Anda di halaman 1dari 7

Bedah Ekstrusi Gigi Anterior dengan Trauma Instrusi: Laporan dari dua Kasus

Abstrak
Intrusi adalah jenis cedera yang paling parah, yang dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak dan keras. Intrusi yang sangat parah, mengharuskan mahkota gigi diposisikan kembali di
arch (tulang alveolar/lengkung rahang) untuk menghindari adanya kerusakan pada periapikal dan
tulang marginal. Laporan kasus ini memiliki sedikit informasi mengenai efek pada pulpa dan
jaringan periodontal akibat penundaan perawatan paska trauma instrusi. Laporan kasus ini
melaporkan dua kasus intrusi gigi yang parah dengan jangka waktu dilakukannya perawatan
bedah ekstrusi yang berbeda. Pasien pertama, seorang wanita berusia 11 tahun, dirujuk ke dokter
spesialis anak klinik gigi Tokat GOP setelah tiga hari mengalami intrusi gigi 21. Pasien kedua,
laki-laki berusia 13 tahun dirujuk ke klinik gigi setelah lima belas hari mengalami kecelakaan
lalu lintas. Gigi yang mengalami intrusi diposisikan dengan pembedahan dan dilakukan
splinting. Bedah ekstrusi harus diutamakan sesegera mungkin untuk memulai perawatan saluran
akar pada gigi, mahkota gigi tertanam sepenuhnya di tulang alveolar.

Kata kunci: Penundaan perawatan, intrusi, splinting, bedah ekstrusi

Pendahuluan
Cedera pada jaringan periodontal dapat diklasifikasikan menjadi lima kelompok berdasarkan
perawatan dan penyembuhannya; concussion, subluksasi, ekstrusi, lateral luksasi, dan intrusi.
Satu dari trauma gigi yang paling parah di antara kelompok ini adalah intrusi, yang didefinisikan
sebagai keadaan posisi gigi masuk ke dalam tulang alveolar. Perawatan dan prognosis dari
trauma intrusi gigi dipengaruhi oleh usia pasien, jenis gigi, keadaan akar atau periapikal gigi,
jangka waktu dari trauma, dan tingkat keparahan trauma. Saat ini, perawatan untuk keadaan
trauma pada gigi permanen yakni menunggu erupsi spontaneous jika jumlah gigi yang intrusi
kurang dari 3 mm pada gigi dengan apeks terbuka; pemosisian gigi kembali dengan perawatan
orthodontik jika antara 3-7 mm, dan pemosisian gigi kembali dengan perawatan ortodontik /
bedah jika lebih dari 7 mm.
Nowadays, the treatment of traumatic injuries in the permanent teeth may include waiting
for spontaneous eruption if the amount of intrusion is less than 3 mm in teeth with open
apex; orthodontic re-positioning if it is between 3-7 mm, and orthodontic/surgical re-
position if it is more severe than 7 mm (4-6).

Pada gigi intrusi dengan apeks yang sudah matang, lebih disarankan menggunakan perawatan
metode ortodontik / bedah untuk memposisi gigi kembali. Setelah perawatan, vitalitas pulpa
mungkin dapat dipertahankan pada gigi dengan apeks terbuka, sedangkan pada gigi dengan
apeks tertutup hasil yang mungkin terjadi adalah nekrosis pulpa. Pada jaringan periodontal,
infeksi dan ankilosis yang berhubungan dengan resorpsi merupakan salah satu temuan yang
paling umum. Komplikasi yang serius seperti ankilosis dapat terjadi bahkan 5-10 tahun setelah
trauma.

Semua trauma dan cedera perlu segera dirawat untuk memastikan kenyamanan pasien dan
mengurangi adanya luka komplikasi. Bergantung pada jenis trauma dan individu, waktu
perawatan mungkin tidak selalu diterapkan pada waktu yang ideal. Perawatan trauma dalam 24
jam pertama disebut intervensi dini, setelah perawatan disebut intervensi yang tertunda (after-
treatment is called delayed intervention). Laporan kasus ini memiliki sedikit informasi mengenai
efek penundaan perawatan pada pulpa dan jaringan periodontal pada trauma gigi. Laporan kasus
ini melaporkan dua kasus intrusi gigi yang parah dengan jangka waktu dilakukannya perawatan
bedah ekstrusi yang berbeda dan kontrol dalam waktu satu tahun.

Kasus 1
Seorang pasien wanita Turki berusia 11 tahun mengalami jatuh, dan dirujuk ke klinik gigi anak
Tokat GOP tiga hari setelah trauma. Secara klinis, tingkat kerjasama anak dengan dokter gigi
rendah dan kebersihan mulut pasien buruk. Pemeriksaan intraoral menunjukkan gigi 21 telah
mengalami intrusi ke dalam soket alveolar (Gambar 1). Fraktur mahkota juga ditemukan pada
gigi 21. Posisi semento-enamel junction gigi 21 yang intrusi terletak lebih 6 mm ke arah apikal
dibandingkan dengan posisi pada gigi 11 dan 22. Radiografi menunjukan kondisi akar gigi 21
yang telah sempurna dan tidak ada kondisi patologis pada periodontal (Gbr. 2).
Pada pertemuan pertama, dilakukan tes vitalitas pulpa pada semua gigi anterior menggunakan
electric pulp test. Gigi 13, 12, 22, dan 23 memiliki respon positif; hanya gigi 11 yang
memberikan respon positif terlambat. Pasien dan orang tuanya telah diberi informasi pilihan
perawatan dan prognosis yang diharapkan dari setiap prosedur.

Mengingat bahwa apeks gigi telah tertutup dan terjadi intrusi sekitar 7 mm, maka dokter
memutuskan untuk melakukan pembedahan untuk memposisikan gigi kembali. Setelah
pemberian anestesi lokal, dokter melakukan pembedahan untuk memposisikan gigi kembali
dengan melonggarkan soket gigi dengan menggunakan tang cabut gigi untuk mengeluarkannya
dan kemudian menstabilkannya melalui jahitan dan dilakukan splinting menggunakan fiber splint
setelah diposisikan sesuai dengan gigi yang berdekatan (Gambar 3). Augmentin (400 mg, 2 x
1,5), antibiotik menggunakan turunan penisilin, obat kumur yang mengandung klorheksidin, dan
Parol sebagai analgesik, diresepkan selama 7 hari untuk mengurangi risiko nyeri dan
infeksi. Kebiasaan makan dan menjaga kebersihan mulut juga diinstruksikan kepada pasien dan
orang tuanya.

Tiga hari setelah operasi, perawatan selanjutnya yakni perawatan saluran akar untuk gigi 21,
jaringan pulpa dibersihkan dan diirigasi dengan 2,5% natrium hipoklorida (Cerkamed). Saluran
akar diisi dengan kalsium hidroksida selama 15 hari. Sebelum melepas splinting pada gigi,
perawatan saluran akar untuk gigi 21 diobturasi dengan gutta-percha. Gigi 11 memberikan
respon negatif terhadap uji vitalitas dan dilakukan perawatan saluran akar juga. Gigi 21 juga
dilakukan perawatan estetika berupa restorasi (Gbr. 4). 4 minggu setelah operasi, splinting gigi
dilepas, dan dilakukan radiografi. Pada bulan pertama setelah reposisi gigi, pasien dilakukan
kontrol dan pemeriksaan klinis terlebih dahulu pada minggu kedua dan keempat. Gmabaran
klinis dan radiografi dilakukan pada bulan ke 3,6,9, dan 12. Pada kontrol, secara klinis tidak ada
kelainan klinis seperti mobilitas, sensitivitas, perdarahan periodontal, poket periodontal, dan
perubahan warna. Pada hasil radiografi menunjukan tidak adanya lesi periapikal dan inflamasi
pada gigi yang dirawat.
Kasus 2
Seorang anak laki-laki Turki berusia 13 tahun dirujuk ke klinik gigi setelah lima belas hari
mengalami kecelakaan mobil. Secara klinis, tingkat kerjasama anak dengan dokter gigi tinggi,
tetapi kebersihan mulut buruk. Setelah melakukan anamnesa riwayat kesehatan, pasien diperiksa
keadaan ekstraoralnya. Pasien tidak mengalami pembengkakan wajah, asimetri wajah,
pembukaan mulut terbatas, dan nyeri saat palpasi. Pemeriksaan intraoral menunjukan trauma
intrusi yang parah pada gigi 12 dan trauma intrusif sedang pada gigi 11. Gigi 11 tidak bergerak
dan tidak mengganggu oklusi (Gbr. 7). Kondisi gigi pasien yakni pada fase gigi bercampur,
memiliki gigitan dalam, dan gigi 13 dalam kondisi preerupsi.

Pada pertemuan pertama, dilakukan tes vitalitas pulpa pada semua gigi anterior menggunakan
electric pulp test. Gigi 21 dan 22 memberikan respon positif, sedangkan gigi 11 dan 13
memberikan respon negatif. Radiografi menunjukan pembentukan akar yang sempurna pada
semua gigi anterior permanennya dan tidak ada kondisi patologis pada periodonta (Gbr.
8). Mengingat bahwa kondisi pasien trauma gigi yang parah, dokter memutuskan untuk
melakukan pembedahan reposisi gigi. Keluarga pasien meminta foto untuk melihat posisi gigi
anterior. Pasien dan orang tuanya diberi informasi mengenai pilihan perawatan dan prognosis
setiap prosedur.

Kesulitan yang dihadapi selama pembedahan adalah i) mencapai stabilitas setelah melakukan
reposisi pada beberapa gigi yang mengalami trauma pada satu lengkung rahang; ii) reposisi gigi-
gigi yang mengalami intrusi 11 dan 12 di soket alveolar karena telah mengalami remodeling
tulang selama 15 hari. Gigi 11 dan 12 diekstrusi dengan pembedahan dan distabilkan dalam
posisi yang mirip dan simetris dengan 0.5 mm stainless steel splint (Gbr. 9). Karena gigi 13
masih dalam tahap preerupsi, it was left to the spontaneous eruption dan tidak termasuk dalam
gigi yang displinting.

Setelah operasi, Augmentin (625 mg, 2 x 1), turunan penisilin sebagai antibiotik, obat kumur
yang mengandung klorheksidin, Parol sebagai analgesik, diresepkan selama 7 hari kepada pasien
untuk mengurangi risiko nyeri dan infeksi. Kebiasaan makan dan menjaga kebersihan mulut juga
diinstruksikan kepada pasien dan orang tuanya.
Satu minggu setelah operasi, selanjutnya dilakukan perawatan saluran akar untuk gigi 11 dan 12,
jaringan pulpa dibersihkan dan diirigasi dengan 2,5% natrium hipoklorida (Cer-kamed). Saluran
akar diisi dengan kalsium hidroksida untuk 15 hari. Perawatan saluran akar gigi 11 dan 12 yang
sudah selesai dilakukan tanpa melepas splint pada gigi selama empat minggu (Gbr. 10). Gigi 13
yang telah non vital juga dijadwalkan untuk dilakukan perawatan saluran akar. Bulan pertama
setelah pembedahan untuk reposisi gigi, pasien diminta untuk kontrol dan dilakukan pemeriksaan
klinis pada minggu pertama, kedua dan keempat. Pemeriksaan klinis dan radiografi dari hasil
perawatan dilakukan pada bulan 3, 6, 9 dan 12. Dalam sesi kontrol, secara klinis,tidak ada gejala
klinis seperti mobilitas, sensitivitasity, perdarahan periodontal, poket periodontal, dan perubahan
warna. Pemeriksaan radiografi menunjukkan tidak adanya lesi periapical, resorpsi akar, dan
inflamasi dari gigi yang dirawat (Gambar 11, 12)

DISKUSI
Tiga perawatan saat ini untuk kondisi gigi perma yang instrusi erupsi spontaneous, bedah
ekstrusi, dan ortodontik ekstrusi. Pilihan pengobatan bergantung pada tingkat intrusi dan tingkat
akar pasien. Untuk intrusi sedang antara 3 dan 6 mm, bedah atau reposisi gigi dengan ortodontik
direkomendasikan, dan untuk yang intrusi parah (lebih dari 6 mm) bedah reposisi gigi disarankan
(2, 7, 8). Untuk memberikan perawatan,faktor pratrauma dan trauma perlu digabungkan untuk
memilih alternatif perawatan.

Kriteria penting dalam pemilihan perawatan gigi intrusi adalah tahap pengembangan akar dan
tingkat intrusi. Periode kritis dalam cedera intrusi adalah 2-3 minggu pertama (2, 7-10). Jika
perawatan saluran akar tidak dimulai selama minggu-minggu tersebut, resorpsi akar eksternal
dapat terjadi. Alasan utama memilih bedah ekstrusi sebagai pilihan perawatan yakni dapat
memungkinkan penentuan posisi yang cepat (11) untuk memulai perawatan saluran akar pada
kondisi gigi benar-benar tertanam di tulang alveolar dalam kasus yang terlambat dilakukannya
perawatan juga dapat diterapkan. Juga, pada kondisi kasus kedua yakni terdapatnya beberapa
gigi yang mengalami trauma intrusi dan, reposisi gigi dengan bedah ekstrusi setelah tiga minggu
pertama trauma. Namun, banyak kesulitan yang dialami dalam reposisi gigi dalam kasus kedua
karena sudah mulai terjadi remodeling tulang kembali karena waktu yang lama terlalu setelah
trauma dan adanya kesulitan untuk mencapai stabilitas dengan splinting lebih sulit dari kasus
pertama karena adanya beberapa gigi yang mengalami trauma intrusi dalam kasus kedua. Bedah
ekstrusi dapat menyebabkan trauma sekunder, terutama bila diterapkan pada intrusi pada trauma
gigi dengan perawatan yang tertunda, dan ini dapat menyebabkan resorpsi tulang marjinal (12).
Dalam kasus ini, kondisi seperti itu tidak dialami setelah satu tahun dilakukan kontrol.

Keberhasilan kasus intrusi bergantung pada waktu ekstirpasi pulpa, pengisian saluran akar, dan
durasi splinting (2, 13). Splinting harus dilakukan agar tidak terjadi pergerakan fisiologis gigi,
dan durasi splinting harus dibuat pendek untuk mencegah ankilosis gigi. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Berude et al. (14), perawatan periodontal gigi yang tidak menggunakan splinting,
menggunakan splinting semi kaku, atau splintung kaku dievaluasi, dan dilaporkan bahwa tidak
ada antara ketiga jenis ini (15). Dilaporkan bahwa fiber splint menunjukkan keberhasilan yang
optimal pada penyembuhan jaringan periodontal, sedangkan pada stainless steel-composite
splints, mobilitas gigi menurun dengan meningkatnya ketebalan (16). Pada kasus pertama, gigi
21 diekstrusi dengan pembedahan, dan fiber splint diterapkan dari gigi 13 ke gigi 24 selama
periode empat minggu. Dikasus kedua, stainless steel wire splint 0,5 mm diterapkandari gigi 14
sampai gigi 22 setelah ekstrusi bedah karena adanya beberapa cedera traumatis, dan waktu yang
lama terlalu lama sejak trauma.

Kejadian nekrosis pulpa pada gigi dengan akar tertutup dilaporkan 96%, disarankan untuk
melakukan perawatan saluran akar sesegera mungkin untuk mencegah inflamasi dan resorpsi
akar matory (6). Kalsium hidroksida biasanya digunakan pada saluran akar karena kelebihannya,
seperti menjadi agen antibakteri, mencegah pertumbuhan bakteri di saluran akar, dan mencegah
terjadinya resorpsi akar (17). Association of Dental Traumatology melaporkan bahwa saluran
akar harus dilindungi dengan kalsium hidroksida sampai pengisian atau obturasi saluran akar,
terutama pada trauma injuri. Kalsium hidroksida yang digunakan sebagai obat ke dalam saluran
akar setelah trauma mencegah kemungkinan resorpsi internal dan terkait infeksi resorpsi akar ini
untuk mendapatkan efek antibakterinya.
KESIMPULAN
Perawatan trauma gigi intrusi harus direncanakan sesuai faktor-faktor seperti tingkat keparahan
trauma, waktu perawatan, periode gigi, dan tingkat kerjasama pada pasien. Bedah ekstrusi lebih
disarankan sesegera mungkin dilakukan untuk memulai perawatan saluran akar pada gigi, yang
mahkotanya telah masuk ke dalam tulang alveolar.

Anda mungkin juga menyukai