.
Kelainan gigi yang dapat menyebabkan maloklusi dapat berupa kalainan letak,
ukuran, bentuk, dan jumlah gigi. Klasifikasi maloklusi menurut angel dibagi
benjadi 3 yaitu kelas I, kelas II sedangkan kelas II di bagi lagi menjadi dua yaitu
kelas II devisi 1 dan kelas II divisi 2 dan yang terakhir adalah kelas III.

Berbagai macam maloklusi memerlukan perawatan ortodonti dari yang


sederhana sampai yang komprehesif. Perencanaan perawatan ortodonti
membutuhkan penguasaan berbagai pengetahuan diantaranya
pertumbuhkembangan dentomaksilofasial, estetik dentofasial, diagnosis
maloklusi, etiologi, peranti ortodonti, perubahan jaringan pada pergerakan gigi,
retensi dan relaps. Tujuan perawatan ortodonti adalah untuk mendapatkan
kesehatan gigi dan mulut, estetik muka dan geligi, fungsi kunyah dan bicara yang
baik, dan stabilitas hasil perawatan.

Sebelum melakukan perawatan ortodonti perlu diketahui lebih dahulu


diagnosis suatu maloklusi. Untuk menentukan diagnosis suatu maloklusi perlu
dilakukan pemeriksaan yang saksama untuk mendapatkan data menyeluruh
tentang pasien yang akan dirawat dan seberapa jauh terjadi penyimpangan dari
keadaan normal. Data yang perlu diketahui meliputi keinginan pasien untuk
perawatn ortodonti, riwayau kesehatan umum, riwayat kesehatan gigi,
pemeriksaan ekstraoral dan intraoral, hubungan rahang dan geligi dalam tiga
bidang orientasi baik secara langsung maupun tidak langsung (misalnya, dari
model studi) serta pemeriksaan pada jaringan lunak.

33
34

DAFTAR PUSTAKA

Bhalajhi Sundaresa Iyyer. Orthodontics the Art and Science. 3rd Ed. New Delhi :
Arya (MEDI) Publishing House. 2006

Foster TD. 1997. Buku Ajar Orthodonsi. Jakarta: EGC

Mavreas dimitrious, Athanasiou Arhanasiouus E. Factor affecting the duration of


orthodontic treatment: a systemic review. University of theddoloniki 2008
Des; (30): 387, 393
Profit WR, and Fields, HW. 2000. Contemporary Orthodontics, ed.3. Mosby,
Philladelpia, p. 145-294

Rahardjo Pambudi. 2009. Ortodonti Dasar. Surabaya : Airlanggan University


Press
Rahardjo Pambudi. 2011. Diagnosis Ortodontik. Surabaya : Airlanggan
University Press
Rahardjo Pambudi. 2012. Ortodonti Dasar. Ed 2. Surabaya : Airlanggan
University Press

Anda mungkin juga menyukai