Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Diskusi pertama modul 411 oleh kelompok B paralel 2 angkatan 2017 telah
dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 9 Mei 2019 dengan drg. Sheila Soesanto, MKG
sebagai fasilitator diskusi dan telah berjalan lancar. Diskusi ini diketuai oleh Nikita
Theodorus (040001700116) didampingi oleh Novia Norma Baharuddin (040001700117)
sebagai sekretaris dengan jumlah peserta diskusi sebanyak 17 orang. Diskusi berlangsung
selama 90 menit dilakukan pukul 08.00-09.45.
Diskusi kedua modul 411 oleh kelompok B paralel 2 angkatan 2017 telah
dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 14 Mei 2019 dengan Dr. dr. Yenny, Sp.FK
sebagai fasilitator diskusi dan telah berjalan lancar. Diskusi ini diketuai oleh Regita Noor
Hanifa (040001700125) didamping oleh Novita Dwi Nur’aini (040001700118) sebagai
sekretaris dengan jumlah peserta diskusi sebanyak 18 orang. Diskusi berlangsung selama
90 menit dilakukan pukul 10.00-11.45.
Anggota diskusi kelompok B telah berusaha untuk berpartisipasi secara aktif
dengan berpendapat, berargumentasi dan bertanya mengenai topik diskusi yang telah
diberikan oleh para fasilitator. Demikian makalah ini telah dibuat atas hasil diskusi kami
dengan bimbingan para fasilitator.

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Latar Belakang
A. Informasi Kasus
Seorang perempuan berusia 50 tahun, bekerja sebagai guru musik, datang
ke dokter gigi dengan keluhan nyeri di rongga mulutnya.
Mahasiswa diharapkan mendiskusikan :
a. Kemungkinan penyebab nyeri
b. Patofisiologi nyeri gigi
c. Mekanisme penjalaran nyeri gigi
d. Pemeriksaan yang perlu dilakukan
B. Kelanjutan Kasus
Pasien merasakan nyeri yang hebat sejak semalam dan sudah minum
parasetamol 500 mg, namun nyeri hanya berkurang sesaat saja.
Mahasiswa diharapkan mendiskusikan :
a. Farmakologi parasetamol
b. Penyebab kegagalan parasetamol
c. Menyebutkan obat terpilih untuk mengatasi nyeri beserta
farmakologinya
C. Kelanjutan Kasus
Pada pemeriksaan intraoral, diketahui pada molar pertama atas kanan
terdapat karies profund. Diagnosis klinis pasien adalah pulpitis
irreversible. Mahasiswa diharapkan mendiskusikan tindakan darurat yang
dapat dilakukan untuk mengatasi nyer :
a. Mekanisme kerja
b. Penggolongan obatnya
c. Cara/teknik pemberian
d. Jenis obat yang sering di tambahkan pada obat pertama
e. Manfaat dan kerugian pemberian obat tambahan tersebut

2
D. Kelanjutan Kasus
Penatalaksanaan gigi yang bermasalah adalah dilakukan tindakan
endodontik, namun pasien menolak, karena masalah waktu dan biaya yang
terbatas. Oleh karena itu dokter gigi menyarankan untuk dilakukan
pencabutan. Untuk mengatasi nyeri gigi yang diderita pasien sebelum
dilakukan tindakan pencabutan, dokter gigi memberikan eugenol pada
kavitas dan ditumpat sementar, selanjutnya ketika menerima resep
ibuprofen 400 mg sebanyak 10 tablet, pasien baru mengatakan bahwa dia
alergi dengan asam mefenamat.
Mahasiswa diharapkan mendiskusikan apakah yang harus dilakukan oleh
dokter gigi untuk mengurangi nyeri secara farmakologis pada pasien
tersebut.

2. Pembahasan kasus
A. Skenario A
a. Kemungkinan Penyebab Nyeri
Berdasarkan skenario, dapat diketahui bahwa perempuan berusia 50 tahun
mengalami keluhan nyeri di rongga mulutnya. Kemungkinan penyebab
nyeri yaitu :
1. Irreversible pulpitis (inflamasi gigi) menyebabkan jaringan pulpa
melepaskan prostaglandin E2 (PGE) dan bradikinin. PGE 2
menurunkan ambang rangsangan nyeri dan sensitasi reseptor nyeri
terhadap bradikinin, dan kadar PGE2 di jaringan pulpa
berhubungan dengan nyeri yang dirasakan perempuan tersebu
2. Kemungkinan perempuan tersebut sudah menopause sehingga
rentan terjadi xerostomia dan burning mouth syndro
3. Adanya plak/kalkulus dalam rongga mulut yang menyebabkan
periodontitis atau gingivitis
4. Gigi yang sudah tidak ada menyebabkan trauma oklusi
5. Adanya faktor iatrogenik yaitu kesalahan dalam tindakan dokter
gigi kepada pasien. Contoh : tambalan mengemper / berlebihan

3
6. Abses gingiva akibat impaksi makanan
7. Adanya kebiasaan buruk bruxism
8. Rangsangan dari luar yaitu menyikat gigi yang salah atau
mengunyah dengan satu sisi.
9. Terdapat ulkus traumatikus (stomatitis aftosa) pada rongga mulu
perempuam tersebut

b. Patofisiologi nyeri gigi


Disebabkan oleh aktivasi reseptor nyeri pada pulpa gigi oleh
rangsangan termal, mekanik, kimia, ataupun elektrik. Selain itu,
pengeluaran mediator inflamasi juga dapat merangsang reseptor nyeri pada
serabut yang menghantarkan rasa nyeri (serabut aferen nosiseptif). Pada
pulpa ditemukan dua serabut aferen nosiseptif, yaitu serabut C dan serabut
A-delta. Bila kedua serabut tersebut dirangsang, maka sinyal nyeri akan
dihantarkan melalui ganglion trigeminalis ke subnukleus kaudalis yang
terletak di medula pada susunan saraf pusat melalui penglepasan substansi
P dan asam amino glutamate. Selanjutnya, sinyal nyeri diteruskan ke
korteks serebral melalui jalur talamokortikal. Sinyal yang sampai di
korteks inilah yang akan dipersepsikan oleh otak sebagai rasa nyeri.

c. Mekanisme penjalaran nyeri


Mikroorganisme dapat masuk ke dalam pulpa dengan tiga cara:
Pertama invasi langsung melalui dentin, seperti karies, fraktur mahkota
atau akar, terbukanya pulpa pada waktu preparasi kavitas, atrisi, abrasi,
erosi atau retak pada mahkota. Kedua invasi melalui pembuluh darah atau
limfatik terbuka yang ada hubungannya dengan penyakit periodontal,
suatu kanal aksesori pada daerah furkasi, infeksi gusi, atau scaling gigi-
gigi. Ketiga invasi melalui darah, misalnya selama penyakit infeksius atau
bakteremia transient.
Ascending pathway : awalnya perifer pada lokasi nyeri lalu ke
primary sensory neuron diteruskan ke sumsum tulang belakang berpindah

4
ke secondary neuron menuju batang otak lalu ke cereblar cortex untuk
mengaktifkan rasa nyeri.

d. Pemeriksaan yang perlu dilakukan :


1. Menanyakan informasi umum = nama, umur, pekerjaan, pendidikan
2. Anamnesis = riwayat penyakit, keluhan, sebelumnya mengonsumsi
obat apa saja, riwayat penyakit keluarga, intensitas nyeri, kapan
nyeri timbul
3. Pemeriksaan intra oral = melihat ada karies/tidak, keadaan giginya
(abrasi/tidak), pemeriksaan gingiva ( adanya inflamasi gingiva di cek
poket menggunakan probe), halitosis, karies, gingiva, perkusi,
bruxism (ada abrasi), ulkus traumatikus di cek konsistensi gingiva
(fibrotic atau oedem), warna gingivanya.
4. Pemeriksaan ekstraoral = ada/tidaknya pembengkakan kelenjar
limfe/ kelenjar saliva, kemerahan pada kulit, gatal-gatal di daerah
mulut, palpasi kelenjar limfe, postur tubuh, konjungtiva mata, profil
wajah.
5. Pemeriksaan penunjang = radiografi bisa secara periapikal
6. Apabila ada penyakit sistemik di rujuk ke dokter spesialis terlebih
dahul

B. Skenario B
a. Farmakologi Paracetamol
Farmakodinamik :
Paracetamol memiliki efek analgesik dan antipiretik yang setara
dengan AINS. Sebagai analgesik, paracetamol menghambat prostaglandin
dengan cara berperan sebagai substrat dalam siklus peroksidase enzim
COX-1 dan COX-2 dan menghambat peroksinitrit yang merupakan
aktivator enzim COX. Sebagai antipiretik, paracetamol menghambat
peningkatan konsentrasi prostaglandin di sistem saraf pusat dan cairan
serebrospinal yang disebabkan oleh pirogen. Aktivasi COX-1 dan COX-2

5
dipengaruhi oleh kadar asam arakidonat. Ketika kadar asam arakidonat
rendah, maka prostaglandin akan dibentuk dari terutama dari COX-2,
sementara saat kadar asam arakidonat tinggi, prostaglandin akan dibentuk
terutama dari COX-1. Kadar asam arakidonat ini juga mempengaruhi kerja
paracetamol. Kadar yang rendah memiliki efek poten terhadap
paracetamol dan kadar yang tinggi akan menghambat kerja paracetamol.
Paracetamol tidak seefektif OAINS dalam meredakan nyeri pada arthritis
akut karena tidak dapat menurunkan kadar prostaglandin di cairan
sinovial. Dibandingkan dengan OAINS, paracetamol memiliki efek
samping ke sistem gastrointestinal yang lebih rendah.

Farmakokinetik :
Paracetamol diabsorbsi dengan baik di usus halus melalui transport
pasif pada pemberian oral. Pemberian dengan makanan akan sedikit
memperlambat absorpsi paracetamol. Setelah pemberian oral, konsentrasi
puncak pada plasma akan dicapai dalam waktu 10 – 60 menit pada tablet
biasa dan 60 – 120 menit untuk tablet lepas-lambat. Konsentrasi rata-rata
di plasma adalah 2,1 μg/mL dalam 6 jam dan kadarnya hanya dideteksi
dalam jumlah kecil setelah 8 jam. Paracetamol memiliki waktu paruh 1–3
jam. Paracetamol memiliki bioavailabilitas yang tinggi. Sekitar 25%
paracetamol dalam darah diikat oleh protein. Metabolisme paracetamol
terutama berada di hati melalui proses glukoronidasi dan sulfasi menjadi
konjugat non toksik. Sebagian kecil paracetamol juga dioksidasi melalui
enzim sitokrom P450 menjadi metabolit toksik berupa N-acetyl-p-benzo-
quinone imine (NAPQI).Sekitar 85% paracetamol diekskresi dalam bentuk
terkonjugasi dan bebas melalui urin dalam waktu 24 jam. 

b. Penyebab kegagalan paracetamol


Penyebab kegagalan parasetamol dalam mengurangi rasa nyeri
disebabkan karena hambatan biosintesis Prostaglandin pada obat
parasetamol hanya terjadi bila lingkungannnya rendah kadar peroksid

6
yaitu di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak
peroksid yang dihasilkan oleh leukosit, ini menyebabkan parasetamol
tidak memiliki efek anti-inflamasi, dan juga parasetamol memiliki waktu
paruh plasma yang singkat yaitu hanya 1-3 jam,yang menyebabkan nyeri
hanya berkurang sesaat saja.

c. Obat terpilih dan farmakologinya


Obat terpilihnya yaitu golongan AINS karena nyeri yang dirasakan
masih dalam golongan ringan sampai sedang. Guna obatnya untuk
menghambat siklooksigenase, terlebih menghambat COX 2.
Klasifikasi obat yang digunakan yaitu :
1. Nonselective COX inhibitor yaitu ibuprofen, naproksen, asam
mefenamat, flurbiprofen, piroksikam.
2. Preferentially COX-2 inhibitor yaitu diklofenak, meloksikam.
3. Highly selective COX-2 inhibitor yaitu celecoxib.

Farmakokinetik AINS :
AINS terdiri dari banyak golongan dengan sifat farmakokinetik
yang bermacam-macam. Umumnya diabsorpsi baik, dimetabolisme di
hepar dan ekskresi melalui urin dan empedu.
Farmakodinamik AINS :
AINS merupakan inhibitor kompetitif asam arakidonat pada enzim
siklooksigenase untuk menghambat sintesis dari prostaglandin. Semua
AINS berkhasiat analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Mekanisme
kerja AINS yaitu dengan merusak membran sel, fosfolipidnya diurai oleh
Fosfolipase A2 sebagai efektor primer lalu menghasilkan asam arakidonat
sebagai second messanger untuk mengeluarkan COX 1 dan COX 2. Fungsi
obat AINS untuk menghambat COX 1 dan COX 2 untuk tidak
menghasilkan prostaglandin. COX 1 mengatur fungsi ginjal, aktivitas
platelet. COX 2 mengatur inflamasi, nyeri, demam dan fungsi ginjal,
vaskularisasi, dan perbaikan jaringan. Efek samping dari obat ini yang

7
utama yaitu dapat mengiritasi saluran cerna, sehingga menimbulkan rasa
mual, muntah, bisa juga menyebabkan hematologik, asthma, dan gagal
ginjal.

C. Skenario C
a. Mekanisme kerja
Mekanisme kerja anastesi lokal yaitu dengan memblok kanal ion
natrius pada sisi dalam. Obat yang bersifat kation akan melepas protonnya
dan menjadi obat non-ion sehingga dapat masuk ke membran sel.
Selanjutnya di sitoplasma obatnya akan mengikat proton kembali dan
berikatan dengan kanal ion sehingga tidak ada aliran ion Na yang masuk
dan tidak terjadi potensial aksi akibat rangsang sensoriknya tidak dapat di
teruskan ke susunan saraf pusat (SSP).

b. Penggolangan Obat
Obat anestesi lokal terbagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan ester
yang dimetabolisme oleh enzim pseudo-kolineterase diplasma, dan
golongan amida yang melalui degradasi enzimatis dihati. Ester kurang
stabil mudah dimetabolisme dari pada amida dan juga muda rusak dari
pada amida, sedangkan amida jarang terjadi alergi dari pada ester.
- Contoh Ester : Procaine, Cocaine, Tetracaine, Benzocaine
- Contoh Amida : Lidocaine, Prilocaine, Mepivacaine, Bupivacaine

c. Cara/teknik pemberian
Cara pemberian anastesi lokal yaitu langsung pada target organ (serabut
saraf sensorik yang akan dibius). Teknik pemberian :
- Topikal (mukosa hidung, rongga mulut, luka)
- Infiltrasi (injeksi ke sekitar saraf tepi)
- Blok (injeksi ke batang saraf)
- Spinal (injeksi ke ruang epidural/subarachnoid), tetapi tidak digunakan
oleh dokter gigi

8
d. Obat yang sering ditambahkan pada obat pertama
Jenis obat yang sering ditambahkan pada obat anestesi lokal adalah
obat - obat adrenergik. Salah satu obat adrenergik yang dapat digunakan
adalah Fenilefrin, bekerja pada reseptor α1 sebagai vasokonstriktor.
penambahan vasokonstriktor pada obat anestesi lokal dapat meningkatkan
uptake dan memperpanjang masa kerja obat
- Epinefrin : untuk menambah masa kerja
- α1 vasokontriksi : agar masa kerja lebih lama
- α2 agonis (klonidin) : untuk menghambat Norepinerphine (tidak
digunakan pada anastesi gigi)
- Klonidin memiliki efek sinergistik dengan obat anestesi lokal.
Klonidin yang diberikan pada analgesia spinal menghasilkan efek
analgesia yang sangat efektif, dimana blokade sensorik lebih diperpanjang

e. Manfaat dan kerugian pemberian obat tambahan


Manfaat :
- Meningkatkan uptake anastesi lokal oleh serabut saraf sehingga menambah
masa kerja, mengurangi jumlah anastesi lokal yang disuntikkan.
- Kadar obat dalam plasma berkurang karena absorpsi ke pembuluh darah
seimbang dengan metabolisme dan ekskresinya sehingga resiko toksisitas
berkurang.
Efek samping vasokontriksi :
- Pada sistem saraf pusat : sedasi, gangguan penglihatan dan pendengaran,
gelisah
paling parah : Hipoksia dan kerusakan jaringan
Kombinasi anastesi local dan vasokontriksi :
- Tidak baik pada ujung-ujung bagian tubuh karena sirkulasinya kurang
Contoh : cantengan bisa jadi gangren
- Kontraindikasi untuk penderita hipertensi karena bisa menyebabkan stroke

9
D. Yang dilakukan dokter gigi untuk mengurangi nyeri secara
famakologis pada pasien tersebut :
1. Memberi paracetamol
Efek anti inflamasi sangat sedikit, sehingga bisa di kombinasikan dengan
steroid.
2. Eugenol bersifat antiseptik ringan. Dalam kedokteran gigi dipakai
sebagai sedatif, bahan tambal sementara, semen saluran akar, dan
sementasi sementara. Jika terjadi alergi bisa diberikan campuran obat dari
golongan lain, misalnya paracetamol (anti analgesik) dan kortikosteroid
(anti inflamasi)
a. Kortikosteroid merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal.
Kelenjar adrenal teridiri dari bagian medulla (menghasilkan
adrenal/epinefrin) dan korteks. Kortikosteroid biasa disebut obat dewa
karena mempunyai kemampuan yang bagus tetapi juga mempunyai efek
samping yang besar.
b. Farmakokinetik kortikosteroid
- Absorbsi : pada saluran cerna
- Metabolisme : di hepar
- Ekskresi : melalui urin
Anti inflamasi yang baik menghambat COX-2
c. Efek samping kortikosteroid :
- Osteoporosis
- Hiperglikemia
- Cushing like syndrome : redistribusi lemak tubuh (moon face, buffalo
hump)
- Body hair growth meningkat
- Ulkus peptikun
- Hipertensi, hipokalemi
- Katarak pada mata
- Salt retaining effect
- efek pada SSP (perubahan tingkah laku)

10
d. Kortikosteroid terbagi atas dua bagian yaitu glukokortikoid dan
mineralokortikoid
- Mineralokortikoid berperan dalam mengatur volume cairan dan
konsentrasi elektrolit di dalam tubuh terutama Na+ dan K+
Mineralokortikoid berperan pada metabolisme Na dan K. Salah satu efek
samping dari mineralokortikoid adalah hipertensi karena adanya retensi
natrium dan air yang menyebabkan volume darah bertambah dan
mengakibatkan tekanan darah meningkat.
- Glukokortikoid berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein, (kortisol) mengatur metabolisme normal dan daya tahan
terhadap stress.
Efek metabolik glukokortikoid :
• Glukoneogenesis -> gula darah meningkat
• Lipogenesis dan lipolisis -> penimbunan lemak di area tertentu
(wajah,punggung),
• Katabolisme protein di otot
• katabolisme tulang -> osteoporosis
• Anak-anak : pertumbuhan terhambat
Steroid yang digunakan : prednisone -> anti inflamasi cukup baik, bamun
tidak terlalu kuat
e. Pemakaian steroid mengikuti pola sirkandian :
Ritme sirkadian adalah proses biologis yang berpatokan pada siklus
24 jam atau siklus pagi-malam yang mempengaruhi sistem fungsional
tubuh manusia. Jam sirkadian otak mengatur tidur, pola makan, suhu
tubuh, produksi hormon, regulasi level glukosa dan insulin, produksi urin,
regenerasi sel, dan aktivitas biologis lainnya. Pada pagi hari hormon
kortisol naik, pada malam hari hormon tersebut turun.
f. Pemberian kortikosteroid jangka panjang
Pemberian kortikosteroid jangka panjang menekan HPA ( hipotalamo
pituitaria adrenal) axis sehingga terjadi penghentian mendadak yang

11
menyebabkan insufiensi adrenal akut (fatal) oleh karena itu penurunan
dosis harus dilakukan secara bertahap (tapering)

12
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. https://www.alomedika.com/obat/analgesik/analgesik-non-narkotik-
antipiretik/paracetamol/farmakologi
2. http://eprints.undip.ac.id/47884/3/BAB_II_KTI_-_Taufiqurachman.pdf
3. Bagian Farmakologi Universitas Indonesia. 2007. Farmakologi dan Terapi.

Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI.

13

Anda mungkin juga menyukai