Anda di halaman 1dari 8

a.

Analisis Fungsional

1. Path of Closure
Posisi istirahat merupakan posisi normal mandibula dalam hubungannya dengan
kerangka muka bagian atas. Otot yang bekerja pada mandibula dalam keadaan relasksi dan
kondili mandibula pada posisi retrusi pada fosa glenoidalis. Posisi istirahat ditentukan oleh
panjang anatomis otot yang bekerja pada mandibula (Rahardjo, 2011).
Path of closure adalah arah gerakan mandibula dari posisi istirahat ke oklusi sentrik.
Idealnya path of closure dari posisi istirahat ke posisi oklusi maksimum berupa gerakan
engsel sederhana melewati freeway space yang besarnya 2-3 mm, arahnya ke atas dan ke
depan. Freeway space = interocclusal clearance adalah jarak antarklusal pada saat
mandibula dalam posisi istirahat (Rahardjo, 2011).
Menurut Rahardjo (2011), ada 2 macam perkecualian path of closure yang bisa dilihat
yaitu deviasi mandibula dan displacement mandibula.
 Path of closure yang berawal dari posisi kebiasaan mandibula akan tetapi ketika gigi
mencapai oklusi maksimum mandibula dalam posisi relasi sentrik. Ini disebut deviasi
mandibula.
 Path of closure yang berawal dari posisi istirahat, akan tetapi oleh karena adanya
halangan oklusal maka didapatkan displacement mandibula.

2. Deviasi Mandibula
Keadaan ini berhubungan dengan posisi kebiasaan mandibula. Bila
mandibula dalam posisi kebiasaan, maka jarak antaroklusal akan bertambah sedangkan
kondili letaknya maju di dalam fosa glenoidales. Arah path of closure adalah ke atas dan
ke belakang akan tetapi bila gigi telah mencapai oklusi mandibula terletak dalam relasi
sentrik (kondili dalam keadaan posisi normal pada fosa glenoidalis) (Rahardjo, 2011).

3. Displacement Mandibula
Displacement dapat terjadi dalam jurusan sagital dan transversal. Kontak prematur
dapat menyebabkan displacement mandibula untuk mendapatkan hubungan antartonjol gigi
yang maksimum. Dalam jangka panjang displacement dapat terjadi selama pertumbuhan
geligi. Pada beberapa keadaan displacement terjadi pada fase geligi sulung, kemudian pada
saat gigi permanen erupsi gigi tersebut akan diarahkan oleh kekuatan otot ke letak yang
memperparah terjadinya displacement. Displacement dapat juga terjadi pada usia lanjut
karena gigi yang maju dan tidak terkontrol yang disebabkan hilangnya gigi posterior akibat
pencabutan (Rahardjo, 2011).
Displacement dalam jurusan transversal sering berhubungan dnegan adanya gigitan
silang posterior. Bila lengkung geligi atas dan bawah sama lebarnya, suatu displacement
mandibula ke transversal diperlukan untuk mencapai posisi oklusi maksimum. Bila hal
tersebut terjadi maka akan didapatkan relasi gigitan silang gigi posterior pada satu sisi.
Displacement ke transversal tidak berhubungan dnegan bertambahnya jarak antaroklusal atau
adanya over closure. Pada beberapa kasus akan terjadi rasa sakit pada otot dan akan hilang
bilamana displacement dikoreksi (Rahardjo, 2011).
Adanya gigitan silang unilateral gigi posterior yang disertai adanya garis median atas
dan bawah yang tidak segaris akan menimbulkan dugaan adanya displacement ke transversal.
Keadaan ini perlu diperiksa secara seksama dengan memperhatikan pasien pada saat
menutupkan mandibulanya dari posisi istirahat ke oklusi. Keadaan yang perlu diperhatikan
adalah letak garis median baik pada saat posisi istirahat maupun pada saat oklusi (Rahardjo,
2011).

Gambar 23. Relasi gigi molar dalam arah transversal


A. posisi istirahat B. Relasi sentrik C. Oklusi sentrik

Displacement ke arah sagital dapat terjadi karena adanya kontak prematur pada
daerah insisivi. Pada keadaan ini biasanya didapatkan over closure mandibula. Pada kasusu
kelas III ringan terdapat gigitan edge to edge pada insisivi, mandibula bergeser ke anterior
untuk mendapatkan oklusi di daerah bukal (Rahardjo, 2011).

4. Sendi Temporomandibula
Sebagai panduan umum bila pergerakan mandibula normal berarti fungsinya tidak
terganggu, sebaliknya bila pergerakan mandibula terbatas biasanya menunjukkan adanya
masalah fungsi. Oleh karena itu, satu indikator penting tentang fungsi sendi
temporomandibula adalah lebar pembukaan maksimal, yang pada keadaan normal berkisar
35-40 mm, 7 mm gerakan ke lateral dan 6 mm ke depan. Palpasi pada otot pengunyahnya dan
sendi temporomandibula merupakan bagian pemeriksaan rutin dan perlu dicatat tanda-tanda
adanya maslah pada sendi temporomandibula, misalnya adanya rasa sakit pada sendi, suara
dan keterbatasan pembukaan (Rahardjo, 2011).
Pada pemeriksaan pasien yang membutuhkan perawatan ortodontik, adanya
pergeseran mandibula baik ke lateral maupun sagital pada saat menutup mandibula perlu
mendapat perhatian yang saksama. Oleh karena articular eminence kurang berkembang pada
anak-anak maka sukar untuk mendapatkan relasi sentrik sedangkan pada orang dewasa lebih
mudah. Anak dengan pergeseran mandibula ke lateral yang jelas biasanya mempunyai lebar
lengkung geligi atas yang sempit dalam jurusan transversal pada kedua sisinya. Banyak anak
dan orang dewasa dengan pola skelet kelas II memajukan mandibula ke depan untuk
mendapatkan profil yang lebih baik daripada keadaan sebenarnya. hal ini disebut Sunday
bite. Kadang-kadang suatu keadaan yang nampak seperti kelas III berawal dari kebiasaan
memajukan mandibula untuk menghindari halangan oklusal di anterior agarterhindar dari
keadaan edge to edge (Rahardjo, 2011).
Rasa sakit dan disfungsi sendi temporomandibula jarang didapatkan pada anak-anak
tetapi kadang-kadang, pada pasien dewasa, merupakan motivator untuk mendapatkan
perawatan ortodontik. Hubungan oklusi geligi dengan simtom sendi temporomandibula
merupakan kontroversi yang besar sehingga perlu ditelaah secara objektif. Perawatan
ortodontik kadang-kadang dapat menghilangkan problema pada pasien dengan gangguan
pada sendi temporomandibula. Pasien perlu diberi pengertian tentang apa yang mungkin
terjadi pada simtomnya semasa dan sesudah perawatan ortodontik (Rahardjo, 2011).

b. Analisis Model
Model studi adalah rekam ortodontik yang paling sering digunakan untuk
menganalisis suatu kasus dan memberikan banyak informasi, pembuatannya informasi mudah
dan murah. Keadaan yang dapat dilihat pada model menurut Rahardjo (2011) adalah sebagai
berikut:

1. Bentuk Lengkung Geligi


Model dilihat dari oklusai kemudian diamati bentuk lengkung geligi.Bentuk lekung
geligi yang normal adalah berbentuk parabola; ada beberapa bentuk lekung geligi yang tidak
normal misalnya lebar, menyempit di daerah anterior dan lain-lain (Rahardjo, 2011). Bentuk
lengkung geligi ini berhubungan dengan bentuk kepala misalnya pasien dengan bentuk
kepala brakisefalik cenderung mempunyai bentuk geligi yang lebar (Rahardjo, 2011).

2. Diskrepansi pada Model


Diskrepansi pada model adalah perbedaan antaratempat yang tersedia (available
space) dengan lempat yang dibutuhkan (required space). Diskrepansi pada model merupakan
bagian dari diskrepansi total yang terdiri atas: diskrepansi model, diskrepansi sefalometrik,
kedalaman kurva Spee dan pergeseran molar ke mesial. Diskrepansi pada model digunakan
untuk menentukan macam perawalan pasien tersebut, apakah termasuk perawatan pencabutan
gigi permanen atau tanpa pencabutan gigi permanen (Rahardjo, 2011). Untuk mengetahui
diskrepansi pada model perlu diketahui tempat yang tersedia dan tempat yang dibutuhkan.
Pengertian tempat yang tersedia available space adalah tempat di sebelah mesial molar
pertama permanen kiri sampai mesial molar pertama permanen kanan yang akan ditempati
gigi-gigi permanen (premolar kedua kiri sampai premolar kedua kanan) dalam
kedudukan/letak yang benar (Rahardjo, 2011).
Ada berbagai cara untuk mengukur tempat yang tersedia. Salah satu cara untuk
mengukur tempat yang tersedia di rahang atas adalah dengan membuat lengkungan dari
kawat tembaga (brass wire) mulai dari mesial molar pertama permanen kiri melewati fisura
gigi-gigi di depannya terus melewati insisal insisivi yang letaknya benar terus melewati fisura
gigi-gigi posterior sampai mesial molar pertama permanen sisi kanan. Kawat ini kemudian
diluruskan dan diukur panjangnya. Panjang kawat ini merupakan tempat yang tersedia. Untuk
rahang bawah lengkung kawat tidak melewati fisura gigi posterior tetapi lewat tonjol bukal
gigi posterior rahang bawah (Rahardjo, 2011).

c. Analisis Ukuran Gigi


Untuk mendapat oklusi yang baik diperlukan ukuran gigi yang proporsional. Bila
gigi-gigi atas besar sedangkan gigi-gigi bawah kecil tidak mungkin untuk mendapatkan
oklusi yang ideal. Meskipun pada kebanyakan orang proporsi giginya sangat sesuai tetapi
kurang lebih 5% tidak mencapai proporsi ini karena adanya variasi ukuran gigi secara
individual. Keadaan ini biasa disebut tooth size discrepancy. Insisivi lateral atas merupakan
gigi yang paling banyak mengalami anomali, meskipun gigi-gigi lain juga mempunyai
banyak variasi ukuran (Rahardjo, 2011).
Tooth size analysis atau lebih sering disebut analisis Bolton (sesuai dengan yang
menemukan) dilakukan dengan mengukur lebar mesiodistal setiap gigi permanen. Ukuran ini
kemudian dibandingkan dengan tabel standar jumlah lebar gigi anterior atas maupun anterior
bawah (dari kaninus ke kaninus) dan juga jumlah lebar mesiodistal semua gigi atas dan
bawah (molar pertama ke molar pertama) tidak termasuk molar kedua dan ketiga. Bila
pengukuran menggunakan sarana digital maka komputer dengan cepat dapat menentukan
tooth size analysis. Pemeriksaan cepat untuk mengetahui perbedaan gigi anterior dapat
dilakukan dengan membandingkan ukuran insisivi lateral atas dan bawah. Bila insisivi lateral
atas lebih besar maka hampir dapat dipastikan akan didapatkan perbedaan. Untuk rahang
bawah dapat dilakukan dengan membandingkan ukuran premolar kedua atas dan bawah yang
ukurannya kurang lebih sama. Bila perbedaan ukuran gigi ini kurang dari 1,5 mm jarang
berpengaruh secara signifikan, tetapi kalau melebihi 1,5 mm akan menimbulkan masalah
pada perawatan ortodontik dan sebaliknya hal ini dimasukkan dalam pertimbangan perawatan
ortodontik (Rahardjo, 2011).

1. Kurva Spee
Lengkung yang menghubungkan insisal insisivi dengan bidang oklusal molar terakhir
pada rahang bawah. Pada keadaan normal kedalamannya tidak melebihi 1,5 mm. Pada kurva
Spee yang positif (bentuk kurvanya jelas dan dalam) biasanya didapatkan gigi insisivi yang
supra posisi atau gigi posterior yang infra posisi atau gabungan kedua keadaan tadi
(Rahardjo, 2011). Kurva Spee adalah kurva dengan pusat pada suatu titik di tulang lakrimal
(Lakrimal) dengan radius pada orang dewasa 65-70 mm. Kurva ini berkontak di empat lokasi
yaitu permukaan anterior kondili, daerah kontak distooklusal molar ketiga, daerah kontak
mesiooklusal molar pertama dan tepi insisisal. Mungkin karena sampel yang dipakai berbeda
dengan peneliti (Hitchcock, Dale) mencoba mengukur sesuai dengan yang dilakukan oleh
Spee, tetapi tidak memperoleh hasil yang sama dengan Spee (Rahardjo, 2011).

2. Diastema
Ruang antara dua gigi yang berdekatan, gingiva di antara gigi-gigi kelihatan. Adanya
diastema pada fase geligi pergantian masih merupakan keadaan normal, tetapi adanya
diastema pada fase geligi permanen perlu diperiksa lebih lanjut untuk mengetahui apakah
keadaan tersebut suatu keadaan yang tidak normal (Rahardjo, 2011).

3. Simetri Gigi-gigi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui simetri gigi senama dalam jurusan sagital maupun
transversal dengan cara membandingkan letak gigi permanen senama kiri dan kanan.
Berbagai alat bisa digunakan untuk keperluan pemeriksaan ini, misalnya suatu transparent
ruled grid atau simetroskop yang dapat dibuat sendiri (Rahardjo, 2011). Letakkan model
studi pada dasamya kemudian simetroskop diletakkan pada bidang oklusal gigi mulai dari
yang paling anterior, bagian simetroskop menyentuh gigi yang paling labial, garis tengah
simetroskop garis berimpit dengan median model. Kemudian geser simetroskop ke distal
sambil mengamati apakah gigi yang senama terletak pada jarak yang sama baik dalam
jurusan sagital maupun transversal (Rahardjo, 2011).

Sebagai acuan, molar yang lebih distal dianggap lebih stabil karena belum terjadi
pergeseran, atau pun seandainya telah terjadi pergeseran ke jurusan sagital pergeseran
tersebut tidak sebanyak pada molar yang terletak lebih mesial. Dengan demikian dapat
diketahui penyebab adanya perubahan relasi molar pada satu sisi. Perubahan relasi molar
dapat terjadi karena adanya tanggal prematur molar sulung (Rahardjo, 2011).

4. Gigi yang Terletak Salah


Pemeriksaan dilakukan pada gigi secara individu. Menurut Angle (1907) dengan
diketahuinya kelainan letak gigi secara individu dapat direncanakan perawatan untuk
meletakkan gigi tersebut pada letaknya yang benar.Penyebutan letak gigi yang digunakan di
antaranya adalah sebagai berikut:
 Versi adalah mahkota gigi miring ke arah tertentu tetapi akar gigi
tidak (misalnya mesioversi, distoversi, labioversi, linguoversi).
 Infra oklusi adalah gigi yang tidak mencapai garis oklusal dibandingkan dengan gigi
lain dalam lengkung geligi.
 Supra oklusi yaitu gigi yang melebihi garis oklusal dibandingkan dengan gigi lain
dalam lengkung geligi.
 Rotasi yaitu gigi berputar pada sumbu panjang gigi, bisa sentris atau
eksentris.
 Transposisi yaitu dua gigi yang bertukar tempat,misalnya kaninus
menempatitempat insisivi lateral dan insisivi lateral menempati tempatkaninus.
 Ektostema yaitu gigi yang terletak di luar lengkung geligi
(misalnya kaninusatas).

Cara penyebutan lain seperti yang dianjurkan Lischer untuk gigi


secara individual adalah sebagai berikut:
 Mesioversi : mesial terhadap posisi normal gigi
 Distoversi : distal terhadap posisi normal gigi
 Linguoversi : lingual terhadap posisi normal gigi
 Labioversi : labial terhadap posisi normal gigi
 Infravesi : inferior terhadap garis oklusi
 Supravesi : superior terhadap garis oklusi
 Aksiversi : inklinasi aksial yang salah (tipped)
 Torsiersi : berputar menurut sumbu panjang gigi
 Transbersi : perubahan urutan posisi gigi

Kelainan letak gigi dapat juga merupakan kelainan sekelompok gigi.


Protrusi : kelainan kelompok gigi anterior atas yang sudut inklinasinya

terhadap garis maksila > 1100 untuk rahang bawah sudutnya >
900 terhadap garis mandibula.
Retrusi : kelainan kelompok gigi anterior atas yang sudut inklinasinya

terhadap garis maksila < 1100 untuk rahang bawah < 900
Berdesakan : gigi yang tumpang tindih
Diastema : terdapat ruangan diantara dua gigi yang berdekatan

DAFTAR PUSTAKA
Rahardjo Pambudi. 2009. Ortodonti Dasar. Surabaya : Airlanggan University Press
Rahardjo Pambudi. 2011. Diagnosis Ortodontik. Surabaya : Airlanggan University Press
Rahardjo Pambudi. 2012. Ortodonti Dasar. Ed 2. Surabaya : Airlanggan University Press
Lavina Avi. 2013. Analisis Model Studi, Sumber Informasi Penting bagi Diagnosis
Ortodonti. Bandung: Bagian Orthodontia Universitas Padjajaran

Anda mungkin juga menyukai