Anda di halaman 1dari 39

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK Makassar, 21 Mei 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

TB Paru pada Anak

Oleh:
AYU PRATIWI HASARI
111 2018 2105
Pembimbing Supervisor :
dr. A. TENRIGANGKA , Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Ayu Pratiwi Hasari

NIM : 111 2018 2105

Judul Laporan Kasus : TB Paru pada Anak

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, 21 Mei 2019

Mengetahui,

Supervisor

dr. A. Tenrigangka Sp.A

i
DAFTAR ISI
SAMPUL
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………………... i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….. ii
BAB 1 LAPORAN KASUS
1.1.Identitas Pasien…………………………………………………………..1
1.2.Anamnesis……………………………………………………….……… 1
1.3.Pemeriksaan umum……………………………………………………... 2
1.4.Pemeriksaan Anjuran…………………………………………………….
4
1.5.Pemeriksaan penunjang…………………………………………………. 4
1.6.Resume………………………………………………………………….. 5
1.7.Diagnosis Kerja…………………………………………………………. 6
1.8.Planning Terapi…………………………………………………………. 6
1.9.Edukasi………………………………………………………………….. 6
1.10. Prognosis……………………………………………………………… 6
1.11. Follow Up…………………………………………………………….. 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA TUBERKULOSIS
2.1.Definisi….……………………………..……………………………… 11
2.2.Epidemiologi…………………………………….................................. 11
2.3.Faktor Risiko………………………………….………………………. 11
2.4.Cara Penularan................... …………………..………………………. 13
2.5.Patogenesis................................…………….……………………….... 14
2.6.Diagnosis……………………………………….................................... 19
2.7.Penatalaksanaan...........………………………….................................. 25
2.8.Pemantauan.....................……………………………………………... 29
2.9.Pencegahan......................……….......………………………………... 31
2.10. Prognosis..........................…………….....………………………….. 35
DAFTAR PUSTAKA.............……………………………………………………… 36

ii
BAB 1
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. RAA


Tanggal Lahir : 01 November 2008 (11 Tahun 6 bulan)
Alamat : Jl. Dg Kaling Parang Tambunng
Jenis kelamin : Perempuan
No.RM : 31 40 73
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Tgl.MRS : 02-04-2019

2. ANAMNESIS

a. Keluhan utama
Demam
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan demam (+) dialami sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit, bersifat hilang timbul, menggigil dan tidak
kejang. Batuk (+) dialami sejak ±2 minggu sebelum masuk RS dan
memberat pada malam hari dan kadang disertai sesak. Mual (-),
muntah (-), ada nyeri ulu hati. Anak malas makan dan minum. BAK
lancar kesan cukup, BAB normal . Riwayat kontak (+) yaitu orang tua
pasien meninggal karena menderita HIV dan batuk lama.

1
3. PEMERIKSAAN UMUM

Status Present
- Kondisi umum : sakit sedang

- Kesadaran : compos mentis

- Nadi : 86 kali/menit

- Pernapasan : 24 kali/menit

- Suhu : 370C

- Berat badan : 27 kg

- Tinggi badan : 146 cm

- Status gizi : kurang

BB : 27 kg TB : 146 cm BBI : 41,4 kg LLA : 17 cm


BB BB Actual
= × 100 %
TB BB baku untuk TB aktual
27
¿ x 100 % = 72,97% ( Gizi Kurang)
37

Status Generalis
Kepala : Normocephal,rambut hitam,distribusi merata,tidak mudah
dicabut
Wajah : Simetris,kulit wajah pasien tidak nampak adanya
kelainan,warna sawo matang,nyeri tekan sinus tidak ada,ruam
tidak ada

2
Mata : Kelopak mata tidak edema, tanda-tanda perdarahan tidak ada,
konjunctiva tidak anemis, tanda peradangan pada
konjunctiva tidak ada,mata tidak merah,sklera tidak
ikterik,kornea dan lensa jernih,pupil bulat,isokor.
Telinga:Daun telinga simetris kiri dan kanan,lekukan sempurna,tidak
ada sekret,tidak ada perdarahan
Hidung:Bentuk normal,deviasi septum tidak ada,mukosa hidung tidak
hiperemis,perdarahan tidak ada, nafas cuping hidung tidak
ada
Mulut :Mukosa lembab,tidak ada sianosis, lidah kotor (-),lidah tremor
(-), perdarahan gusi tidak ada, tonsil T1-T1 tidak hiperemis ,
Leher :Trakea ditengah, simetris,deviasi trakea tidak ada,pembesaran
kelenjar tiroid (-) , pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks:Bentuk normal,jaringan parut (-),ruam (-) retraksi dinding
dada (-)
Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
 Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
 Perkusi : Pekak, batas jantung atas ICS II linea
midclavicularis
sinistra, batas jantung kanan linea parasternalis
dekstra,
batas jantung kiri ICS 5linea midaksilaris sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 murni, reguler,
Tidak ada
murmur

Paru :

3
 Inspeksi : Simetris, tidak ada retraksi intercostal
 Palpasi : Vokal fremitus kanan sama dengan kiri
 Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+ , Rhonki +/+
dan Wheezing -/-
Abdomen
 Inspeksi : Datar,tidak ada luka,sikatrik
(-),perdarahan(-),ruam (-),
tidak ada ascites
 Auskultasi : Peristaltik usus ada kesan normal
 Palpasi : Hati dan Lien tidak teraba, turgor kulit baik , nyeri
tekan(-)
 Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen

Ekstremitas : Akral hangat,sianosis (-),tonus baik,CRT <2 detik,


edema(-), petekie(-)

4. PEMERIKSAAN ANJURAN
 Darah Rutin
 Foto Thorax
 Sputum BTA

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a) Darah rutin

 Leukosit : 15,8 x 10 3/uL

 Eritrosit : 4,92 x 10 6/uL

4
 Hb : 8.9 g/dL

 Hematokrit : 41.2 %

 Trombosit : 391 x 103/uL

b) Hasil Foto Thorax

 Bercak-bercak infiltrate pada paracardial dextra

 Cor, Sinus, Diafragma baik

 Tulang-tulang Intak

 Kesan: Bronchopneumonia Dextra

6. RESUME

S:

 demam (+) sejak 2 hari  Nyeri Ulu hati (+)


bersifat naik turun
 Riwayat Kontak PAsien TB
 Batuk (+) dialami sejak ±2 dan HIV: orang tua pasien
minggu
 Sesak(+).

O:
 N: 86x/menit, reguler,kuat angkat
 P: 24x/menit, teratur
 S: 37‘C (axilla)
 Paru: BP: Vesikuler, BT Wh -/-, Rh +/+
 DR:
Leukosit : 15.800/ uL (meningkat) ~ N: 5.000-13.000 u/L
PLT : 391.000/uL (normal) ~ N: 200.000-450.000/uL

5
Hb : 12,8 g/dL (normal) ~ N: 12,0-15,0 g/dl
HCT : 41,2 % (normal) ~ N: 34-49%

7. DIAGNOSIS KERJA

Suspect bronchopneumonia

8. PLANNING TERAPI

1. Infus Ringer Laktat 16 tetes/menit (makrodrips)


2. Puyer :
- Cefadroxil 280 mg
- Ambroxol 12 ml
- Methyl Prednisolon 1,5 mg
- Interhistin 17 mg
- Vit. C ½ tab
3. Paracetamol 4x ½ tab

9. EDUKASI

 Makan biasa
 Energi 1890 kkal
 Protein 70,875 gram

10. PROGNOSIS

Quo ad vitam : ad bonam


Quo ad sanam : ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam

11. FOLLOW UP
03/04/201 S/ R/
9 Demam (+), Batuk (+) Infus Ringer Laktat 16
Anak malas amakan dan minum tetes/menit

6
(makrodrips)
O/ Puyer :
KU: Lemas/ Compos Mentis - Cefadroxil 280
N: 98x/i P: 24x/i S: mg
37,80C - Ambroxol 12 ml
Faring tidak hiperemis - Methyl
Tonsil T1/T1 tidak hiperemis Prednisolon 1,5
Paru : BP: Vesikuler mg
BT: Rh +/+ wh-/- - Interhistin 17
Jantung: BJ I/II murni regular mg
Bising tidak ada - Vit. C ½ tab
Abdomen: peristaltic ada, kesan Paracetamol 4x ½ tab
normal Foto Thorax
Hepar dan lien tidak  Bercak-bercak
teraba infiltrate pada
paracardial
Tidak ada ascites dextra

 Cor, Sinus,
A/ Diafragma baik
Suspect Brochopneumonia
 Tulang-tulang
Intak

 Kesan:
Bronchopneum
onia Dextra

04/04/201 S/ R/
9 Tidak Demam , Batuk (+) Infus Ringer Laktat 16
Anak malas amakan dan minum tetes/menit

7
(makrodrips)
O/
KU: Lemas/ Compos Mentis Nebu Combivent pagi
N: 92x/i P: 23x/i S: dan malam
37,80C
Faring tidak hiperemis Inj. Cefotaxime 800
Tonsil T1/T1 tidak hiperemis mg/12j/IV
Paru : BP: Vesikuler
BT: Rh +/+ wh-/- Inj Dexametason 0,3
Jantung: BJ I/II murni regular cc/12j/IV
Bising tidak ada
Abdomen: peristaltic ada, kesan Paracetamol 4x ½ tab
normal
Hepar dan lien tidak teraba Ambroxol syr 3x1 cth
Tidak ada ascites

A/
Brochopneumonia
05/04/201 S/ R/
9 Tidak Demam , Batuk (+) Infus Ringer Laktat 16
Anak malas amakan dan minum tetes/menit
(makrodrips)
O/
KU: Lemas/ Compos Mentis Nebu Combivent pagi
N: 89x/i P: 23x/i S: dan malam
36,90C
Faring tidak hiperemis Inj. Cefotaxime 800
Tonsil T1/T1 tidak hiperemis mg/12j/IV
Paru : BP: Vesikuler

8
BT: Rh +/+ wh-/- Inj Dexametason 0,3
Jantung: BJ I/II murni regular cc/12j/IV
Bising tidak ada
Abdomen: peristaltic ada, kesan Paracetamol 4x ½ tab
normal
Hepar dan lien tidak Ambroxol syr 3x1 cth
teraba
Tidak ada ascites Rapid Test HIV (+)

A/ Pemeriksaan
Brochopneumonia Sputum(-)

06/04/201 S/ R/
9 Tidak Demam , Batuk (+) OAT
Anak malas makan dan minum

O/
KU: Lemas/ Compos Mentis
N: 89x/i P: 23x/i S:
36,90C
Faring tidak hiperemis
Tonsil T1/T1 tidak hiperemis
Paru : BP: Vesikuler
BT: Rh +/+ wh-/-
Jantung: BJ I/II murni regular
Bising tidak ada
Abdomen: peristaltic ada, kesan
normal
Hepar dan lien tidak teraba

9
Tidak ada ascites

A/
HIV+Brochopneumonia+
Suspect TB Paru

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman
Mycobacterium tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat
mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru
yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. 4

2.2 Epidemiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB
Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.Di
negara-negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun
adalah 40−50% dari jumlah seluruh populasi umum dan terdapat sekitar
500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun.
Proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB pada tahun 2010
adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011, 8,2% pada
tahun 2012, 7,9% pada tahun 2013, 7,16% pada tahun 2014 dan 9% di
tahun 2015. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi
proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Variasi proporsi ini mungkin
menunjukkan endemisitas yang berbeda antara provinsi, tetapi bisa juga
karena perbedaan kualitas diagnosis TB anak pada level provinsi. 5

2.3 Faktor Risiko


Perkembangan TB pada manusia melalui dua proses, yaitu pertama
seseorang yang rentan bila terpajan oleh kasus TB yang infeksius akan
menjadi tertular TB (infectious TB), dan setelah beberapa lama kemudian

11
baru menjadi sakit. Terdapat beberapa faktor yang mempermudah
terjadinya infeksi TB maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-
faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor risiko
progresifitas infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit). 6
1. Risiko Infeksi Tuberkulosis
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang
terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif),
daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene
dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum, yang
banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada
anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang
infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti bayi dari seorang ibu
dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi ternfeksi TB. 6
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak
akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA
sputum positif , infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi
sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat
faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang
tidak baik. Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain
atau orang dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB
sangat jarang ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien anak.
Beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama, jumlah
kuman pada TB anak pada umumnya sedikit (paucibacillary), tetapi
karena imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut
sudah mampu menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang
kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di
daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehinggatidak terjadi
produksi sputum. Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan

12
tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan
jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak. 6

2. Risiko Sakit Tuberkulosis


Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami
sakit TB. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan
berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor risiko yang
pertama adalah usia. Anak berusia < 5 tahun mempunyai risiko lebih
besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas
selularnya belum berkembang sempurna (imatur). Risiko sakit TB
akan berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan usia.
Resiko tertinggi terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB
selama satu tahun pertama setelah infeksi, terutama selama 6 bulan
pertama. Pada bayi, rentang waktu antara terjadi infeksi dan timbul
sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan timbul gejala akut. Faktor
risiko berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya
konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam satu tahun
terakhir. Faktor risiko lainnya adalah malnutrisi, keadaan
imunokompromais, diabetes melitus dan gagal ginjal kronik. 6

2.4. Cara Penularan7


1. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik
dewasa maupun anak.
2. Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di
sekitarnya , kecuali anak tersebut BTA positif atau menderita adult
type B.
3. Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat
penularan, lama pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB

13
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan
lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif.
4. Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif
adalah 65 % pasien BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah
26 % sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto
thorax positif adalah 17 %.

2.5 Patogenesis5
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB.
Karena ukurannya yang sangat kecil (< 5 mm), kuman TB dalam
percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus.
Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme
imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman
TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam
makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak,
akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan kuman TB
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman
TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai
saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika fokus terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan

14
gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis), dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa
inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada
proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya
kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu 2-12
minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang
respon imunitas seluler.
Selama minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi
pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang
awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami
perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer
inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai
oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu
timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa
inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer
terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada
sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik,
begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma.
Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke
dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis
atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkejuan dan
enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan

15
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna
fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi
yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe
regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkejuan yang
berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus
sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar
limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal saat awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut,
bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat
tekanan eksternal menimbulkan hiperinflamasi di segmen distal paru.
Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkejuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa keju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi
segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler,
dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran
limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk
kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread).

16
Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi
sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian
akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya
dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya
otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus
atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan
membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang
akan membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam
bentuk dorman. Fokus ini umunya tidak langsung berlanjut menjadi
penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus
potensial di apeks paru disebut sebagai fokus Simon. Bertahun-tahun
kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat
mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait,
misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic
spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan
beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut,
yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6
bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada
jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi
berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak
adekuatnya sistem imun pejamu dalam mengatasi infeksi TB, misalnya
pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized
hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua

17
tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang
kurang lebih sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi diseminata
yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara
patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm,
yang secara histologik merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah
protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila
suatu fokus perkejuan menyebar ke saluran vaskular di dekatnya,
sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam
darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat
dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini
dapat terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun
pertama), biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3
bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen,
TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0,5-3 %, penyebaran
limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini
biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis
endobronkial (lesi segmentel yang timbul akibat pembesaran kelenjar
regional), dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).
Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia
terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat
reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi
sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering pada
remaja dan dewasa muda.

18
2.5. Diagnosis
1. Anamnesis
Manifestasi klinis penyakit TB ada dua yaitu gejala umum dan
gejala spesifik sesuai organ yang terkena. Gejala umum
penyakit TB tidak khas, dalam arti gejala tersebut dapat
disebabkan oleh berbagai kelainan/penyakit lain. Gejala yang
membuat dokter perlu mempertimbangkan TB sebagai
penyebab adalah masalah makan dan berat badan. Nafsu
makan yang kurang, berat badan yang sulit naik, menetap, atau
malah turun merupakan gejala penyakit TB. Kemungkinan
masalah gizi sebagai penyebab harus disingkirkan dulu dengan
tatalaksana yang adekuat selama minimal 1 bulan. Pasien sakit
TB dapat memberi gejala demam subfebris berkepanjangan.
Etiologi demam kronik yang lain perlu disingkirkan dahulu,
seperti misalnya infeksi saluran kemih, tifus atau malaria.
Pembesaran kelenjar superfisial di daerah leher, aksila, inguinal
atau tempat lain tidak jarang menjadi keluhan orang tua pasien.
Keluhan respiratorik dapat berupa batuk kronik lebih dari 3
minggu, atau nyeri dada. Dapat pula dijumpai gejala
gastrointestinal seperti diare persisten yang tidak sembuh
dengan pengobatan baku, perut membesar karena cairan, atau
teraba massa dalam perut.4
Keluhan spesifik organ dapat terjadi bila TB mengenai
organ ekstrapulmonal seperti ditemukannya benjolan di
punggung (gibbus), sulit membungkuk, pincang atau
pembengkakan sendi. Bila mengenai susunan saraf pusat,
dapat terjadi gejala iritabel, leher kaku, muntah-muntah dan
kesadaran menurun. Gambaran kelainan kulit yang khas yaitu
skrofuloderma dan lesi flikten di mata. 4

19
2. Pemeriksaan Fisis
Pada sebagian besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan
fisis yang khas. Biasanya sesuai dengan keluhan masalah
makan dan berat badan, pada pemeriksaan antropometri
dijumpai gizi kurang dengan grafik berat badan dan tinggi
badan pada posisi di daerah bawah atau di bawah P5. Suhu
subfebris dapat ditemukan pada sebagian pasien. 4
Kelainan pada pemeriksaan fisis baru dijumpai jika TB
mengenai organ tertentu. Pada TB vertebra dapat dijumpai
gibbus, kifosis, paraparesis, atau paraplegia. Jalan pincang,
nyeri pada pangkal paha atau lutut dapat terjadi pada TB
koksae atau TB genu. Pembesaran kelenjar getah bening
dicurigai ke arah TB jika bersifat multipel, tidak nyeri tekan, dan
konfluens (saling menyatu), ukuran besar (lebih dari 2x2 cm)
dan biasanya pembesaran KGB terlihat jelas bukan hanya
teraba, selain itu bisa berbentuk rongga dan discharge. Jika
terjadi Meningitit TB, dapat ditemukan kaku kuduk dan tanda
rangsang meningeal lain. Ulkus kulit dengan skinbridge yang
merupakan ciri khas skorfuloderma biasanya terjadi di daerah
leher, aksila, atau inguinal. Skrofuloderma ditandai oleh massa
yang padat atau fluktuatif, sinus yang mengeluarkan cairan,
ulkus dengan dasar bergranulasi dan tidak beraturan serta tepi
bergaung, serta sikatriks yang menyerupai jembatan. Pada
mata dapat dijumpai konjungtivitis fliktenularis yaitu bintik putih
di limbus kornea yang sangat nyeri.4
3. Pemeriksaan Penunjang4
a) Uji tuberkulin : dengan cara Mantoux yaitu penyuntikan 0,1
ml tuberkulin PPD secara intrakutan di bagian volar lengan
dengan arah suntikan memanjang lengan (longitudinal).

20
Reaksi diukur 48-72 jam setelah penyuntikan. Indurasi
tranversal diukur dan dilaporkan dalam mm berapapun
ukurannya, termasuk cantumkan 0 mm jika tidak ada
indurasi sama sekali. Indurasi 10 mm ke atas dinyatakan
positif. Indurasi < 5 mm dinyatakan negatif, sedangkan
indurasi 5-9 mm meragukan dan perlu diulang, dengan jarak
waktu minimal 2 minggu. Uji tuberkulin positif menunjukkan
adanya infeksi TB dan kemungkinan TB aktif (sakit TB) pada
anak. Reaksi uji tuberkulin positif biasanya bertahan lama
hingga bertahun-tahun walau pasiennya sudah sembuh,
sehingga uji tuberkulin tidak digunakan untuk memantau
pengobatan TB.
b) Foto toraks antero-posterior (AP) dan lateral kanan.
Gambaran radiologis yang sugestif TB di antaranya :
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal, konsolidasi
segmen/lobus paru, milier, kavitas, efusi pleura, atelektasis,
atau kalsifikasi.
c) Pemeriksaan mikrobiologik dari bahan bilasan lambung atau
sputum, untuk mencari basil tahan asam (BTA) pada
pemeriksaan langsung dan Mycobacterium tuberculosis dari
biakan. Hasil biakan positif merupakan diagnosis pasti TB.
Hasil BTA atau biakan negatif tidak menyingkirkan diagnosis
TB.
d) Pemeriksaan patologi dilakukan dari biopsi kelenjar, kulit,
atau jaringan lain yang dicurigai TB.
e) Pemeriksaan serologi seperti PAP TB, ICT, Mycodot dan
lain-lain, nilai diagnostiknya tidak lebih unggul daripada uji
tuberkulin sehingga tidak dianjurkan. Sampai saat ini semua
pemeriksaan diagnostik TB hanya dapat mendeteksi adanya

21
infeksi TB, tapi tidak dapat membedakan ada tidaknya
penyakit TB.
f) Funduskopi perlu dilakukan pada TB milier dan Meningitis
TB.
g) Pungsi lumbal harus dilakukan pada TB milier untuk
mengetahui ada tidaknya meningitis TB.
h) Foto tulang dan pungsi pleura dilakukan atas indikasi.
i) Pemeriksaan darah tepi, laju endap darah, urin dan feses
rutin, sebagai pelengkap data namun tidak berperan penting
dalam diagnostik TB.
Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan penunjang, seperti uji tuberkulin, pemeriksaan
laboratorium, dan foto rontgen dada. Adanya riwayat kontak
dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji tuberkulin positif, dan
foto paru yang mengarah pada TB (sugestif TB) merupakan bukti
kuat yang menyatakan anak telah sakit TB. 8
Tabel 1. Sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang TB Anak 7,9
Skor TB 0 1 2 3 Skor
Parameter
Kontak Tidak - Laporan Kontak dengan 2
dengan jelas keluarga, pasien BTA
pasien TB kontak positif
dengan
pasien
BTA
negatif
atau tidak
tahu, atau
BTA tidak

22
jelas
Uji tuberkulin Negativ - - Positif (≥10 mm, Neg
e atau ≥ 5 mm ative
pada pasien
imunokompromai
s)
Berat - Gizi kurang : Gizi buruk - 2
badan/keada BB/TB<90 % : BB/TB
an gizi atau BB/U < <70%
(dengan 80 % atau BB/U
KMS atau < 60%
tabel)
Demam - ≥ 2 minggu - - 0
tanpa sebab
jelas
Batuk - ≥ 2 minggu - - 1
Pembesaran - ≥ 1 cm - -
kelenjar Jumlah ≥ 1
limfe koli, KGB,tidak
aksila,inguin nyeri
al

Pembengkak Ada 0
an pembengkak
tulang/sendi an
panggul,
lutut, falang
Foto thorax Normal/ Gambara 1
tidak sugestif TB
jelas
JUMLAH SKOR 13 (maksimal 13) 6

23
Catatan :7,9
a. Kontak dengan pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti
tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa
diperoleh dari TB 01 atau dari hasil laboratorium
b. Penentuan status gizi :
1) Berat badan dan panjang/tinggi badan dinilai saat pasien
datang (moment opname)
2) Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. penentuan
status gizi untuk anak usia ≤ 6 tahun merujuk pada buku KIA
Kemenkes 2016, sedangkan untuk anak usia > 6 tahun
merujuk pada standar WHO 2005 yaitu grafik IMT/U
3) Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi
selama 1-2 bulan.
c. Hitung skor total :
1) Jika skor total ≥ 6, makan didiagnosis TB dan obati dengan
OAT
2) Jika skor total < 6, dengan uji tuberculin positif atau ada
kontak erat, maka didiagnosis TB dan obati dengan OAT
3) Jika skor total < 6, dan uji tuberculin negative atau tidak ada
kontak erat, maka diobservasi gejala selama 2-4 minggu, bila
menetap, evaluasi ulang kemungkinan diagnosis TB atau
rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.

2.6 Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Terapi TB terdiri dari dua fase, yaitu :
a. Fase intensif : 3-5 OAT selama 2 bulan awal

24
b. Fase lanjutan dengan paduan 2 OAT (INH-rifampisin) hingga 6-
12 bulan.
Pada anak, obat TB diberikan secara harian (daily) baik pada
fase intensif maupun fase lanjutan.9
 TB paru : INH, rifampisin, dan pirazinamid selama 2 bulan
fase intensif, dilanjutkan INH dan rifampisin hingga genap 6
bulan terapi (2HRZ-4HR).
 TB paru berat (milier, destroyed lung) dan TB ekstra paru :
4-5 OAT selama 2 bulan fase intensif, dilanjutkan dengan
INH dan rifampisin hingga genap 9-12 bulan terapi.
 TB kelenjar superfisial : terapinya sama dengan TB paru.
 TB milier dan efusi pleura TB diberikan prednison 1-2
mg/kgBB/hari selama 2 minggu, kemudian dosis diturunkan
bertahap (tappering off) selama 2 minggu, sehingga total
waktu pemberian 1 bulan.

Tabel 2. Obat yang lazim digunakan dalam terapi TB pada bayi, anak, dan
Remaja9

Obat Sediaan Dosis Dosis Efek Samping


mg/kgBB Maksimal
Isoniazid Tablet 100 5-15 300 mg Peningkatan
(INH/H) dan 300 transaminase,
mg; sirup hepatitis,
10 mg/ml neuritis
perifer,
hipersensitivit
as
Rifampisin Kapsul/tabl 10-15 600 mg Urin/sekresi
(RIF/R) et warna kuning,
150,300,45 mual-muntah,
0,600 mg, hepatitis, flu-

25
sirup 20 like reaction.
mg/ml
Pirazinami Tablet 500 25-35 2g Hepatotoksisit
d (PZA/P) mg as,
hipersensitivit
as
Etambutol Tablet 500 15-20 2,5 g Neuritis
(EMB/E) mg optikal
(reversibel),
gangguan
visus,
gangguan
warna,
gangguan
saluran cerna
Streptomis Vial 1 g 15-30 1g Ototoksisitas,
in (SM/S) nefrotoksisitas
Catatan:
a) Menurut WHO,IUATLD, dan ERS, dosis INH 5 mg/kgBB
adekuat dan aman.

b) Jika INH dipadu dengan rifampisin, dosis INH tidak lebih dari
10 mg/kgBB dan rifampisin 15 mg/kgBB untuk mengurangi
insidens hepatitis.

Kombinasi Dosis Tetap OAT (FDC)


Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan
keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam
bentukpaket kombipak. Satu paket kombipak dibuat untuk satu
pasien untuk satu masa pengobatan. Kombipak dan pirazinamid
(Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg
dalam satu paket.8
Di tempat dengan sarana kesehatan yang lebih memadai,
untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani
pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak,

26
dalam program penanggulangan TB anak telah dibuat obat TB
dalam bentuk kombinasi dosis tetap (Fixed Dose
Combination=FDC).8
Tabel 3. Dosis Kombinasi Pada TB Anak
Berat badan 2 bulan 4 bulan
(kg) RHZ (75/50/150) (RH(75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Keterangan:8
R : Rifampisin, H: Isoniasid, Z: Pirazinamid
a) Bayi di bawah 5 kg, pemberian OAT secara terpisah,
tidak dalam bentuk kombinasi tetap, dan sebaiknya
dirujuk ke RS tipe C atau lebih tinggi.
b) Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
c) Anak dengan BB ≥ 33 kg dosisnya sama dengan dosis
dewasa.
d) Tablet obat harus diberikan secara utuh.
e) Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah,
atau dimasukkan air dalam sendok.

Kelompok risiko tinggi memerlukan medikamentosa


profilaksis.10
a. Profilaksis primer untuk mencegah tertular/infeksi pada
kelompok yang mengalami kontak erat dengan pasien TB
dewasa dengan uji BTA positif.
b. Profilaksis sekunder untuk mencegah terjadinya sakit TB
pada kelompok yang telah terinfeksi TB tapi belum sakit TB.

27
Konsep dasar profilaksis primer dan sekunder berbeda, namun
obat dan dosis yang digunakan sama yaitu INH 5-10
mg/kgBB/hari. Profilaksis primer diberikan pada balita sehat yang
memiliki kontak dengan pasien TB dewasa dengan BTA sputum
positif, namun pada evaluasi dengan sistem skoring, didapatkan
skor ≤ 5. Profilaksis primer diberikan selama kontak masih ada,
minimal selama 3 bulan. Pada akhir 3 bulan dilakukan uji
tuberkulin ulang. Jika hasilnya negatif, dan kontak tidak ada,
profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin menjadi
positif, dievaluasi apakah hanya terinfeksi atau sudah sakit TB.
Jika hanya infeksi profilaksis primer dilanjutkan sebagai profilaksis
sekunder. Profilaksis sekunder diberikan selama 6-12 bulan yang
merupakan waktu risiko tertinggi terjadinya sakit TB pada pasien
yang baru terinfeksi TB.8,10
2. Bedah10
a. TB paru berat dengan destroyed lung untuk lobektomi atau
pneumektomi.
b. TB tulang seperti spondilitis TB, koksitis TB, atau gonitis TB.
c. Tindakan bedah dapat dilakukan setelah terapi OAT selama
minimal 2 bulan, kecuali jika terjadi kompresi medula spinalis
atau ada abses paravertebra tindakan bedah perlu lebih awal.
3. Suportif10
Asupan gizi yang adekuat sangat penting untuk keberhasilan terapi
TB. Jika ada penyakit lain juga perlu mendapat tata laksana
memadai. Fisioterapi dilakukan pada kasus pasca bedah.

2.7 Pemantauan
Terapi

28
a. Respon klinis
Respon yang baik dapat dilihat dari perbaikan semua keluhan
awal. Nafsu makan yang membaik, berat badan yang meningkat
dengan cepat, hilangnya keluhan demam, batuk lama, tidak mudah
sakit lagi. Respon yang nyata biasanya terjadi dalam 2 bulan awal
(fase intensif). Setelah itu perbaikan klinis tidak lagi sedramatis
fase intensif.10
b. Evaluasi radiologi
Dilakukan pada akhir pengobatan, kecuali jika ada perburukan
klinis. Jika gambaran radiologis juga memburuk, evaluasi
kepatuhan minum obat, dan kemungkinan kuman TB resisten obat.
Terapi TB dimulai lagi dari awal dengan paduan 4 OAT. 10
c. Efek samping OAT
Efek samping OAT jarang dijumpai pada anak jika dosis dan cara
pemberiannya benar. Efek samping yang kadang muncul adalah
hepatotoksisitas, dengan gejala ikterik yang bisa disertai keluhan
gastrointestinal lainnya. Keluhan ini biasanya muncul dalam fase
intensif. Pada kasus yang dicurigai adanya kelainan fungsi hepar,
maka pemeriksaan transaminase serum dilakukan sebelum
pemberian OAT, dan dipantau minimal tiap 2 minggu dalam fase
intensif.10
d. Jika timbul ikterus OAT dihentikan, dan dilakukan uji fungsi hati
(bilirubin dan transaminase). Bila ikterus telah menghilang dan
kadar transaminase < 3x batas atas normal, paduan OAT dapat
dimulai lagi dengan dosis terendah. Yang perlu diingat, reaksi
hepatotoksisitas biasanya muncul karena kombinasi dengan
berbagai obat lain yang bersifat hepatotoksik seperti parasetamol,
fenobarbital, dan asam valproat.10

29
e. Dalam pemberian terapi dan profilaksis TB evaluasi dilakukan tiap
bulan. Bila pada evaluasi profilaksis TB timbul gejala klinis TB,
profilaksis diubah menjadi terapi TB. 10

Tumbuh Kembang
Pertumbuhan pasien akan mengalami perbaikan nyata. Data
berat badan dicatat tiap bulan dan dimasukkan dalam grafik tumbuh
untuk memantau pola tumbuh pasien selama menjalani terapi. Walau
berat badan belum mencapai ideal, namun pola grafiknya sudah
menaik dan memasuki ‘pita’ di atasnya, sudah dinilai sebagai respon
yang baik.10
TB anak umumnya tidak menular, sehingga pasien TB anak
tidak perlu dikucilkan, agar tidak mengganggu aspek kembang dan
kejiwaan pasien.
KIE untuk orang tua pasien.10
a. Pengobatan TB berlangsung lama, minimal 6 bulan, tidak boleh
terputus, dan harus kontrol teratur tiap bulan.
b. Obat rifampisin dapat menyebabkan cairan tubuh (air seni, air
mata, keringat, ludah) berwarna merah.
c. Secara umum obat sebaiknya diminum dalam keadaan perut
kosong yaitu 1 jam sebelum makan/minum susu, atau 2 jam
setelah makan. Khusus untuk rifampisin harus diminum dalam
keadaan perut kosong.
d. Bila timbul keluhan kuning pada mata, mual, dan muntah, segera
periksa ke dokter walau belum waktunya.
2.8 Pencegahan TB Anak
Diagnosis penyakit TB pada anak sangat sulit, karena gejala
umumnya yang tidak khas dan sulit untuk mendapatkan spesimen
diagnostik. Oleh karena itu, upaya deteksi dini dan terapi yang adekuat

30
merupakan bagian terpadu dari upaya promotif-preventif. Imunisasi
BCG hingga saat ini masih dilakukan, walau oleh sebagian kalangan
efektivitasnya diragukan. Diharapkan dalam waktu dekat sudah
ditemukan vaksin TB yang lebih efektif. Asupan gizi yang baik akan
meningkatkan daya tahan anak terhadap risiko infeksi dan sakit TB.
Upaya pelacakan tidak boleh diabaikan. Bila tenaga medis
menemukan pasien TB dewasa dengan BTA sputum positif maka
lacak sentrifugal harus dilakukan, yaitu mencari orang terutama anak
yang memiliki kontak erat dengan pasien tersebut, untuk mencari
kemungkinan apakah orang tersebut telah terinfeksi atau bahkan sakit
TB. Deteksi infeksi TB dilakukan dengan menggunakan uji tuberkulin
cara Mantoux. Pada anak yang didiagnosis TB, lacak sentripetal juga
harus dilakukan, yaitu mencari orang dewasa sebagai sumber
penularannya.4
1. Vaksinasi BCG (Bacillus Celmette Guerin)
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang memberi
perlindungan terhadap penyakit TB. Vaksin TB tidak mencegah
infeksi TB, tetapi mencegah infeksi TB berat (meningitis TB dan
TB milier), yang sangat mengancam nyawa. Vaksin BCG dapat
memakan waktu 6-12 minggu untuk menghasilkan efek
(perlindungan) kekebalannya. Vaksinasi BCG memberikan
proteksi yang bervariasi antara 50-80 % terhadap tuberkulosis.
Pemberian vaksinasi BCG sangat bermanfaat bagi anak,
sedangkan bagi orang dewasa manfaatnya masih kurang jelas. 11
Di Indonesia, vaksin BCG merupakan vaksin yang diwajibkan
pemerintah. Vaksin ini diberikan pada bayi yang baru lahir dan
sebaiknya diberikan pada umur sebelum 2 bulan. Vaksin BCG
juga diberikan pada anak usia 1-15 tahun yang belum divaksinasi
(tidak ada catatan atau tidak ada skar), imigran, komunitas

31
travelling, dan pekerja di bidang kesehatan yang belum
divaksinasi (tidak ada catatan atau skar). Setelah vaksinasi,
papul (bintik) merah yang kecil timbul dalam waktu 1-3 minggu.
Papul ini akan semakin lunak, hancur, dan menimbulkan parut.
Luka ini mungkin memakan waktu sampai 3 bulan untuk sembuh.
Biarkan tempat vaksinasi sembuh sendiri dan pastikan agar tetap
bersih dan kering. Jangan menggunakan krim atau salep, plester
yang melekat, kapas atau kain langsung pada tempat vaksinasi.
Vaksinasi BCG tidak terlepas memberikan efek samping, maka
perlu diketahui bahwa vaksin ini tidak dianjurkan pada seseorang
yang mengalami penurunan status kekebalan tubuh dan uji
tuberkulin positif. Vaksin BCG dapat diberikan bersamaan
dengan vaksin lain. Misalnya Dtap/IPV/Hib. Saat memberikan
vaksin BCG, imunisasi primer lain juga diberikan. Lengan yang
digunakan untuk imunisasi BCG jangan digunakan untuk
imunisasi lain selama minimal 3 bulan, agar tidak terjadi
limphadenitis.11
Imunisasi BCG terbaik diberikan pada usia 2-3 bulan karena
pada bayi usia < 2 bulan sistem imun anak belum matang.
Pemberian imunisasi penyokong (booster) tidak dianjurkan. 12

2. Skrining dan Manajemen Kontak


Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi
yang dilakukan secara aktif dan intensif untuk menemukan 2 hal yaitu
anak yang mengalami paparan dari pasien TB BTA positif, dan orang
dewasa yang menjadi sumber penularan bagi anak yang didiagnosis
TB.7
7
Latar belakang perlunya investigasi kontak :
 Konsep infeksi dan sakit pada TB.

32
 Anak yang kontak erat dengan sumber kasus TB BTA positif
sangat berisiko infeksi TB dibanding yang tidak kontak yaitu
sebesar 24,4-69,2 %.
 Bayi dan anak usia < 5 tahun, mempunyai risiko sangat tinggi
untuk berkembangnya sakit TB, terutama pada 2 tahun pertama
setelah infeksi, bahkan pada bayi dapat terjadi sakit TB dalam
beberapa minggu.
 Pemberian terapi pencegahan pada anak infeksi TB, sangat
mengurangi kemungkinan berkembangnya sakit TB.
Kasus TB yang memerlukan skrining kontak adalah semua kasus
TB dengan BTA positif dan semua kasus anak yang didiagnosis.
3. Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid7
Sekitar 50-60 % anak yang tinggal dengan pasien TB paru
dewasa dengan BTA sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira
10 % dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada
anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis
atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk
mencegah terjadinya sakit TB.

Tabel 4. Cara Pemberian Isoniazid untuk pencegahan sesuai


dengan tabel: 7
Umur HIV Hasil Tatalaksana
pemeriksaan
Balita (+)/(-) Infeksi laten TB INH profilaksis
Balita (+)/(-) Kontak (+), uji INH profilaksis
tuberkulin (-)
>5 tahun (+) Infeksi laten TB INH profilaksis
>5 tahun (+) Sehat INH profilaksis
>5 tahun (-) Infeksi laten TB Observasi
>5 tahun (-) Sehat Observasi

33
Keterangan :7
a. Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10
mg/kgBB (7-15 mg/kg) setiap hari selama 6 bulan.
b. Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan
pemantauan terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB
pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera
dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB,
pengobatan harus segera ditukar ke regimenterapi TB anak
dimulai dari awal.
c. Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada
gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka rejimen isoniazid
profilaksis dapat dihentikan.
d. Bila anak tersebut belum pernah mendapatkan imunisasi BCG,
perlu diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH
selesai.

2.9 Prognosis
Tergantung dari luas proses,saat mulai pengobatan, kepatuhan
penderita, mengikuti aturan penggunaan, dan cara pengobatan yang
digunakan.1

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Amin Zulkifli, Bahar Asril. Tuberkulosis Paru Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi V. Indonesia : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.

2. Aditama Tjandra Yoga, Kamso Sudijanto, Basri Carmelia, Surya Asik,


editors. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Indonesia :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2011.

3. Helmia Hasan, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Surabaya :
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair. 2012.

4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UNHAS. Standar Pelayanan


Medis Kesehatan Anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNHAS.
2013. Hal 40-46.

5. Rahajoe. N. N. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta :


Kementrian Kesehatan RI. 2016.

6. Cissy B. Kartasasmita. Epidemiologi Tuberkulosis. Jurnal Sari Pediatri


Volume 11. 2009.

7. Rahajoe. N. N. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta :


Kementrian Kesehatan RI. 2017.

8. Kelompok Kerja TB Anak. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak.


Departemen Kesehatan-IDAI. 2008. Hal 1-15.

9. World Health Organization. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.


Jakarta : WHO Indonesia. 2009.

35
10. Pudjiaji, Antonius H, dkk (ed). Pedoman Peyanan Medis Ikatan Dokter
Anak Edisi II. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2011. Hal 325-328.

11. Cahyono, Lusi, dkk (ed). Vaksinasi. Yogyakarta : Kanisus. 2010. Hal 51-
52.

12. Rusmil, K. Imunisasi


http://idai.or.id/publicarticles/klinik/imunisasi/melengkapi-mengejar-
imunisasi-bagian-ii.html (Akses pada tanggal 30 September 2018).

36

Anda mungkin juga menyukai