Anda di halaman 1dari 5

Kebijakan BPJS: Rakyat Dipaksa Makan Riba?

Rubrik: Ekonomi, Opini | Kontributor: Dita Anggraini - 20/02/15 | 09:23 | 29 Rabbi al-Thanni 1436 H

Ilustrasi. (bpjs-kesehatan.go.id / bpjsketenagakerjaan.go.id)

dakwatuna.com – Tuntutan perlindungan atas jaminan sosial bagi masyarakat


akhirnya dikabulkan pemerintah. Sejak pengesahan UU No. 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional, Indonesia telah memiliki dasar hukum yang jelas
tentang pengaturan jaminan sosial bagi rakyatnya, disusul tahun 2012 yaitu disahkan
UU No. 24 Tahun 2012 tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).

Jaminan sosial adalah sebuah skema antisipasi atas risiko atau kondisi yang tidak
diharapkan menimpa seseorang seperti sakit, kecelakaan, hari tua, dan kematian.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dibentuk sebagai perwujudan konkret dalam
penyelenggaraan jaminan sosial. Sebelumnya sudah ada PT Jamsostek dan PT
Askes memang dalam hal lembaga penyelenggara jaminan sosial, namun pasti ada
agenda lain dibalik pemusatan penyelenggaraan jaminan sosial ini. Tahun 2019
ditetapkan sebagai tahun di mana seluruh masyarakat harus sudah terdaftar sebagai
peserta BPJS.

Kontroversi beberapa kalangan termasuk cendekiawan mengenai kehalalan BPJS ini


cukup membawa kebimbangan di kalangan masyarakat muslim, terutama bagi
mereka yang awam. Perhatian mereka terhadap produk halal baik barang maupun
jasa sudah menjadi prioritas utama. Bagaimana tidak, sebuah restoran terkenal
berinisial S yang sempat mendapat notifikasi isu belum tersertifikasi halal merasakan
dampaknya, namun pihak restoran tidak mau menyebutkan persentase penurunan
jumlah pengunjung.

Selain menjalankan tugas pemerintah dalam hal jaminan sosial rakyatnya, terdapat
potensi besar yang dilirik pemerintah dari penerapan kebijakan ini. Kesulitan dalam
hal birokrasi pembuatan maupun perpanjangan Kartu Tanda Penduduk, Kartu
Keluarga, maupun pencabutan izin usaha bagi badan usaha adalah beberapa sanksi
yang diterapkan pemerintah dalam rangka mengupayakan terselenggaranya BPJS
secara total di Indonesia sejak dimulainya program jaminan sosial khususnya untuk
kesehatan pada 1 Januari 2014 lalu.

Dana yang terkumpul di BPJS bukanlah dana yang kecil. Saat ini, per tanggal 23
Januari 2015 sudah 135.420.517 peserta terdaftar di BPJS dengan kualifikasi
86.500.000 Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibiayai pemerintah. Maka, dengan
asumsi besaran iuran terkecil Rp 25.500 dikalikan dengan jumlah peserta saat ini,
dana yang sudah terkumpul di BPJS adalah sekitar Rp 3,453 triliun. Saat seluruh
rakyat Indonesia sudah terdaftar di BPJS 2019 nanti, menurut Proyeksi Penduduk
Indonesia 2010-2035 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, di tahun 2020, di mana
Indonesia mengalami bonus demografi, jumlah penduduk Indonesia diprediksi
berjumlah sebanyak 271.066.400. Maka besar dana yang terkumpul di BPJS minimal
bisa mencapai Rp 6,912 triliun.

Lalu, bagaimana bisa BPJS ini disinyalir haram karena mengandung riba, maysir,
dan gharar, di mana ketiga transaksi ini adalah transaksi yang dilarang dalam Islam?

Kita tahu bahwa skema asuransi yang diimplementasikan adalah skema asuransi
konvensional. Seluruh iuran yang dibayarkan adalah premi yang kemudian menjadi
milik pihak penanggung/ perusahaan asuransi. Saat sakit atau kecelakaan, klaim
tersebut baru dapat diajukan dan dikabulkan, namun saat peserta BPJS sehat dan
tidak klaim, maka selah itu merupakan kerugian bagi mereka yang sehat – meskipun
sakit bukanlah yang kita harapkan – dan unsur maysir yang diindikasikan terjadi di
sini.

Pendapat lain, seorang dosen pasca sarjana sekaligus penulis Harta Haram
Muamalat Kontemporer, Erwandi Tirmidzi, dengan jelas menyampaikan unsur riba
dalam skema asuransi BPJS ini. Denda yang diterapkan bagi mereka yang telat
membayar iuran adalah kelebihan yang diperjanjikan dan hal tersebut merupakan
riba. Lebih jauh lagi, rakyat seolah-olah dipaksa makan riba dari pengolahan dana
investasi BPJS ini. Kita sudah kalkulasikan ada sekitar Rp 6, 912 triliun yang
nantinya dikelola pemerintah. Dana sebesar ini masih diinvestasikan ke sektor-sektor
konvensional dan berbasis bunga, seperti deposito berjangka, surat utang, obligasi
korporasi, reksadana, properti, dan penyertaan langsung. Melihat keputusan
investasi di atas, maka dana yang kemudian dikembalikan kepada rakyat dalam hal
pelayanan kesehatan ini sudah terkontaminasi riba yang berkedok bunga.

Dari sudut pandang lain, Islam adalah rahmatal lil’aalamiin. Agama ini universal dan
mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, mulai dari hubungan manusia
dengan Tuhannya, hubungan antar manusia, hubungan manusia dengan
lingkungannya dan segala aspek yang menyangkut aktivitas kehidupan.

Jika ditelaah dari segi rukun dasar ekonomi Islam, maka jaminan sosial termasuk
dalam salah satunya. Di antara rukun dasar ekonomi Islam : kepemilikan (al-
milkiyyah), kebebasan (al-hurriyyah) dan jaminan sosial (at-takaful al-ijtima’iy).

Dalam QS Yusuf dari ayat 43-49 yang menjelaskan Nabi Yusuf AS menjelaskan tabir
mimpi, di mana jika kita mengetahui ada kondisi yang buruk di depan (kekeringan),
maka kita dapat melakukan persiapan yang terbaik untuk menghadapinya dengan
cara bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa, maka apa yang kamu tuai
hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan, kemudian
sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang
kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum)
yang kamu simpan.

Jauh sebelum UU tentang jaminan sosial disahkan, Allah SWT telah memerintahkan
umatnya untuk berjaga-jaga dalam hal mengantisipasi hal terburuk yang mungkin
akan menimpa umatnya, dengan kata lain secara modern motif berjaga-jaga tersebut
bisa diwujudkan melalui asuransi. Dalam hal ini berarti asuransi bukanlah sesuatu
yang diharamkan, bahkan Allah mengisahkan Nabi Yusuf pun melakukan kegiatan
asuransi pada zamannya, hanya saja asuransi seperti apa yang baik dan halal bagi
umat manusia.

Prinsip-prinsip BPJS yang berdasarkan gotong royong, nirlaba, keterbukaan, kehati-


hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan wajib, dana amanat, hasil pengelolaan
dana digunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan sebesar-besarnya
untuk kepentingan peserta, menunjukkan itikad baik dari penyelenggaraan BPJS ini.
Gotong royong (ta’awun) dan nirlaba (tabarru) merupakan skema yang juga
merupakan diterapkan dalam asuransi syariah, namun bukan berarti BPJS ini sudah
bisa dikategorikan syar’i mengingat juga beberapa konsiderasi dan perdebatan di
atas.

Wacana BPJS Syariah ini telah diajukan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Populasi
muslim terbesar di Indonesia akan mendukung terwujudnya sistem BPJS syariah.
Masyarakat muslim khususnya memiliki hak dalam jaminan atas kehalalan produk
yang dia konsumsi, tidak terkecuali produk jasa. Dalam hal ini BPJS syariah nantinya
akan mengimplementasikan skema asuransi syariah.

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 21/DSN-
MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah menyebutkan bahwa definisi
mengenai asuransi syariah (Ta’min, Takaful, atau Tadhamun) adalah usaha saling
melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/ pihak melalui investasi
dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

Skema asuransi syariah yang diterapkan membuat dua alokasi premi atau dana
iuran peserta. Alokasi pertama adalah iuran tabarru (dana yang dialokasikan untuk
gotong royong dalam memangku klaim BPJS Kesehatan maupun Ketenagakerjaan)
sementara alokasi kedua adalah untuk investasi yang disalurkan kepada investasi
tanpa basis bunga, seperti sukuk, pasar modal syariah, maupun deposito di bank
syariah. Selain itu skema ini juga tidak merugikan satu sama lain karena peserta
bertindak sebagai shahibul maal yang juga akan mendapatkan bagi hasil dari skema
investasi tersebut. Jadi, melalui skema ini tidak akan ada unsur perjudian (maysir)
yang selama ini dikhawatirkan dan riba atas bunga investasi bisa sangat ditekan.
Berikut mekanisme asuransi syariah, sebuah skema “aman” bagi kaum muslim
dalam melaksanakan asuransi dan tanpa menutup kesempatan bagi nonmuslim
untuk mengikuti skema ini.

Dalam asuransi syariah, sekumpulan orang saling membantu, saling menjamin, dan
bekerja sama, dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru’. Dana yang
terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau kontribusi merupakan milik peserta
(shahibul maal), perusahaan hanya sebagai pemegang amanah (mudharib) dalam
mengelola dana. Sumber pembiayaan klaim diperoleh dari rekening tabarru’, yaitu
peserta saling menanggung jika ada salah satu peserta yang mendapat musibah,
maka peserta lainnya juga ikut menanggung risiko.

Tidak serta merta seluruh produk BPJS haram, menurut penuturan Dr. Erwandi
Tirmidzi, terdapat dua dari tiga kategori BPJS yang halal. Berikut ketiga kategori
BPJS tersebut,

Pertama, PBI (Penerima Bantuan Iuran), kategori ini murni gratis, disubsidikan
pemerintah bagi WNI yang telah direkomendasikan sebagai warga yang tidak
mampu.

Kedua, non-PBI yang diperuntukkan bagi PNS/POLRI/TNI/ABRI, organisasi,


lembaga dan perusahaan. Dana BPJS kategori ini ditanggung oleh instansi yang
bersangkutan. Semua pesertanya digratiskan perusahaan. Ini berlaku layaknya
Askes (Asuransi Kesehatan).

Ketiga mandiri, kategori ini bersifat premi iuran dengan 3 kategori kelas. Jika terjadi
keterlambatan menyetor iuran maka terkena denda, dan ini masuk kategori unsur
riba dan gharar.

Kategori pertama dan kedua adalah kategori yang masih dikategorikan sebagai
skema yang halal karena jaminan sosial di atas bersifat hadiah bagi masyarakat dari
pemerintah yang mana hal tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dalam
hal menjamin rakyatnya dan kedua, iuran yang dijamin oleh perusahaan tanpa
mengurangi gaji pegawai. Dr. Erwandi menambahkan “dan jika kita tidak masuk
kategori 1 (karena tidak ada rekomendasi dari RT bahwa kita tidak mampu), kita juga
tidak bisa ikut kategori 2 (karena kita bukan PNS atau semisalnya) maka bisa
dilakukan mendaftar BPJS ketika kondisi dalam kedaruratan.”

Muhaimin Iqbal, dalam artikelnya yang bertajuk Negeri Setengah Syariah


menyatakan bahwa dua produk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan adalah
ini jelas riba dan ghararnya. Namun yang mengatakan demikian bukanlah pemilik
Gerai Dinar ini, Fatwa MUI No. 1 Tahun 2004 yang menyatakan, “Praktek
pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman
Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini
termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya. Praktek pembungaan
tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal,
Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh
individu”. Resistensi asuransi konvensional terhadap riba menjadi salah satu yang
disebutkan dalam Fatwa MUI tersebut.

Terlepas banyaknya pro kontra atas kebijakan BPJS ini, perlu kita telisik seberapa
besar manfaat dan kerugian atau keburukan dari BPJS ini. Proses penggodokan UU
sejak 2004 hingga terimplementasi sepuluh tahun kemudian bukan tidak mungkin
tanpa pertimbangan. Cita-cita besar meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup
rakyat Indonesia adalah tujuan utama dari kebijakan ini, namun tersandung
beberapa teknis yang pada akhirnya masih menyelipkan keraguan sehingga muncul
stigma seolah rakyat dipaksa memakan riba. Opsi BPJS Syariah masih ada di depan
mata. Pilihan-pilihan untuk mengonsumsi produk halal masih bisa diusahakan.
Masyarakat perlu selektif dan cerdas dalam hal menerima kebijakan dari pemerintah.
Jika skema ini berlaku di Indonesia, maka ini akan menjadi skema jaminan sosial
syariah pertama dan terbesar di dunia.


Referensi:

Badan Perencana Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik dan United


Nations Population Fund. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Jakarta :
Badan Pusat Statistik.

Perwataatmadja, Karnaen. 2012. Konsep Dasar Perasuransian Syariah

Wasilah dan Nurhayati, Sri. 2013. Asuransi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba
Empat.

Zulkahfi. 2014. Skripsi : Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Perspektif Hukum
Islam. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

http://ekbis.sindonews.com/read/771602/34/tak-bersertifikat-halal-pengunjung-
solaria-menurun-1376552243 diakses pada 29 Januari 2015

http://www.dakwatuna.com/2014/01/19/45011/bpjs-dan-jaminan-sosial-
syariah/#axzz3Q7wcJQyw diakses pada 28 Januari 2015

http://www.geraidinar.com/component/content/article/80-gd-articles/using-
joomla/extensions/components/content-component/article-categories/84-gd-
articles/umum/1502-negeri-syariah diakses pada 16 Januari 2015

http://www.arrahmah.com/news/2014/11/25/ustadz-erwandi-inilah-katagori-bpjs-
yang-halal-dan-baik-untuk-anda.html diakses pada 16 Januari 2015

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/02/20/64243/kebijakan-bpjs-
rakyat-dipaksa-makan-riba/#ixzz3SJTz8TGS 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Anda mungkin juga menyukai