Anda di halaman 1dari 20

RESUME

BIDANG ILMU PERIODONSIA

DESENSITISASI

DPJP :
drg. Rinawati Satrio, M.Si

Disusun oleh :
Dewi Sartieka Putri, S.KG
G4B019003
Komponen
Pembelajaran Resume Diskusi Keterangan
Daring

Nilai

Tanda Tangan
DPJP
drg. Rinawati Satrio, M.Si

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Hipersensitivitas Dentin
Hipersensitivitas merupakan respon yang berlebihan terhadap rangsangan
sensorik, yang biasanya tidak menyebabkan respon rasa sakit pada gigi
normal. Ciri khas hipersensitif dentin adalah rasa sakit yang diderita bersifat
akut, tajam tapi singkat pada dentin yang tidak terlindung email. Reaksi
tersebut merupakan respons pulpa terhadap rangsang termal, taktil, osmotik
atau kimia tanpa keterlibatan bakteri. Rasa ngilu atau nyeri yang dialami pada
umumnya tajam dengan durasi singkat. Hipersensitivitas dentin merupakan
masalah yang umum ditemui sehari-hari, dapat ditemui baik pada laki-laki
maupun perempuan utamanya yang sudah berusia lanjut (Mattulada, 2015).
Hipersensitivitas dentin banyak terjadi pada wanita dan menurut sebuah studi
epidemologi, prevalensi kejadiannya berkisar antara 4% - 74% di dunia,
dengan jumlah 27% di Indonesia (Shetty, 2013).
Ketidaknyamanan atau rasa ngilu yang yang dialami pada kasus dentin
hipersensitif terjadi karena adanya permukaan yang tidak terlindungi oleh
email di mahkota atau sementum di daerah akar gigi. Hipersensitivitas dentin
seringkali terjadi pada gigi permanen, terutama kaninus dan premolar karena
hilangnya lapisan email dan atau sementum (Mulya, 2016). Rasa ngilu dapat
pula disebabkan karena adanya kebocoran tepi pada restorasi yang cacat,
sindroma gigi retak dan kelainan. Untuk itu perlu pemeriksaan yang cermat
agar diperoleh diagnosis yang tepat sehingga perawatan juga tepat
(Mattulada, 2015).
Berbagai usaha dan bahan yang dapat digunakan untuk mengatasi
keluhan tersebut. Prinsip dalam mengatasi keluhan ini adalah mengatur
aktivitas nervus intradentalis atau menutup tubulus dentinalis. Pada kasus
hipersensitif dentin karena ada lesi kavitas, baik yang disebabkan oleh karies
atau non karies; perlu dilakukan restorasi. Bila keluhan tersebut tanpa kavitas,
dapat diatasi dengan penggunaan agen desensitisasi, misalnya larutan sodium
fluoride dengan bantuan alat khusus, pasta gigi yang mengandung fluor,
kalsium fosfosilikat (Mattulada, 2015).
B. Etiologi Hipersensitivitas Dentin
Penyebab rasa nyeri dapat di klasifikasikan sebagai akibat dari ada
ataupun tidaknya kavitas. Nyeri tanpa kavitas biasanya diakibatkan oleh
terjadinya abrasi, atrisi, erosi, abfraksi maupun resesi gingiva. Rasa nyeri juga
dapat terjadi pascaperawatan bleaching, scaling dan root planing, restorasi
yang cacat, sindroma gigi retak serta penggunaan bur tanpa air (Mattulada,
2015). Hipersensitivitas dentin terutama ditemukan pada kasus resesi gingiva
yang menyebabkan terpaparnya permukaan akar terhadap berbagai
rangsangan panas, dingin, asam,manis maupun udara (Barlon dan Manson,
2011).
Karies gigi merupakan penyakit infeksi mulut yang multi faktor, yang
dapat ditransmisi karena adanya interaksi antara floramulut/bakteri kariogenik
(biofilm) dengan diet karbohidrat yang terfermentasi di permukaan gigi dalam
jangka waktu yang lama. Aktivitas tersebut menyebabkan demineralisasi
lokal, mengakibatkan adanya struktur gigi yang hilang. Demineralisasi fase
inorganik dan denaturasi, serta degradasi fase organik menyebabkan
terbentuknya kavitas di dentin. Pulpa yang mengalami iritasi lalu
menimbulkanrasatidaknyaman/ngilutapicepatpulih setelah iritannya
dihilangkan, didiagnosis sebagai pulpitis reversibel. Penyebabnya antara lain
karies, dentin yang terbuka, perawatan dental dan restorasi yang cacat
(Mattulada, 2015).
Abrasi adalah keausan di permukaan gigi, yang umumnya terjadi di
bagian servikal permukaan bukal/fasial yang disebabkan adanya gesekan
benda-benda asing, misalnya sikat gigi yang kasar, pasta gigi yang abrasif dan
lain-lain. (Eidson, 2013) Abfraksi secara klinis mirip abrasi, merupakan
kerusakan di bagian servikal gigi yang disebabkan oleh kekuatan oklusi
eksentrik yang menyebabkan terjadi cekungan yang tajam,biasanyakarena
pasien mengalami bruksisma atau maloklusi. Atrisi adalah keausan di
permukaan insisal atau oklusal gigi karena faktor mekanis sebagai akibat
terjadi pergerakan fungsional atau parafungsional dari mandibula. Erosi
adalah hilangnya struktur permukaan gigi karena faktor kimia, misalnya
konsumsi makanan/ minuman asam yang menyebabkan penurunan pH saliva
di dalam rongga mulut sehingga terjadi demineralisasi email yang
menyebabkan terpaparnya dentin. Erosi dapat pula dikatakan sebagai
demineralisasi sebagian email atau dentin akibat asam yang berasal dari
ekstrinsik maupun intrinsik, dan secara klinis dapat berkombinasi dengan
abrasi atau abfraksi. Abrasi, abfraksi, atrisi maupun erosi tidak melibatkan
bakteri namun pada kasus yang cukup parah maka respon pulpa memberi
reaksi serupa pulpitis reversibel. Hipersensitif dentin dikatakan sebagai nyeri
pada gigi yang menyebabkan respon pulpa vital yang berlebihan terhadap
berbagai stimulasi. Hal ini terjadi karena dentin terbuka terhadap lingkungan
mulut yang menyebabkan rasa tidak nyaman bagi seseorang (Ritter, 2013).
C. Mekanisme terjadinya Hipersensitivitas Dentin
Beberapa teori dikembangkan untuk memahami bagaimana perjalanan
rangsangan yang dikirim ke otak sehingga diterima sebagai rasa ngilu, nyeri,
atau sakit misalnya teori transdusi, teori modulasi, teori vibrasi dan kontrol
“pintu gerbang” serta teori hidrodinamik. Transmisi rangsang dari dentin
yang terbuka ke akhiran saraf yang berlokasi di dalam pulpa gigi melalui
prosesus odontoblas merupakan dasar teori mekanisme hidrodinamik. Teori
menyatakan jika terjadi kehilangan email atau sementum maka tubulus
dentinalis terbuka ke rongga mulut. Adanya rangsang tertentu menyebabkan
pergerakan cairan di dalam tubulus, secara tidak langsung akan merangsang
akhiran saraf di dalam pulpa yang akan diteruskan ke otak dan dipersepsi
sebagai ngilu, nyeri atau sakit (Perdigão, 2013).
Beberapa teori menjelaskan tentang proses terjadinya hipersentitif dentin,
namun yang paling banyak diterima adalah teori hidrodinamik. Menurut teori
hidrodinamik, tubulus dentin yang terbuka dan terpapar oleh suatu stimulus,
seperti perubahan temperatur dan tekanan osmotik akan menyebabkan
pergerakan cairan intratubuler. Hal ini dapat menstimulasi baroreseptor yang
selanjutnya mempengaruhi saraf A delta dan menimbulkan nyeri tajam yang
singkat (Perdigão, 2013).
1. Teori terjadinya Hipersensitivitas Dentin
a. Teori transduser dengan odontoblas
Transduser dengan odontoblas adalah mekanisme yang diajukan
oleh Rappet et al., yang menyatakan bahwa odontoblas bertindak
sebagai reseptor sel, perubahan yang tidak langsung dalam potensi
membran odontoblas melalui sambungan sinaptik dengan saraf. Hal ini
dapat mengakibatkan rasa sakit dari ujung-ujung saraf yang terletak di
batas pulpodentinal, namun bukti dari teori transduser dengan
odontoblas mekanisme ini kurang dan tidak meyakinkan (Perdigão,
2013).
b. Teori hidrodinamik
Sakit yang disebabkan oleh pergerakan cairan di dalam tubulus
dentin, dapat dijelaskan dan dapat diterima secara luas yaitu teori
hidrodinamik yang diusulkan oleh Brannstrom dan Astron pada tahun
1964. Menurut teori ini, lesi melibatkan enamel dan hilangnya
sementum didaerah servikal dan akibatnya tubulus dentin terbuka di
rongga mulut, di bawah rangsangan tertentu, yang memungkinkan
pergerakan cairan di dalam tubulus dentin secara tidak langsung
merangsang ektremitas dari saraf pulpa menyebabkan sensasi rasa sakit.
Teori ini juga menyimpulkan bahwa hipersensitif dentin dimulai dari
dentin yang terpapar mengalami rangsangan, lalu cairan tubulus
bergerak menuju reseptor syaraf perifer pada pulpa yang kemudian
melakukan pengiriman rangsangan ke otak dan akhirnya timbul
persepsi rasa sakit (Perdigão, 2013).
2. Kelainan yang memungkinkan terjadinya Hipersensitivitas Dentin
a. Resesi gingiva
Resesi gingiva adalah penurunan tinggi tepi gingiva/marginal
gingiva ke arah apikal hingga ke bawah Batas Sementum Enamel
(BSE). Resesi gingiva merupakan penyebab hipersensitif dentin yang
paling sering terjadi. Resesi gingiva bisa bersifat lokalisata ataupun
generalisata. Prevalensi terjadinya resesi gingiva pada usia tua lebih
besar dibandingkan dengan usia muda. Jika dihubungkan dengan jenis
kelamin, maka frekuensi terjadinya resesi gingiva lebih sering pada pria
dibandingkan pada wanita (Ritter, 2013).
Etiologi resesi gingiva belum diketahui dengan pasti, akan tetapi
sering dikaitkan dengan faktor-faktor seperti menyikat gigi, posisi gigi
yang tidak benar, perlekatan frenulum yang tinggi, kebiasaan buruk,
erosi karena bahan makanan serta faktor iatrogenik yang berhubungan
dengan prosedur restorasi gigi seperti pembuatan restorasi pada daerah
servikal (Shinta, 2018)
b. Penyakit periodontal
Prosedur scalling dan root planning dapat menyebabkan hilangnya
perlekatan jaringan periodontal dan terkikisnya sementum. Oleh karena
itu, dokter gigi harus berhati-hati dalam melakukan prosedur perawatan
periodontal. Pasien pada umumnya kembali pada kunjungan kedua atau
ketiga selama perawatan tidak dengan pembedahan dan melaporkan
sensitivitas terhadap dingin atau menyikat gigi pada daerah perawatan
(Suda, 2015).
D. Deteksi Pasien Hipersensitivitas Dentin
Hal yang perlu diperhatikan pada saat pendeteksian hipersensitivitas
dentin adalah lokalisasi lesi yaitu sebab terbukanya dentin serta aktivasi lesi
yaitu apakah tubulus dentin terbuka dan mengganggu pulpa gigi (Mattulada,
2015). Pendeteksian hipersensitivitas dentin dilakukan dengan cara
menghembuskan air atau udara ringan dari three way syringe maupun dengan
instrument yang terbuat dari logam (Addy, 2002).
Pada kasus hipersensitivitas dentin, rasa tidak nyaman segera hilang
setelah penyebab ditiadakan sedangkan pada kasus misalnya sindroma gigi
retak rasa tidak nyaman akan menetap. Pertanyaan yang dapat diajukan
sebagai panduan dalam mendeteksi pasien hipersensitif dentin diantaranya
1. Sifat dari rasa sakit (tajam, tumpul, menyakitkan);
2. Rasa sakit menetap atau segera menghilang;
3. Penyebab rasa sakit dipicu oleh dingin, panas, sentuhan atau pengunyahan;
4. Timbulnya rasa sakit tidak terduga atau sewaktuwaktu;
5. Rasa tidak nyaman hanya mengenai satu gigi, beberapa gigi atau seluruh
gigi;
6. Rasa sakit meningkat di pagi hari;
7. Apakah menghindari makanan/minuman tertentu;
8. Adakah makanan tertentu yang menimbulkan ketidaknyamanan; dan
berapa lama merasakan ketidaknyamanan (Addy, 2002).
E. Tatalaksana Perawatan Hipersensitivitas Dentin
Berdasarkan teori hidrodinamik, maka dasar pemikiran dari perawatan
dentin hipersensitif adalah menghalangi menjalarnya rangsang dengan cara
menutup tubulus dentinalis yang terbuka. Dentin hipersensitif karena adanya
kavitas, baik yang disebabkan karies atau non karies memerlukan restorasi
yang sesuai. Pada kasus tanpa kavitas, berbagai bahan dan teknik
dikembangkan untuk mengatasi keluhan hipersensitif dentin, misalnya pasta
gigi khusus, iradiasi laser dengan karbon dioksida, dentin adesif, agen
antibakteri, aldehida, suspensi resin, membilas dengan fluoride, varnish
fluoride, kalsium fosfat, potasium nitrat, dan oksalat (Layer, 2011).
1. Desensitisasi
Desensitisasi merupakan perawatan untuk mengatasi kondisi dentin
yang hipersensitif akibat terbukanya tubuli dentin (Carranza dkk., 2006).
Menurut Giancio (2000), terdapat dua mekanisme dari desensitisasi, yaitu:
a. Menyumbat atau memperkecil diameter tubulus dentin
Mekanisme penyumbatan atau pengecilan tubulus dentin
dikarenakan pembentukan dentin sekunder di sepanjang dinding
tubulus dentin, pengendapan protein pada dinding tubulus dentin dan
pembentukan Kristal-kristal pada tubulus dentin. Penyumbatan atau
pengecilan tubulus dentin akan membuat terhambatnya gerakan cairan
tubulus dentin yang diakibatkan rangsangan.
b. Mengurangi eksitabilitas saraf-saraf interdentin 
Pengurangan eksitabilitas saraf interdentin, kepekaan saraf tersebut
terhadap  perangsang akan berkurang. Bahan desensitisasi dengan
kerja yang demikian mempengaruhi saraf-saraf interdentin secara
langsung maupun tidak langsung.
Hipersensitivitas dentin dapat mereda tanpa adanya perawatan. Hal ini
terjadi karena permeabilitas gigi menurun secara spontan akibat terjadinya
proses alamiah di rongga mulut namun bukan berarti hipersensitivitas tidak
membutuhkan perawatan. Menurut Gangarosa dan Park (1978),
hipersensitivitas dentin memerlukan perawatan dengan menggunakan bahan
desensitisasi dengan syarat sebagai berikut:
a. Tidak mengiritasi pulpa
b. Relatif tidak menimbulkan rasa sakit
c. Harus memberikan efek terapeutik yang cukup lama
d. Bereaksi cepat
e. Mempunyai waktu terapeutik yang konsisten
f. Tidak menimbulkan perubahan warna gigi
Bahan yang digunakan sebagai desensitisasi menurut Pesevska dkk
(2009) dibagi menjadi dua yaitu.
a. Bahan desensitisasi di klinik
1) Sodium fluoride: bahan desensitisasi berbentuk pasta dengan
campuran natrium fluoride, kaolin dan gliserin. Memiliki konsentradi
2-5%. Cara kerja nya dengan menyumbat tubulus dentin.
2) Duraphat: bahan desensitisasi berbentuk pernis yang mengandung 50
mg natrium fluoride.
3) Fluocal: bahan desensitisasi berbentuk cairan yang mengandung 1 gr
natrium fluoride.
4) Kalsium Hidroksida: bahan desensitisasi yang mempunyai efek
mengurangi eksitabilitas saraf.
5) Potassium nitrat: Biasanya terdapat dalam pasta gigi, memiliki
konsenstrasi 5%, mampu bekerja memblok nervus sensoris pulpa
sehingga menyebabkan kurang responsive terhadap rangsang.
6) Potassium oxalate: memiliki konsentrasi 30%, akan berikatan dengan
ion kalsium di dentin yang membentuk kristal kalsium oxalate dalam
tubuli dentin sehingga dapat menurunkan permeabilitas dentin.
b. Bahan desensitisasi untuk dipakai pasien di rumah
1) Pasta gigi dengan aksi kerja menyumbat tubulus dentin
Bahan desensitisasi yang terkandung dalam pasta tersebut ada yang
berupa stronsium klorida (Sensodyne), natrium monofluoroposfat
(Colgate) dan formaldehid (Thermodent).
2) Pasta gigi dengan aksi kerja mengurangi ekstabilitas saraf
3) Pasta gigi mengandung kalium nitrat (Senguel)
4) Pasta gigi dengan aksi ganda
Mengandung kalium nitrat dan natrium monofluoropospat
(Sensodyne-F).
Casein phosphopeptide–amorphous calcium phosphate (CPP–ACP)
merupakan senyawa turunan susu yang dapat membantu proses remineralisasi
dengan mengganti mineral yang hilang seperti kalsium dan fosfat. Amorphous
calcium phosphat (ACP) merupakan hasil presipitasi cairan kalsium dan dapat
dikonversikan menjadi fase kristalin yang stabil. ACP diaplikasikan dalam
ranah biomedis karena memiliki sifat bioaktivitas yang bagus, adhesi sel, laju
biodegradasi dapat diatur, osteokonduksi yang baik. Akan tetapi ACP kurang
stabil dan mudah bertransformasi menjadi fase kristalin di dalam rongga mulut
sehingga dapat memicu terbentuknya kalkulus (Divyapriya, 2016).
Casein pada susu dikenal memiliki sifat antikariogenik, casein akan
membentuk melapisi permukaan gigi dan mengikat ion kalsium dan fosfat dari
saliva, selain itu CPP dapat menstabilkan ACP pada kondisi netral dan basa.
Sehingga kombinasi CPP-ACP dapat bekerja secara efektif sebagai agen
remineralisasi pada pH rendah, netral atau basa. Kombinasi CPP-ACP ini
dipatenkan di Universitas Melbourne dan dipasarkan dengan nama dagang GC
Tooth Mousse dan GC Tooth Mousse Plus (Divyapriyadkk., 2016; Farooq dkk.,
2013).
CPP-ACP bekerja sebagai agen desensitisasi dengan menutup tubulus
dentin. Penelitian yang dilakukan Walsh (2010) menunjukkan penggunaan GC
Tooth Mousse efektif untuk mengurangi gejala hipersensitivitas yang identik
dengan potasium nitrat sebagai gold standardhipersensitivitas. Akan tetapi,
belum cukup bukti untuk menunjukkan efiksasi penggunaan CPP-ACP
sebagai agen desensitisasi (Divyapriya, 2016). Berikut ini teknik
pengaplikasian CPP-ACP (GC Asia, 2016):
1. Gigi dicek menggunakan air syringe, melihat daerah mana saja yang
sensitive.
2. Gigi disikat dan dibersihkan dari debris, plak dan kalkulus.
3. Gigi diisolasi dan dikeringkan dari saliva dengan menggunakan cotton
roll atau cotton pellet, namun tidak perlu dikeringkan dengan udara
berkompresi.
4. Bahan desensitisai yaitu GC Tooth Mousse diaplikasikan pada
permukaan gigi dengan jari yang memakai sarung tangan, pada bagian
interproksimal dapat digunakan sikat interproksimal.
5. Permukaan gigi yang sudah diaplikasikan krim GC Tooth Mousse
didiamkan selama 3-4 menit.
6. Pasien diinstruksikan untuk meratakan krim menggunakan lidah dan
didiamkan selama dua menit.
7. Pasien dapat diinstruksikan untuk meludah namun hindari berkumur.
8. Pasien diinstruksikan untuk tidak makan dan minum selama 30 menit
setelah aplikasi, tidak menyikat gigi selama 4 jam pasca aplikasi,
instruksikan untuk kontrol 1 minggu kemudian. (Miglani, 2010).
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Skenario Kasus
Seorang wanita berusia 36 tahun datang dengan keluhan adanya rasa ngilu
pada gigi bagian bawah sebelah kanan. Rasa ngilu tersebut sudah terjadi
selama 3 bulan terakhir. Pemeriksaan intraoral ditemukan adanya abrasi pada
gigi 44 dan 45. Pasien ingin giginya dirawat agar tidak merasakan ngilu
kembali (Nirmala dkk. 2016).

Gambar 1. Foto intraoral pasien


1. Identitas Pasien
a. Nama : Ny. Prema
b. Usia : 36 tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Alamat : India
2. Pemeriksaan Subjektif
a. CC (Chief complain) : Pasien datang mengeluhkan adanya
rasa ngilu pada gigi bagian bawah sebelah kanan.
b. PI (Present Illness) : Rasa ngilu tersebut sudah terjadi
selama 3 bulan terakhir.
c. PDH (Past Dental History) : Tidak dijelaskan dalam jurnal kasus
d. PMH (Past Medical History) : Tidak dijelaskan dalam jurnal kasus
e. FH (Family History) : Tidak dijelaskan dalam jurnal kasus
f. SH (Social History) : Tidak dijelaskan dalam jurnal kasus
3. Pemeriksaan Objektif
a. Pemeriksaan Ekstra oral
Tidak dijelaskan dalam jurnal kasus
b. Pemeriksaan Intra oral menunjukkan adanya abrasi pada gigi 44 dan
45
1) Lesi intraoral : Tidak dijelaskan dalam jurnal kasus
2) Pembengkakan gingiva : Tidak dijelaskan dalam jurnal kasus
3) Stippling : Tidak dijelaskan dalam jurnal kasus
4) Bleeding on Probing : Tidak dijelaskan dalam jurnal kasus
5) Resesi Gingiva & CAL : Terihat adanya resesi gingiva pada
gigi 44 dan 45 sekitar 3-4 mm.
6) Dehisence/ Fenestration : Tidak dijelaskan dalam jurnal kasus
7) Kegoyangan Gigi : Tidak dijelaskan dalam jurnal kasus
8) OHI-S : Tidak dijelaskan dalam jurnal kasus
9) Skor Plak O’leary : Tidak dijelaskan dalam jurnal kasus
4. Diagnosis / Assesment
a. Diagnosis tetap : Abrasi gigi 44 dan 45 (K03.1)
b. Diagnosis banding (DD) : Erosi gigi
c. Prognosis : Baik
5. Rencana Perawatan
a. Kunjungan pertama
1) Fase Intitial Therapy (Fase I)
Desensitisasi dengan menggunakan sistem iontoforesis dengan
alat khusus yaitu desensitron.
b. Kunjungan kedua
1) Fase Maintenance (Fase IV) setelah 1 minggu perawatan.
Berdasarkan pemeriksaan, pasien tidak mengeluhkan reaksi
sensitivitas pada rangsangan termal maupun taktil. Pasien diminta
untuk menjaga kebersihan rongga mulutnya dengan menyikat gigi
menggunakan sikat gigi berbulu halus dan lembut dengan perlahan
dan disarankan untuk kontrol rutin ke dokter gigi spesialis
periodonsia.
6. Prosedur Perawatan Desensitisasi
Prosedur perawatan desensitisasi yang dilakukan pada jurnal kasus ini
yaitu diantaranya (Nirmala dkk. 2016):
a. Alat yang digunakan adalah desensitor

Gambar 2. Alat desensitor

b. Pemeriksaan hipersensitivitas dentin sebelum melakukan perawatan,


dengan menghembuskan air atau udara dari syringe.

Gambar 3. Pemeriksaan hipersensitivitas menggunakan syringe.

c. Gigi diisolasi, dibersihkan dari saliva menggunakan cotton roll dan


cotton pellet, namun tidak perlu dikeringkan dengan udara berkompresi.

Gambar 4. Gigi diisolasi, dibersihkan dari saliva


d. Spons yang sudah dilapisi APF (Acidulated Phosphate fluoride) gel
dioleskan dalam tray.

Gambar 5. Alat dan bahan (APF gel, tray, spons)

Gambar 6. Tray Plastik

Gambar 7. Gel APF dioleskan pada spons di tray

e. Logam elektroda dengan spiral merah dipegang di tangan pasien


kemudian logam elektroda dan spiral hitam harus bersentuhan dengan
slot pada tray di mulut pasien.

Gambar 8. Proses pengaliran logam elektroda


f. Alat diaktifkan dengan cara memutar dan meningkatkan arus 0.5 ke
maksimum 2,5 mA pada gigi sampai pasien mengalami nyeri atau
sensitive. Prosedur diulangi pada arus ampere yang rendah. Arus
diterapkan selama 2 menit.

Gambar 9. Proses desensitisasi

g. Pemeriksaan ulang dilakukan setelah perawatan.

Gambar 10. Pengecekan ulang kondisi hipersensitivitas


BAB III
PEMBAHASAN

Hipersensitif dentin tahap awal terjadi karena lapisan enamel yang


menutupi gigi terkikis dan permukaan akar yang terbuka. Proses atrisi, abrasi,
erosi, atau abfraksi serta rangsangan terhadap permukaan akar yang terbuka akibat
dari resesi gingiva atau perawatan periodontal merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya hipersensitif dentin (Mattulada, 2015). Pemeriksaan
mikroskopis pada pasien hipersensitif dentin menunjukkan bahwa pasien
hipersensitivitas dentin, tubulus dentin akan lebih besar dan banyak dibandingkan
pasien yang tidak mengalami hipersensitif dentin (Davari, 2013).
Pada jurnal kasus ini, hipersensitivitas dentin disebabkan oleh keadaan
abrasi pada gigi 44 dan 45. Abrasi merupakan kerusakan jaringan gigi akibat
benda asing, seperti sikat gigi dan pasta gigi. Abrasi menyebabkan terkikisnya
enamel dan akhirnya menyebabkan terpaparnya dentin. Abrasi dapat ditimbulkan
karena beberapa faktor yang berhubungan dengan aktivitas menyikat gigi,
misalnya struktur sikat gigi yang kaku, dan lamanya durasi menyikat gigi serta
faktor lainya (Nirmala dkk. 2016). Gambaran klinis abrasi biasanya pada daerah
servikal gigi, lesi cenderung melebar dan dalam serta gigi yang sering terkena
adalah gigi premolar dan kaninus (Utami, 2015).
Diagnosa dan penyebab hipersensitivitas dentin harus ditegakkan dengan tepat
agar perawatan yang diberikan memberikan efek yang tepat pula.
Hipersensitivitas dentin bersifat reversible dan dapat ditangani dengan perawatan
non-invasif yang sederhana (Shetty, 2016). Terdapat dua cara utama sederhana
dalam perawatan hipersensitif dentin yaitu menghalangi syaraf perespon rasa
nyeri dan menutup tubulus dentin untuk mencegah terjadinya mekanisme
hidrodinamik. Pada kasus sensitif ringan sampai sedang, DHE tentang metode
penyikatan gigi yang benar dan pemilihan pasta gigi yang sesuai yang dapat
dilakukan di rumah, namun jika masih terdapat rasa nyeri dapat dilakukan
perawatan lanjutan di ruang dokter (inoffice therapy) menggunakan sistem
konvensional maupun iontoforesis (Mattulada, 2015).
Pada jurnal kasus ini, perawatan yang dilakukan yaitu desensitisasi dengan
menggunakan sistem iontoforesis dengan alat khusus yaitu desensitron. Terapi
invasit iontoforesis ini merupakan terapi dengan menggunakan daya listrik untuk
meningkatkan difusi ion-ion kedalam dentin Dental iontophoresis biasanya
digunakan bersamaan dengan pasta dengan kandungan fluoride (Nirmala dkk.
2016). Perawatan endodontik dapat dipertimbangkan sebagai langkah akhir yang
dilakukan jika prosedur perawatan sebelumnya tidak berjalan efektif (Mattulada,
2015).
DAFTAR PUSTAKA

Addy, M., 2002, Dentine Hypersensitive: New Perspective on an Old Problem,


International Dental Journal, 52:367-375.
Barlow, A.P.S., Mason, S.C., 2011, Overview of the Clinical Evidence for the Use
of Novamin in Providing Relief from the Pain of Dentin Hypersensitive,
Clinical Dental Journal, 2(1): 90-95.
Carranza, F.A., Newman, M.G., Takei, H.H., Klokkevold, P.R., 2006, Clinical
Periodontology 10th edition, Saunders.
Davari AR, Ataei E, Assarzadeh H., 2013, Dentin Hypersensitivity: Etiology,
Diagnosis and Treatment; a Literature Review, Journal Dental (Shiraz),
14(3):136–45.
Divyapriya, G.K., Yavagal, P.C., Veeresh, D.J., 2016, Casein Phosphopeptide–
amorphous Calcium Phosphate in Dentistry: an Update, International
Journal of Oral Health Sciences 18-25.
Eidson, R.S., Shugars, D.A., 2012, Patient assessment, examination and
diagnosis, and treatment planning. In: Heymann HO, Swift Jr EI, Ritter
AV, Sturdevant’s art and science of operative dentistry, 6th Ed., Elsevier,
St. Louis, 99-100.
Farooq, I., Moheet, I, A., Imran, Z., Farooq, U., 2013, A Review of Novel Dental
Caries Preventive Material: Casein Phosphopeptide–amorphous Calcium
Phosphate (CPP–ACP) Complex, King Saud University Journal of
Dental Sciences, (4):47– 51.
Layer, T.M., 2011, Development of a Fluoridated, Daily-use Toothpaste
Containing Novamin Technology for the Treatment of Dentin
Hypesensitive, Clinical Dental Journal, 22(1):59-61.
Mattulada, I.K., 2015, Penanganan Dentin Hipersensitif (Management of Dentin
Hypersensitive), Makassar Dental Journal, 4(5):148-151.
Miglani, S., Aggarwal, V., Ahuja, B., 2010, Dentin Hypersensitivity: Recent
Trends in Management, Conservative Dental Journal, 13(4): 218–224.
Mulya, H.B, Rizkia, A., Kusuma, P., 2016, Perbedaan Kemampuan Pasta Gigi
Desensitisasi Komersial dengan Bahan Aktif Hidroksiapatit dan
Novamin dalam Penutupan Tubulus Dentin dengan Scanning Electron
Microscope, Odonto Dental Journal, 3(1):14-19.
Nirmala, I.J., Ramakrishnan, T., Sivaranjani, P., Shobana, P., Manisundar, N.,
Ebenezar, M., Iontophoresis a Boon for Treatment of Dentinal
Hypersensitiviy: Case Report, International Journal Cur Res Rev,
8(23):18-20.
Perdigão, J., Swift, E.J., Walter, R., 2013, Fundamental concept of enamel and
dentin adhesion. In: Heymann HO, Swift Jr EI, Ritter AV. Sturdevant’s
art and science of operative dentistry. 6th Ed., Elsevier,St. Louis, 133-4
Pesevska, S., Nakova, M., Ivanovski, K., 2009, Dentinal Hypersensitivity
following Scaling and Root Planing: Comparison of Low-level Laser and
Topical Fluoride Treatment, Lasers in Medical Science, 1007-10.
Ritter, A.V., Eidson, R.S., Donovan, T.E., 2013, Dental Caries:Etiology, Clinical
Characteristics, Risk Assessment and Management. In: Heymann HO,
Swift Jr EI, Ritter AV. Sturdevant’s Art and Science of Operative
Dentistry. 6th Ed., Elsevier, St. Louis, 41.
Shetty, S., dkk., 2016 Comparative Evaluation of Hydroxyapatite, Potassium
Nitrate and Sodium Monofluorophosphate as in Office Desensitising
Agents, Journal of Oral Hygiene and Health, 1(1):1-6.
Suda, T. et al, 2015,Desensitizing Agent Reduces Dentin Hypersensitivity During
Ultrasonic Scaling: A Pilot Study, Journal of Clinical and Diagnostic
Research, 9(9):46-49.
Utami, N.D., Komara, I., 2015, Dentin Hypersensitive: Ethiology and Treatment,
Padjajaran Journal of Dentistry, 27(3):149-155.
Pasta gigi untuk gigi sensitif beserta kandungannya, yang tersedia di pasaran:

1. Sensodyne mengandung sodium fluoride, potassium nitrat, stronsium


klorida, dan sodium hydroxide.
2. Sensodyne F mengandung kalium nitrat dan natrium monofluoropospat.
3. Colgate mengandung natrium monofluoroposfat, sodium fluoride,
triclosan, sodium hydroxide.
4. Systema mengandung potassium nitrat dan aluminium laktat.
5. Pepsodent Sensitive Expert mengandung potassium sitrat, sodium
hydroxide, sodium sacchirin, tocopheryl acetate, hidroksiapatit,
6. Enzim mengandung sodium fluoride dan kalium nitrat
7. Siwak F Sensitive mengandung sodium monofluorophospate.
8. Oral B Complete Fresh mengandung sodium fluoride.
9. Thermodent mengandung potassium nitrat.
10. Formula Sensitive Active Care mengandung potassium nitrat.
11. Antiplaque mengandung Sodium Monoflourophosphate.

Anda mungkin juga menyukai