Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KONSERVASI

PRINSIP RESTORASI RESIN KOMPOSIT

Disusun Oleh:
Antonius Janottama Saga Pradipta
14/362502/KG/9842
Koas Angkatan 61

Departemen Konservasi Gigi


Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2018
A. Prinsip Preparasi Kavitas

Preparasi kavitas untuk restorasi gigi menggunakan resin komposit merupakan tahap
yang sangat penting. Tahap preparasi kavitas dilakukan bertujuan untuk mempersiapkan
gigi yang akan di restorasi dalam menerima bahan bonding, sehingga resin komposit dapat
melekat dengan baik pada gigi. Tahap preparsi pada restorasi resin komposit menggunakan
teknik modified preparation dimana teknik preparasi ini tidak memerlukan bentuk outline,
kedalaman, dan fitur retensi yang spesifik seperti yang diperlukan pada teknik conventional
preparation untuk restorasi amalgam. Teknik preparasi ini lebih sederhana karena hanya
perlu menghilangkan jaringan keras yang terinfeksi dan membuat bevel pada cavosurface
agar bahan bonding dapat melekat dengan baik pada permukaan gigi. Preparasi kavitas
untuk restorasi resin komposit memerlukan bevel karena perlekatan resin komposit pada
gigi tergantung pada ikatan antara bahan bonding dengan jaringan keras gigi. Agar dapat
melekat dengan baik, bahan bonding harus bisa berpenetrasi kedalam mikroporusitas yang
terbentuk setelah di etsa. Tujuan dari pembuatan bevel adalah (1) memperluas permukaan
gigi yang berikatan dengan bahan bonding, (2) membuka ujung dari prisma email sehingga
ketika dilakukan pengetsaan, dapat terjadi mikroporusitas yang lebih baik pada email, dan
(3) menciptakan hubungan tepi yang baik sehingga meminimalisir terjadinya kebocoran
tepi bahan restorasi. Pembuatan bevel tidak perlu dilakukan apabila (1) sisa email terlalu
sedikit (seperti pada kavitas kelas 5 yang meluas sampai subgingiva), (2) ujung prisma
email sudah terbuka, (3) daerah yang akan dibuat bevel memiliki beban oklusi yang terlalu
besar.

Berikut ini adalah prinsip dalam preparasi kavitas secara umum:


1. Hilangkan semua jaringan karies/defect
2. Enamel yang tidak didukung denting harus dihilangkan
3. Preparasi seminimal mungkin, agar menyisakan sebanyak mungkin jaringan keras
gigi yang masih sehat.
4. Pulpa harus dilindungi sebaik mungkin
5. Restorasi harus se-kuat dan se-estetis mungkin

Tahapan preparasi kavitas dengan teknik konvensional dan teknik modifikasi secara
umum hampir sama, yaitu menentukan outline form, menentukan primary resistance form,
menentukan primary retention form (pada restorasi dengan resin komposit tidak diperlukan
retensi mekanik karena resin komposit melekat pada gigi menggunakan bahan bonding),
menentukan convenience form, membuat akses ke jaringan karies dan menghilangkan
jaringan karies menggunakan ekskavator atau round metal bur low speed, membuang email
yang tidak didukung dentin menggunakan chisel/gingival margin trimmer, finishing
dinding kavitas dan membuat bevel pada margin apabila diperlukan. Hal yang harus
diperhatikan dalam preparasi kavitas kelas 1 adalah bevel yang digunakan yaitu short bevel,
dibuat menggunakan fisurre bur yang di adaptasikan pada margin cavosurface dengan
sudut 45°. Apabila lesi karies meluas hingga mencapai atau mendekati cusp, dianjurkan
untuk tidak menggunakan bevel karena dapat meningkatkan resiko frakturnya bahan
restorasi akibat terkena tekanan mastikasi yang terlalu tinggi. Selain itu, pada karies yang
meluas hingga mendekati cusp, tidak diperlukan bevel karena ujung dari prisma email
sudah terbuka sehingga ketika di etsa, sudah dapat menghasilkan mikroporusitas yang baik
pada email.

Preparasi pada kavitas klas II dengan lesi karies di sebelah proksimal bisa
menggunakan 2 cara yaitu dibentuk proksimal box dan proksimal slot. Proksimal box
dibuat dengan cara membuka akses kavitas dari arah oklusal, sedangkan proksimal slot
dibuat dengan cara membuka akses kavitas dari arah bukal atau lingual/palatal. Preparasi
proksimal box tidak perlu dibuat bevel pada gingival line, cukup menghilangkan email
yang tidak didukung dentin, namun apabila lesi karies meluas hingga subgingiva, gunakan
chisel untuk memotong unsupported email kemudian perlu dibuat bevel hollowground
menggunakan micropreparation bur pada gingival margin dan gunakan matriks sectional
untuk membentuk kontur proksimal dan kontak area sekaligus untuk mengisolasi
proksimal box dari perdarahan. Pembukaan akses kavitas dari arah oklusal dapat
menggunakan bur no 245 dengan kedalaman preparasi sampai 0,2 mm dibawah DEJ.
Perluasan ke arah proksimal dilakukan dengan cara menggerakan bur kearah mesial/distal
dengan tetap menjaga initial depth yang telah dibuat. Perluasan kearah bukal/lingual
dilakukan setelah membuka pit dan fissure sehingga terbentuk isthmus. Marginal ridge
harus dipertahankan setebal 0,5 mm untuk menjaga agar gigi sebelahnya tidak ikut
terpreparasi. Setelah preparasi oklusal selesai, dilakukan pembuatan proksimal box dengan
cara memperdalam preparasi didekat akhiran dari DEJ dengan cara menggerakan bur
kearah bukal/lingual mengikuti outline yang sudah dibuat. Ketika sudah didapatkan
gingival floor dengan kedalaman yang sudah ditentukan (infected dentin sudah
dihilangkan), marginal ridge dibuang secara perlahan. Finishing dilakukan menggunakan
chisel untuk membuang email yang tidak didukung dentin dan membuat short bevel pada
margin cavosurface yang tidak didekat cusp, karena pada cavosurface didekat cusp, ujung
prisma email sudah terbuka. Tepi proksimal box tidak dibuat bevel. Kavitas yang meluas
sampai subgingiva, dapat juga dilakukan prosedur yang bernama proksimal box elevation
menggunakan flowable resin komposit.

Preparasi kavitas klas III dibuat dengan cara membuka akses dari palatal/lingual atau
labial bergantung pada karies yang terjadi. Prinsip preparasi kavitas klas III ini hampir
sama dengan preparasi kavitas klas II. Setelah jaringan karies dan email yang tidak
didukung dentin terbuang, diperlukan bevel dengan bentuk hollowground yang dibuat
menggunakan flame bur atau round end fissure bur untuk membuka ujung prisma email.
Akses kavitas dianjurkan untuk dibuka dari sisi palatal atau lingual, namun apabila lesi
karies berada pada sisi labial, dan jika pembukaan akses dilakukan dari palatal dapat
mengurangi terlalu banyak jaringan keras gigi yang sehat, maka dapat dilakukan
pembukaan dari sisi labial. Arah insersi bur (round diamond bur) untuk membuka akses
kavitas adalah tegak lurus dengan email dan cutting edge sedekat mungkin dengan gigi
sebelahnya namun jangan sampai menyentuh gigi sebelahnya. Dinding kavitas dianjurkan
untuk tidak tegak lurus tetapi divergen. Lebar bevel yang dianjurkan adalah 0,5-2 mm.
karies yang meluas sampai subgingiva, gingival floor nya harus membentuk sudut 90° pada
marginnya, dan kedalaman gingivoaxial line tidak boleh lebih dari 0,75 mm.

Preparasi kavitas klas IV hampir sama dengan preparasi klas III, namun pada klas IV,
kavitas melibatkan incisal. Yang penting pada preparasi klas IV adalah pembuatan bevel
pada margin cavosurface nya. Semakin lebar bevel yang dibuat, semakin baik resin
komposit berikatan dengan gigi. Apabila retensinya masih diragukan, perlu membuat
retention groove pada dinding preparasi. Bur yang digunakan pada preparasi kavitas klas
IV adalah round bur untuk membuat outline preparasi dan menghilangkan jaringan karies,
kemudian flame bur atau round end fissure bur untuk membuat bevel pada margin
cavosurface nya.

Preparasi kavitas klas V biasanya meluas hingga subgingiva. Bevel hollowground


menggunakan flame bur atau round end fissure bur pada enamel dibuat pada margin
oklusal, sedangkan pada margin gingival tidak dianjurkan pembuatan bevel karena
sedikit/tidak adanya email pada permukaan akar. Bentuk preparasi kavitas klas V sangat
bervariasi tergantuk pada perluasan jaringan kariesnya. Pembuatan bevel hollowground
dimaksudkan agar permukaan yang berikatan dengan bonding semakin luas. Untuk daerah
yang terkena tekanan mastikasi, dianjurkan untuk tidak menggunakan hollowground bevel,
tetapi short bevel karena dengan short bevel ini, resin komposit menjadi lebih tebal
dibandingkan dengan apabila menggunakan hollowground bevel.

B. Ikatan Bahan Bonding dengan Jaringan Keras Gigi


Prosedur aplikasi bahan bonding pada jaringan keras gigi sangat penting agar dipahami
karena kegagalan dalam bonding dapat menyebabkan (1) Post-operative sensitivity, (2)
kebocoran tepi, (3) Karies sekunder dan (4) lepasnya restorasi dari gigi. Untuk memahami
mekanisme bonding terhadap jaringan keras gigi, sebelumnya perlu dipahami struktur
anatomi penyusun email dan dentin. Penyusun utama dari email merupakan kristal
hidroksiapatit yang saling berhimpitan satu sama lain membentuk suatu struktur yang
bernama prisma email. Orientasi/arah prisma email yaitu tegak lurus terhadap bidang
singgung luar gigi, dan pada servikal enamel rod cenderung mengarah ke apical. Enamel
rod pada puncak cusp sejajar dengan aksis gigi. Proses etsa pada email gigi menyebabkan
permukaan email yang tadinya halus menjadi kasar dan irregular sehingga meningkatkan
surface energy sehingga bahan bonding dapat berikatan dengan email lebih baik. Pola
email yang di etsa ada 3 yaitu (1) bagian yang larut adalah ujung dari prisma email, (2)
bagian yang larut adalah perifer prisma email, dan (3) bagian yang larut tidak berhubungan
dengan prisma email. Etsa pada email menggunakan asam fosfat 37% selama 15 detik
kemudian dibilas dan dikeringkan. Isolasi gigi sangat penting karena apabila permukaan
email yang sudah di etsa terkontaminasi saliva atau darah, dapat menyebabkan gagalnya
bahan bonding berpenetrasi kedalam mikroporusitas yang terbentuk.
Perlekatan bahan bonding pada dentin jauh lebih sulit dibandingkan dengan perlekatan
pada email karena struktur dentin yang lebih basah. Keberhasilan bahan bonding berikatan
dengan dentin bergantung pada keberhasilan bahan bonding berpenetrasi kedalam serabut
kolagen yang terekspose setelah di etsa membentuk hybrid layer, dan penetrasi bahan
bonding kedalam tubulus dentinalis membentuk resin tag. Berbeda dengan email, proses
etsa pada dentin berfungsi untuk menghilangkan smear layer dan serabut kolagen yang
rusak akibat proses preparasi. Proses etsa pada dentin membutuhkan waktu selama 10 detik
menggunakan asam fosfat 37% kemudian dibilas dan dikeringkan. Dentin yang sudah di
etsa harus dijaga kelembapannya agar serabut kolagen tidak collapse. Cara untuk menjaga
kelembapan dentin adalah menggunakan kapas yang dibasahi kemudian diperas lalu
disentuhkan ke dentin menggunakan pinset sampai merata. Kolagen yang
collapse/dehidrasi menyebabkan bahan bonding tidak dapat berpenetrasi kedalam serabut
kolagen dan membentuk hybrid layer, akibatnya resin tag juga tidak akan terbentuk dan
perlekatan bahan bonding dengan dentin menjadi tidak adekuat.
Aplikasi bahan bonding pada dentin juga harus rata agar semua tubulus dentin yang
terbuka, tertutup oleh bahan bonding. Jika aplikasi bahan bonding pada dentin tidak merata,
maka akan menyebabkan beberapa tubulus dentinalis yang terbuka dan tidak tertutup oleh
bahan bonding. Tubulus dentin yang terbuka menyebabkan post-operative sensitivity dan
juga beresiko terjadi karies sekunder.
Smear layer merupakan lapisan yang terdiri sebagian besar oleh debris residual organik
dan anorganik seperti hydroxyapatite dan serabut kolagen yang terdenaturasi. Smear layer
pada dentin menutup tubulus dentinalis membentuk smear plugs sehingga menghalangi
bahan bonding dalam membentuk hybrid layer dan menurunkan permeabilitas dentin
hingga 90%.
Sistem bonding secara umum ada 3, yaitu sistem 3 botol (etsa, primer, bonding
terpisah), sistem 2 botol (etsa primer 1 botol, bonding 1 botol dan etsa 1 botol, primer
bonding 1 botol) dan sistem 1 botol (etsa, primer, dan bonding digabung dalam 1 botol).
Pada sistem 3 botol, etsa yang digunakan biasanya adalah asam fosfat 37% yang di
aplikasikan selama 15 detik pada email dan 10 detik pada dentin. Asam fosfat yang
digunakan dalam sistem 3 botol ini tidak memiliki waktu paruh sehingga setelah
diaplikasikan, harus dicuci sampai bersih. Apabila asam fosfat tidak dicuci sampai bersih,
dapat beresiko mengiritasi pulpa. Etsa pada sistem 3 botol berfungsi untuk membentuk
mikroporusitas pada email dan menghilangkan smear layer dan jaringan kolagen yang
rusak serta membuka tubulus dentinalis pada dentin. Primer pada sistem 3 botol memiliki
molekul bifungsional yang bersifat hidrofilik dan hidrofobik. Primer berfungsi untuk
menyelimuti serabut kolagen dan “membangunkan” kembali serabut serabut kolagen yang
mengalami dehidrasi, sehingga permukaan dentin siap menerima bahan bonding dan
terbentuk hybrid layer dengan baik. Bahan bonding pada sistem 3 botol terdiri dari
sebagian besar monomer BIS-GMA (Bisphenol glycidyl methacrylate) yang bersifat
hidrofobik dan sedikit monomer hidrofilik HEMA (2-Hidroxyethyl methacrylate) dan
bahan bonding ini berpolimerisasi dengan primer.
Pada sistem 2 botol dimana etsa terpisah dalam 1 botol sendiri dan primer bonding ada
dalam satu botol, etsa yang digunakan sifat dan fungsinya sama dengan etsa yang
digunakan pada sistem 3 botol. Cara aplikasi bonding sistem 2 botol adalah pertama di etsa
terlebih dahulu selama 15 detik, kemudian dicuci dan dikeringkan, kemudian aplikasikan
cairan pada botol yang berisi primer dan bonding. Aplikasi bahan pada botol yang berisi
primer dan bonding dilakukan dengan cara mengoleskan cairan dalam beberapa lapis
(minimal 2 lapis). Lapisan pertama berfungsi sebagai primer dan lapisan kedua berfungsi
sebagai bonding.
Sistem 2 botol yang lain adalah etsa primer berada dalam 1 botol sedangkan bahan
bonding terpisah dalam botol yang kedua. Pada botol pertama, kandungan etsa dan primer
yang berada dalam 1 botol bukan menggunakan cairan asam yang dicampur dengan bahan
primer melainkan hanya menggunakan bahan primer yang bersifat asam. Sifat asam yang
dimiliki oleh bahan primer ini memiliki waktu paruh sehingga hasil etsa pada sistem ini
tidak menghasilkan mikroporusitas sebaik asam fosfat 37%. Selain itu, primer yang bersifat
asam ini tidak menghilangkan smear layer/smear plug melainkan memfiksasi smear layer
tersebut dan SEP (Self etching primer) berpenetrasi kedalam smear layer mempersiapkan
jalan untuk bahan bonding agar ketika diaplikasikan bahan bonding, tetap dapat terbentuk
resin tag. Bahan bonding yang digunakan pada sistem bonding ini sama seperti yang
digunakan pada sistem 3 botol.
Sistem satu botol cara kerjanya hampir sama dengan sistem 2 botol self etch. Pola
mikroporusitas pada email yang terbentuk juga dangkal. Pada sistem ini memiliki
kandungan monomer yang bernama phosphonated monomer yang akan terdemineralisasi
dan berpenetrasi ke dentin sehingga terbentuk presipitat pada hybrid layer. Pada sistem
bonding ini dianjurkan untuk menggunakan pendekatan lapis ganda. Lapisan tambahan
berupa hydrophobic bonding resin dapat meningkatkan daya ikat bahan bonding dengan
resin komposit. Sistem bonding ini tidak kompatibel apabila diatas bahan bonding
diaplikasikan resin komposit self-cured, kecuali bahan bonding tersebut sudah diselimuti
dengan hydrophobic bonding resin.
Masalah utama yang sering timbul pada restorasi resin komposit adalah terjadinya
post-operative sensitivity. Hal ini dipengaruhi secara signifikan oleh kedalaman/besarnya
kavitas dan polymerization shrinkage. Aplikasi bahan bonding yang tidak adekuat juga
dapat menyebabkan terjadinya kebocoran tepi dan perubahan warna pada margin restorasi
yang dapat berlanjut pada terjadinya post-op sensitivity. Terjadinya post-operative
sensitivity dapat ditanggulangi dengan beberapa cara yaitu incremental curing, soft-start
polymerization, dan pemberian lining dibawah restorasi resin komposit. Selain itu,
penggunaan self-etch juga dapat mengurangi terjadinya post-op sensitivity. Post-operative
sensitivity akan berkurang seiring dengan berjalannya waktu, namun apabila post-op
sensitivity berlangsung terus menerus, hal ini menandakan terjadinya kegagalan restorasi
resin komposit karena adanya kemunkinan kontaminasi saliva dan terjadinya karies
sekunder dan apabila terus berlanjut dan tidak ditangani dapat menyebabkan nekrosis
pulpa. Post-operative sensitivity merupakan nyeri dentin yang terjadi karena pergerakan
cairan pada tubulus dentinalis sehingga menyebabkan stimulus pada processus odontoblast
dan menyebabkan terangsangnya reseptor pada ujung saraf nyeri di rongga pulpa.
Beberapa hal yang menyebabkan pergerakan cairan tubulus dentinalis adalah pengeringan
dentin menggunakan air syringe, panas yang dihasilkan dari bur preparasi, agen kimiawi,
dan penetrasi bakteri. Dalam hal restorasi resin komposit, penyebab post-op sensitivity
karena polymerization shrinkage dan deformasi/rusaknya restorasi resin komposit karena
tekanan mastikasi menyebabkan adanya gap antara restorasi dengan margin cavosurface
sehingga tekanan mastikasi disalurkan menjadi tekanan hidrolik pada processus
odontoblas. Penggunaan bahan bonding yang merata dapat mengurangi terjadinya post-op
sensitivity karena bahan bonding mampu menutup tubulus dentinalis sehingga stimulus
atau kontaminasi dari luar tidak dapat diteruskan kedalam tubulus dentin. Selain itu, etsa
asam yang diaplikasikan pada dentin juga dapat menyebabkan post-op sensitivity dan
inflamasi pulpa apabila di aplikasikan terlalu lama (over etch) dan tidak dibilas dengan
bersih. Semakin besar kavitas, maka semakin banyak tubulus dentin yang terbuka
sementara semakin dalam kavitas, maka tubulus dentin akan semakin lebar. Hal ini lah
yang menyebabkan terjadinya post-op sensitivity lebih banyak terjadi pada kasus dengan
kavitas yang lebar atau dalam.
Dalam hal menentukan suatu nyeri apakah nyeri tersebut merupakan nyeri dentin,
nyeri pulpa, ataupun nyeri periapikal dapat dilihat dari intensitas nyerinya. Nyeri dentin
biasanya terjadi karena ada rangsangan karena rangsangan ini (panas, dingin, manis/asam,
semprotan udara) dapat menyebabkan pergerakan cairan didalam tubulus dentinalis
sehingga menggerakan ujung sel odontoblas dan diteruskan ke reseptor saraf nyeri. Nyeri
pulpa biasanya muncul saat ada stimulasi berupa panas ataupun mekanis. Nyeri pulpa ini
muncul akibat aktifnya zat kimia bardikinin menjadi kinin karena adanya jaringan yang
rusak pada pulpa. Sedangkan nyeri periapikal terjadi saat adanya stimulus berupa perkusi.
Nyeri ini muncul karena adanya abses pada periapikal ataupun adanya kerusakan pada
ligament periodontal gigi.
Asam yang digunakan pada etsa berfungsi untuk menghilangkan semua atau sebagian
smear layer sehingga permeabilitas tubulus dentinalis meningkat. Selain itu, etsa asam
mendemineralisasi dentin sampai kedalaman 3-5 µm sehingga ‘network’ serabut kolagen
terbuka dan melebarkan diameter orifis tubulus dentinalis. ‘network’ serabut kolagen yang
terbuka akan membantu dalam pembentukan hybrid layer yang baik. Apabila ‘network’
serabut kolagen yang terbuka mengalami overdry, maka ‘network’ serabut kolagen
tersebut akan mengkerut akibatnya bahan bonding tidak dapat berpenetrasi dengan baik
dan tidak terbentuk hybrid layer yang sempurna.
Bahan primer mengandung monomer HEMA yang bersifat hidrofilik dan berfungsi
untuk membasahi permukaan dentin. Fungsi utama dari bahan primer adalah membasahi
permukaan dentin dan mengembangkan serabut-serabut kolagen yang mengkerut/collapse
akibat overdry sehingga dapat terbentuk hybrid layer dengan baik dan bahan bonding dapat
berpenetrasi lebih baik kedalam tubulus dentinalis dan ikatan antara bahan bonding dengan
resin komposit menjadi lebih kuat. Sistem bonding total etch & rinse dimana etsa yang
digunakan harus dicuci bersih dan dikeringkan merupakan teknik sensitif dimana pada
teknik ini dentin harus lembab, tidak boleh terlalu kering maupun terlalu basah karena
primer pada total etch ini tidak dapat mengembangkan serabut kolagen yang mengkerut
kecuali primer tersebut mengandung butanol. Pendekatan teknik ‘dry bonding’ dilakukan
apabila primer yang digunakan bersifat water base. Primer water base memiliki
kemampuan untuk reexpanding serabut kolagen yang mengkerut. Sedangkan primer
dengan aceton base digunakan pada saat menggunakan pendekatan teknik wet bonding
dimana primer dengan aceton base bersifat water chasing sehingga air bisa dihilangkan.
Namun pendekatan teknik wet bonding memiliki kelemahan dalam menentukan seberapa
lembab dentin harus dibuat agar mendapatkan hasil retensi mikromekanis yang baik.
Sehingga pendekatan teknik dry bonding dinilai lebih tidak sensitif dan dapat membentuk
retensi lebih baik. Sistem bonding total etch adalah gold standart karena hasil uji klinis
didapatkan hasil retensi yang lebih baik dibandingkan sistem bonding self etch.
Penggunaan self etch ternyata dapat mengurangi terjadinya post-op sensitivity karena
pada self etch, smear layer tidak dihilangkan semua sehingga masih ada beberapa tubulus
dentinalis yang tertutup oleh smear layer. Self etch dibagi menjadi beberapa kategori
berdasarkan tingkat keasamannya, yaitu ultra-mild (pH > 2,5), mild (pH ± 2), intermedietly
strong (pH 1-2), strong (pH<1). Penggunaan self-etch tidak menciptakan mikroporusitas
sedalam total-etch, namun pembentukan hybrid layer pada self etch lebih baik
dibandingkan pada penggunaan total etch. Kekuatan perlekatan bonding dengan self etch
tidak dipengaruhi oleh panjang atau luasnya penetrasi bahan bonding kedalam tubulus
dentinalis melainkan oleh interaksi kimiawi antara monomer pada hidroksiapatit. Gugus
karboksil dan gugus fosfat pada monomer hidrofilik ini dapat membentuk ikatan ion
dengan kalsium hidroksiapatit.
Beberapa keuntungan dari penggunaan self etch adalah prosedur klinis yang lebih
efisien karena tidak perlu mencuci dan mengeringkan etsa. Selain itu, operator tidak perlu
menciptakan/menjaga kelembapan dentin karena pada teknik ini, primer berpenetrasi pada
saat yang sama dimana serabut kolagen terdemineralisasi. Teknik self etch juga mencegah
terjadinya post-op sensitivity karena penetrasi bahan bonding ke tubulus dentinalis lebih
merata. Debris kristal hidroksiapatit pada smear layer juga dapat membentuk ikatan
kimiawi dengan monomer pada bahan bonding. Kelemahan dari teknik self etch adalah
tidak memiliki retensi mikromekanis sebaik pada total etch sehingga secara uji klinis,
perlekatan antara bahan bahan bonding dengan gigi tidak terlalu baik.

C. Komposisi, Karakterisitik dan Sifat Bahan Bonding Generasi 4, 5, 6, 7, 8


Bonding generasi keempat merupakan tipe bonding dengan multi-bottle system.
Bonding ini disebut juga total-etch atau etch-and-rinse system. Komposisi dari bonding ini
adalah etsa, primer, dan adhesif (Powers dkk., 2017).
a. Bahan etsa yang biasa digunakan pada bonding generasi keempat antara lain adalah
asam fosfor 37%, asam nitrat, asam maleat, asam oksalat, asam piruvat, asam
hidroklorat, asam sitrat, atau chelating agent seperti EDTA. Penggunaan etsa
menyebabkan hilangnya smear layer, demineralisasi dentin peritubular dan
intertubular, serta tereksposnya serat kolagen.
b. Primer tersusun atas monomer seperti HEMA (2-hydroxyethil methacrylate) dan 4-
META (4-methacryloxyethil trimellitate anhydride) yang larut dalam aseton atau
ethanol. Bahan-bahan ini memiliki ujung hidrofilik yang memiliki afinitas terhadap
kolagen yang terekspos dan ujung hidrofobik terhadap resin. Penggunaan primer
meningkatkan wettability permukaan dentin, ikatan antara dentin dan resin, dan
mendorong infiltrasi monomer pada dentin peritubular dan intertubular yang
terdemineralisasi.
c. Bahan resin adhesif memiliki kandungan berupa BIS-GMA (Bisphenol-glycidyl
methacrylate) yang bersifat hidrofobik dan sedikit HEMA yang bersifat hidrofilik.
Adhesif berkombinasi dengan monomer untuk membentuk resin reinforced hybrid
layer dan resin tags untuk mengunci tubulus dentinalis.

Kelebihan dari bonding generasi keempat, yaitu membentuk ikatan yang kuat dengan
enamel dan dentin hingga mencapai 17-25 MPa terutama apabila kondisi dentin dalam
keadaan lembab. Selain itu bonding generasi 4 juga bisa digunakan untuk berikatan pada
substrat seperti porselen dan aloy (termasuk amalgam). Kekurangan dari bonding generasi
keempat, yaitu memakan waktu, Langkah-langkah yang digunakan cukup banyak, dan
teknik ini merupakan sensitif dimana dentin harus benar-benar dalam kondisi yang lembab.

Bonding generasi 5 terdiri dari 2 botol dan teknik yang digunakan sama dengan pada
generasi 4 yaitu etch-and-rinse adhesive. Generasi 5 diciptakan dengan tujuan
mempersingkat waktu kerja karena bahan primer dan bahan bonding dicampurkan dalam 1
botol. Kekuatan yang terbentuk pada sistem bonding ini juga hampir sama dengan generasi
4. Sehingga kelebihan dari genereasi 5 pun sama dengan generasi 4 ditambah dengan waktu
pengerjaan yang lebih singkat. Kekurangan dari generasi 5 yaitu juga masih merupakan
teknik yang sensitif.
Bahan bonding generasi 6 (self-etching primers) terdiri dari 2 komponen: 1 botol (1
unit dose) mengandung primer yang bersifat asam dan 1 botol mengandung adhesive. Cara
aplikasi bahan bonding ini adalah 1 tetes cairan dari masing-masing botol dicampurkan
kemudian campuran tersebut diaplikasikan pada permukaan gigi. Langkah ini diciptakan
untuk memperbaiki kekurangan pada generasi 4 dan 5 yang merupakan teknik sensitif.
Cairan pada kedua botol yang dicampurkan terlebih dahulu sebelum diaplikasikan
bertujuan agar dalam aplikasinya lebih efektif serta proses yang terjadi dapat berlangsung
secara bersamaan. Pada bahan bonding generasi 6 tidak perlu mengkondisikan dentin untuk
lembab karena proses terjadinya demineralisasi oleh etsa bersamaan dengan penetrasi
bahan primer dan adhesive pada tubulus dentin sehingga kondisi jaringan serabut kolagen
masih memiliki struktur yang cukup baik karena tidak mengalami collapse dan dapat di
penetrasi oleh bahan primer dan bahan bonding. Kelebihan dari bahan bonding generasi 6
adalah mempunyai 1 langkah dalam aplikasinya, mendapatkan ikatan yang kuat pada email
dan dentin hanya dengan satu larutan, ikatan dengan dentin cukup kuat. Kekurangan dari
bahan bonding generasi 6 adalah ikatan dengan email yang kurang efektif, karena bahan
bonding generasi ke 6 hanya terdiri dari cairan asam yang mempunyai pH yang tidak cukup
kuat untuk mengetsa email dengan kekuatan tarik sebesar 20 MPa.

Komposisi bahan bonding generasi 6 adalah bahan bonding terdiri dari monomer
hidrofilik dan hidrofobik. Monomer yang paling banyak digunakan pada adhesive system
adalah hydroxylethyl methacrylate (HEMA) dan Bisphenol glycidyl methcrylate (bis-
GMA). Hydroxylethyl methcrylate sangat menyatu dengan air dan menyediakan wetting
agent sehingga dapat terjadi polimerisasi. Bisphenol glycidyl methcrylate merupakan
monomer utama yang memiliki sifat hidrofobik, dan menyerap air hanya sekitar 3% dari
berat keseluruhan saat polimerisasi. Polimerisasi monomer ke substrat dentin dapat
ditingkatkan dengan penambahan solvent, yang berfungsi sebagai thinning agent. Solvent
dapat berupa air, ethyl alcohol, butyl alcohol, atau acetone. Solvent bersifat sangat
hidrofilik dan dapat meningkatkan interaksi antara monomer dengan permukaan berair.

Bonding generasi ketujuh merupakan bonding yang menggunakan sistem adhesif one-
step self-etch. Sistem ini menggabungkan teknik etsa, primer dan adhesif pada struktur gigi
dalam 1 prosedur aplikasi. Sistem ini tidak memerlukan tahap pencucian. Komponennya
terdiri dari monomer ester asam fosfat, UDMA, TEGMA, 4-MET, bahan pengisi nano, serta
pelarut aseton dan air.
Mekanisme adhesi bahan bonding ini diawali dengan pengetsaan oleh monomer fosfat
metakrilat yang juga bertanggung jawab sebagai bahan bonding (proses pengetsaan dan
penetrasi bahan adhesif terjadi secara simultan) sehingga kedalaman demineralisasi sama
dengan kedalaman penetrasi monomer bahan bonding. Pada saat proses pengetsaan
berlangsung, pH ester fosfat meningkat dan pada gilirannya akan menghentikan proses
pengetsaan. Mekanisme ini memungkinkan seluruh kedalaman pola etsa diisi oleh resin
sehingga tidak ada kesempatan terbentuk ruang kosong yang tertinggal di bawah lapisan
hibrid dentin.
Jumlah tahap aplikasi yang berkurang pada sistem adhesif ini, dapat mengurangi
periode waktu manipulasi, kesalahan dalam aplikasi/ketidaksesuaian dengan standar
prosedur dan mengurangi terjadinya sensitifitas dentin setelah perawatan karena etsa dari
primer asam menghasilkan demineralisasi yang dangkal dan tanpa pembilasan. Sistem
adhesif self-etch menggabungkan bahan etsa dan primer dalam satu kemasan sehingga
dapat mengurangi periode waktu manipulasi. Bahan etsa pada sistem adhesif self-etch
menghasilkan demineralisasi yang bersifat superfisial dan tidak perlu dibilas. Hal ini
menyebabkan smear layer tetap dipertahankan dan menjadi bagian dari lapisan hibrida
sehingga meminimalkan sensitivitas post operatif. Dengan cara ini, permeabilitas dentin
diturunkan dan sensitivitas dentin terhadap air berkurang.
Kekuatan bonding dipengaruhi oleh: jenis bahan bonding, lama pengeringan udara,
cara pengaplikasian bahan bonding dan perlakuan permukaan gigi. Kekuatan bonding
sistem adhesif one-step self-etch rendah karena hidrofilisitas bonding meningkat.
Peningkatan ini terjadi karena primer, adhesif dan pelarut bergabung dalam satu botol
sehingga sisa-sisa bahan pelarut air atau aseton dapat terjebak di lapisan adhesif. Air dan
aseton pada lapisan adhesif menyebabkan polimerisasi dapat terjadi tidak sempurna.
Adanya kandungan air dan aseton tersebut menyebabkan lama pengeringan udara pada
aplikasi bonding menjadi faktor yang berpengaruh dalam menentukan kekuatan
bondingnya. Selain pengaruh lama pengeringan udara, cara pengaplikasian bahan bonding
juga berpengaruh terhadap kekuatan bonding. Gerakan menggosok atau agitasi saat
pengaplikasian bonding dilakukan untuk meningkatkan infiltrasi resin ke dalam matriks-
matriks kolagen yang terdemineralisasi oleh etsa asam. Alat yang digunakan adalah brush
applicator atau microbrush.
Kelebihan dari bonding generasi ketujuh, yaitu kedalaman demineralisasi dentin sama
dengan kedalaman infiltrasi monomer, mengurangi sensitifitas gigi pascaoperatif, jumlah
aplikasi lebih sederhana, waktu lebih singkat, komposisi stabil, aplikasi lebih higienis.
Kekurangan dari bonding generasi ketujuh yaitu kekuatan bonding rendah karena
mikroporusitas pada email dangkal.
Bonding generasi delapan (universal bonding) memiliki kelebihan berupa partikel
nanofiller dengan ukuran partikel rata-rata 12 nm. Hal ini menyebabkan bahan bonding
generasi delapan mampu berpenetrasi menembus serabut kolagen lebih baik sehingga
menciptakan retensi mikromekanis yang lebih baik. Selain itu, agen bonding pada generasi
delapan ini bersifat sebagai stress absorption dan memiliki shelf life yang lebih panjang.
Partikel nano yang terdapat pada bahan bonding ini selain mampu berpenetrasi lebih baik,
juga berfungsi sebagai agen pengikat sehingga meminimalisir terjadinya perubahan
dimensi.

D. Macam-Macam Resin Komposit dan Mekanisme Polimerisasi


I. Berdasarkan metode polimerisasi:
a. Light cured composites
Light cured composites dapat diaktivasi dengan ultraviolet light maupun
visible light yang nantinya akan mengaktivasi inisiator berupa camphorquinon.
Keuntungan menggunakan light cured composites adalah terdiri dari pasta tunggal
sehingga operator tidak perlu melakukan pencampuran (no mixing), operator dapat
mengontrol working time dengan mengaplikasikan curing unit, kestabilan warna
lebih tahan lama dikarenakan tidak mengandung tertiary amine.
b. Chemical cure (Self-cured) composites
Produk yang diaktivasi secara kimiawi terdiri dari dua pasta, yaitu katalis
(komposit dan benzoyl peroxide sebagai inisiator) dan base (komposit dan tertiary
amine sebagai akselerator). Reaksi polimerisasi dimulai ketika dua pasta diaduk.
Pengadukan dilakukan selama 30 detik. Kekurangan dari produk ini adalah
terbatasnya working time dan kurangnya kestabilan warna dalam jangka waktu
beberapa tahun dikarenakan adanya tertiary amine.
c. Dual cure composites
Produk ini diaktivasi baik secara kimiawi maupun dengan penyinaran. Setting
time dimulai ketika diberi penyinaran, dan akan terus terjadi reaksi walau
penyinaran sudah berhenti.
II. Berdasarkan bentuk partikel pengisi
a. Macrofilled composites
Ukuran partikelnya adalah 10-100 microns. Ukuran partikel yang besar
menyebabkan komposit ini sulit dihaluskan (polish).
b. Microfilled composites
Ukuran partikelnya adalah 0,01-0,1 microns. Sifat fisik dari microfilled
composites ini tergolong rendah, seperti: tidak terlalu kuat, dan mudah aus.
Microfilled composites tidak dianjurkan untuk restorasi kelas I, II, dan IV. Namun,
microfilled composites ini juga memiliki kelebihan, yaitu lebih estetis dan lebih
halus.
c. Hybrid composites
Terdiri dari campuran dua ukuran partikel filler yang berbeda, yaitu macrofiller
dan microfiller sehingga sifat fisik dan mekaniknya akan menjadi lebih baik. Hybrid
composites dapat digunakan untuk restorasi gigi anterior maupun posterior.
III. Berdasarkan cara penggunaan
a. Flowable composites
Ukuran partikelnya 35-65% berat. Material ini sangat mudah digunakan karena
viskositasnya yang rendah, komposit jenis ini dapat diinjeksikan ke dalam kavitas
kecil yang telah dipreparasi menggunakan syringe. Kegunaan dari flowable
composites adalah: pit dan fissure sealant, cavity liners, abrasi atau lesi servikal.
b. Packable composites
Ukuran partikel 70% berat sehingga konsistensinya kaku. Komposisi filler
yang tinggi menyebabkan peningkatan viskositas resin komposit sehingga resin
komposit ini menjadi kental dan sulit mengisi celah kavitas yang kecil. Sebaliknya,
dengan semakin besarnya komposisi filler akan dapat mengurangi pengerutan
selama polimerisasi. Packable composites digunakan untuk restorasi gigi posterior
kelas I atau II dikarenakan komposit jenis ini lebih kuat dan lebih tahan terhadap
keausan.
c. Core buildup composites
Core buildup composites digunakan untuk memperbaiki gigi yang sudah rusak
parah dan membutuhkan mahkota. Komposit jenis ini menggantikan struktur gigi
yang hilang karena karies maupun fraktur. Material jenis ini dapat dipolimerisasi
baik secara light cured, self cured, maupun dual cured.
d. Provisional restorative composites
Komposit jenis ini digunakan untuk temporary inlay dan crown.

II. Polimerisasi resin komposit


Tahap tahap polimerisasi resin yang tersusun oleh polimer secara umum terjadi
dalam beberapa tahapan. Tahapan yang pertama adalah inisiasi dimana dalam tahap ini
terjadi pembentukan radical bebas. Selanjutnya tahapan propagasi dimana pada tahap
ini monomer-monomer akan saling berikatan membentuk suatu rantai dengan dibantu
oleh energy dari radikal bebas yang sudah terbentuk. Selanjutnya adalah tahapan
terminasi dimana pada tahap ini rantai rantai panjang monomer yang sudah terbentuk
pada ujung bebasnya saling bertemu dan memutus reaksi pembentukan rantai-rantai
baru. Pada tahap terminasi ini, ujung bebas rantai monomer dapat berikatan dengan
oksigen sehingga membentuk oxygen inhibited layer. Permukaan resin komposit yang
tidak dipoles akan meninggalkan oxygen inhibited layer dimana matriks resin komposit
berikatan dengan oksigen. Resin komposit yang memiliki oxygen inhibited layer
otomatis akan memiliki monomer sisa yang tidak bereaksi. Akibatnya, monomer sisa
tersebut akan menyerap/bereaksi dengan air, sehingga tumpatan akan mudah berubah
warna.

A. Chemically activated (self cured) resins


Chemically cured composites terdiri dari 2 pasta. Pasta pertama (katalis)
mengandung benzoyl peroksida sebagai inisiator dan pasta kedua mengandung
aromatic tertiary amine (N, N-dimethyl-p-toluidine) sebagai akselerator. Ketika
kedua pasta dicampurkan, gugus amina bereaksi dengan benzoyl peroksida dan
membentuk radikal bebas, dan polimerisasi terinisiasi. Kelemahan dari chemically
activated resins adalah sulitnya menghindari terjadikan kontaminasi air pada
campuran tersebut, sehingga terjadi porus yang menyebabkan lemahnya struktur
resin. Terjadinya porus juga menyebabkan terhambatnya proses polimerisasi. Selain
itu, operator tidak dapat mengontrol working time, sehingga pencampuran, insersi,
konturing harus dilakukan secepat mungkin sebelum resin terpolimerisasi sempurna.
Kelemahan lain dari self cured resins adalah terbentuknya oxygen inhibited layer.
Ketika fase polimerisasi awal, proses ini dihambat oleh adanya oksigen karena
reaktivitas dari radikal bebas terhadap oksigen lebih tinggi daripada terhadap
monomer. Oksigen dapat berdifusi kedalam campuran resin dan bereaksi dengan
radikal bebas. Reaksi ini menghasilkan unpolymerized surface layer. Ketebalan
lapisan yang tidak bereaksi tersebut tergantung pada viskositas resin, solubility of
oxygen ke dalam monomer, dan sistem inisiator yang digunakan. Berikut ini adalah
skema terjadinya polimerisasi pada self cured resins:

Monomer diacrylate (pada kedua pasta) + Akselerator (pada pasta basis) + inisiator
(pada pasta katalis) -> Cross linked polymer
II. Photochemically (light cure) resins
Untuk mengatasi kekurangan dari aktivasi kimiawi, dikembangkan resin
komposit yang tidak membutuhkan pencampuran dengan menggunakan inisiator
yang bersifat fotosensitif dan sumber cahaya untuk aktivasi. Resin komposit aktivasi
sinar terdiri dari satu macam pasta yang ditempatkan dalam syringe yang bersifat
lightproof. Pasta tersebut mengandung photosensitizer dan initiator amine. Selama
kedua komponen ini tidak terkena cahaya, mereka tidak akan bereaksi. Pemaparan
cahaya dengan panjang gelombang ± 468 nm menyebabkan terjadinya eksitasi dari
fotosensitizer yang kemudian akan berinteraksi dengan amine membentuk radikal
bebas. Champorquinone (CQ) adalah fotosensitizer yang biasa digunakan karena
menyerap cahaya biru dengan panjang gelombang antara 400 – 500 nm.
Fotosensitizer yang digunakan dalam pasta resin komposit biasanya hanya
membutuhkan 0,2% dari berat total pasta., sedangkan initiator amine
(dimethylaminoethylmethacrylate (DMAEMA)), dibutuhkan juga dalam jumlah
yang sedikit yaitu sekitar 0,15% dari berat total pasta. Pemaparan dilakukan selama
40 detik atau kurang agar resins dengan ketebalan 2 mm dapat terpolimerisasi secara
sempurna.

Reaksi polimerisasi:
Monomer diacrylate + Fotoinisiator (CQ) + Blue light -> Cross-linked polymer

Faktor-faktor yang mempengaruhi polimerisasi resin komposit aktivasi sinar:


a) Curing lamps
b) Kedalaman/ketebalan resins
c) Waktu pemaparan.

III. Dual resins cured


Untuk mengatasi keterbatasan penetrasi sinar pada restorasi yang cukup tebal,
dikembangkan resin komposit dengan sistem aktivasi kombinasi antara chemical
curing dengan visible-light curing. Pada resin komposit aktivasi kombinasi ini,
tersedia dalam bentuk 2 pasta yang dapat di aktivasi dengan sinar tampak. Komposisi
pada masing-masing pasta sama dengan komposisi pada self cured resin komposit,
tetapi dengan rasio yang diatur supaya ketika 2 pasta ini dicampurkan, reaksi
polimerisasi yang terjadi lambat dan ketika dilakukan pemaparan menggunakan sinar
tampak, reaksi polimerisasinya akan berjalan dengan cepat. Kelebihan dari bahan ini
adalah terjaminnya reaksi polimerisasi yang berjalan dengan sempurna walaupun
dipapar menggunakan sinar tampak yang tidak adekuat. Namun bahan ini juga
memiliki kekurangan dimana masih dapat terjadi porusitas saat dilakukan
pencampuran. Kekurangan ini dapat diatasi dengan cara mencampur kedua pasta
menggunakan syringe. Walaupun stabilitas warna yang dimiliki bahan ini tidak
sebaik resin komposit aktivasi sinar, namun masih lebih baik dibandingkan dengan
self cured resin komposit, karena kandungan akselerator berupa aromatic amine lebih
sedikit dibandingkan dengan self cured resin komposit.

Shrinkage pada restorasi resin komposit juga merupakan salah satu hal yang harus
ditangani dalam restorasi gigi. Kecenderungan resin komposit untuk mengkerut pada saat
polimerisasi dapat diatasi dengan memperluas/memperpanjang bevel agar ikatan dengan
email semakin kuat dan dapat menahan kekuatan pengerutan yang terjadi pada saat
polimerisasi. Selain itu, pengerutan juga dapat diatasi dengan menggunakan teknik
incremental dimana teknik ini merupakan metode pengisian resin komposit tonjol demi
tonjol agar diperoleh adaptasi marginal yang lebih baik. Shrinkage resin komposit dapat
terjadi karena pada saat polimerisasi, resin komposit melakukan mekanisme pelepasan
stress pada permukaan bebas yang tidak berikatan dengan gigi. Pada restorasi kavitas 3
dimensi yang memiliki 6 sisi, perbandingan antara permukaan yang berikatan dengan gigi
dan permukaan yang bebas adalah 5:1 sehingga mekanisme pelepasan stress tidak bisa
berjalan dengan maksimal dan terjadi pengerutan. Pada restorasi 2 dimensi seperti veneer,
perbandingan antara permukaan yang berikatan dengan gigi dan permukaan yang bebas
adalah 1:1 sehingga pada restorasi ini tidak terjadi pengerutan. Selain itu perubahan volume
restorasi juga dipengaruhi karena perbedaan koefisien muai antara gigi dan bahan restorasi,
serta dipengaruhi oleh ada tidaknya atau besar kecilnya tekanan yang diterima pada gig
yang direstorasi tersebut.

E. Prinsip Restorasi Biomimetik


Fungsi restorasi gigi:
1. Mengembalikan fungsi mastikasi
2. Mengembalikan fungsi fonetik
3. Mengembalikan fungsi estetik
4. Mengembalikan fungsi perlindungan terhadap struktur jaringan pendukung gigi

Terdapat 6 faktor yang harus diperhatikan dalam restorasi gigi yaitu bentuk, simetris,
posisi dan kesejajaran, tekstur permukaan, warna, dan translusensi.

A. Bentuk
Untuk membuat supaya gigi incisivus terlihat lebih lebar dapat dilakukan
dengan cara menjauhkan garis transisi dan mempertegas tekstur horizontal.
Untuk membuat supaya gigi incisivus terlihat lebih sempit dapat dilakukan
dengan cara mendekatkan garis transisi. Untuk membuat supaya gigi incisivus
terlihat lebih panjang, dapat dilakukan dengan meletakan bagian labial yang
paling prominen lebih ke apical. Untuk membuat supaya gigi incisivus terlihat
lebih pendek dapat dilakukan dengan cara meletakan bagian yang lebih prominen
pada labial lebih ke incisal.
Bentuk gigi incisivus central superior biasanya sesuai atau sama dengan
bentuk/profil muka terbalik dengan batas incisal sesuai dengan garis imajiner
yang ditarik menghubungkan kedua mata.

B. Simetris
Senyum, jika dilihat dari depan, dianggap estetik baik jika setiap gigi
(mulai dari garis tengah) kira-kira 60% dari ukuran gigi ke mesial. Proporsi pasti
dari gigi yang lebih kecil ke gigi yang lebih besar adalah 0,618. Harus ditekankan
bahwa proporsi ini berdasarkan ukuran gigi yang terlihat ketika dilihat langsung
dan bukan ukuran sebenarnya dari gigi. Untuk rasio lebar:panjang gigi incisivus
yang ideal adalah 0,75-0,8.

C. Posisi dan kesejajaran


Posisi dan kesejajaran yang ideal adalah apabila semua bagian atau sisi gigi
masuk kedalam lengkung gigi individual pasien. Manipulasi posisi gigi dapat
dilakukan dengan mengurangi bagian gigi yang keluar dari lengkung atau
menambahkan bagian gigi yang tidak masuk kedalam lengkung. Perawatan posisi
dan kesejajaran juga dapat dilakukan dengan melakukan veneering dengan
catatan gigi yang akan dipasang veneer maloklusinya masih tergolong ringan.

D. Tekstur Permukaan
Restorasi yang akan terlihat estetik harus dapat mengikuti bentuk stippling,
cembung dan cekungnya gigi asli. Gigi muda memperlihatkan tekstur permukaan
yang masih jelas sedangkan gigi pada usia tua cenderung memiliki permukaan
yang halus karena telah mengalami abrasi, akan tetapi restorasi tanpa
karakteristik permukaan gigi jarang dilakukan sekalipun untuk orang tua. Selain
itu, anatomi permukaan gigi seperti bagian depresi, prominen, facets, atau
perikimata, mamelon (dibuat dengan cara menambahkan dentin color +
translucency email), servikal bulge, dan incisal halo (garis opaque di tepi incisal)
harus diperhatikan dan dibuat pada bagian gigi yang hilang.

E. Warna
Gigi pada dasarnya terdiri dari warna yang berbeda-beda. Gradasi warna
tercipta dimulai dari arah gingiva ke insisal dengan bagian gingiva berwarna lebih
gelap karena enamel lebih tipis. Bagian permukaan akar gigi yang terekspos akan
terlihat lebih gelap karena ketidakhadiran enamel, selain itu gigi caninus
memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan gigi insisivus. Pasien dengan
enamel yang tebal akan memiliki warna gigi yang putih, lebih lanjut seseorang
dengan kulit yang cenderung gelap akan memiliki gigi-gigi yang terlihat putih,
hal ini disebabkan warna yang kontras antara kulit dan gigi. Pasien wanita dapat
meningkatkan putihnya warna gigi dengan menggunakan make up atau lipstik
dengan warna agak gelap, hal ini akan menciptakan ilusi dari pandangan.
Berbagai sumber pencahayaan juga akan menyebabkan persepsi warna
yang berbeda, disebut metamerism. Pemilihan warna sebaiknya ditentukan
sebelum gigi dikeringkan untuk menghindari dehidrasi gigi yang akan
mengakibatkan gigi terlihat lebih terang. Selain itu, dekatkan shade guide pada
keseluruhan gigi, kemudian dekatkan pilihan warna pada gigi yang direstorasi.
Penentuan warna diharapkan dapat dilakukan dengan cepat karena mata
memiliki limitasi untuk dapat melihat warna-waran setelah 30 detik. Jika
membutuhkan waktu lebih banyak, maka mata perlu diistirahatkan dengan
melihat warna biru atau ungu.

F. Translusensi
Translusensi mempengaruhi kualitas hasil estetik restorasi. Derajat
translusensi berhubungan dengan seberapa jauh cahaya dapat berpenetrasi masuk
ke gigi atau restorasi sebelum dipantulkan kembali. Normalnya cahaya
berpenetrasi melalui enamel lalu ke dentin kemudian dipantulkan kembali. Hal
ini akan membedakan dengan gigi yang tidak vital yaitu gigi yang tidak vital akan
mendapat penetrasi yang sedikit. Ilusi translusensi dapat menggunakan color
modfiers atau yang disebut tints untuk menciptakan area translusensi dan
menghilangkan stains.

Anda mungkin juga menyukai