Anda di halaman 1dari 13

RESUME

BIDANG ILMU PERIODONSIA

DESENSITISASI

Supervisor:
drg. Mahindra Awwaludin

Disusun Oleh:
Susanti Nufadhila
G4B017009

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO

2019
BAB I

PENDAHULUAN

Hipersensitivitas dentin merupakan salah satu masalah gigi yang paling


sering dijumpai. Hipersensitivitas dentin ditandai sebagai nyeri akibat dentin yang
terbuka jika diberikan stimulus termal, taktil, osmotik dan mekanis, seperti
menyikat gigi, makan makanan manis dan asam, dan minuman dingin atau panas.
Hal ini menyebabkan pasien merasa nyeri tajam yang singkat yang dikenal dengan
hipersensitivitas dentin. Rasa sakit tersebut akan mempengaruhi kenyamanan dan
kesehatan rongga mulut dan apabila tidak diatasi akan menimbulkan defisiensi
nutrisi pada penderita (Carini dkk., 2007). Sekitar 8% sampai 30% orang dewasa
memiliki hipersensitivitas dentin dan usia yang paling sering terkena adalah antara
20 dan 30 tahun. Gigi yang paling sering terkena adalah kaninus, premolar
pertama, insisivus, premolar kedua dan molar pada daerah cervico buccal.
(Kielbassa dkk., 2002)
Hipersensitivitas dentin dapat diatasi dengan produk terapeutik dengan
cara profesional atau dapat diaplikasikan sendiri. Pasien dengan tingkat
sensitivitas yang rendah atau sedang, dapat diberikan pasta gigi atau obat kumur
yang mengandung substansi yang mampu menutup tubulus dentin (garam
strontium, oksalat atau agen berfluoridasi) atau agen yang mampu memodulasi
rangsangan saraf (garam kalium). Sedangkan pada kasus hipersensitivitas dentin
yang berat, dapat diberikan varnish berfluoridasi konsentrasi tinggi. Pada kasus
ekstrim, pengobatan invasif dapat diputuskan dengan penempatan mahkota, bedah
periodontal, atau ekstraksi gigi (Camila dkk., 2006).
Bahan-bahan dalam bidang kedokteran gigi selalu mengalami
perkembangan, diantaranya yaitu bahan agen topikal aplikasi fluoride untuk
remineralisasi gigi. Aplikasi bahan ini efektif untuk mencegah karies gigi, dan
remineralisasi gigi (Prabhakar dkk., 2009). Salah satu agen remineralisasi yang
relatif baru yaitu tooth mousse yang mengandung kombinasi unik dari casein
phosphopeptide (CPP) dan amorphous calcium phosphate (ACP) (El Sayad dkk.,
2009). Tooth mousse merupakan suatu agen pelapis topikal gigi yang mempunyai
peran sebagai agen desensitisasi, selain itu dapat bermanfaat untuk mengatasi
hipersensitivitas dentin, menguatkan gigi, melindungi gigi, serta agen anti-karies.
Kandungan kasein dalam tooth mousse dapat berinteraksi dengan kalsium dan
fosfat sehingga bersifat antikariogenik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
CPP-ACP dapat mengurangi erosi dan mampu meningkatkan kekerasan mikro
pada email (Al-Batayneh dkk., 2009).
BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
1. Nama : Nn. Endang
2. Usia : 24 tahun
3. Alamat : Purwokerto

B. Pemeriksaan Subyektif
1. Chief complaint (CC) : pasien datang dengan keluhan gigi depan
atas terasa ngilu saat makan dan minum yang dingin setelah melakukan
pelepasan behel satu minggu yang lalu
2. Present illness (PI) : tidak ada keluhan lain
3. Past dental history (PDH) : pasien pernah melakukan pembersihan
karang gigi, pemasangan behel dan penambalan
4. Past medical history (PMH) : tidak ada kelainan
5. Family history (FH) : tidak ada kelainan.
6. Social history (SH) : pasien seorang mahasiswa

C. Pemeriksaan Obyektif
1. Vital sign
a. Tekanan darah : 120/80 mmHg (normal)
b. Nadi : 88x/ menit (normal)
c. Respirasi : 18x/menit (normal)
d. Suhu : 37,50C
2. Pemeriksaan ekstraoral dan intraoral
a. Ekstraoral
1) Wajah : Simetris
2) Warna : Normal
3) Mata
a) Kesejajaran posisi : Isokor
b) Warna sclera : Normal
c) Warna kulit sekitar: Normal
d) Warna kelopak mata bagian dalam : merah (tidak pucat)
4) Limfonodi : Tidak ada kelainan
5) Kulit sekitar mulut : normal
b. Intraoral
a. Visual Assesment:
Gigi 12,11,21,22,23 hipersensitif
b. Response to cold air : (+)
D. Diagnosa
Dentin hipersensitivity
Pasien dengan dentin hipersensitivity akan merasakan ngilu yang cepat,
tajam, dan hilang ketika stimulus di hilangkan pada area gigi yang mengalami
hipersensitif. Respon terhadap udara dan dingin positif dan nyeri hilang
ketika stimulus dihilangkan.
Diagnosa banding:
1. Gigi fraktur
2. Restorasi yang mengalami fraktur
3. Sensitif setelah perawatan restorasi
4. Trauma oklusi
5. Karies gigi
6. Sindrom gigi retak
E. Rencana Perawatan
Rencana perawatan yang dilakukan yaitu edukasi mengenai diagnosa dan
etiologi dentin hipersensitif sehingga dapat menimbulkan nyeri ketika terkena
stimulus. Aplikasi bahan desensitisasi dengan kandungan CPP-ACP (tooth
mousse).
F. Prosedur Perawatan
1. Keseluruhan gigi pasien diberikan stimulus angin dari air syringe untuk
mengetahui response to cold air dan pasien diinstruksikan untuk
menentukan lokasi serta rasa ngilu yang dirasakan
2. Permukaan gigi dibersihkan dan diisolasi dengan cotton roll kemudian
dikeringkan.
3. Aplikasi bahan desensitisasi (tooth mousse) pada permukaan gigi yang
mengalami dentin hipersensitifitas menggunakan cotton pellet atau
mikrobrush dan biarkan minimal selama 3 menit. Ulangi dua sampai tiga
kali.
4. Instruksikan pasien untuk kontrol 1 minggu untuk mengamati progress
perawatan.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hipersensitivitas Dentin
Hipersensitif dentin adalah kondisi klinis gigi yang relatif umum pada
gigi permanen yang disebabkan oleh dentin yang terpapar akibat hilangnya
enamel atau sementum. (Fedi dkk., 2012). Hipersensitif dentin ditandai
dengan rasa sakit pendek yang timbul dari dentin yang terpapar dan biasanya
karena rangsangan thermal, uap, taktil, osmotik atau kimia dan tidak
dihubungkan dengan kerusakan gigi dan patologinya (Suryono, 2014).
Manifestasinya bisa secara fisik dan secara psikologis tidak nyaman bagi
pasien dan dapat didefinisikan sebagai nyeri akut durasi pendek yang
disebabkan oleh terbukanya tubulus dentin pada permukaan dentin.
Hipersensitif dentin dapat terjadi pada daerah gigi manapun, tetapi daerah
yang paling sensitif adalah daerah servikal dan permukaan akar gigi. Secara
makroskopis tidak terlihat adanya perbedaan antara dentin yang hipersensitif
dengan dentin yang tidak sensitif. Secara histologis dentin yang sensitif
menunjukkan adanya pelebaran tubulus dentin dua kali lebih lebar
dibandingkan tubulus pada dentin normal (Walton dan Torabinejad, 2008).
Hipersensitif dentin mempunyai beberapa gejala yang sama dengan
penyakit gingiva dan karies gigi. Oleh karena itu, diagnosa dan penyebab
hipersensitif dentin harus ditegakkan dengan tepat agar perawatan yang
diberikan memberikan efek yang tepat (Prahasanti, 2001). Hipersensitivitas
dentin dapat diatasi dengan produk terapeutik dengan cara profesional atau
dapat diaplikasikan sendiri. Hipersensitivitas dentin dapat diatasi dengan
produk terapeutik dengan cara profesional atau dapat diaplikasikan sendiri
atau agen yang mampu memodulasi rangsangan saraf. Pada kasus
hipersensitivitas dentin yang berat, dapat diberikan varnish berfluoridasi
konsentrasi tinggi. Pada kasus ekstrim, pengobatan invasif dapat diputuskan
dengan penempatan mahkota, bedah periodontal, atau ekstraksi gigi (Walters,
2005).
B. Mekanisme Hipersensitivitas Dentin
Teori-teori terjadinya hipersensitivitas dentin yaitu:
1. Teori neural
Teori neural menjelaskan bahwa rangsangan termal atau mekanik,
secara langsung mempengaruhi ujung saraf dalam tubulus dentin melalui
komunikasi langsung dengan ujung saraf pulpa sehingga mengacu pada
aktivasi ujung saraf yang terletak di dalam tubulus dentin. Sinyal saraf ini
dialirkan sepanjang serabut saraf aferen primer di dalam pulpa menuju
percabangan saraf dental dan kemudian diteruskan ke dalam otak. Teori
neural menganggap bahwa seluruh badan tubulus mengandung ujung-
ujung saraf bebas. Pulpa gigi diinervasi dengan berbagai macam serabut
saraf. hanya beberapa saraf dari 1000 sampai 2000 saraf ditemukan pada
setiap gigi yang mencapai dentin. Di antara saraf tersebut, sekitar 75%
adalah nonmielin dan 25% bermielin. Saraf bermielin diklasifikasikan
sebagai serabut A-alfa, beta, dan delta. Sebagian besar saraf bermielin
dianggap bertanggung jawab untuk terjadinya rasa sakit yang singkat,
tajam, terlokalisir dalam kaitannya dengan sensitifitas dentin (Bregenholtz,
2003).
2. Teori transduksi odontoblastik
Teori transduser odontoblas menjelaskan bahwa odontoblas bertindak
sebagai sel reseptor, dan mengirimkan impuls melalui sambungan sinapsis
ke nervus yang menyebabkan sensasi nyeri dari ujung saraf yang terletak
di perbatasan pulpodentin. Teori ini mengasumsikan bahwa odontoblas
memanjang ke perifer. Awalnya stimulus mengeksitasi badan sel
odontoblas. Membran odontoblas bisa berdekatan dengan ujung-ujung
saraf dalam pulpa atau di dalam tubulus dentin dan odontoblas akan
mentransmisikan sinyal eksitasi dari ujung-ujung saraf terkait. Namun,
bukti terhadap teori mekanisme transduser odontoblast masih defisien dan
belum meyakinkan karena mayoritas penelitian telah menunjukkan bahwa
odontoblas adalah sel-sel pembentuk matriks dan mereka tidak dianggap
sebagai sel-sel yang berekspansi, dan tidak ada sinapsis yang telah
diungkapkan antara odontoblas dan saraf (Addy, 2002).
3. Teori hidrodinamik
Menurut teori ini, stimulus menyebabkan perpindahan cairan yang
berada di dalam tubulus dentin. Perpindahan cairan ini bisa terjadi dengan
bergerak ke arah luar atau bergerak ke arah dalam dan gangguan mekanis
ini akan mengaktifkan ujung saraf yang terdapat pada pulpa atau dentin.
Ketika permukaan dentin terpapar rangsangan termal, kimia, taktil atau
evaporatif, aliran cairan dalam tubulus dentin akan meningkat. Gerakan
cairan ini dalam tubulus dentin menyebabkan perubahan tekanan dan
merangsang reseptor saraf yang sensitif terhadap tekanan di seluruh dentin.
Jadi respon saraf pulpa yang terangsang, terutama dalam serat intradentin,
akan tergantung pada intensitas rangsangan dalam produksi rasa sakit
(Schmidlin dkk., 2002).
Teori hidrodinamik yang disampaikan Brännström dan Astron (1964)
yaitu rasa nyeri terjadi akibat pergerakan cairan di dalam tubulus dentin.
Pergerakan cairan di dalam tubulus dentin diakibatkan adanya rangsangan
yang mengakibatkan perubahan tekanan di dalam dentin dan mengaktifkan
serabut syaraf tipe A yang ada disekeliling odontoblas atau syaraf di dalam
tubulus dentin, yang kemudian direspon sebagai rasa nyeri. Aliran
hidrodinamik ini akan meningkat bila ada pemicu seperti perubahan
temperatur (panas atau dingin), kelembaban, tekanan udara dan tekanan
osmotik atau tekanan yang terjadi di gigi (Orchardson dan Gilam, 2006).

Gambar 1. Teori hipersensitivitas dentin (A) neural, (B)


tranduksi odontoblastik, (C) hidrodinamik
C. Desensitisasi
Desensitisasi merupakan perawatan untuk mengatasi kondisi dentin yang
hipersensitif akibat terbukanya tubuli dentin (Carranza dkk., 2006). Menurut
Giancio (2000), terdapat dua mekanisme dari desensitisasi, yaitu.
1. Menyumbat atau memperkecil diameter tubulus dentin
Mekanisme penyumbatan atau pengecilan tubulus dentin dikarenakan
pembentukan dentin sekunder di sepanjang dinding tubulus dentin,
pengendapan protein pada dinding tubulus dentin dan pembentukan
Kristal-kristal pada tubulus dentin. Penyumbatan atau pengecilan tubulus
dentin akan membuat terhambatnya gerakan cairan tubulus dentin yang
diakibatkan rangsangan.
2. Mengurangi eksitabilitas saraf-saraf interdentin
Pengurangan eksitabilitas saraf interdentin, kepekaan saraf tersebut
terhadap perangsang akan berkurang. Bahan desensitisasi dengan kerja
yang demikian mempengaruhi saraf-saraf interdentin secara langsung
maupun tidak langsung.
Hipersensitivitas dentin dapat mereda tanpa adanya perawatan. Hal ini
terjadi karena permeabilitas gigi menurun secara spontan akibat terjadinya
proses alamiah di rongga mulut namun bukan berarti hipersensitivitas tidak
membutuhkan perawatan. Menurut Gangarosa dan Park (1978),
hipersensitivitas dentin memerlukan perawatan dengan menggunakan bahan
desensitisasi dengan syarat sebagai berikut:
1. Tidak mengiritasi pulpa
2. Relatif tidak menimbulkan rasa sakit
3. Harus memberikan efek terapeutik yang cukup lama
4. Bereaksi cepat
5. Mempunyai waktu terapeutik yang konsisten
6. Tidak menimbulkan perubahan warna gigi
D. Bahan Desentisisasi
Menurut Pesevska dkk. (2009), bahan yang digunakan sebagai
desensitisasi dibagi menjadi dua yaitu.
1. Bahan desensitisasi di klinik
a. Fluorida: bahan desensitisasi berbentuk pasta dengan campuran natrium
fluorida, kaolin dan gliserin. Cara kerja nya dengan menyumbat tubulus
dentin.
b. Duraphat: bahan desensitisasi berbentuk pernis yang mengandung 50
mg natrium fluoride.
c. Fluocal: bahan desensitisasi berbentuk cairan yang mengandung 1 gr
sodium fluorida.
d. Kalsium hidroksida: bahan desensitisasi yang mempunyai efek
mengurangi eksitabilitas saraf.
2. Bahan desensitisasi untuk dipakai pasien di rumah
a. Pasta gigi dengan aksi kerja menyumbat tubulus dentin
Bahan desensitisasi yang terkandung dalam pasta tersebut ada yang
berupa stronsium klorida (Sensodyne), natrium monofluoroposfat
(Colgate) dan formaldehid (Thermodent).
b. Pasta gigi dengan aksi kerja mengurangi ekstabilitas saraf
Pasta gigi mengandung kalium nitrat (Senguel)
c. Pasta gigi dengan aksi ganda
Sensodyne-F mengandung kalium nitrat dan natrium monofluropospat.
E. Cara Pemakaian Bahan Desensitisasi
Menurut Porto dkk. (2009), cara pemakaian bahan desensitisasi di klinik
yaitu sebagai berikut:
1. Persiapan alat dan bahan
2. Pemakaian sarung tangan dan masker
3. Tentukan elemen gigi yang mengalami hipersensitivitas dentin
4. Sebelum pemakaian bahan desensitisasi maka gigi terlebih dahulu harus
dilakukan pembersihan dari debris, plak, dan kalkulus
5. Isolasi gigi dan keringkan permukaan gigi
6. Aplikasikan bahan desensitisasi. Aplikasi bahan desensitasi biasa berbeda-
beda untuk setiap bahannya.
a. Bahan Pasta
Pasta digosokkan ke permukaan akar gigi yang sensitif dengan
burnisher atau brush, selama 1-2 menit kemudian dibilas dengan air
hangat atau larutan salin
b. Fluocal atau Cairan
Pengaplikasian menggunakan cotton pellet fluokal dioleskan ke bagian
gigi selama 1-3 menit
c. Kalsium Hidroksida
Kalsium hidroksida diaplikasikan ke permukaan akar gigi yang
hipersensitif, kemudian ditutup dengan pembalut periodontal selama
satu minggu
7. Aplikasi bahan bisa diulangi 2-3 kali.
8. Pemberian edukasi kepada pasien tentang cara menyikat gigi yang benar
9. Penjadwalan kunjungan berikutnya (1 minggu) untuk dilakukan evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA

Brännström, M., Astrom, A., 1972, The Hydrodynamics Of The Dentine; Its
Possible Relationship To Dentinal Pain, Int Dent J, 22(2): 219-227.
Bregenholtz, G., Bindslev, P.H., Reit, C., 2003, Text Book of Endodontology,
Munskgaard, Blackwell Pub.
Camila, 2006, Efficacy of Gluma Desensitizer on dentin hypersensitivity in
periodontal treated patients, Braz Oral Res
Carranza, F.A., Newman, M.G., Takei, H.H., Klokkevold, P.R., 2006, Clinical
Periodontology 10th edition, Saunders
Fedi, P.F., Vernino, A.R., Gray, J.L., 2012, Silabus Periodonti, Jakarta, EGC.
Gangarosa, L.P., Park N.H., 1978, Practicial Consideration in Iontophoresis of
Flouride for Desensitizing Dentin, J Prosthec Dent, 39(2): 173-177.
Giancio, S.G., 2000, Chemical Agents: Plaque Control, Calculus Reduction and
Treatment of Dentinal Hypersensitivity, Periodontology, 75 - 86.
Kelbassa, A.M., 2002, Dentine Hypersensitivity: Simple Steps for Everyday
Diagnosis and Management, Internasiinal Dental Journal
Orchardson, R., Gillam, D.G., 2006, Managing Dentin Hypersensitivity, J Am
Dent Assoc, 137: 990-8.
Pesevska, S., Nakova, M., Ivanovski, K., 2009, Dentinal Hypersensitivity
Following Scaling and Root Planing: Comparison of Low-Level Laser and
Topical Fluoride Treatment, Lasers in Medical Science, 1007-10.
Porto, I.C., Andrade, A.K.., Montes, M.A., 2009, Diagnosis and Treatment of
Dentinal Hypersensitivity, Journal of Oral Sciene, 51(3): 323-332.
Prahasanti, C., 2001, Penanganan Masalah Hipersensitif Dentin (Management of
Hypersensitive Dentine), Dental Journal, 34(3):139.
Suryono, 2014, Bedah Dasar Periodonsia, Deepublish, Yogyakarta.
Walters, P.A., 2005, Dentinal Hypersensitivity: A Review, J Contemp Dent Pract,
(6)2: 107-17.
Walton, R,E., Torabinejad, M., 2008, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai