Anda di halaman 1dari 3

ABSTRAK

Hipodonsia adalah kegagalan perkembangan dari satu atau beberapa benih gigi (kurang dari 6
gigi selain molar ketiga) yang relatif umum terjadi. Hipodonsia memiliki tingkat prevalensi
rendah dan jarang terjadi. Hipodonsia sering ditemukan dengan anomali gigi seperti
mikrodonsia, makrodonsia, dan gigi supernumerary. Tujuan dari laporan ini adalah
memaparkan kasus hipodonsia pada pasien perempuan berusia 7 tahun yang kehilangan lima
gigi permanen dan mikrodonsia pada gigi molar pertama rahang atas kiri dan kanan.
Berdasarkan anamnesa, pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik.
Keywords : Hipodonsia, anomali, mikrodonsia.
PENDAHULUAN
Agenisi gigi adalah kelainan pertumbuhkembangan yang paling umum terjadi dalam proses
pembentukan gigi manusia, mencapai hingga 25% dari populasi (Garib, 2005). Sebuah gigi
yang dinyatakan agenisi kongenital jika gigi tersebut tidak erupsi dalam rongga mulut dan
tidak terlihat dalam foto radiografi (Kusiak, 2008), yang dapat diartikan hal ini disebabkan
oleh adanya gangguan pada waktu tahap awal perkembangan gigi (Pemberton dkk., 2005).
Agenisi gigi lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki (3:2) dan lebih sering
ditemukan pada maksila daripada mandibula dengan jumlah gigi agenisi pada kedua sisi yang
hampir sama (Borle dkk., 2012) Gigi permanen yang paling sering ditemukan agenisi adalah
molar ketiga (9-37%), diikuti dengan premolar kedua mandibula (<3%), insisif kedua maksila
(<2%), premolar kedua maksila, dan insisif mandibula (<1%) (Pannu dkk., 2014)
Banyak sebutan yang digunakan untuk menjelaskan agenisi gigi dalam rongga mulut seperti
hipodonsia, oligodonsia, dan anodonsia (Pannu dkk., 2014). Istilah hipodonsia dapat diartikan
sebagai hilangnya satu hingga 6 gigi (selain molar ketiga). Prevalensi hipodonsia pada gigi
permanen berkisar antara 3,5% dan 10%. Hipodonsia dapat terjadi karena bentuk dominan
autosomal (genetik) atau bagian dari sebuah penyakit. Banyak faktor-faktor lingkungan
(trauma pada daerah gigi, pengobatan penyakit keganasan) atau faktor genetik (mutasi pada
transkripsi faktor gen MSX1 dalam kromosom 4 atau transkripsi faktor gen PAX9 dalam
kromosom 14) dapat menjadi etiologi kelainan ini (Kusiak dkk., 2008).
Hipodonsia dapat ditemukan bersamaan dengan anomali pertumbuhkembangan lainnya
(sindromik) atau non-sindromik. Hipodonsia sindromik sering terjadi akibat suatu penyakit
spesifik seperti Down syndrome, ektodermal displasia, Ehlers-Danlos syndrome (Tipe VII),
Rieger syndrome (Tipe I), dan Witkop syndrome (Vahid-Dastjerdi dkk., 2010). Anomali lain
yang berhubungan dengan hipodonsia antara lain ukuran gigi yang kecil (mikrodonsia),
ukuran gigi yang besar (makrodonsia), dan anomali dari bentuk gigi, paling sering yaitu

bentuk gigi tapering atau peg-shaped. Sedangkan non-sindromik bersifat sporadis atau
keturunan, dan merupakan hipodonsia yang paling sering dilaporkan (Pemberton dkk., 2005).
Hipodontia dapat menjadi indikasi untuk dilakukannya perawatan ortodonti (Vahid-Dastjerdi
dkk., 2010), akan tetapi agenisi gigi-gigi permanen tersebut dapat menyebabkan beberapa
masalah klinis, seperti maloklusi sehingga menyebabkan perawatan ortodontik sulit dan
membutuhkan bedah ortognatik (Borle dkk., 2012).
CASE REPORT
Seorang pasien perempuan berusia 7 tahun datang ke klinik Ortodonsia Rumah Sakit Gigi
dan Mulut Universitas Airlangga pada bulan Oktober 2015 dengan keluhan gigi-gigi
depannya tidak rapi dan ingin dirawat. Pada pemeriksaan klinis ekstra oral, tidak tampak
adanya kelainan atau penyakit sistemik, wajah tampak simetris, kelenjar limfe teraba normal,
dan profil wajah cembung.
Berdasarkan pemeriksaan klinis intra oral didapatkan diastema multiple pada maksila dan
mandibula regio anterior. Selain itu didapatkan anomali bentuk gigi molar pertama (M1)
rahang atas baik kanan dan kiri berbentuk hypocone dan rotasi sentris. Terdapat karies
superficial pada pit dan fisur gigi-gigi posterior rahang bawah. Pada pengamatan
menggunakan foto radiografi panoramik ditemukan adanya persistensi gigi 52, gigi 12 yang
terletak salah, bentuk gigi 16, 26 yang anomali, serta agenisi dari beberapa gigi permanen
rahang atas dan rahang bawah. Gigi-gigi agenisi tersebut antara lain 17, 15, 25, 27, dan 37
(Gambar 1).
Selama anamnesa, orang tua pasien mengatakan pasien tidak memiliki riwayat trauma,
pencabutan gigi permanen, perawatan ortodonti sebelumnya, atau komplikasi selama
kehamilan atau saat melahirkan. Ibu pasien mengatakan pasien pernah mengalami panas
tinggi hingga kejang dan diare selama 3 hari pada saat pasien balita. Pasien tidak memiliki
penyakit sistemik lain dan tidak pernah dirawat di rumah sakit.
Ibu pasien mengaku pernah mendapatkan perawatan ortodonsia oleh karena gigi depannya
yang maju. Pada orang tua pasien kemudian dilakukan pemeriksaan intra oral secara klinis,
tidak didapatkan adanya agenisi.
PEMBAHASAN
Gigi disebut agenisi bila gigi tersebut tidak tampak secara klinis, radiografi dan tidak
memiliki riwayat pencabutan sebelumnya. Pada laporan kasus ini, pasien berusia tujuh tahun

belum pernah dilakukan pencabutan gigi permanen sebelumnya dan tidak terdapat adanya
kalsifikasi lima gigi permanen pada foto panoramik, sehingga dapat disebut agenisi.
Hipodonsia adalah istilah yang digunakan pada kasus tidak adanya benih gigi dengan jumlah
satu hingga 6 (kecuali molar ketiga) seperti pada pasien ini yang kehilangan gigi 17,15,25,27,
dan 37. Hipodonsia, mikrodonsia, gigi supernumerary, dan makrodonsia cenderung
berhubungan. Kjaer dkk. mengatakan bahwa banyaknya variasi kasus hipodonsia
menunjukkan etiologi yang berbeda pada tiap kasus. Teori mengatakan gigi yang terletak
dekat dengan cabang saraf perifer paling sering mengalami agenisi. Teori kedua mengatakan
agenisi gigi berhubungan dengan tidak adanya kanalis mandibularis. Teori ketiga mengatakan
bahwa pada kasus displasia ektodermal dan sindrom Ellis van Crevald, mukosa dan jaringan
penyangga gigi memiliki peran dalam etiologi hipodonsia (McNamara dkk., 2006). Dalam
laporan kasus, terdapat anomali morfologi gigi molar pertama rahang atas kiri dan kanan
berupa reduksi jumlah cusp menjadi hypocone. Hal ini berhubungan dengan hipodonsia tetapi
tidak terdapat riwayat keluarga yang mendukung dasar genetik pasien. Tidak didapatkan juga
kelainan dari mukosa dan tulang pada pemeriksaan radiografi.
Anomali gigi seperti hipodonsia dapat diakibatkan oleh berbagai faktor termasuk genentik
dan lingkungan. Meskipun kerusakan dari gen tertentu terbukti memiliki peran yang paling
penting, kelainan selama prenatal-postnatal dan faktor lingkungan dapat menyebabkan
anomali pada jumlah, dimensi, morfologi, posisi, dan struktur gigi (Borle dkk., 2012). Faktor
lingkungan yang berhubungan dengan agenisi gigi antara lain infeksi lokal pada rahang (yang
dapat merusak benih gigi), kelainan sistem endokrin, infeksi sistemik (rubella), trauma pada
regio apikal prosesus dentoalveolar (oleh karena fraktur atau akibat pencabutan gigi sulung),
bahan kimia atau obat (penggunaan thalidomid atau kemoterapi), terapi radiasi atau kelainan
saraf pada rahang (Pannu dkk., 2014). Akan tetapi, pada anamnesa tidak didapatkan etiologi
yang signifikan.
Pasien pada kasus ini membutuhkan perawatan multidisiplin. Tujuan utama dalam perawatan
kasus hipodonsia adalah untuk memperbaiki estetik dan mengembalikan funsi pengunyahan.
Mempertimbangkan pasien masih dalam usia anak-anak, waktu dan koordinasi perawatan
merupakan hal yang penting. Perawatan ortodontik dilakukan pada waktu yang signifikan,
sementara implan dan restorasi prostodontik harus ditunda hingga maturasi gingiva dan
perkembangan skeletal selesai.

Anda mungkin juga menyukai