DESENSITISASI
DPJP :
drg. Rinawati Satrio, M.Si
Disusun oleh :
Dewi Sartieka Putri, S.KG
G4B019003
Komponen
Pembelajaran Resume Diskusi Keterangan
Daring
Nilai
Tanda Tangan
DPJP
drg. Rinawati Satrio, M.Si
A. Hipersensitivitas Dentin
Hipersensitivitas merupakan respon yang berlebihan terhadap rangsangan
sensorik, yang biasanya tidak menyebabkan respon rasa sakit pada gigi
normal. Ciri khas hipersensitif dentin adalah rasa sakit yang diderita bersifat
akut, tajam tapi singkat pada dentin yang tidak terlindung email. Reaksi
tersebut merupakan respons pulpa terhadap rangsang termal, taktil, osmotik
atau kimia tanpa keterlibatan bakteri. Rasa ngilu atau nyeri yang dialami pada
umumnya tajam dengan durasi singkat. Hipersensitivitas dentin merupakan
masalah yang umum ditemui sehari-hari, dapat ditemui baik pada laki-laki
maupun perempuan utamanya yang sudah berusia lanjut (Mattulada, 2015).
Hipersensitivitas dentin banyak terjadi pada wanita dan menurut sebuah studi
epidemologi, prevalensi kejadiannya berkisar antara 4% - 74% di dunia,
dengan jumlah 27% di Indonesia (Shetty, 2013).
Ketidaknyamanan atau rasa ngilu yang yang dialami pada kasus dentin
hipersensitif terjadi karena adanya permukaan yang tidak terlindungi oleh
email di mahkota atau sementum di daerah akar gigi. Hipersensitivitas dentin
seringkali terjadi pada gigi permanen, terutama kaninus dan premolar karena
hilangnya lapisan email dan atau sementum (Mulya, 2016). Rasa ngilu dapat
pula disebabkan karena adanya kebocoran tepi pada restorasi yang cacat,
sindroma gigi retak dan kelainan. Untuk itu perlu pemeriksaan yang cermat
agar diperoleh diagnosis yang tepat sehingga perawatan juga tepat
(Mattulada, 2015).
Berbagai usaha dan bahan yang dapat digunakan untuk mengatasi
keluhan tersebut. Prinsip dalam mengatasi keluhan ini adalah mengatur
aktivitas nervus intradentalis atau menutup tubulus dentinalis. Pada kasus
hipersensitif dentin karena ada lesi kavitas, baik yang disebabkan oleh karies
atau non karies; perlu dilakukan restorasi. Bila keluhan tersebut tanpa kavitas,
dapat diatasi dengan penggunaan agen desensitisasi, misalnya larutan sodium
fluoride dengan bantuan alat khusus, pasta gigi yang mengandung fluor,
kalsium fosfosilikat (Mattulada, 2015).
B. Etiologi Hipersensitivitas Dentin
Penyebab rasa nyeri dapat di klasifikasikan sebagai akibat dari ada
ataupun tidaknya kavitas. Nyeri tanpa kavitas biasanya diakibatkan oleh
terjadinya abrasi, atrisi, erosi, abfraksi maupun resesi gingiva. Rasa nyeri juga
dapat terjadi pascaperawatan bleaching, scaling dan root planing, restorasi
yang cacat, sindroma gigi retak serta penggunaan bur tanpa air (Mattulada,
2015). Hipersensitivitas dentin terutama ditemukan pada kasus resesi gingiva
yang menyebabkan terpaparnya permukaan akar terhadap berbagai
rangsangan panas, dingin, asam,manis maupun udara (Barlon dan Manson,
2011).
Karies gigi merupakan penyakit infeksi mulut yang multi faktor, yang
dapat ditransmisi karena adanya interaksi antara floramulut/bakteri kariogenik
(biofilm) dengan diet karbohidrat yang terfermentasi di permukaan gigi dalam
jangka waktu yang lama. Aktivitas tersebut menyebabkan demineralisasi
lokal, mengakibatkan adanya struktur gigi yang hilang. Demineralisasi fase
inorganik dan denaturasi, serta degradasi fase organik menyebabkan
terbentuknya kavitas di dentin. Pulpa yang mengalami iritasi lalu
menimbulkanrasatidaknyaman/ngilutapicepatpulih setelah iritannya
dihilangkan, didiagnosis sebagai pulpitis reversibel. Penyebabnya antara lain
karies, dentin yang terbuka, perawatan dental dan restorasi yang cacat
(Mattulada, 2015).
Abrasi adalah keausan di permukaan gigi, yang umumnya terjadi di
bagian servikal permukaan bukal/fasial yang disebabkan adanya gesekan
benda-benda asing, misalnya sikat gigi yang kasar, pasta gigi yang abrasif dan
lain-lain. (Eidson, 2013) Abfraksi secara klinis mirip abrasi, merupakan
kerusakan di bagian servikal gigi yang disebabkan oleh kekuatan oklusi
eksentrik yang menyebabkan terjadi cekungan yang tajam,biasanyakarena
pasien mengalami bruksisma atau maloklusi. Atrisi adalah keausan di
permukaan insisal atau oklusal gigi karena faktor mekanis sebagai akibat
terjadi pergerakan fungsional atau parafungsional dari mandibula. Erosi
adalah hilangnya struktur permukaan gigi karena faktor kimia, misalnya
konsumsi makanan/ minuman asam yang menyebabkan penurunan pH saliva
di dalam rongga mulut sehingga terjadi demineralisasi email yang
menyebabkan terpaparnya dentin. Erosi dapat pula dikatakan sebagai
demineralisasi sebagian email atau dentin akibat asam yang berasal dari
ekstrinsik maupun intrinsik, dan secara klinis dapat berkombinasi dengan
abrasi atau abfraksi. Abrasi, abfraksi, atrisi maupun erosi tidak melibatkan
bakteri namun pada kasus yang cukup parah maka respon pulpa memberi
reaksi serupa pulpitis reversibel. Hipersensitif dentin dikatakan sebagai nyeri
pada gigi yang menyebabkan respon pulpa vital yang berlebihan terhadap
berbagai stimulasi. Hal ini terjadi karena dentin terbuka terhadap lingkungan
mulut yang menyebabkan rasa tidak nyaman bagi seseorang (Ritter, 2013).
C. Mekanisme terjadinya Hipersensitivitas Dentin
Beberapa teori dikembangkan untuk memahami bagaimana perjalanan
rangsangan yang dikirim ke otak sehingga diterima sebagai rasa ngilu, nyeri,
atau sakit misalnya teori transdusi, teori modulasi, teori vibrasi dan kontrol
“pintu gerbang” serta teori hidrodinamik. Transmisi rangsang dari dentin
yang terbuka ke akhiran saraf yang berlokasi di dalam pulpa gigi melalui
prosesus odontoblas merupakan dasar teori mekanisme hidrodinamik. Teori
menyatakan jika terjadi kehilangan email atau sementum maka tubulus
dentinalis terbuka ke rongga mulut. Adanya rangsang tertentu menyebabkan
pergerakan cairan di dalam tubulus, secara tidak langsung akan merangsang
akhiran saraf di dalam pulpa yang akan diteruskan ke otak dan dipersepsi
sebagai ngilu, nyeri atau sakit (Perdigão, 2013).
Beberapa teori menjelaskan tentang proses terjadinya hipersentitif dentin,
namun yang paling banyak diterima adalah teori hidrodinamik. Menurut teori
hidrodinamik, tubulus dentin yang terbuka dan terpapar oleh suatu stimulus,
seperti perubahan temperatur dan tekanan osmotik akan menyebabkan
pergerakan cairan intratubuler. Hal ini dapat menstimulasi baroreseptor yang
selanjutnya mempengaruhi saraf A delta dan menimbulkan nyeri tajam yang
singkat (Perdigão, 2013).
1. Teori terjadinya Hipersensitivitas Dentin
a. Teori transduser dengan odontoblas
Transduser dengan odontoblas adalah mekanisme yang diajukan
oleh Rappet et al., yang menyatakan bahwa odontoblas bertindak
sebagai reseptor sel, perubahan yang tidak langsung dalam potensi
membran odontoblas melalui sambungan sinaptik dengan saraf. Hal ini
dapat mengakibatkan rasa sakit dari ujung-ujung saraf yang terletak di
batas pulpodentinal, namun bukti dari teori transduser dengan
odontoblas mekanisme ini kurang dan tidak meyakinkan (Perdigão,
2013).
b. Teori hidrodinamik
Sakit yang disebabkan oleh pergerakan cairan di dalam tubulus
dentin, dapat dijelaskan dan dapat diterima secara luas yaitu teori
hidrodinamik yang diusulkan oleh Brannstrom dan Astron pada tahun
1964. Menurut teori ini, lesi melibatkan enamel dan hilangnya
sementum didaerah servikal dan akibatnya tubulus dentin terbuka di
rongga mulut, di bawah rangsangan tertentu, yang memungkinkan
pergerakan cairan di dalam tubulus dentin secara tidak langsung
merangsang ektremitas dari saraf pulpa menyebabkan sensasi rasa sakit.
Teori ini juga menyimpulkan bahwa hipersensitif dentin dimulai dari
dentin yang terpapar mengalami rangsangan, lalu cairan tubulus
bergerak menuju reseptor syaraf perifer pada pulpa yang kemudian
melakukan pengiriman rangsangan ke otak dan akhirnya timbul
persepsi rasa sakit (Perdigão, 2013).
2. Kelainan yang memungkinkan terjadinya Hipersensitivitas Dentin
a. Resesi gingiva
Resesi gingiva adalah penurunan tinggi tepi gingiva/marginal
gingiva ke arah apikal hingga ke bawah Batas Sementum Enamel
(BSE). Resesi gingiva merupakan penyebab hipersensitif dentin yang
paling sering terjadi. Resesi gingiva bisa bersifat lokalisata ataupun
generalisata. Prevalensi terjadinya resesi gingiva pada usia tua lebih
besar dibandingkan dengan usia muda. Jika dihubungkan dengan jenis
kelamin, maka frekuensi terjadinya resesi gingiva lebih sering pada pria
dibandingkan pada wanita (Ritter, 2013).
Etiologi resesi gingiva belum diketahui dengan pasti, akan tetapi
sering dikaitkan dengan faktor-faktor seperti menyikat gigi, posisi gigi
yang tidak benar, perlekatan frenulum yang tinggi, kebiasaan buruk,
erosi karena bahan makanan serta faktor iatrogenik yang berhubungan
dengan prosedur restorasi gigi seperti pembuatan restorasi pada daerah
servikal (Shinta, 2018)
b. Penyakit periodontal
Prosedur scalling dan root planning dapat menyebabkan hilangnya
perlekatan jaringan periodontal dan terkikisnya sementum. Oleh karena
itu, dokter gigi harus berhati-hati dalam melakukan prosedur perawatan
periodontal. Pasien pada umumnya kembali pada kunjungan kedua atau
ketiga selama perawatan tidak dengan pembedahan dan melaporkan
sensitivitas terhadap dingin atau menyikat gigi pada daerah perawatan
(Suda, 2015).
D. Deteksi Pasien Hipersensitivitas Dentin
Hal yang perlu diperhatikan pada saat pendeteksian hipersensitivitas
dentin adalah lokalisasi lesi yaitu sebab terbukanya dentin serta aktivasi lesi
yaitu apakah tubulus dentin terbuka dan mengganggu pulpa gigi (Mattulada,
2015). Pendeteksian hipersensitivitas dentin dilakukan dengan cara
menghembuskan air atau udara ringan dari three way syringe maupun dengan
instrument yang terbuat dari logam (Addy, 2002).
Pada kasus hipersensitivitas dentin, rasa tidak nyaman segera hilang
setelah penyebab ditiadakan sedangkan pada kasus misalnya sindroma gigi
retak rasa tidak nyaman akan menetap. Pertanyaan yang dapat diajukan
sebagai panduan dalam mendeteksi pasien hipersensitif dentin diantaranya
1. Sifat dari rasa sakit (tajam, tumpul, menyakitkan);
2. Rasa sakit menetap atau segera menghilang;
3. Penyebab rasa sakit dipicu oleh dingin, panas, sentuhan atau pengunyahan;
4. Timbulnya rasa sakit tidak terduga atau sewaktuwaktu;
5. Rasa tidak nyaman hanya mengenai satu gigi, beberapa gigi atau seluruh
gigi;
6. Rasa sakit meningkat di pagi hari;
7. Apakah menghindari makanan/minuman tertentu;
8. Adakah makanan tertentu yang menimbulkan ketidaknyamanan; dan
berapa lama merasakan ketidaknyamanan (Addy, 2002).
E. Tatalaksana Perawatan Hipersensitivitas Dentin
Berdasarkan teori hidrodinamik, maka dasar pemikiran dari perawatan
dentin hipersensitif adalah menghalangi menjalarnya rangsang dengan cara
menutup tubulus dentinalis yang terbuka. Dentin hipersensitif karena adanya
kavitas, baik yang disebabkan karies atau non karies memerlukan restorasi
yang sesuai. Pada kasus tanpa kavitas, berbagai bahan dan teknik
dikembangkan untuk mengatasi keluhan hipersensitif dentin, misalnya pasta
gigi khusus, iradiasi laser dengan karbon dioksida, dentin adesif, agen
antibakteri, aldehida, suspensi resin, membilas dengan fluoride, varnish
fluoride, kalsium fosfat, potasium nitrat, dan oksalat (Layer, 2011).
1. Desensitisasi
Desensitisasi merupakan perawatan untuk mengatasi kondisi dentin
yang hipersensitif akibat terbukanya tubuli dentin (Carranza dkk., 2006).
Menurut Giancio (2000), terdapat dua mekanisme dari desensitisasi, yaitu:
a. Menyumbat atau memperkecil diameter tubulus dentin
Mekanisme penyumbatan atau pengecilan tubulus dentin
dikarenakan pembentukan dentin sekunder di sepanjang dinding
tubulus dentin, pengendapan protein pada dinding tubulus dentin dan
pembentukan Kristal-kristal pada tubulus dentin. Penyumbatan atau
pengecilan tubulus dentin akan membuat terhambatnya gerakan cairan
tubulus dentin yang diakibatkan rangsangan.
b. Mengurangi eksitabilitas saraf-saraf interdentin
Pengurangan eksitabilitas saraf interdentin, kepekaan saraf tersebut
terhadap perangsang akan berkurang. Bahan desensitisasi dengan
kerja yang demikian mempengaruhi saraf-saraf interdentin secara
langsung maupun tidak langsung.
Hipersensitivitas dentin dapat mereda tanpa adanya perawatan. Hal ini
terjadi karena permeabilitas gigi menurun secara spontan akibat terjadinya
proses alamiah di rongga mulut namun bukan berarti hipersensitivitas tidak
membutuhkan perawatan. Menurut Gangarosa dan Park (1978),
hipersensitivitas dentin memerlukan perawatan dengan menggunakan bahan
desensitisasi dengan syarat sebagai berikut:
a. Tidak mengiritasi pulpa
b. Relatif tidak menimbulkan rasa sakit
c. Harus memberikan efek terapeutik yang cukup lama
d. Bereaksi cepat
e. Mempunyai waktu terapeutik yang konsisten
f. Tidak menimbulkan perubahan warna gigi
Bahan yang digunakan sebagai desensitisasi menurut Pesevska dkk
(2009) dibagi menjadi dua yaitu.
a. Bahan desensitisasi di klinik
1) Sodium fluoride: bahan desensitisasi berbentuk pasta dengan
campuran natrium fluoride, kaolin dan gliserin. Memiliki konsentradi
2-5%. Cara kerja nya dengan menyumbat tubulus dentin.
2) Duraphat: bahan desensitisasi berbentuk pernis yang mengandung 50
mg natrium fluoride.
3) Fluocal: bahan desensitisasi berbentuk cairan yang mengandung 1 gr
natrium fluoride.
4) Kalsium Hidroksida: bahan desensitisasi yang mempunyai efek
mengurangi eksitabilitas saraf.
5) Potassium nitrat: Biasanya terdapat dalam pasta gigi, memiliki
konsenstrasi 5%, mampu bekerja memblok nervus sensoris pulpa
sehingga menyebabkan kurang responsive terhadap rangsang.
6) Potassium oxalate: memiliki konsentrasi 30%, akan berikatan dengan
ion kalsium di dentin yang membentuk kristal kalsium oxalate dalam
tubuli dentin sehingga dapat menurunkan permeabilitas dentin.
b. Bahan desensitisasi untuk dipakai pasien di rumah
1) Pasta gigi dengan aksi kerja menyumbat tubulus dentin
Bahan desensitisasi yang terkandung dalam pasta tersebut ada yang
berupa stronsium klorida (Sensodyne), natrium monofluoroposfat
(Colgate) dan formaldehid (Thermodent).
2) Pasta gigi dengan aksi kerja mengurangi ekstabilitas saraf
3) Pasta gigi mengandung kalium nitrat (Senguel)
4) Pasta gigi dengan aksi ganda
Mengandung kalium nitrat dan natrium monofluoropospat
(Sensodyne-F).
Casein phosphopeptide–amorphous calcium phosphate (CPP–ACP)
merupakan senyawa turunan susu yang dapat membantu proses remineralisasi
dengan mengganti mineral yang hilang seperti kalsium dan fosfat. Amorphous
calcium phosphat (ACP) merupakan hasil presipitasi cairan kalsium dan dapat
dikonversikan menjadi fase kristalin yang stabil. ACP diaplikasikan dalam
ranah biomedis karena memiliki sifat bioaktivitas yang bagus, adhesi sel, laju
biodegradasi dapat diatur, osteokonduksi yang baik. Akan tetapi ACP kurang
stabil dan mudah bertransformasi menjadi fase kristalin di dalam rongga mulut
sehingga dapat memicu terbentuknya kalkulus (Divyapriya, 2016).
Casein pada susu dikenal memiliki sifat antikariogenik, casein akan
membentuk melapisi permukaan gigi dan mengikat ion kalsium dan fosfat dari
saliva, selain itu CPP dapat menstabilkan ACP pada kondisi netral dan basa.
Sehingga kombinasi CPP-ACP dapat bekerja secara efektif sebagai agen
remineralisasi pada pH rendah, netral atau basa. Kombinasi CPP-ACP ini
dipatenkan di Universitas Melbourne dan dipasarkan dengan nama dagang GC
Tooth Mousse dan GC Tooth Mousse Plus (Divyapriyadkk., 2016; Farooq dkk.,
2013).
CPP-ACP bekerja sebagai agen desensitisasi dengan menutup tubulus
dentin. Penelitian yang dilakukan Walsh (2010) menunjukkan penggunaan GC
Tooth Mousse efektif untuk mengurangi gejala hipersensitivitas yang identik
dengan potasium nitrat sebagai gold standardhipersensitivitas. Akan tetapi,
belum cukup bukti untuk menunjukkan efiksasi penggunaan CPP-ACP
sebagai agen desensitisasi (Divyapriya, 2016). Berikut ini teknik
pengaplikasian CPP-ACP (GC Asia, 2016):
1. Gigi dicek menggunakan air syringe, melihat daerah mana saja yang
sensitive.
2. Gigi disikat dan dibersihkan dari debris, plak dan kalkulus.
3. Gigi diisolasi dan dikeringkan dari saliva dengan menggunakan cotton
roll atau cotton pellet, namun tidak perlu dikeringkan dengan udara
berkompresi.
4. Bahan desensitisai yaitu GC Tooth Mousse diaplikasikan pada
permukaan gigi dengan jari yang memakai sarung tangan, pada bagian
interproksimal dapat digunakan sikat interproksimal.
5. Permukaan gigi yang sudah diaplikasikan krim GC Tooth Mousse
didiamkan selama 3-4 menit.
6. Pasien diinstruksikan untuk meratakan krim menggunakan lidah dan
didiamkan selama dua menit.
7. Pasien dapat diinstruksikan untuk meludah namun hindari berkumur.
8. Pasien diinstruksikan untuk tidak makan dan minum selama 30 menit
setelah aplikasi, tidak menyikat gigi selama 4 jam pasca aplikasi,
instruksikan untuk kontrol 1 minggu kemudian. (Miglani, 2010).
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Skenario Kasus
Seorang wanita berusia 36 tahun datang dengan keluhan adanya rasa ngilu
pada gigi bagian bawah sebelah kanan. Rasa ngilu tersebut sudah terjadi
selama 3 bulan terakhir. Pemeriksaan intraoral ditemukan adanya abrasi pada
gigi 44 dan 45. Pasien ingin giginya dirawat agar tidak merasakan ngilu
kembali (Nirmala dkk. 2016).